Mohon tunggu...
Ricky Pramono Hasibuan
Ricky Pramono Hasibuan Mohon Tunggu... -

Semangat dan Yakin pada TUHAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibadah yang Sejati

5 Februari 2011   11:57 Diperbarui: 19 Agustus 2020   16:23 7137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

ANALISA TEOLOGIS 

TENTANG IBADAH YANG SEJATI

(Suatu Tinjauan Biblis-Teologis Terhadap Roma 12:1-2)


I. Pendahuluan

Banyak pemahaman orang tentang hakikat dan makna ibadah.

Ada yang memahami ibadah itu sebagai sebuah persekutuan yang melakukan ritus di tempat-tempat tertentu. Ada juga yang memahami ibadah itu sebatas kegiatan liturgis pada waktu-waktu tertentu, dan ada juga yang mengatakan bahwa ibadah itu adalah urusan pribadi dengan Tuhannya, tidak perlu dilakukan di tempat ibadah berkumpul dengan saudara seimannya.

Karena kenyataan itu dapat menimbulkan masalah dalam kehidupan jemaat itu tak jarang menjadi kacau, maka hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menuliskan pembahasan tentang ibadah yang diinginkan Tuhan sebagaimana yang telah difirmankanNya.

Salah satu nats yang menjadi dasar alkitabiah yang digunakan dalam tulisan ini adalah Roma 12:1-2, dimana Paulus menasihatkan jemaat agar mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Tuhan.

Itulah ibadah yang sejati.

II. Terminologi

Ibadah dalam konsep Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mempunyai arti pelayanan.

Dalam istilah Ibrani disebut avoda sedangkan dalam bahasa Yunani disebut latreia.

Istilah avoda merujuk kepada ibadah di kuil dan khusus lebih mengarah dalam hal berdoa.[1] Abineno menunjukkan bahwa kata ‘ibadah’ yang biasanya digunakan dalam PB terjemahan dari istilah Yunani adalah:[2] 

  1. leiturgia (λειτουργια) Kis.13:2, beribadah kepada Allah
  2. latreia (λατρεια) Roma 12:1, mempersembahkan seluruh tubuh 
  3. thereskeia (θρησκεια) Yak.1:27, pelayanan kepada orang yang dalam kesusahan.

Jadi ibadah adalah avoda atau latreia yang sebenarnya yang merupakan suatu pelayanan yang dipersembahkan/ketaatan kepada Allah, tidak hanya dalam arti ibadah di Bait Suci (berdoa), tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama (Luk.10:25; Mat.5:23, Yoh.4:20-24, Yak.1:27).[3] 

III. Isi

3.1. Latar belakang Kitab Roma

Surat itu ditulis di Korintus (15:32), agaknya pada akhir perjalanan Paulus yang ketiga (15:25), menjelang awal musim pelayaran di wilayah Laut Tengah, jadi pada akhir musim dingin.

Keadaan Paulus pada saat itu digambarkan dalam Kisah 20: 2-3. Ternyata pada waktu itu orang-orang Yahudi bermaksud membunuh dia, sehingga dia terpaksa membatalkan pelayaran ke Siria dan mengambil jalan darat ke Filipi (700 km jalan kaki dari Korintus).[4] 

Jemaat Roma, keseluruhan surat Paulus hadir dengan mendekati sebuah risalat teologis.

Di dalam hampir seluruh suratnya yang lain, dia menghadapi beberapa masalah yang mendesak, berbagai kekeliruan (kesalahan) zaman sekarang, bahaya yang mengancam, itulah momen yang mengancam jemaat yang sedang dituju oleh Paulus.

Tetapi surat Roma paling dekat pada sebuah penjelasan sistematis, terlepas dari beberapa keadaan yang segera harus dituntaskan.[5] 

Ketika Paulus menulis Surat ke Roma pada tahun 58 dan dia berada di Korintus.

Dia masih baru saja mau menghentikan penyelesaian rencananya yang sangat berharga di hatinya. Jemaat di Yerusalem adalah jemaat induk, tetapi merupakan jemaat yang miskin dan Paulus telah mengorganisir pengumpulan (dana) melalui jemaat-jemaat muda untuk jemaat di Yerusalem (I Korin 16:1 dst, II Korin 9: 1 dst).

Ketika Paulus menulis kitab Roma, dia baru saja berangkat ke Yerusalem dengan dana untuk bait Allah di Yerusalem.[6] Mungkin dalam menulis surat ini Paulus membayangkan masalah-masalah di Yerusalem.

Pasal 12:1-2 menandakan peralihan dari pembicaraan mengenai prinsip-prinsip dasar kepada pembicaraan tentang etika, yang dapat dibagi menjadi tiga bagian: a).12:3-21; b).13; c).14:1-14:13.[7]

Surat Roma ditulis pada waktu orang-orang Yahudi diizinkan kembali ke Roma, tetapi hal ini pun berarti bahwa orang-orang Kristen Yahudi itu kini menemukan suatu komunitas Kristen yang amat berbeda dengan apa yang telah mereka tinggalkan.

Dugaan ini menolong mencari penjelasan seluruh persoalan Surat Roma dan menolong menjelaskan nas 13:1 dyb. Apa yang kita miliki di sini bukanlah suatu risalat dogmatis tentang pemerintahan dan negara, tetapi suatu tuntutan akan tingkah laku yang setia guna menghindari maklumat yang baru.

Mengingat parousia yang akan segera datang, doktrin tentang negara juga tidak perlu, sama halnya dengan pembaruan sosial apapun.[8]

Keadaan sekitar kunjungan ke Yerusalem memungkinkan Paulus menulis surat ini kepada jemaat Roma untuk mencapai beberapa tujuan yang dikehendakinya.

Pertama, surat ini merupakan kesempatan untuk memperkenalkan diri kepada jemaat, yang sebagian besar tidak ia kenal secara pribadi. Kedua, ia dapat menyusun, mengevaluasi, dan meringkas argumen-argumen yang mugkin harus dikemukakannya bila khotbahnya dilawan di Yerusalem.

Ketiga, ia tentu sangat memperhatikan keadaan orang Kristen Yahudi yang merupakan minoritas di Roma ketika ia menulis surat ini.

Bagian mengenai orang Yahudi (Rm.9-11) dan bab-bab mengenai hidup dalam kebersamaan (terutama bab14-15) mungkin dimaksudkan untuk merebut hati umat yang minoritas ini.

Bila Paulus berhasil, ia tentu memperoleh dukungan kuat dari mereka bagi kesukaran-kesukaran yang akan ia hadapi di Yerusalem.[9] 

3.2. Tafsiran Roma 12:1-2

Dua ayat pertama dalam bab 12 dibuka dengan tiga seruan kepada orang Kristen di Roma: (1) hendaknya mereka mempersembahkan diri sebagai kurban hidup kepada Allah; (2) hendaknya mereka jangan serupa dengan budaya mereka (melainkan membentuknya); (3) hendaknya mereka membiarkan Allah mengubah mereka melalui Roh-Nya.

Seruan-seruan dibuat berdasarkan apa yang telah dikemukakan dalam surat mengenai hal ini, yaitu sejarah belas kasih Allah terhadap ciptaan-Nya.[10]

Ayat 1 

Aku memohon kepadamu.

Di sini persoalan etika dihadirkan kembali sebagai sebuah kekacauan yang besar.

Tingkah manusia tidak terelakkan lagi harus diganggu dengan pikiran tentang Allah.

Setiap percakapan tentang Dia, berakhir tidak harmonis, sejak hal itu dilakukan oleh manusia tak cukup memungkinkan untuk menanggapi dan menjaga suatu pegangan yang teguh atas subjek tentang apa yang mereka bicarakan.

Kenyataan bahwa etika merupakan sebuah problem mengingatkan kita akan objek tentang apa yang kita bahas tidak memiliki objektivitas, maksudnya hal itu bukanlah sebuah perbendaharaan pengalaman spiritual kita; bukan juga sesuatu yang sangat sukar untuk dipahami.[11]

Jika pemikiran kita tidak palsu, kita harus memikirkan tentang hidup sebagaimana pemikiran kita tentang Allah.

Dan jika kita berpikir tentang hidup kita harus menembus sudut yang tersembunyi itu, dan terus menolak untuk mencoba segala sesuatu bagaimanapun sepele atau menjijikkan hal itu, sebagai sesuatu hal yang menyimpang.[12]

Ayat ini dan berikut merupakan semacam ikhtisar pengenal nasehat-nasehat khusus yang menyusul. Di dalamnya kita seakan-akan menemukan garis merah kehidupan Kristen.

Kata-kata “karena itu”, menghubungkan ikhtisar ini dengan pasal-pasal yang mendahului.

