Bab 1
Jatuh Hati
Saat melakukan transfer, Lusi sempat menoleh ke arah luar dan tatapannya tertuju pada sosok pria dewasa sedang menunggu dengan sikap wajah yang tampak sabar.
Dirinya tak menyangkal jika pria yang sedang menunggu diluar sangatlah berpenampilan sederhana namun memiliki wajah tampan. Meskipun hanya mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga melewati pergelangan tangan dan dipadukan celana jins warna pudar serta sepatu boot hitam, tetap terlihat mempesona.
Hmm, gumam Lusi sambil mencoba menerka asal pria tersebut. Â Dan secepat kilat ia dapat memastikan jika pria yang sudah mampu menggelitik hatinya itu bukanlah asli dari daerah sini.
Dengan nekat  Lusi melancarkan serangan, meskipun ada sedikit keraguan.
Ternyata ia tak bertepuk sebelah tangan, saat membuka pintu dan tersenyum Lebar, langsung dibalas pria yang sudah menunggu sejak tadi.
Ketika melangka dan menjauh dari mesin ATM, dia merasakan kalau pria tersebut sedang menatap punggungnya.
Penasaran, serta diikuti gemuruh detak jantungnya tak ingin ia biarkan begitu saja. Hati kecilnya seakan berbisik dan mengatakan agar berhenti. Sejenak Lusi menghentikan langka kakinya, dan segera berbalik.
Didapatinya tatapan pria itu, seakan ingin mengatakan sesuatu padanya. Seperti berharap untuk tidak secepat mungkin pergi dari tempat itu.
Ah, mungkin aku saja yang terlalu Berharap, gumam Lusi berusaha menepis segala gemuruh dan gejolak didalam hatinya.
Kemudian secepatnya membalikkan tubuhnya dan segera menuju halte.
Namun apa yang telah terjadi?
Hanya 2 sampai 3 menit, pria tadi sudah berada disampingnya. Membuat hatinya berdebar saat mencium bau tubuh maskulin.
"Mau ke kampus?" Lusi yakin pertanyaan itu ditujukan padanya.
"Tahu dari mana aku kuliah?"
"Tampang anak kuliahan udah kelihatan banget."
"Oya?" Tanya Lusi yang tak ingin langsung mengiyakan.
"Ya, kira-kira gitu deh," sahut pria itu seakan membenarkan.
Tiba-tiba angkot yang ditunggu sudah berhenti di depan halte.
"Mau naik ini juga?"
Pria itu menggangguk.
Angkot yang mereka naiki menuju terminal pusat kota tidak terlalu lama dalam perjalanan karena bukan pada waktu jam macet, hanya berkisar kurang lebih sepuluh menit.
Di terminal, saat turun pria itu memberikan ongkos ke supir angkot.
"Dua orang," ucapnya.
"Thanks...," balas Lusi.
"Minta nomornya dong?," pintanya sambil mengeluarkan handphone dari saku jins.
Laki banget, bisik hatinya tanpa melepas tatapan dari wajah tampan yang sedang menekan screen handphone.
Semakin lama menatap, semakin membuat detak jantungnya berdegup tak beraturan.
Entah apa ini namanya. Jatuh hati? Bisik hatinya.
Someone, ketik pria itu pada notifikasi kontak baru.
Kedunya berpisah dengan membawa sepenggal puisi yang memiliki arti yang sama, namun belum dapat dipastikan seperti apa kisah di ujung esok.
***
Lusi duduk di bangku koridor kampus.
Handset bluetooth yang nempel ditelinganya mengalunkan single duet Anggi dan Mario, Tak Ingin Kau Terluka.
Ingatannya masih terngiang dengan kejadian saat perkenalannya tadi.
Sambil meresapi arti pada bagian tertentu dari syair lagu Tak Ingin Kau Terluka. Sepertinya Lusi sedang membuat janji, tidak akan pernah berbuat hal yang bodoh hingga membuat pria yang baru dikenalnya tadi tersakiti.
Jujur, ku ingin pelukmu
Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, seperti dimasa lalu.
"Wah... wah..., sepertinya ada yang lagi... ehem... ehem," goda seseorang yang tiba-tiba muncul dan langsung duduk disampingnya.
"Rara, bikin kaget aja," ucap Lusi sambil melepas handset dari telinga.
Rara tetsenyum lebar dan berharap sahabatnya itu mau berbagi tentang apa yang telah membuatnya terlihat sangat bahagia.
"Hari ini aku happy banget," ucap Lusi  tanpa menunggu lama.
Terdengar tarikan dan hembusan napas Rara sambil menatap dalam sepasang mata sahabatnya itu.
"Udah kelihatan kok dari mata kamu," ujar Rara terdengar menggoda.
"Ah, sok tau kamu," sahut Lusi protes
"Haahaaa... haaaa...," tawa Rara lepas.
Lusi membelalakkan kedua matanya, agar tawa Rara terhenti.
"Sorry, aku ikut senang kok kalau kamu bahagia," Rara beralasan.
"Tapi, ini juga belum pasti..." ucapnya terdengar kecewa.
"Aku yakin kok, pasti itu cowok balik hubungi kamu."
"Kamu yakin?" Tanya Lusi seakan ingin mendapatkan jawaban sesuai dengan harapannya
"Mana handphone kamu?"
"Mau ngapain?"
"Biar aku WA."
"Gila kamu."
"Lagian..., kamu nggak yakin."
"Iya... ya..., awas jangan nekat ya?"
"Nggak..., ayo ke kelas," sahut Rara mengalihkan pembicaraan. Kemudian menarik tangan Lusi dan pergi dari koridor kampus.
***
Tanpa basa-basi dengan teman kerja yang bersebelahan meja kerja mereka, Bagas duduk di kursi meja kerjanya dan menekan tombol power pada laptop.
Mulai konsentrasi dengan salah satu file desain bangunan rumah minimalis 3 dimensi masih perlu penyempurnaan warna. Antara warna tembok dengan kusen. Sehingga pada beberapa tampilan dari tampak 3 dimensi dan beberapa tampilan perspektif akan terlihat serasi.
Kemudian membuka ulang Bab empat proses pewarnaan tembok, kusen pintu dan jendela 3 dimensi. Pada Subbab yang harus diganti gambar tembok dan kusen 3 dmensi yang direvisi pada drawing work Autocad.
Beberapa teman kerjanya melihat Bagas yang terlihat serius.
Hari ini pekerjaan cukup banyak, hingga membuat beberapa rekan kerjanya merasa enggan untuk menyela.
"Pagi Mbak," sapa Bagas sambil memperhatikan beberapa rekan kerjanya yang tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Pagi, Bang...," terdengar suara lembut.
"Dimana nih?"
"Kantorlah..., emang dimana?"
"Kirain masih dirumah, makanya aku video call."
"Emang apa bedanya di rumah dan Kantor?"
"Jelas beda dong..." sambil menatap satu persatu rekan kerja yang saat itu ikut mendengar video call dengan salah satu editor bukunya.
"Oya? Kira-kira apa tuh bedanya?"
"Kalau di kantor yang kita bahas nggak jauh-jauh dari buku, kalau di rumah... pasti ada yang lebih menarik dong."
"Ooo gitu, lain kali Abang video call pas aku di rumah," ucapnya seperti memberi saran.
"Emang boleh? Nggak ngeganggu nih?"
"Boleh-boleh aja, sih. Terus kapan ke Jakarta?" Sahutnya sambil bertanya mengalihkan topik pembicaraan
"Tau dari mana?"
"Sekretaris redaksi."
"Mbak Nana?"
"Iya."
"Sebenarnya mau ke Bandung, itu pun turun di Surabaya. Nanti setiap hari sabtu, kalau memungkinkan pastilah aku mampir ke redaksi," jelas Bagas.
"Kok turunnya di Surabaya? Kenapa nggak lewat Jakarta terus ke Bandung?"
"Budgetnya harus lewat Surabaya, sih,"
"Ooo... gitu? Terus kamu masih punya waktu berapa hari sebelum kegiatan di Bandung?"
"Tiga hari, sih. Emang kenapa?"
"Besok aku pulang ke Surabaya, aku jemput di Bandara ya?"
Bagas masih terdiam, tak langsung mengiyakan. Yang ada dalam pikirannya adalah segudang tanda tanya serta pikiran yang mengembara kemana-mana.
"Abang, kamu masih dengar aku?" Tanyanya.
"Mmmhh, iya. Masih kok," sahutnya masih dengan penuh tanya.
"Oya, terus ada revisi kapal layar 3 dimensi pada Bab empat ya?" Bagas langsung mengalihkan pembicaraan.
Dan menurutnya itu lebih baik, karena tak ingin terhanyut dengan apa yang selama ini menyesaki hati dan pikirannya.
"Betul Bang, supaya animasi kapal layar terlihat lebih riil ya. Hanya itu, sih."
"Oke. Makasih, Mbak. Daaa..." Ucapnya dan segera mengakhiri.
"Daaa..."
"Waaah..., bisa seakrab itu?" Sambung Dirk, salah satu rekan kerjanya.
"Udah lama kenal sama dia, jauh sebelum jadi editor aku."
"Gimana ceritanya, tuh?" Rid tampaknya penasaran.
"Masih jaman SMA kelas dua di Surabaya dia ikut lomba model rambut untuk salah satu produk shampo yang diselenggarakan majalah remaja bergender cewek waktu itu," jelas Bagas sambil menatap satu persatu keempat rekan kerjanya.
"Terus...?" Tampaknya Jeane penasaran dan tak sabar ingin mendengar kelanjutannya.
"Tau sendiri kan..., waktu itu belum ada yang namanya handphone."
"Terus gimana nih ceritanya..," sambung Rid ingin yang juga ikut penasaran dan ingin segera mendengar dari mulut Bagas.
"Saat melihatnya pertama kali di majalah, apa sih yang membuat kamu tertarik?" Tanya Jeane sedikit penasaran, sehingga membuat yang lain ikut tersenyum.
"Ya..., apa ya? Mmmmh..., aku melihat tidak hanya wajahnya yang rupawan... Tapi juga merasakan bahwa dia seorang gadis yang sangat cerdas," jelas Bagas.
"Kayaknya masih klise," Jeane belum merasa puas.
"Aku percaya sih apa yang dikatakan Bagas," Dirk membenarkan alasan Bagas.
"Kalau mau jujur ya...," ucapan Jeane terhenti, lalu menatap satu persatu wajah rekan kerjanya.
"Setiap cowok saat tertarik pada yang namanya Hawa, itu karena kecantikan yang dimiliki," jelas Jeane, masih dengan menatap satu persatu  wajah dari cowok teman kerjanya itu.
Bersambung ke Bab 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H