Mohon tunggu...
Ricardo Siahaan
Ricardo Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Telah menulis buku yang diterbitkan Elex Media Komputindo Jakarta dan Andi Offset Yogyakarta buku tentang desain arsitektur 2D dan 3D serta Animasi

Telah menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jatuh Hati

1 November 2024   16:44 Diperbarui: 9 Desember 2024   12:16 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 1

Jatuh Hati

Saat melakukan transfer, Lusi sempat menoleh ke arah luar dan tatapannya tertuju pada sosok pria dewasa sedang menunggu dengan sikap wajah yang tampak sabar.
Dirinya tak menyangkal jika pria yang sedang menunggu diluar sangatlah berpenampilan sederhana namun memiliki wajah tampan. Meskipun hanya mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga melewati pergelangan tangan dan dipadukan celana jins warna pudar serta sepatu boot hitam, tetap terlihat mempesona.

Hmm, gumam Lusi sambil mencoba menerka asal pria tersebut.  Dan secepat kilat ia dapat memastikan jika pria yang sudah mampu menggelitik hatinya itu bukanlah asli dari daerah sini.
Dengan nekat  Lusi melancarkan serangan, meskipun ada sedikit keraguan.

Ternyata ia tak bertepuk sebelah tangan, saat membuka pintu dan tersenyum Lebar, langsung dibalas pria yang sudah menunggu sejak tadi.

Ketika melangka dan menjauh dari mesin ATM, dia merasakan kalau pria tersebut sedang menatap punggungnya.

Penasaran, serta diikuti gemuruh detak jantungnya tak ingin ia biarkan begitu saja. Hati kecilnya seakan berbisik dan mengatakan agar berhenti. Sejenak Lusi menghentikan langka kakinya, dan segera berbalik.

Didapatinya tatapan pria itu, seakan ingin mengatakan sesuatu padanya. Seperti berharap untuk tidak secepat mungkin pergi dari tempat itu.

Ah, mungkin aku saja yang terlalu Berharap, gumam Lusi berusaha menepis segala gemuruh dan gejolak didalam hatinya.

Kemudian secepatnya membalikkan tubuhnya dan segera menuju halte.

Namun apa yang telah terjadi?

Hanya 2 sampai 3 menit, pria tadi sudah berada disampingnya. Membuat hatinya berdebar saat mencium bau tubuh maskulin.

"Mau ke kampus?" Lusi yakin pertanyaan itu ditujukan padanya.

"Tahu dari mana aku kuliah?"

"Tampang anak kuliahan udah kelihatan banget."

"Oya?" Tanya Lusi yang tak ingin langsung mengiyakan.
"Ya, kira-kira gitu deh," sahut pria itu seakan membenarkan.

Tiba-tiba angkot yang ditunggu sudah berhenti di depan halte.

"Mau naik ini juga?"

Pria itu menggangguk.

Angkot yang mereka naiki menuju terminal pusat kota tidak terlalu lama dalam perjalanan karena bukan pada waktu jam macet, hanya berkisar kurang lebih sepuluh menit.
Di terminal, saat turun pria itu memberikan ongkos ke supir angkot.
"Dua orang," ucapnya.

"Thanks...," balas Lusi.

"Minta nomornya dong?," pintanya sambil mengeluarkan handphone dari saku jins.
Laki banget, bisik hatinya tanpa melepas tatapan dari wajah tampan yang sedang menekan screen handphone.

Semakin lama menatap, semakin membuat detak jantungnya berdegup tak beraturan.

Entah apa ini namanya. Jatuh hati? Bisik hatinya.

Someone, ketik pria itu pada notifikasi kontak baru.

Saat kedunya berpisah, akankah sama-sama merasakan sesuatu? Hingga sepenggal puisi turut menyuarakan isi hati keduanya, meskipun apa yang akan terjadi dihari esok. Belum dapat dipastikan seperti apa kisah di ujung esok.


***

Lusi duduk di bangku koridor kampus.

Handset bluetooth yang nempel ditelinganya mengalunkan single duet Anggi dan Mario, Tak Ingin Kau Terluka.

Ingatannya masih terngiang dengan kejadian saat perkenalannya tadi.

Sambil meresapi arti pada bagian tertentu dari syair lagu Tak Ingin Kau Terluka. Sepertinya Lusi sedang membuat janji, tidak akan pernah berbuat hal yang bodoh hingga membuat pria yang baru dikenalnya tadi tersakiti.

Jujur, ku ingin pelukmu

Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, seperti dimasa lalu.

"Wah... wah..., sepertinya ada yang lagi... ehem... ehem," goda seseorang yang tiba-tiba muncul dan langsung duduk disampingnya.

"Rara, bikin kaget aja," ucap Lusi sambil melepas handset dari telinga.

Rara tetsenyum lebar dan berharap sahabatnya itu mau berbagi tentang apa yang telah membuatnya terlihat sangat bahagia.

"Hari ini aku happy banget," ucap Lusi  tanpa menunggu lama.

Terdengar tarikan dan hembusan napas Rara sambil menatap dalam sepasang mata sahabatnya itu.