Etika kristen berdasarkan dogmatika. Atau dengan perkataan yang lebih tepat dan sesuai dengan nas ini, kehidupan seorang Kristen merupakan sambutan atas kemurahan Allah terhadap dirinya.

Kemurahan Allah itu telah diuraikan dengan panjang lebar dalam pasal 1-11 pada umumnya dan dalam ayat-ayat yang terdahulu pada khususnya ( bnd. Ayat 31).[13]

Atas kemurahan hati Allah.

Paulus disini tidak mengalihkan perhatiannya pada praktek agama sebagaimana hal itu adalah yang berdampingan dengan teori keagamaan.

Kita telah menemukan sebuah dunia yang besar, teka-teki yang belum terungkap; sebuah teka-teki dimana Kristus kemurahan hati Allah memberikan jawabannya.

Dan karena anugerah Allah adalah jawaban untuk teka-teki itu, kita terpaksa harus kembali pada poin dari mana kita berangkat untuk merumuskan secara tajam, sepenuhnya hal-hal yang perlu, yang tidak dapat dipecahkan.[14] 

Supaya kamu mempersembahkan tubuhmu.

Perkataan Yunani paristanai yang dipakai disini kita temukan juga dalam pasal 6:13, 16, 19.

Di situ pemakaiannya berkaitan dengan suasana lingkungan istana: menyediakan, mengabdikan kepada raja.

Sebaliknya di sini paristanai merupakan istilah peribadatan dari lingkungan bait Allah: mempersembahkan kurban.

Jadi, gagasan dasar di sini sama dengan yang terdapat dalam pasal 6: 12-14 yaitu penyerahan diri kepada Allah secara total, namun penjabarannya berbeda. 

Yang harus dipersembahkan adalah ‘tubuhmu’.

Yang dimaksud tentu bukan bahwa orang percaya harus menyerahkan tubuhnya untuk dibunuh, sebagaimana kadang-kadang terjadi dalam lingkungan agama lain. Bukan juga bahwa mereka wajib menyiksa diri supaya bertambah suci.

Atau bahwa mereka pada masa gereja mengalami penindasan dari pihak pemerintahan, harus mengadukan diri kepada pihak yang berwajib sebagai orang Kristen agar dengan demikian dapat memperoleh kedudukan syahid.

Dalam tafsiran 6: 12 telah dicatat bahwa tubuh kita adalah kehadiran kita ditengah dunia ini, pikiran, perkataan, dan perbuatan kita yang semuanya dapat terjadi dan terungkap lewat beberapa bagian tubuh kita.

Memang apakah yang dapat orang lakukan seandainya tidak mempunyai tubuh?[15]

Dalam hal ini kita mengingat kembali betapa pentingnya pengertian kita bahwa anugerah menjadi kuasa akan kebangkitan, menuntut kita untuk hadir dengan ketaatan dan menyerahkan tubuh kita sebagai pelayan bagi kontradiksi yang suci yang ditentukan untuk kita.

Tuntutan mengenai tubuh kita dan anggota-anggotanya.

Sekarang, tubuh itu kelihatan berhubungan dengan sejarah manusia yang hanya kepadanya kita memiliki pengetahuan. Ketika manusia itu bertemu manusia baru dalam Kristus, dia dikurung dan dibuat ragu-ragu sama sekali oleh rahmat Tuhan.[16]

Paulus di sini menggunakan istilah persembahan.

Bagi umat Kristen, ibadah sejati tidaklah terdiri dari persembahan kurban sebagaimana yang ditawarkan oleh orang Yahudi dan oleh orang kafir. Keduanya tidak hanya memberikan jiwa atau roh manusia kepada Allah, seperti pemikiran beberapa filosof Yunani; tidak juga hanya dalam memuji Allah dalam pelayanan ibadah gereja.

Orang Kristen harus beribadah kepada Tuhan dengan tubuh mereka dalam semua aktivitas tubuh dan pikiran sehari-hari. Mereka harus hati-hati mengingat apa-apa saja kelakuan yang berkenan dengan kehendak Allah, dan kemudian membuat perlakuan mereka menjadi pola hidup mereka. Jenis ibadah ini adalah ibadah rohani dan ‘layak’.[17]

Maka yang hendak dikatakan Paulus di sini ialah seluruh pikiran, perkataan dan perbuatan, pokoknya seluruh kemampuan dan kegiatan kita harus dipersembahkan kepada Tuhan. Hal itu membawa kita pada beberapa pertimbangan.

Pertama, bahwa ”mempersembahkan” berarti penyerahan secara total. Kita tidak dapat menyisihkan sebagian untuk dipegang sendiri atau diserahkan kepada pihak lain. Pun, kurban itu harus bersifat sempurna.

Kedua, bahwa selain tubuh itu tidak ada kurban lain yang harus dipersembahkan orang Kristen. Bukan pemberian kita yang Tuhan kehendaki, tetapi Ia menghendaki kita sendiri.

Oleh karena itu juga persembahan itu dikatakan persembahan hidup. Perkataan “hidup” itu dipakai bukan karena kita sendiri memang hidup, bertentangan dengan hewan kurban yang mati. Kata “hidup” di sini mempunyai arti yang sama seperti dalam 6:4, “yang hidup dalam hidup yang baru”. Hidup yang baru itu dibangkitkan oleh Roh Kudus (8:11).

Dan karena orang percaya hidup bagi Allah, mereka telah mati bagi dosa. Jadi persembahan yang hidup adalah penyerahan diri kita untuk menempuh kehidupan baru, yang menjauhi dosa dan menentang kuasa dosa itu. 

Persembahan itu dikatakan juga kudus.

Dengan demikian diungkapkan bahwa “tubuh” = kehidupan kita bukan lagi milik kita sendiri. Sebab mempersembahkan kurban berarti kurban itu diserahkan menjadi milik Allah.[18] 

Ibadah yang sejati dalam bahasa Yunani adalah logike latreia, berarti: pengabdian, dan kalau dipakai dalam hubungan dengan dewa-dewa: “ibadah”. Istilah logikos tidak terdapat dalam PL berbahasa Yunani.

Dalam PB, selain disini, kita hanya menemukannya dalam I Petrus 2:2, artinya agak dekat dengan pneumatikos “rohani’.

Dalam lingkungan helenistis, termasuk Yahudi helenistis, logikos dipakai dengan arti (ibadah, persembahan) yang batiniah, yang rohani. Itulah artinya yang khusus.

Dari situlah timbul pengertian yang lebih umum: ibadah itu dianggap “yang sejati, yang wajar, bertentangan dengan yang jasmani”. Pertentangan yang ditandai oleh istilah logikos bukanlah pertentangan lahir batin ataupun upacara ibadah-kehidupan sehari-hari, melainkan sesuai dengan kehendak Allah-tidak sesuai dengan kehendak Allah (‘hidup’, ‘kudus’.[19]

Ayat 2

Menyesuaikan diri...berubah : manusia hidup di dunia ini dan memiliknya.

Mereka lebih berfikir tentang apa yang hendak dimakan (pada hari esok) daripada tentang Allah, lebih mengarah pada soal keuntungan daripada tentang melayani Allah.

Hal ini adalah manusiawi. Paulus telah memaparkan situasi ini pada 1:18-32. tetapi manusia yang memiliki Kristus, memiliki hari Tuhan yang baru, dan seharusnya tinggal di jalan yang sesuai dengan zaman (hari) yang baru itu.

Ini tidaklah mudah karena kita masih tinggal di zaman sekarang dan cenderung untuk berpikir dan berlaku demikian di sekitar kita.[20] 

Dalam bahasa Yunani umum, skhema berarti ‘kerangka’, pola. Rupa, sosok, dengan menekankan sifat lahiriahnya.

‘Persembahan tubuh’ dan ‘ibadah’ yang idsebut dalam ayat 1 memiliki segi negatif dan positif. Segi negatif ialah; orang Kristen tidak boleh lagi membiarkan pola hidupnya ditentukan oleh dunia. Menurut terjemahan harafiah; “jangan lagi biarkan dirimu menjadi sepola dengan dunia ini”. Dunia merupakan terjemahan perkataan Yunani aion.

Artinya: masa yang sangat panjang, masa hidup dunia. Kata-kata “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini”: tidak boleh ditafsirkan seakan-akan orang percaya diajak untuk menjauhi dunia, dalam arti kenyataan jasmani.

Yang dimaksud di sini bukanlah anjuran untuk beraskese (bertapa). Sekali lagi, tafsiran semacam itu dicegah oleh dekatnya perkataan ‘tubuh’ dalam ayat 1.[21]

Secara positif, anjuran Paulus berbunyi: berubahlah oleh pembaharuan budimu. Atau, menurut terjemahan yang mungkin lebih tepat:’biarlah rupamu diubah terus”. Rupa itu bukan hanya segi manusia yang lahiriah.

Seperti yang nampak dalam Flp.3:21, baik pola maupun rupa bagi Paulus mengandung pengertian: wujud, yang menunjukkan hakikat. Maka perubahan yang diharapkan dari orang-orang percaya itu bukan hanya perkara lahiriah saja.

Yang diharapkan ialah perubahan hati, yang terwujud dalam seluruh kehidupan. Perubahan itu berlangsung oleh pembaharuan budimu. Perkataan Yunani nous, yang di sini diberi terjemahan ‘budi’ muncul juga dalam 1:28, dalam 7:23 dan 25, dan baru saja dalam 11:34.

Kata ini dipilih karena dalam hubungan ini memang yang dimaksud ialah perubahan kelakuan manusia, bukan perubahan pikirannya saja. Yang dimaksud ialah: pusat kemauan kita, yang mengambil keputusan-keputusan ysng menentukan tindakan kita.

Pusat itu perlu diperbarui. Kita telah melihat bahwa pembaruan hidup dikerjakan oleh Roh Kudus (7:6; 8:4). Namun di sini manusia sendiri juga diajak untuk membarui diri. Pendekatan ganda seperti itu sudah kita temukan pula dalam tafsiran 9:16.

Bagian kedua ayat ini menyebut hasil pembaharuan budi.

Tujuannya ialah: sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah.

Kata kerja Yunani dokimazein berarti: memeriksa, menguji. Ternyata kehendak Allah tidak dengan sendirinya jelas, karena 2 alasan.

Pertama, karena dalam kehidupan sehari-hari seorang Kristen dihadapkan dengan berbagai keadaan. Sering kali adalah sulit baginya untuk begitu saja menentukan sikapnya.

Lebih-lebih pada masa kini, dari perkembangan teknis yang begitu cepat di berbagai bidang, orang Kristen tidak begitu saja dapat menetukan apakah dia boleh menggunakan aneka ragam sarana mutakhir.

Kita dapat membayangkan perkembangan di bidang medis atau bidang teknologi nuklir. Dalam semua hal itu diperlukan pertimbangan matang-matang sebelum kita dapat menentukan (itupun dengan hati-hati) manakah kehendak Allah.

Kedua, kita diajak untuk mengusahakan budi kita dalam mencari kehendak Allah, karena Allah bukanlah kitab hukum. Allah tidak menyajikan kepada kita peraturan-peraturan yang menunjuk jalan kepada orang Kristen sekaligus mengikatnya sebab Injil itu bukanlah hukum yang baru, tetapi justru memberi kita kebebasan anak-anak Allah (8:15,21).[22]

Anjuran ini diarahkan oleh Paulus kepada setiap anggota jemaat di Roma. Orang-orang Kristen bukan individu-individu yang hidup sendiri-sendiri. Mereka merupakan satu tubuh (ay.4).

Maka dalam mencari kehendak Allah pun mereka akan berkumpul dan saling meminta nasihat. Apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna, mungkin kita anggap luapan kata-kata ini agak berlebihan.

Tetapi agaknya dalam jemaat Roma ada yang cenderung untuk mengutamakan kebebasan orang percaya tersebut di atas sedemikian rupa, hingga mereka tidak mau lagi terikat kepada peraturan-peraturan bagi kelakuan mereka.

Terhadap orang seperti itu perlu dipentingkan bahwa melakukan kehendak Allah adalah melakukan yang baik. Dari Gal 6:10 dan 1Tes 5:15 kita tahu bahwa yang baik itu adalah perbuatan yang sederhana dan sangat konkret: menolong orang yang berkebutuhan, mengampuni mereka yang bersalah terhadap kita.[23]

Dengan menambahkan ‘yang berkenan kepada Allah’ Paulus memberi lagi penjelasan mengenai apa itu yang baik. Yang baik itu bukanlah suatu asas yang abstrak.

Tetapi yang baik itu menyatakan diri dalam pergaulan antara seorang percaya dengan Allah. Pergaulan itu menuntut pengabdian sepenuhnya. Itulah makna ‘yang sempurna’. Perkataan ‘sempurna’ ini sekaligus menentukan arti ‘yang baik’ dan ‘yang berkenan’.

Yang baik dan yang berkenan itu bukanlah sesuatu yang dapat kita jangkau, yang dapat kita anggap sebagai sudah terlaksana. Tetapi kesempurnaannya merupakan tujuan yang selalu harus kita kejar.[24] 

3.3. Skopus

Mempersembahkan tubuh (diri) dan melakukan kehendak Tuhan, itulah ucapan syukur yang sejati.

3.4. Muatan Teologi

Jika kita adalah milik Allah, kita bukanlah milik dunia. Iman Kristen sungguh-sungguh tidak mengeluarkan manusia dari dunia ini, cukup menempatkan mereka di tengah-tengahnya, tetapi iman itu menjauhkan mereka dari cinta mereka terhadap dunia ini.

Hukum dan jalan-jalan duniawi tidak dapat lebih lama dimiliki setelah menjadi milik Allah. Berserah kepada Allah adalah sekaligus merupakan suatu perubahan dari jalan-jalan duniawi ini.

Seseorang tidak dapat menyenangkan (melayani) dunia dan Allah secara bersamaan. Seseorang “tidak dapat melayani Allah dan mammon” (Mat.6:24). Seluruh hidup, oleh sebab itu, harus direkonstruksi (dibangun kembali) sesuai dengan perencanaan/rancangan hidup baru.[25] 

Tidak ada tuntutan Kristen yang lebih karakteristik daripada mempersembahkan tubuhnya kepada Tuhan.

Umat Kristen percaya bahwa tubuhnya milik Allah sebagaimana jiwanya, dan dia dapat melayani Allah dengan tubuhnya seperti yang dilakukannya juga dengan pikiran atau jiwa (rohnya).

Tubuh adalah bait Roh Kudus, tempat dimana Roh Kudus tinggal, dan alat dimana Roh Kudus bekerja. Setelah itu, realita besar akan inkarnasi pada dasarnya berarti bahwa Allah sendiri tidak dendam untuk mengambil tubuh manusia atasNya, dan hidup di dalamnya dan bekerja melaluinya.

Tubuh dibangun bagi pelayanan ibadah manusia kepada Allah.

Tetapi itu tidak harus dibentuk dengan pemikiran para arsitek; harus dibangun oleh tangan para tukang (ahli) dan para pekerja; hanya kemudian itu menjadi sebuah tempat yang suci dimana manusia berkumpul untuk beribadah. Hal itu benar-benar sebuah hasil dari pikiran, tubuh, dan jiwa manusia.[26] 

3.5. Teologi Ibadah dalam PL

Allah para Bapa leluhur tampak sebagai pemberi janji/perjanjian yang penuh kemurahan. Dia memilih Israel untuk menjadi ahli waris berkat-berkat yang telah diberikanNya kepada para Bapa Leluhur.

Namun Dia berbuat demikian bukan karena kebersamaan atau kelayakan Israel (Ul.7:7). Israel merupakan bangsa yang lemah, terhina, tertindas. Dalam proses pembebasannya, Allah memaksa Firaun menyelamatkan mereka tanpa bantuan tangan manusia.[27]

Dalam segala perkara ini Allah menyatakan diri sebagai Allah yang berkemurahan, Allah yang tersinggung kalau manusia memeras manusia, Allah yang memilih, Allah yang Maha Kuasa. Waktu Musa mengantar umat itu ke gunung suci, di situ mereka memasuki perjanjian dengan Allah. Oleh karena Dia telah membebaskan mereka, mereka berjanji akan menyatakan rasa terima kasih mereka dalam pelayanan terhadap Dia, sedang Dia membebankan perintah-perintah-Nya atas mereka.

Perjanjian itu tidak merupakan kontrak atau persetujuan dagang dengan Allah, melainkan respons terhadap apa yang sudah dikerjakan Allah demi mereka.

Disitu berarti timbul kewajiban moral yang menuntut ketaatan Israel terhadap kehendak Allah.

Kehendak Allah itu tidak dirumuskan terutama dalam bentuk ritus-ritus yang perlu dilaksanakan, melainkan sebagai petunjuk-petunjuk yang menuntut perbuatan dan kelakuan yang sesuai. Di antara hukum-hukum dan perintah yang disampaikan melalui Musa, maka Dasa Titah mendapat tempat yang utama.

Nabi Amos juga menyampaikan Firman Tuhan yang bertanya:

“apakah kamu mempersembahkan kepada-Ku korban sembelihan dan korban sajian, selama empat puluh tahun di padang gurun itu, hai kaum Israel?” (Am.5:25). Maka, menurut pengertian yang lazim, ayat ini berarti bahwa pada zaman Keluaran tidak ada persembahan kurban. Dan kita dapat melihat lagi dari laporan Yeremia: “Sungguh, pada waktu Aku membawa nenek moyangmu keluar dari tanah Mesir Aku tidak mengatakan atau memerintahkan kepada mereka sesuatu tentang korban bakaran dan sembelihan; hanya yang berikut inilah yang telah Kuperintahkan kepada mereka: dengarkanlah suaraKu, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku” (Yer.7:22-23).[28]

Maka kesimpulannya adalah panggilan Tuhan di Sinai menuntut ketaatan; dan ketaatan sebagaimana dirumuskan dalam Dasa Titah adalah bukan soal upacara kultis melainkan soal kelakuan yang sesuai.

Yahweh lebih mementingkan perbuatan dan tabiat daripada ritus. Apa yang perlu disyukuri pada waktu itu? Tidak lain adalah pembebasan dari tanah Mesir. Inilah yang menjadi titik tolak ibadah dalam PL (historis teologisnya).

Ibadah adalah tanggapan hati yang percaya kepada Allah. Kultus adalah istilah yang dipakai para sarjana Alkitab untuk aspek-aspek formal dan ritual dari peribadatan dalam PL.

Kultus atau upacara ibadah hanyalah merupakan bentuk tanggapan Israel terhadap penyingkapan Allah. Uraian yang disiapkan Perjanjian Lama mengenai ibadah menekankan bahwa seluruh kehidupan Israel berada dalam kekuasaan Allah.

Hubungan mereka dengan Allah dibuat, diteguhkan, dan diperbarui dalam upacara ibadah itu.

Upacara ibadah yang ditentukan Allah bagi Israel harus menjadi pengungkapan yang nyata dari iman mereka. Namun, iman yang sungguh-sungguh ingin menyatakan dirinya secara lahiriah.

IV. Penggabungan Teologi Ibadah Dari PL dan PB

Allah dalam rahmat-Nya yang berdaulat telah berkenan untuk memberikan diri-Nya dalam Roh Kudus kepada orang lemah, rusak, dan berdosa, dan hal ini merupakan alasan tertinggi bagi ibadah dan syukur kita. Banyak hal yang telah, sedang, dan akan dilakukan Allah melalui persatuan orang dengan Kristus. Semuanya itu adalah alasan untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya.[29] 

Sebenarnya jiwa ibadah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah sukacita. Bersukacita bertemu dengan Allah dan memberikan persembahan kepadaNya. Hal ini juga nampak dari syair-syair pemazmur yang memuji-muji kasih setia Allah di setiap waktu mereka, dimana mereka luput dari marabahaya, serangan musuh, atas segala kebaikan Allah sebagai gembalanya.

Dimana Tuhan bertindak, di situ dikerjakan-Nya perbuatan ajaib menurut maksud-Nya yaitu rancangan-Nya yang tak terbayangkan manusia, rencana keselamatan-Nya itu pasti dilakukannya untuk kita, demi pembebasan kita. Dalam semuanya itu, Tuhan menyatakan diri sebagai yang tak terbandingi. Itulah sebabnya manusia tidak dapat membalas tindakan Allah itu dengan suatu pemberian berupa korban.[30]

Sesuatupun yang diusahakan manusia tidak dapat mengimbangi perbuatan-perbuatan ajaib Tuhan; tidak ada jasa yang dapat disodorkan kepada Allah, apa saja yang manusia perbuat bagi Tuhan diberikan kepadanya oleh Tuhan sendiri:

“Engkau membuka telinga (harf: Engkau menggali telinga bagiku) untuk mendengar seperti seorang murid” (Yes.50:4-5). Sebenarnya manusia tidak dapat mendengar, melihat, dan mengerti kalau Tuhan sendiri tidak membuka telinga, mata, dan hatinya.

Ketika seorang percaya masuk ke dalam bait suci untuk mengucap syukur, di situ ia datang menyerahkan diri sendiri, dengan merelakan dirinya menjalankan kehendak Allah. Untuk mengetahui apa yang berkenan kepada Allah, dibutuhkan suatu pedoman, yang diberikan kepadanya dalam Alkitab.[31] 

V. REFLEKSI

Gereja berfungsi seperti kelompok imam yang mempersembahkan kurban syukur kepada Allah. Bila gereja mengenal tanggung jawabnya untuk mempersembahkan ibadah maka hal ini cocok dengan arti dasar kata ‘latreia’ yaitu “kebaktian atau pelayanan”.

Sayang, terlalu sering orang mengikuti ibadah dengan pikiran, “Apa yang dapat saya peroleh dari kebaktian ini?” Sedangkan pikiran yang lebih tepat ialah “Apa yang dapat saya persembahkan (kepada Tuhan) dalam kebaktian ini?”

Orang-orang percaya hanya dituntut untuk mempersembahkan dirinya kepada Allah, yaitu melakukan ibadah dengan benar, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial sebagai aplikasi responnya terhadap kasih Allah

 Allah tidak meminta orang-orang percaya untuk mempersembahkan seluruh harta miliknya atau tubuhnya untuk dijadikan korban persembahan (korban sajian atau bakaran), tetapi menjadikan dirinya seorang hamba yang taat kepada Allah. Hanya satu yang diinginkan-Nya, yaitu mengasihi Dia dengan sepenuh hati, jiwa, dan kekuatan kita.

Kita mengasihi Dia, tentu juga mengasihi semua ciptaan yang lain. Kita melayani sesama dengan kasih kita tehadap Dia, menyayangi makhluk ciptaan yang lain sebagai ucapan syukur kita atas segala karunia-Nya, itulah ibadah kita yang sejati.

VI.  KESIMPULAN

Ibadah adalah pelayananan dan persembahan umat kepada Tuhan. Apa yang harus dipersembahkan? Tidak lain adalah tubuh, dalam arti seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan, pokoknya seluruh kemampuan dan kegiatan kita harus dipersembahkan kepada Tuhan.

Ini berarti penyerahan secara total akan hidup kita. Oleh karena itulah persembahan itu disebut juga sebagai persembahan yang hidup. Dan karena tubuh kita dipersembahkan khusus menjadi milik Tuhan, maka persembahan itu disebut juga kudus.

Ibadah adalah persekutuan antara umat dengan Tuhan. Yang bersekutu di sini bukan hanya jasmani tetapi juga pikiran, hati, dan jiwa kepada Tuhan. Ibadah tidak terbatas pada puji-pujian bersama dan pelayanan Firman, tetapi seharusnya diteruskan dan dijadikan sikap seluruh hidup. Ibadah harus menjadi pola hidup, sehingga terwujudlah apa yang dikatakan dalam Kol.3:17 “segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukanlah itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita”.

[1] James Hastings, Encyclopedia of Relegion and Ethics vol.29, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1955), hlm.527.
[2] Riemer G, Cermin Injil, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995), hlm.52
[3] J.D. Douglas (ed.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini jilid I, (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2004), hlm.409.
[4] Th.Van den End, Tafsiran Alkitab: Surat Roma, (Jakarta:BPK-GM,2000), hlm 3
[5] William Barclay, The Letter to The Romans, (Philadelphia: The Westminster Press, 1957), hlm.xxi
[6] Ibid, hlm.xxiii
[7] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru, (Jakarta:BPK-GM, 2005), hlm.109
[8] Ibid, hlm.115-116
[9] Dianne Bergant & Robert J.Karris (ed.), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm.250.
[10] Ibid, hlm. 265.
[11] Edwin C. Hoskyns, The Epistle To The Romans, (London: Oxford University Press,1960), hlm.424
[12] Ibid, hlm.425.
[13] Th. Van den End, op.cit, hlm.562
[14] Edwin C.H, Op.cit, hlm.426
[15] Th. Van den End, Op.cit, hlm.562
[16] Edwin C.H, Op.cit, hlm.429
[17] Roger Bowen, A Guide to Romans, (London: SPCK, 1975), hlm. 157.
[18] Th. Van den End, Op.cit, hlm.564
[19] Ibid, hlm.566
[20] Roger Bowen, Op.cit, hlm.157.
[21] Th. Van den End, Op.cit, hlm.567.
[22] Ibid, hlm.568
[23] Ibid, hlm.569
[24] Ibid, hlm.570.
[25] Emil Brunner, The Letter to The Romans A Commentary, (Philadelphia: The Westminster Press, 1952), hlm.102.
[26] Ibid, hlm. 168.
[27] H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuno, (Jakarta:BPK-GM, 2002), hlm.30
[28] Ibid, hlm.31-33.
[29] Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, (Jakarta: BPK-GM, 2003), hlm.285.
[30] Marie C. Barth& B.A. Pareira, Tafsiran Alkitab Kitab Mazmur 1-72, (Jakarta:BPK-GM, 2003), hlm. 422.
[31] Ibid, hlm.423.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun