Setelah bergelut dengan pikiran didalam sana, Saleha memberanikan diri untuk membuka suara kembali.
"Nak..., ibu rasa sebaiknya kamu tidak pergi ke Batavia untuk sekolah disana.." ucap Saleha ragu-ragu. Seketika ekspresi wajah Hatta berubah drastis, dari yang asalnya tersenyum manis perlahan senyum itu memudar saat mendengar kalimat tersebut dari mulut sang ibu. Ekspresi wajah Hatta sulit untuk dideskripsikan. Ada perasaan sedih, tidak terima, marah, dan kecewa disana. Namun, yang sedang berhadapan dengannya saat ini adalah ibunya sendiri. Orang yang menyimpan surga bagi Hatta dibawah telapak kakinya. Hatta tidak bisa mengungkapkan perasaannya saat itu, saat dimana ia dihantam oleh kenyataan bahwa sang ibu tidak setuju dengan apa yang ia telah nantikan sejak lama. Ia hanya bisa mengangguk mengiyakan apa yang menjadi keinginan sang ibu. Tidak ada kata-kata yang ia ucapkan saat itu. Hatta sama sekali tidak mengeluarkan suara. Ia diam membisu malam itu. Ia diam karena jika ia mencoba berbicara, ia takut tangis yang sejak tadi ia tahan akan pecah. Dan jika itu terjadi, ia takut sang ibu akan merasa bersalah nantinya.Â
Sejak sang ibu menyatakan pernyataan tersebut, Hatta sudah ingin sekali menangis saat itu. Ia mencoba tegar menghadapi kenyataan pahit ini. Mungkin apa yang diinginkan ibunya memanglah takdir yang akan menuntunnya ke jalan yang lebih baik.
Saleha beranjak keluar, karena ia rasa Hatta paham betul apa yang dimaksud sang ibu. Melihat keadaan Hatta yang masih berusaha menerima kenyataan, ia tidak berniatan untuk melanjutkan percakapan dengan sang putera. Saleha mengerti bahwa Hatta butuh waktu untuk memahami keputusannya. Ikatan batin ibu dan anak ini memang sangatlah luar biasa. Mereka akan saling mengeti keadaan satu samalainnya tanpa harus berucap lewat kata-kata.
Sepeninggalan ibunya keluar kamar, Hatta termenung. Ia menangis kecil karena tidak ingin didengar oleh orang rumah, apalagi oleh sang ibu. Hanya sebentar ia menangisi keputusan tadi. Bukannya Hatta yang menyesal telah menurut pada sang ibu, akan tetapi ia hanya seorang anak manusia biasa yang dapat bersedih. Coba saja bayangkan, setelah kita hampir dapat mewujudkan apa yang diinginkan, tiba-tiba saja semua itu hilang dan berubah menjadi angan-angan biasa. "Sedih itu wajar, tapi bukan berarti hidup kita boleh berakhir dengan kesedihan. Masih banyak jalan menuju roma." Kata-kata itulah yang ada dalam fikiran Hatta saat itu.Â
Kenyataan bahwa ia lulus ujin untuk masuk ke HBS di Batavia, akan tetapi sang ibu menyuruhnya untuk tinggal, mengharuskan Hatta menghadiri sekolah yang berada di Padang. Hingga akhirnya ia melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO.Â
Ternyata memang keputusannya untuk patuh pada perintah sang ibu merupakan keputusan yang tepat. Hatta banyak sekali menorehkan prestasi atau bahkan pencapaian kecil selama bersekolah di MULO. Mungkin memang rencana Allah adalah rencana terbaik. Dengan patuhnya Hatta pada ibunya, maka keberkahan hidup selalu menyertai perjalanan hidupnya. "Restu ibu merupakan kunci awal kesuksesan," begitulah kira-kira fikir Hatta jika mengingat kejadian saat itu.
Selama ia bersekolah disana, Hatta sudah aktiv mengikuti organisasi. Salah satu keaktivan Hatta dalam berorganisasi, dapat dilihat saat usianya yang baru menginjak usia 15 tahun. Berbagai organisasi sudah banyak diikutinya. Salah satu organisasi yang diikutinya saat itu yaitu, Jong Sumatera Bond yang berada di Padang. Karena keaktivannya dalam berorganisasi, ia memiliki banyak pengalaman tentang organisasi. Anak kecil yang dahulu memiliki ide-ide unik, kini ide-ide itu berubah yang tidak hanya unik namun juga mengagumkan. Ia tumbuh cerdas dan berhasil. Selain itu, karena ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan politik maka ilmu politik yang dimiliki Hatta semakin lama semakin berkembang.Â
Selain mengenyam pendidikan di sekolah, Hatta juga tak melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim untuk tidak berhenti belajar ilmu agama. Hatta belajar ilmu agama pada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Jika dilihat dari keturunan ayahnya yang merupakan keturunan ulama, tidaklah sulit bagi Hatta untuk belajar ilmu agama. Pendidikan akhlak dan agama islam inilah yang berhasil membangun kepribadian yang baik dalam diri Hatta.Â
Hatta yang berasal dari keluarga pedagang pun memiliki koneksi dengan dengan para pedagang. Ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Oesaha. Mungkin faktor ini pula yang dapat menjadikannya aktif sebagai seorang Bendahara dalam organisasi Jong Sumatera Bond.Â
Sebagaimana manusia pada umumnya, Hatta juga memiliki seorang idola. Idola politik lebih tepatnya. Tokoh politik yang ia idolakan saat itu adalah Abdul Muis. Abdul Muis adalah seorang sastrawan, wartawan dan tentunya seorang politikus indonesia. Hatta mengidolakannya, karena pada saat itu, ia menjadi pimpinan Serikat Islam dan dipercaya sebagai utusan SI ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.Â