"Udah kelihatan kok dari mata kamu," ujar Rara terdengar menggoda.

"Ah, sok tau kamu," sahut Lusi protes

"Haahaaa... haaaa...," tawa Rara lepas.

Lusi membelalakkan kedua matanya, agar tawa Rara terhenti.

"Sorry, aku ikut senang kok kalau kamu bahagia," Rara beralasan.

"Tapi, ini juga belum pasti..." ucapnya terdengar kecewa.

"Aku yakin kok, pasti itu cowok balik hubungi kamu," ucap Rara memberi semangat.

"Kamu yakin?" Tanya Lusi seakan ingin mendapatkan jawaban sesuai dengan harapannya

"Mana handphone kamu?"

"Mau ngapain?"

"Biar aku WA."

"Gila kamu."

"Lagian..., kamu nggak yakin."

"Iya... ya..., awas jangan nekat ya?"

"Nggak..., ayo ke kelas," sahut Rara mengalihkan pembicaraan. Kemudian menarik tangan Lusi dan pergi dari koridor kampus.

***

Tanpa basa-basi dengan teman kerja yang bersebelahan meja kerja mereka, Bagas duduk di kursi meja kerjanya dan menekan tombol power pada laptop.

Mulai konsentrasi dengan salah satu file desain bangunan rumah minimalis 3 dimensi masih perlu penyempurnaan warna. Antara warna tembok dengan kusen. Sehingga pada beberapa tampilan dari tampak 3 dimensi dan beberapa tampilan perspektif akan terlihat serasi.

Kemudian membuka ulang Bab empat proses pewarnaan tembok, kusen pintu dan jendela 3 dimensi. Pada Subbab yang harus diganti gambar tembok dan kusen 3 dmensi yang direvisi pada drawing work Autocad.

Beberapa teman kerjanya melihat Bagas yang terlihat serius.

Hari ini pekerjaan cukup banyak, hingga membuat beberapa rekan kerjanya merasa enggan untuk menyela.

"Pagi Mbak," sapa Bagas sambil memperhatikan beberapa rekan kerjanya yang tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Pagi, Bang...," terdengar suara lembut.

"Dimana nih?"

"Kantorlah..., emang dimana?"

"Kirain masih dirumah, makanya aku video call."

"Emang apa bedanya di rumah dan Kantor?"

"Jelas beda dong..." sambil menatap satu persatu rekan kerja yang saat itu ikut mendengar video call dengan salah satu editor bukunya.

"Oya? Kira-kira apa tuh bedanya?"

"Kalau di kantor yang kita bahas nggak jauh-jauh dari buku, kalau di rumah... pasti ada yang lebih menarik dong."

"Ooo gitu, lain kali Abang video call pas aku di rumah," ucapnya seperti memberi saran.

"Emang boleh? Nggak ngeganggu nih?"

"Boleh-boleh aja, sih. Terus kapan ke Jakarta?" Sahutnya sambil bertanya mengalihkan topik pembicaraan
"Tau dari mana?"

"Sekretaris redaksi."

"Mbak Nana?"

"Iya."
"Sebenarnya mau ke Bandung, itu pun turun di Surabaya. Nanti setiap hari sabtu, kalau memungkinkan pastilah aku mampir ke redaksi," jelas Bagas.

"Kok turunnya di Surabaya? Kenapa nggak lewat Jakarta terus ke Bandung?"

"Budgetnya harus lewat Surabaya, sih,"

"Ooo... gitu? Terus kamu masih punya waktu berapa hari sebelum kegiatan di Bandung?"

"Tiga hari, sih. Emang kenapa?"

"Besok aku pulang ke Surabaya, aku jemput di Bandara ya?"

Bagas masih terdiam, tak langsung mengiyakan. Yang ada dalam pikirannya adalah segudang tanda tanya serta pikiran yang mengembara kemana-mana.

"Abang, kamu masih dengar aku?" Tanyanya.

"Mmmhh, iya. Masih kok," sahutnya masih dengan penuh tanya.

"Oya, terus ada revisi kapal layar 3 dimensi pada Bab empat ya?" Bagas langsung mengalihkan pembicaraan.

Dan menurutnya itu lebih baik, karena tak ingin terhanyut dengan apa yang selama ini menyesaki hati dan pikirannya.

"Betul Bang, supaya animasi kapal layar terlihat lebih riil ya. Hanya itu, sih."

"Oke. Makasih, Mbak. Daaa..." Ucapnya dan segera mengakhiri.
"Daaa..."
"Waaah..., bisa seakrab itu?" Sambung Dirk, salah satu rekan kerjanya.

"Udah lama kenal sama dia, jauh sebelum jadi editor aku."

"Gimana ceritanya, tuh?" Rid tampaknya penasaran.

"Masih jaman SMA kelas dua di Surabaya dia ikut lomba model rambut untuk salah satu produk shampo yang diselenggarakan majalah remaja bergender cewek waktu itu," jelas Bagas sambil menatap satu persatu keempat rekan kerjanya.

