Mohon tunggu...
Rhaisya Agustian
Rhaisya Agustian Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar SMA Negeri 1 Padalarang

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Novel Sejarah Mohammad Hatta

20 November 2021   16:54 Diperbarui: 20 November 2021   16:57 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadi sebuah perundingan penting. Perundingan tersebut, yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan. Dan pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI telah dimiliki bangsa Indonesia untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat, terkecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Hatta yang pada saat itu bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta. 

Di Amsterdam, dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS). Ia juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Serikat (RIS) dan berkedudukan di Jakarta. Sedangkan Bung Karno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat. 

Ternyata RIS tidak berlangsung lama. Pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan yang ditetapkan, yaitu ibu kota Jakarta dan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia kembali dan berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.

Di tahun 1955, Hatta membuat pernyataan bahwa bilamana parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Menurut Hatta, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi keberadaanya dalam dalam Negara yang telah mempunyai kabinet parlementer. 

Pada tanggal 20 Juli 1956, Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya berisi "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi." Keputasan itu telah Hatta pikirkan matang-matang. Hatta selalu mempertimbangkan sesuatu secara matang. Dalam memutuskan sesuatu, ia selalu memiliki alasan dibalik semua keputusann yang ia buat.

Namun, DPR menolak secara halus permintaan Hatta tersebut. DPR menolak dengan cara mendiamkan surat tersebut. Mungkin kehadirannya masih amat dibutuhkan dalam menjalankan negara. Usahanya dalam mendapatkan izin untuk dapat mundur dari jabatannya sebagai wakil Presiden tidaklah berhenti sampai disitu. Hatta kembali membuat surat pada tanggal 23 November 1956. Hatta menuliskan surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. 

Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956. Pihak DPR pun menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden. Jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun itu, ia lepas atas permintaannya sendiri. Mungkin banyak pihak yang tidak menyetujui kemundurannya sebagai wakil presiden, namun itu semua merupakan hak Hatta yang juga berhak memutuskan sendiri jalan hidupnya.

Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno. Hal tersebut terjadi karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sedangkan seperti yang kita ketahui bahwa Soekarno termasuk kedalam golongan pro terhadap komunis. Sebelum ia mundur, Hatta mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebenarnya gelar Doctor Honoris Causa ingin diberikan pada Hatta di tahun 1951. Namun, gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956. 

Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya.

"Nantisaja kalau usia saya sudah 60 tahun" begitu kira-kira ucap Hatta. Sikap rendah hati seorang Hatta selalu dapat membuat orang lain kagum. Sosok pahlawan, tokoh bangsa dan masih banyak lagi julukan yang Hatta miliki, namun ia masih saja merasa kurang dan belum pantas untuk menerima sesuatu.

 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun