Di situ pemakaiannya berkaitan dengan suasana lingkungan istana: menyediakan, mengabdikan kepada raja.
Sebaliknya di sini paristanai merupakan istilah peribadatan dari lingkungan bait Allah: mempersembahkan kurban.
Jadi, gagasan dasar di sini sama dengan yang terdapat dalam pasal 6: 12-14 yaitu penyerahan diri kepada Allah secara total, namun penjabarannya berbeda.Â
Yang harus dipersembahkan adalah ‘tubuhmu’.
Yang dimaksud tentu bukan bahwa orang percaya harus menyerahkan tubuhnya untuk dibunuh, sebagaimana kadang-kadang terjadi dalam lingkungan agama lain. Bukan juga bahwa mereka wajib menyiksa diri supaya bertambah suci.
Atau bahwa mereka pada masa gereja mengalami penindasan dari pihak pemerintahan, harus mengadukan diri kepada pihak yang berwajib sebagai orang Kristen agar dengan demikian dapat memperoleh kedudukan syahid.
Dalam tafsiran 6: 12 telah dicatat bahwa tubuh kita adalah kehadiran kita ditengah dunia ini, pikiran, perkataan, dan perbuatan kita yang semuanya dapat terjadi dan terungkap lewat beberapa bagian tubuh kita.
Memang apakah yang dapat orang lakukan seandainya tidak mempunyai tubuh?[15]
Dalam hal ini kita mengingat kembali betapa pentingnya pengertian kita bahwa anugerah menjadi kuasa akan kebangkitan, menuntut kita untuk hadir dengan ketaatan dan menyerahkan tubuh kita sebagai pelayan bagi kontradiksi yang suci yang ditentukan untuk kita.
Tuntutan mengenai tubuh kita dan anggota-anggotanya.
Sekarang, tubuh itu kelihatan berhubungan dengan sejarah manusia yang hanya kepadanya kita memiliki pengetahuan. Ketika manusia itu bertemu manusia baru dalam Kristus, dia dikurung dan dibuat ragu-ragu sama sekali oleh rahmat Tuhan.[16]