"Terus...?" Tampaknya Jeane penasaran dan tak sabar ingin mendengar kelanjutannya.

"Tau sendiri kan..., waktu itu belum ada yang namanya handphone."

"Terus gimana nih ceritanya..," sambung Rid ingin yang juga ikut penasaran dan ingin segera mendengar dari mulut Bagas.

"Saat melihatnya pertama kali di majalah, apa sih yang membuat kamu tertarik?" Tanya Jeane sedikit penasaran, sehingga membuat yang lain ikut tersenyum.

"Ya..., apa ya? Mmmmh..., aku melihat tidak hanya wajahnya yang rupawan... Tapi juga merasakan bahwa dia seorang gadis yang sangat cerdas," jelas Bagas.

"Kayaknya masih klise," Jeane belum merasa puas.

"Aku percaya sih apa yang dikatakan Bagas," Dirk membenarkan alasan Bagas.

"Kalau mau jujur ya...," ucapan Jeane terhenti, lalu menatap satu persatu wajah rekan kerjanya.

"Setiap cowok saat tertarik pada yang namanya Hawa, itu karena kecantikan yang dimiliki," jelas Jeane, masih dengan menatap satu persatu  wajah dari cowok teman kerjanya itu.

Ruang itu tampak hening.

Lalu terlihat Bagas tersenyum, seolah membenarkan ucapat Jeane. Apa yang dikatakan Jeane barusan, tidaklah salah. Dimana setiap pria lebih dominan melihat fisik seorang wanita. Ah, apakah dirinya termasuk dari salah satu pria yang dimaksud Jeane?

 "Ayolah, kalian semua pasti setuju dengan yang aku katakan barusan," ucap Jeane hingga memecah kesunyian diantara mereka.

Bersambung ke Bab 2

Bab 2

Menunggu Dengan Galau

Lusi masih menelungkup dengan posisi handphone berada di atas kepala. Padahal dia tahu sangat berbahaya kalau meletakkan peralatan elektronik saat tidur dengan cara itu.

Sejak perkenalannya dengan someone, dirinya berharap secepat mungkin dihubungi kembali. Agar tidak seperti saat ini tenggelam dirundung galau. Lusi sangat berharap someone segera menghubungi lembali.

Sejak semalam Lusi menantikan, karena menurutnya dimalam hari pasti sedang tidak melakukan aktifitas dibandingkan siang hari.

Dan pagi ini, Lusi masih merasa mengantuk akibat terlambat tidur.

Lusi membalikkan tubuhnya pada posisi telentang hingga sepasang matanya tertuju pada Plafon Kamar.

Tiba-tiba bunyi getar handphonenya. Tanpa menoleh, salah satu tangannya menjangkau.

Hmm... Rara, bisiknya saat screen handphone memperlihatkan notifikasi nama Rara.

"Halo, Ra...," terdengar suara Lusi mengantuk.

"Kuliah, nggak?" Tanya Rara penuh rasa khawatir.

"Iya dong...," sahut Lusi asal-asalan.

"Masih ngantuk gitu?" Tanya Rara

"Habis..., mau gimana lagi?"

"Namanya juga menunggu." Rara mulai menggoda.

"Awas kamu ya?" Ancam Lusi.

"Sampai jam berapa?"

"Tiga pagi."

"Gila banget, sampai segitu amat?" Rara masih terus menggoda.

"Gitulah." Sahut Lusi pasrah.

"Kamu pasti lagi galau, nih." Ucap Rara.

"Hee...eeh."

"Kasihan banget. Lebih baik kamu mundur," saran Rara.

Sekejap Lusi bangun dan duduk bersilah di atas tempat tidur.

"Kok kamu sarannya seperti itu, sih?"

"Daripada kamu ntar sakit benaran? Coba gimana?"

"Ah, masa sih sampai gitu?"

"Tuh, hidung kamu udah bunyi bindeng-bindeng kayak mau flu." Jelas Rara menunjukkan rasa khawatir.

"Kamu tau sendiri kan Ra? Aku ini paling susah..., pokoknya nggak segampang itulah..." Lusi nyerocos begitu saja.

"Uuuhhh... kamu itu kalo ngomong kayak syair lagu aja," potong Rara.

"Kenapa ya Ra, itu cowok nggak nelepon balik?" Suara Lusi sedikit berbisik.

"Mungkin saja dia lagi sibuk dengan pekerjaan," jawab Rara sedikit menghibur.

"Masa sih malam-malam juga masih sibuk kerja?"

"Ya... bisa aja kan? Atau dia masih menahan diri gitu?"

"Nelepon kok mesti tahan diri?"

"Bisa aja kan? Nanti ngomongin apa aja? Atau dia pengen nembak kamu, caranya gimana?"

"Hahaaahaaa," tawa Lusi meledak seketika.

Rara ikut merasa senang, sahabatnya itu mulai terhibur.

* * *

Bandara Juanda

Liza menunggu dalam Mobil di pelataran parkir. Saat tiba nanti, Bagas pasti menghubunginya lewat WA.

Sambil menunggu, Liza membalas email dari beberapa penulis yang menanyakan naskah atau mengirimkan bagian-bagian naskah yang harus diperbaiki ke beberapa penulis.

Meskipun sepasang matanya tertuju ke layar laptop, tapi pikirannya tetap dipenuhi dengan apa yang akan terjadi saat bertemu nanti dengan Bagas. Apa yang akan ia lakukan apakah hanya sekedar menyalaminya? Atau lebih dari itu? Misalnya memeluk?

Terus, atas dasar apa hingga sampai memeluknya? Masa lalu?

Apakah yang terpikirkan olehnya sama dengan yang dipikirkan Bagas? Kalau sama-sama memikirkan hal yang sama pasti akan menyambung. Justru jika sebaliknya, pasti malu-maluin kan?

Sekilas ingatannya kembali pada saat pertama kali bertemu dengan Bagas setelah lima belas tahun yang mereka lakukan hanya via email, handphone. Kemudian meningkat lagi lewat WA dan video call.

Dan sekarang ingatan Liza kembali menerawang ke lima belas tahun lalu. Untuk pertama kali nerima surat dari Bagas yang ingin berkenalan dengannya.

Liza sempat membalas dan menerima persahabatan yang ditawarkan Bagas.

Namun ketika Bagas bersurat lagi, serta mengharapkan Liza membalasnya, namun Liza tak pernah melakukannya.

Entah apa yang menyebabkan saat itu terhenti begitu saja korespondensi diantara mereka.

Mungkin karena keduanya sangat jauh, terlebih Liza di SMA sangat padat kegiatan yang dia ikuti.

Apalagi saat itu rasa kecewa akibat gagal maju ketahap berikutnya dalam lomba model rambut dengan salah satu produk shampo terkenal yang diselenggarakan majalah remaja bergender cewek.

Liza tak ingat lagi sosok Bagas yang sempat membuat teman-teman dekatnya heboh dan mereka sering menggodanya.

Ingatan Liza buyar seketika saat bunyi WA dan muncul pada layar bagian atas notifikasi Hai aku udah nyampe nih.

Liza tersenyum...

Segera membenahi dandanannya dengan menatap kaca spion tengah yang memperlihatkan kondisi kulit wajahnya terlihat glowing banget.

Kemudian merapikan lipstik dan memperbaiki rambut dengan mengikat kebagian belakang dan membenahi rambut bagian depan supaya terlihat pada posisinya sehingga menambah wajahnya terlihat semakin menawan.

Dengan atasan kemeja model masa kini dan bawahan rok jins mini warna pudar, sehingga memperlihatkan kedua lututnya yang tampak mengkilap sampai betis kaki dan dengan beralaskan sepatu kets, membuat penampilannya tak kalah dengan model terkenal yang sering tampil pada majalah mode.

* * *

Celingak-celinguk, Liza berusaha mencocokkan setiap wajah pria yang keluar dari pintu kedatangan dengan wajah Bagas yang pernah dilihatnya pada saat video call.

Kok belum keliatan sih? Gumam Liza tak sabar lagi.

Liza terus konsentrasi untuk mengenali wajah Bagas.

Yesss..., akhirnya... Bisik Liza. Kemudian tersenyum lebar sambil berlari.

"Bagas...," ucapnya lebih mendekat dan langsung merangkul leher Bagas yang tampaknya juga sudah dapat memastikan bahwa yang memeluknya tak lain adalah Liza, kemudian balas memeluk.

"Akhirnya kita bertemu langsung," bisik Liza sambil menatap wajah Bagas lebih dekat.

"Setelah lima belas tahun," balas Bagas. Hingga membuat jemari tangan Liza menyentuh dengan lembut leher Bagas pada bagian belakang.

Bagas tersenyum dan senang melihat sikap Liza yang tampak ingin menunjukkan padanya sudah lama menantikan pertemuan seperti sekarang ini.

"Ayo kita ke mobil," ajak Liza sambil menggamit salah satu lengan Bagas.

Kemudian mereka menuju mobil Liza yang tampak seperti dua sepasang kekasih yang sudah lama nggak ketemu.

Bagas duduk di kursi depan, sedangkan Liza berada di belakang kemudi.

Setelah menstarter; Liza kemudian menekan tombol AC sehingga didalam mobil mulai terasa sejuk.

Saat Bagas meraih tangan kirinya yang hendak memasukkan persneling, akhirnya Liza mengurungkan dan membiarkan tanganya ditarik hingga membuat mereka semakin rapat dan berpelukan.

Tangan Bagas menekan handle kursi Liza dan handle kursinya juga. Sehingga sadaran kursi merendah kebagian belakang.

Kedua mata Bagas melihat kearah luar untuk memastikan tak ada kendaraan lain yang parkir berdekatan.

Liza tersenyum sambil merengkuh leher Bagas kedalam pelukannya.

Mereka berdua berpelukan seperti sepasang kekasih yang sudah pernah mengikat janji.

Kemudian tangan Liza menekan handle kursi, sambil melepas pelukan Bagas.

* * *

Lusi menyusuri koridor kampus menuju kelas. Dan sesekali kedua matanya menatap kesana-kemari seperti mencari seseorang yang tak lain Rara sahabatnya.

Sampai di depan kelas, Lusi tak langsung masuk. Melainkan menunggu Rara sambil menyandarkan tubuhnya di tembok.

Kemana ini anak? Bisik Lusi.

Tiba-tiba getar handphone dari ransel.

Pasti ini Rara, bisiknya sambil mengulurkan tangan kedalam ransel dan mengeluarkan handphone, pada layar atas terlihat notifikasi : aku udah di kelas.

Lusi menjulurkan kepala lewat pintu.

Dari kursi yang biasa mereka duduki bersama terlihat Rara melambai kearahnya.

Kedua kaki Lusi bergerak cepat menuju kursi yang sudah disiapkan Rara dengan meletakkan ransel diatasnya.

Bagi Lusi sangat membosankan jika harus menunggu dosen.

"Someone udah nelepon balik?" Tanya Rara sambil asyik dengan medsos di handphonenya.

"Bodo amat...," sahut Lusi dengan nada kesal.

"Yang sabar..., ucap Rara tanpa mengalihkan pandangan dari layar handphonenya.

Hmm... entah sampai kapan, gumam Lusi.

Akhirnya dosen yang ditunggu sudah datang. Lusi menyikut Rara, supaya berhenti.

BERSAMBUNG KE BAB 3...

BAB 3

MENGENAL APA HARUS MEMILIKI?

Dari bandara, Liza mengemudi mobil sewaannya menuju hotel.

Sambil mengemudi ia menghubungi resepsionis hotel dan memesan kamar yang berdekatan dengan kamarnya dan juga memesan makan malam untuk dua orang.

Bagas menatap Liza yang sedang konsentrasi mengemudi, tak ingin mengganggu. Meskipun keinginan Bagas untuk menyentuhnya sudah tak tertahankan. Tidak hanya sekedar berpelukan.

Wanita berpenampilan menawan. Lelaki mana yang tak ingin memilikinya.

Liza menoleh sekilas sambil tersenyum menggoda. Hingga membuat Bagas mabuk kepayang.

"Masih jauh hotelnya?" Suara Bagas terdengar serak.

"Udah dekat kok, bentar lagi nyampe kok, Bang," sahut Liza seperti mengerti apa yang ada saat ini dalam pikiran Bagas.

"Kayaknya nggak nyampe-nyampe, ya?"

Liza menatap Bagas, sepasang matanya seperti menginginkan sesuatu.

Liza tak tegah, lalu ditariknya tangan kanan Bagas dan meletakkan dilututnya. Degup jantung Bagas dapat dia rasakan.

Liza menatapnya dengan pasrah saat tangan Bagas sudah tak lagi dilututnya.
Menggeliat manja, saat tangan Bagas sudah menyentuh dalamannya. Segera Liza mengarahkan kemudi ke jalur lambat. Matanya nanar mencari-cari tempat di pinggir jalan untuk menghentikan mobil. Sebaiknya jalur sepi, gumamnya sambil menahan sentuhan Bagas yang sudah menyusup dibalik dalamannya.

Uh, akhirnya. Liza melihat tempat jalur sepi di bawah pohon yang rindang.

Bagas tak berpikir panjang lagi, tangannya langsung menekan handle kursi Liza sehingga sandarannya turun kebelakang. Tersenyum lebar melihat Bagas tak sabaran.

Sementara Liza juga menyukainya dan tidak menampik, meskipun ini pengalaman pertama dapat sentuhan dari seorang pria.

Dan anehnya pria yang beruntung itu adalah Bagas yang dikenalnya lima belas tahun lalu.

Tidak masuk akal, sejak mengenal Bagas walau hanya dari koresponden. Liza telah menjaga tubuhnya tak tersentuh lelaki mana pun. Sampai hari ini bertemu dengan Bagas untuk pertama kalinya. Liza sudah membiarkan Bagas untuk menyentuh dirinya.

Seperti saat ini telah pasrah ketika dalamannya merosot sampai lutut. Begitu juga saat Bagas menciumi bagian yang paling sensitif dari keseluruhan tubuhnya.


Tanpa sadar pinggulnya ikut terangkat, seolah tak ingin Bagas berhenti. Tangannya ikut membelai rambut Bagas, seakan mau mengatakan untuk tidak berhenti.

Sesaat Bagas mengangkat kepalanya, lalu menatap wajah Liza yang saat terlihat sedang terhanyut.

"Kamu suka?" Tanya Liza sambil mengatur napas.

Bagas tersenyum sambil mengangguk.

Kemudian dengan diikuti senyum merekah, Liza menarik wajah Bagas. Seperti mengisyaratkan untuk mencumbu dirinya kembali. Tentu saja Bagas tak menolak.

"Kamu sayang aku nggak, sih?" Tanya Liza dengan suara manja.

"Lebih dari itu," sahut Bagas tanpa berhenti mencumbu belahan empuk dihadapannya.

"Maksud kamu?" Liza mengangkat kepala Bagas.

"Aku udah mencintai kamu sejak lima belas tahun lalu," jawab Bagas dengan raut muka serius.
"Jangan bercanda, ah," ucap Liza sambil mendorong tubuh Bagas.

Lalu mengancingkan kemejanya sambil mengangkat pinggul. Saat itu Bagas langsung tanggap untuk membantu menaikkan dalaman Liza hingga menyusup kedalam rok.

Kemudian menegakkan sandaran kursi Liza.

Saat itu juga Bagas menggenggam salah satu tangan Liza dan mengarahkan wajah Liza mengarah kepadanya.

"Kamu masih ingat saat pertama kali kita video call?" Tanya Liza.

"Tentulah aku ingat," sahut Bagas.

"Saat itu kamu hanya menyinggung tentang koresponden dan tidak mengatakan apa yang telah kamu rasakan," jelas Liza merasa kecewa.

"Oke, sekarang aku akan mengatakan bahwa aku sangat mencintai kamu. Puas kamu sayang?" Ucap Bagas dan balik bertanya.

Wajah Liza tampak merona saat mendengar pengakuan Bagas.


* * *


Selesai kuliah sebelum pulang Lusi dan Rara duduk di kantin sambil menikmati jajanan sambil berselancar di medsos.

Sesekali Lusi menatap Rara.

Seakan ingin mengatakan sesuatu pada sahabatnya itu.


Namun sepertinya Rara tak bisa diganggu untuk saat ini. Perhatian Rara terlihat sangat tertuju pada screen handphone didepannya hingga menundukkan kepala.

"Serius banget, sih?" Lusi memecah kesunyian diantara mereka berdua.
Rara tersenyum sambil mengangkat wajahnya dan menatap Lusi.

"Sorry, aku Kira kamu juga lagi asyik dengan handphone," jelas Rara membela diri.

"Kayaknya aku blokir aja nomornya, gimana menurut kamu?" Tanya Liza.

"Nomornya someone?" Rara memastikan yang dimaksud Lusi.

"Udah satu minggu," ucap Lusi dengan raut wajah putus asah.

"Mmmhhh, aku sih kurang setujuh," Rara memberi alasan.

"Tapi kan udah kelamaan?" Tampak Lusi sudah tak sabar.

"Nggak perlu sampai blokir, kali?" Rara tetap menyakinkan Lusi.

Lusi mendengus kesal sambil menatap kearah lain.

"Aku ada ide, nih."

Lusi menatap Rara sambil mengerutkan kening.

"Jangan bilang aku harus nelepon duluan," ucap Lusi menerka.

"Apa salahnya, sih?" Rara mencoba menyakinkan.

"Itu kan?" Lusi sepertinya tetap tak setuju dengan ide sahabatnya itu.

"Sekedar memastikan apa nomor kamu masih dia simpan?" Rara terus membujuk.

Lusi menarik napas panjang, kemudian menghembuskan sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kantin. Tatapannya tetap tertuju pada Rara yang saat itu tak lepas menatap kearahnya.

Rara seperti dapat melihat dengan jelas pelupuk bola mata Lusi tampak memperlihatkan sesuatu yang tak dapat diartikan dengan kata-kata.

"Ayolah, please...," bujuk Rara seperti menguatkan Lusi.

Lusi menatap Rara, seperti ingin memastikan ide sahabatnya patut untuk dilakukan.

Lalu mendengus, seakan tak setujuh. Namun salah satu tangannya mulai menyentuh screen handphone dan masuk di kontak. Kemudian menekan someone.

Terlihat nada panggilan.

Lalu berubah menjadi...

Rara menatap tajam kearah Lusi mengisyaratkan agar secepatnya untuk menjawab.

Lusi mengangkat handphone dari atas meja dan menempelkan di telinganya.

"Hallo...," terdengar sapaan.

"Hallo Bang...," sahut Lusi sambil menatap kearah Rara.

Sahabatnya itu tersenyum sambil berdiri dari kursinya.

"Apa kabar?" Tanya dari seberang.

"Baik Bang. Lagi dimana nih?"

"Surabaya."

"Haaah? Ngapain disana, Bang?"

"Cuma transit, nantinya terus ke Bandung."

"Kapan pulang, Bang?" Tanya Lusi tak sabaran.

"Empat bulan lagi."

"Lama banget," ucap Lusi berusaha menutupi rasa kecewanya.

"Emang lama sih pelatihannya."

"Pelatihan apa sih itu, Bang?"

"Surveyor ukur tambang."

"Emang Abang kerjanya di perusahaan tambang?"

"Nggak, cuma lingkungan kerjanya aja."

"Maksudnya, Bang?"

"Semacam konsultan penyedia jasa, untuk beberapa pekerjaan yang membutuhkan hasil pemetaan."
"Oke deh, Bang. Ntar nyampe di sana WA, ya?" Pinta Lusi.

"Oke, bye..."

"Bye..., Bang...," ucap Lusi menyudah obrolan.

Kemudian beranjak dari kursi dan melangkakan kedua kakinya keluar kantin.
Ada rasa terhibur memenuhi hatinya, meskipun bukan yang seperti itu yang dia harapkan.
Namun paling tidak, someone masih ingat padanya. Bisik hati Lusi sambil tersenyum.
"Heeiii, jangan senyum-senyum sendirian," potong Rara yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Kirain udah pulang duluan."

"Ya nggaklah. Gimana tuh someone?"

"Masih lama baliknya."

"Dari mana?" Tanya Rara penasaran.

"Bandung," jawab Lusi agak dongkol.

"Ooo..., emang ngapain di sana?'

" Katanya sih pelatihan empat bulan."

"Haaa...? Lama banget?"

"Gitu deh..."

"Yang sabar..."

Bersambung ke Bab 3

MENGENAL APA HARUS MEMILIKI?

Dari bandara, Liza mengemudi mobil sewaannya menuju hotel.

Sambil mengemudi ia menghubungi resepsionis hotel dan memesan kamar yang berdekatan dengan kamarnya dan juga memesan makan malam untuk dua orang.

Bagas menatap Liza yang sedang konsentrasi mengemudi, tak ingin mengganggu. Meskipun keinginan Bagas untuk menyentuhnya sudah tak tertahankan. Tidak hanya sekedar berpelukan.

Wanita berpenampilan menawan. Lelaki mana yang tak ingin memilikinya.

Liza menoleh sekilas sambil tersenyum menggoda. Hingga membuat Bagas mabuk kepayang.

"Masih jauh hotelnya?" Suara Bagas terdengar serak.

"Udah dekat kok, bentar lagi nyampe kok, Bang," sahut Liza seperti mengerti apa yang ada saat ini dalam pikiran Bagas.

"Kayaknya nggak nyampe-nyampe, ya?"

Liza menatap Bagas, sepasang matanya seperti menginginkan sesuatu.

Liza tak tegah, lalu ditariknya tangan kanan Bagas dan meletakkan dilututnya. Degup jantung Bagas dapat dia rasakan.

Liza menatapnya dengan pasrah saat tangan Bagas sudah tak lagi dilututnya.
Menggeliat manja, saat tangan Bagas sudah menyentuh dalamannya. Segera Liza mengarahkan kemudi ke jalur lambat. Matanya nanar mencari-cari tempat di pinggir jalan untuk menghentikan mobil. Sebaiknya jalur sepi, gumamnya sambil menahan sentuhan Bagas yang sudah menyusup dibalik dalamannya.

Uh, akhirnya. Liza melihat tempat jalur sepi di bawah pohon yang rindang.

Bagas tak berpikir panjang lagi, tangannya langsung menekan handle kursi Liza sehingga sandarannya turun kebelakang. Tersenyum lebar melihat Bagas tak sabaran.

Sementara Liza juga menyukainya dan tidak menampik, meskipun ini pengalaman pertama dapat sentuhan dari seorang pria.

Dan anehnya pria yang beruntung itu adalah Bagas yang dikenalnya lima belas tahun lalu.

Tidak masuk akal, sejak mengenal Bagas walau hanya dari koresponden. Liza telah menjaga tubuhnya tak tersentuh lelaki mana pun. Sampai hari ini bertemu dengan Bagas untuk pertama kalinya. Liza sudah membiarkan Bagas untuk menyentuh dirinya.

Seperti saat ini telah pasrah ketika dalamannya merosot sampai lutut. Begitu juga saat Bagas menciumi bagian yang paling sensitif dari keseluruhan tubuhnya.


Tanpa sadar pinggulnya ikut terangkat, seolah tak ingin Bagas berhenti. Tangannya ikut membelai rambut Bagas, seakan mau mengatakan untuk tidak berhenti.

Sesaat Bagas mengangkat kepalanya, lalu menatap wajah Liza yang saat terlihat sedang terhanyut.

"Kamu suka?" Tanya Liza sambil mengatur napas.

Bagas tersenyum sambil mengangguk.

Kemudian dengan diikuti senyum merekah, Liza menarik wajah Bagas. Seperti mengisyaratkan untuk mencumbu dirinya kembali. Tentu saja Bagas tak menolak.

"Kamu sayang aku nggak, sih?" Tanya Liza dengan suara manja.

"Lebih dari itu," sahut Bagas tanpa berhenti mencumbu belahan empuk dihadapannya.

"Maksud kamu?" Liza mengangkat kepala Bagas.

"Aku udah mencintai kamu sejak lima belas tahun lalu," jawab Bagas dengan raut muka serius.
"Jangan bercanda, ah," ucap Liza sambil mendorong tubuh Bagas.

Lalu mengancingkan kemejanya sambil mengangkat pinggul. Saat itu Bagas langsung tanggap untuk membantu menaikkan dalaman Liza hingga menyusup kedalam rok.

Kemudian menegakkan sandaran kursi Liza.

Saat itu juga Bagas menggenggam salah satu tangan Liza dan mengarahkan wajah Liza mengarah kepadanya.

"Kamu masih ingat saat pertama kali kita video call?" Tanya Liza.

"Tentulah aku ingat," sahut Bagas.

"Saat itu kamu hanya menyinggung tentang koresponden dan tidak mengatakan apa yang telah kamu rasakan," jelas Liza merasa kecewa.

"Oke, sekarang aku akan mengatakan bahwa aku sangat mencintai kamu. Puas kamu sayang?" Ucap Bagas dan balik bertanya.

Wajah Liza tampak merona saat mendengar pengakuan Bagas.


* * *


Selesai kuliah sebelum pulang Lusi dan Rara duduk di kantin sambil menikmati jajanan sambil berselancar di medsos.

Sesekali Lusi menatap Rara.

Seakan ingin mengatakan sesuatu pada sahabatnya itu.


Namun sepertinya Rara tak bisa diganggu untuk saat ini. Perhatian Rara terlihat sangat tertuju pada screen handphone didepannya hingga menundukkan kepala.

"Serius banget, sih?" Lusi memecah kesunyian diantara mereka berdua.
Rara tersenyum sambil mengangkat wajahnya dan menatap Lusi.

"Sorry, aku Kira kamu juga lagi asyik dengan handphone," jelas Rara membela diri.

"Kayaknya aku blokir aja nomornya, gimana menurut kamu?" Tanya Liza.

"Nomornya someone?" Rara memastikan yang dimaksud Lusi.

"Udah satu minggu," ucap Lusi dengan raut wajah putus asah.

"Mmmhhh, aku sih kurang setujuh," Rara memberi alasan.

"Tapi kan udah kelamaan?" Tampak Lusi sudah tak sabar.

"Nggak perlu sampai blokir, kali?" Rara tetap menyakinkan Lusi.

Lusi mendengus kesal sambil menatap kearah lain.

"Aku ada ide, nih."

Lusi menatap Rara sambil mengerutkan kening.

"Jangan bilang aku harus nelepon duluan," ucap Lusi menerka.

"Apa salahnya, sih?" Rara mencoba menyakinkan.

"Itu kan?" Lusi sepertinya tetap tak setuju dengan ide sahabatnya itu.

"Sekedar memastikan apa nomor kamu masih dia simpan?" Rara terus membujuk.

Lusi menarik napas panjang, kemudian menghembuskan sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kantin. Tatapannya tetap tertuju pada Rara yang saat itu tak lepas menatap kearahnya.

Rara seperti dapat melihat dengan jelas pelupuk bola mata Lusi tampak memperlihatkan sesuatu yang tak dapat diartikan dengan kata-kata.

"Ayolah, please...," bujuk Rara seperti menguatkan Lusi.

Lusi menatap Rara, seperti ingin memastikan ide sahabatnya patut untuk dilakukan.

Lalu mendengus, seakan tak setujuh. Namun salah satu tangannya mulai menyentuh screen handphone dan masuk di kontak. Kemudian menekan someone.

Terlihat nada panggilan.

Lalu berubah menjadi...

Rara menatap tajam kearah Lusi mengisyaratkan agar secepatnya untuk menjawab.

Lusi mengangkat handphone dari atas meja dan menempelkan di telinganya.

"Hallo...," terdengar sapaan.

"Hallo Bang...," sahut Lusi sambil menatap kearah Rara.

Sahabatnya itu tersenyum sambil berdiri dari kursinya.

"Apa kabar?" Tanya dari seberang.

"Baik Bang. Lagi dimana nih?"

"Surabaya."

"Haaah? Ngapain disana, Bang?"

"Cuma transit, nantinya terus ke Bandung."

"Kapan pulang, Bang?" Tanya Lusi tak sabaran.

"Empat bulan lagi."

"Lama banget," ucap Lusi berusaha menutupi rasa kecewanya.

"Emang lama sih pelatihannya."

"Pelatihan apa sih itu, Bang?"

"Surveyor ukur tambang."

"Emang Abang kerjanya di perusahaan tambang?"

"Nggak, cuma lingkungan kerjanya aja."

"Maksudnya, Bang?"

"Semacam konsultan penyedia jasa, untuk beberapa pekerjaan yang membutuhkan hasil pemetaan."
"Oke deh, Bang. Ntar nyampe di sana WA, ya?" Pinta Lusi.

"Oke, bye..."

"Bye..., Bang...," ucap Lusi menyudah obrolan.

Kemudian beranjak dari kursi dan melangkakan kedua kakinya keluar kantin.
Ada rasa terhibur memenuhi hatinya, meskipun bukan yang seperti itu yang dia harapkan.
Namun paling tidak, someone masih ingat padanya. Bisik hati Lusi sambil tersenyum.
"Heeiii, jangan senyum-senyum sendirian," potong Rara yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Kirain udah pulang duluan."

"Ya nggaklah. Gimana tuh someone?"

"Masih lama baliknya."

"Dari mana?" Tanya Rara penasaran.

"Bandung," jawab Lusi agak dongkol.

"Ooo..., emang ngapain di sana?'

" Katanya sih pelatihan empat bulan."

"Haaa...? Lama banget?"

"Gitu deh..."

"Yang sabar..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun