Bab 1: Pertemuan yang Tertunda
Rindu memandangi layar ponselnya dengan mata yang kosong. Foto keluarga yang tampak sempurna, dengan senyum bahagia yang terpancar dari wajahnya dan wajah Gazi, suaminya, seakan menggambarkan kehidupan yang tak mungkin lebih bahagia. Mereka berdua, berdiri di tengah taman yang hijau, dengan dua anak mereka, Rea dan Gio, yang tengah bermain di samping mereka. Pemandangan itu sempurna, seolah mewakili segala sesuatu yang dia impikan saat pertama kali menikah dengan Gazi lima tahun yang lalu.
Namun, meskipun semuanya tampak sempurna di luar, Rindu tahu ada kekosongan yang tak bisa dia jelaskan. Kekosongan yang menyakitkan, yang hanya bisa dia rasakan setiap malam ketika dia terjaga, ketika dia bertanya pada dirinya sendiri apakah ini benar-benar kebahagiaan yang dia cari.
Di luar, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Rindu menunduk sejenak, menatap wajah anak-anaknya yang tertidur di kamar sebelah. Rea, putri sulungnya yang berusia sepuluh tahun, terlelap dengan buku cerita yang masih ada di tangannya. Gio, anak bungsunya yang berusia enam tahun, terbungkus selimut di tempat tidurnya, tertidur dengan senyum kecil di bibirnya. Kedua anak ini adalah dunia bagi Rindu. Namun, di tengah kebahagiaan mereka, ada satu perasaan yang terus menghantui hatinya---perasaan yang telah dia pendam selama bertahun-tahun, perasaan yang tak bisa dia hindari meskipun ia tahu itu salah.
Rasha.
Nama itu terngiang kembali dalam pikirannya, seolah memanggilnya dari kedalaman kenangan. Rindu menutup matanya sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam ingatan itu. Setahun setelah pertemuan pertama mereka, Rasha telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupnya. Mereka pernah merasakan cinta yang membara---cinta yang penuh gairah, yang terasa begitu hidup dan tak terkendali.
Tapi, waktu itu berlalu begitu cepat. Rindu akhirnya dijodohkan dengan Gazi, pilihan orang tuanya. Gazi adalah pria yang baik, penyayang, dan bertanggung jawab. Mereka menikah dan membangun kehidupan yang stabil, meskipun perasaan Rindu terhadap Gazi bukanlah cinta yang dia harapkan. Rindu tahu, Gazi mencintainya sepenuh hati, tetapi dia tak pernah bisa memberikan cinta yang sama. Di dalam hatinya, ada Rasha---cinta pertamanya yang tak pernah bisa dia lupakan.
Ponsel Rindu bergetar, membuyarkan lamunannya. Dengan sedikit rasa enggan, dia membuka pesan itu. Ternyata, itu adalah pesan dari Rasha.
"Rindu, apa kabar? Aku merindukanmu."
Hati Rindu berdebar kencang. Pesan itu bukanlah pesan pertama, dan mungkin juga bukan yang terakhir. Sudah beberapa kali mereka berkomunikasi dalam diam. Rindu tahu betul bahwa apa yang mereka lakukan adalah kesalahan. Mereka berdua sudah memiliki pasangan, kehidupan masing-masing. Namun, tidak ada yang bisa menghentikan perasaan yang telah tertanam begitu dalam di hati Rindu.
Dia membalas pesan itu dengan cepat.
"Aku baik-baik saja, Rasha. Kamu bagaimana?"
Dia tahu, membalas pesan ini sama sekali bukan langkah bijak. Tetapi hatinya tak bisa mengabaikan perasaan itu, perasaan yang menggebu-gebu dalam dirinya meski dia berusaha menahannya.
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Rasha masuk.
"Aku baik. Tapi aku tak bisa berhenti memikirkan kita, Rindu. Kita berdua tahu kita saling mencintai. Aku tahu kamu merasa kesepian, dan aku juga begitu. Aku masih ingin bersamamu."
Rindu membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan. Apakah dia bersalah? Tentu saja, tetapi apakah dia bisa mengabaikan perasaan yang sudah tertanam begitu dalam dalam dirinya?
Dia meletakkan ponselnya di meja, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Suara hujan yang terus mengguyur seperti mengiringi kegelisahannya. Mengapa perasaan ini selalu datang begitu saja, tak bisa dia kendalikan? Mengapa saat dia mencoba untuk menenangkan dirinya, bayangan Rasha justru semakin kuat menghampirinya?
Rindu menggigit bibirnya, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Dia tahu ini salah, dia tahu dia tidak boleh merasakannya. Tapi perasaan ini---cinta yang tidak akan pernah bisa dia miliki---adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dia hindari.
Pintu kamar terbuka perlahan. Gazi, suaminya, muncul di ambang pintu dengan wajah khawatir. "Rindu, kamu oke?" tanyanya lembut.
Rindu mengangguk dengan cepat, berusaha menyembunyikan kerisauan di wajahnya. "Iya, aku hanya... sedikit lelah." Dia tersenyum, meskipun senyum itu terasa palsu di bibirnya.
Gazi berjalan mendekat, duduk di samping Rindu, dan merangkulnya. "Kamu selalu bekerja keras, sayang. Jangan lupa istirahat."
Rindu membalas pelukan suaminya, tetapi hatinya terasa berat. Dia tak tahu bagaimana menjelaskan kekosongan yang dia rasakan, atau betapa besar perasaan yang masih dia simpan untuk seseorang yang sudah bukan miliknya lagi.
Sementara itu, di kejauhan, di tempat yang tak terlihat, Rasha juga memikirkan hal yang sama. Mereka berdua tahu bahwa apa yang mereka rasakan tak akan pernah bisa sampai pada akhir yang bahagia. Tetapi perasaan itu tetap ada, menggantung di antara mereka, tak pernah terucap dengan jelas.
Di luar, hujan semakin deras, menyelimuti malam dengan kesunyian yang menenangkan. Namun, bagi Rindu, malam itu terasa penuh dengan kegelisahan, penuh dengan pertanyaan yang tak bisa dia jawab. Apa yang seharusnya dia lakukan dengan perasaan ini? Akankah cinta yang tak akan pernah sampai itu terus menghantui hidupnya?
Bab 2: Di Persimpangan Jalan
Rindu berjalan menyusuri lorong rumah yang sunyi, dengan langkah yang perlahan. Suasana pagi di Bandung yang cerah seakan menegaskan kontras antara kehidupannya yang tampak sempurna di luar dan kerisauan yang menyelimuti hatinya. Di ruang tengah, Gazi tengah bermain dengan Gio dan Rea, keduanya yang tampak ceria dan penuh energi. Rindu tersenyum melihat pemandangan itu, namun hatinya tetap terasa hampa.
Sebuah suara dari ruang tamu memecah lamunannya. Itu adalah notifikasi pesan yang baru masuk ke ponselnya. Dia ragu sejenak untuk membuka pesan itu, karena dia sudah tahu siapa yang mengirimnya. Rasha.
"Rindu, aku benar-benar merindukanmu. Semua yang terjadi dalam hidupku terasa kosong tanpa kamu."
Rindu menghela napas, menatap layar ponselnya dengan pandangan yang kosong. Perasaan itu datang lagi---rindu yang tak pernah pudar meski waktu terus berjalan. Dia tahu apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Namun, apakah mungkin perasaan ini bisa dihentikan begitu saja? Perasaan yang sudah mengakar begitu dalam dalam dirinya?
Sementara itu, di ruang tengah, Gazi memandangnya dengan tatapan lembut. "Kamu tidak makan pagi, Rindu? Anak-anak sudah selesai sarapan," ucapnya pelan, seolah memahami bahwa istrinya sedang terperangkap dalam pikirannya sendiri.
Rindu tersadar, sedikit terkejut oleh pertanyaan itu. "Oh, iya, aku... aku tidak lapar." Dia tersenyum, berusaha menutupi perasaan yang bergolak di dalam hatinya. Gazi tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Dia tidak tahu betapa besar kekosongan yang membayangi hidup Rindu.
Gazi menatapnya beberapa detik, seolah mencoba memahami, namun tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Rindu bisa merasakan tatapan itu, tatapan yang penuh perhatian namun juga penuh dengan kecemasan. Gazi memang pria yang baik, penuh kasih sayang, dan selalu berusaha menjadi suami yang terbaik. Tapi ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka---sesuatu yang tak bisa Rindu ungkapkan dengan kata-kata.
Gazi akhirnya bangkit dari kursinya dan mendekati Rindu. "Rindu, kamu tahu kan aku selalu di sini untukmu, kan?" tanyanya dengan suara pelan, seakan takut untuk mendengar jawaban yang mungkin tidak dia inginkan.
Rindu mengangguk. "Iya, aku tahu. Terima kasih, Gazi," jawabnya sambil memaksakan senyum. Namun, dalam hatinya, ada perasaan yang begitu berat untuk dipikul. Rasa bersalah, rasa cemas, dan perasaan cinta yang tak pernah bisa dia miliki---semua itu terasa begitu membebani.
Dia tahu, dia mencintai Gazi, dalam cara yang berbeda. Namun, perasaan itu tak sebanding dengan cinta yang dia rasakan untuk Rasha---cinta yang penuh gairah, yang membakar setiap kali mereka bersama. Rindu menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan pikirannya, namun bayangan Rasha terus menghantui.
Di luar, hujan mulai turun dengan deras, membasahi halaman rumah. Rindu merasa seolah hujan itu mencerminkan perasaannya---kegelapan dan kerisauan yang tak pernah berhenti. Dia menatap langit yang kelabu, seakan mencari jawaban atas semua pertanyaan yang mengganggu pikirannya.
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan pesan dari Rasha, melainkan panggilan video dari Prilly---istri Rasha. Rindu tertegun sejenak, kebingungannya semakin dalam. Apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus mengangkatnya?
Dengan perasaan berat, Rindu akhirnya menjawab panggilan itu.
"Rindu, kamu baik-baik saja?" suara Prilly terdengar melalui layar ponsel, penuh perhatian. Rindu bisa melihat kecemasan di wajah Prilly. Meskipun mereka tidak terlalu dekat, namun Rindu tahu bahwa Prilly adalah wanita yang sangat peduli dengan Rasha, dan mungkin juga dengan dirinya, meskipun hubungan mereka hanya sebatas teman.
Rindu tersenyum canggung. "Iya, aku baik-baik saja, Prilly. Kenapa memangnya?"
Prilly menghela napas panjang, menatap Rindu dengan tatapan yang serius. "Aku hanya ingin memastikan. Rasha... dia sering bicara tentang kamu. Aku tahu, ada sesuatu yang belum terselesaikan di antara kalian. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa dia sangat mencintaimu. Tapi aku juga ingin kamu tahu, bahwa aku mencintainya dan aku berusaha menjaga keluargaku."
Rindu terdiam, kata-kata itu menusuk hatinya. "Prilly, aku... aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Aku tidak ingin ada masalah," jawabnya pelan, meskipun dalam hatinya, ada sebuah dorongan kuat untuk mengungkapkan segalanya---perasaan yang selama ini ia pendam.
Prilly mengangguk, meskipun tampak kecewa. "Aku hanya ingin kamu berhati-hati, Rindu. Aku tahu kamu baik, tapi hati-hati. Aku hanya ingin yang terbaik untuk Rasha, untuk kalian berdua."
Rindu menundukkan kepala, menelan kata-kata itu. "Aku akan berhati-hati, Prilly. Terima kasih," jawabnya, dan dengan perlahan, mereka mengakhiri panggilan tersebut.
Setelah menutup ponselnya, Rindu duduk kembali di sofa, meresapi setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Prilly. Dalam hati, dia merasa semakin terjepit---di antara cinta yang tak bisa dimiliki dan kewajiban yang harus dijalani. Apakah ini jalan yang harus dia tempuh? Apakah dia benar-benar bisa terus menjalani hidup dengan perasaan yang tak pernah utuh?
Di ruang tengah, Gazi memandanginya dengan cemas. "Rindu, kamu tidak apa-apa, kan?" tanyanya lembut, mengulangi pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.
Rindu menatap suaminya, mencoba tersenyum meskipun hatinya hancur. "Aku baik-baik saja, Gazi. Jangan khawatir," jawabnya, meskipun dirinya tahu bahwa kata-kata itu hanya untuk menenangkan Gazi. Padahal, hatinya sedang bergejolak. Dia ingin lari, ingin bersama Rasha, namun dia tahu bahwa segala sesuatu yang dia cintai ada di sini---di rumah ini, bersama Gazi dan anak-anaknya.
Namun, apakah dia bisa terus menyembunyikan perasaannya? Apakah dia akan selalu merasa terjebak dalam kehidupan yang seolah sempurna, namun begitu kosong?
Hujan semakin deras, seolah menambah kesunyian dalam hati Rindu. Sebuah perasaan yang tak bisa ia hindari, sebuah cinta yang tak akan pernah sampai.
Bab 3: Di Persimpangan Perasaan
Rindu duduk di teras rumahnya, memandangi hujan yang semakin deras di luar. Udara Bandung yang dingin menyelimuti tubuhnya, namun hatinya jauh lebih dingin. Pikirannya melayang, berpindah-pindah antara bayangan Gazi yang penuh perhatian dan Rasha yang selalu hadir dalam setiap detak jantungnya. Ia ingin sekali bisa melupakan rasa itu, tetapi kenyataannya justru semakin menghantuinya.
"Rindu?" Suara Gazi memecah lamunannya. Ia menoleh, melihat suaminya berdiri di pintu teras dengan wajah cemas. Gazi selalu begitu, penuh perhatian, tak pernah lelah menunjukkan kasih sayangnya kepada Rindu. Namun, entah mengapa, perasaan itu tidak pernah cukup untuk memenuhi kekosongan yang ada dalam hati Rindu.
"Kenapa lama sekali? Kamu tidak masuk ke dalam?" tanya Gazi, melangkah mendekat dengan tangan terulur, berusaha memeluk istrinya.
Rindu menggeleng pelan, berusaha tersenyum. "Aku hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri," jawabnya, meskipun dalam hati, ia merasa terjepit antara rasa bersalah dan kerinduan yang mendalam. Hatinya selalu berpihak pada Rasha, tapi ia tidak bisa begitu saja meninggalkan Gazi yang sudah banyak berkorban untuknya.
"Jangan terlalu lama, sayang," kata Gazi lembut, menyentuh pelipis Rindu dengan penuh kasih. "Aku khawatir kalau kamu tidak segera masuk, kamu bisa terkena flu. Anak-anak juga sudah selesai belajar dan sedang menunggumu untuk makan siang."
Rindu menatap suaminya, menatap mata Gazi yang penuh perhatian itu. Dia tahu Gazi sangat menyayanginya. Tapi Rindu juga tahu bahwa perasaan itu tidak pernah bisa sebanding dengan apa yang ia rasakan untuk Rasha. Cinta yang penuh hasrat dan kenangan---sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Bagaimana ia bisa kembali kepada Gazi sepenuhnya jika hatinya masih terikat pada Rasha?
"Iya, aku akan masuk," jawab Rindu akhirnya, meskipun hatinya berat. Dia mengangkat tubuhnya dari kursi dan berjalan menuju pintu, namun langkahnya terasa begitu pelan, seperti beban yang tak bisa dia lepaskan.
Setelah makan siang bersama keluarga, suasana di rumah kembali terasa nyaman. Gazi dan anak-anak tampak begitu ceria, sementara Rindu duduk di sofa dengan pandangan kosong. Ketika Gio dan Rea mulai bermain di ruang tamu, Rindu mengambil ponselnya dan membuka pesan yang sudah ia abaikan sejak pagi tadi.
Rasha:
"Aku merindukanmu. Aku tahu kita berdua salah, tapi aku tak bisa menahan perasaan ini. Aku butuh kamu, Rindu. Masih ada ruang di hatiku untukmu. Kalau kamu ingin berbicara, aku di sini."
Rindu menatap pesan itu lama. Perasaan hangat meresap ke dalam dirinya, tetapi sekaligus rasa takut dan bersalah pun muncul. Rasha adalah bagian dari masa lalu yang penuh gairah, penuh kebersamaan, dan penuh kenangan manis. Namun, kini semuanya telah berubah. Rindu sudah memiliki keluarga, sudah memiliki Gazi, pria yang selalu berada di sisinya, yang selalu sabar dan penyayang.
Ia menulis balasan dengan hati-hati.
Rindu:
"Aku juga merindukanmu, Rasha. Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sudah memiliki keluarga. Gazi, anak-anak, semuanya. Aku tidak bisa begitu saja meninggalkan mereka."
Setelah menekan tombol kirim, Rindu terdiam. Perasaannya campur aduk. Ia ingin melupakan Rasha, tetapi setiap kali pesan itu datang, hatinya merasa tergerak untuk kembali mengenang masa-masa bersama pria itu. Kenangan indah yang kini terasa seperti sebuah kebohongan. Cinta yang tidak pernah benar-benar bisa ia miliki.
Ponsel Rindu bergetar kembali. Pesan dari Rasha masuk.
Rasha:
"Aku tidak ingin memaksamu, Rindu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu. Aku tidak pernah menginginkan perpisahan ini. Jika suatu hari nanti, kamu merasa seperti aku, kita bisa berbicara lebih banyak."
Rindu menunduk, menghapus air mata yang tiba-tiba saja mengalir di pipinya. Ia merasa terkoyak antara cinta yang ia rasakan untuk Gazi dan hasrat yang selalu hidup untuk Rasha. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja mengorbankan keluarga kecilnya, yang sudah begitu ia perjuangkan selama ini.
Saat malam tiba, Rindu mencoba tidur lebih awal. Namun, meskipun matanya terpejam, pikirannya terus terjaga. Gazi tidur di sampingnya, menarik napas dengan tenang. Rindu memandang suaminya, namun hati ini tidak bisa begitu saja mengabaikan perasaan yang ia simpan rapat-rapat.
Seketika, ponsel Rindu bergetar lagi. Pesan dari Rasha.
Rasha:
"Rindu, aku tidak bisa berhenti berpikir tentangmu. Jika kamu rindu aku, kita bisa bertemu. Hanya sebentar, untuk berbicara, untuk mengingat."
Rindu terdiam. Hatinya berdebar kencang. Rasha memanggilnya. Hanya untuk berbicara. Tetapi apakah dia siap untuk itu? Apakah dia siap untuk kembali ke dunia yang penuh gejolak ini? Dunia yang penuh dengan cinta yang tak akan pernah bisa ia miliki sepenuhnya?
Rindu memandangi Gazi yang tidur pulas di sampingnya, anak-anak yang sedang tidur dengan damai di kamar mereka. Semua itu adalah hidup yang ia pilih, hidup yang penuh dengan kebahagiaan meskipun perasaan hatinya belum utuh.
Namun, perasaan itu terus datang, membara dalam dadanya. Keinginan untuk bertemu dengan Rasha, untuk mendengar suaranya, untuk merasakan kembali kehangatan yang mereka bagi.
Dia menutup matanya, berdoa agar malam ini membawa kedamaian, agar besok dia bisa bangun dengan perasaan yang lebih jelas, dan untuk membuat keputusan yang tidak akan menghancurkan hidupnya.
Bab 4: Perjalanan yang Tak Terpahami
Hati Rindu terasa sesak pagi itu, ketika ia bangun dari tidur yang gelisah. Matahari pagi yang masuk melalui tirai jendela memberikan sinar lembut, namun tidak cukup untuk mengusir ketegangan yang merayap di dalam dirinya. Hari itu terasa seperti perjalanan yang harus dilalui tanpa tahu tujuannya. Ia berbaring sejenak, menatap langit-langit kamar, mencoba meresapi semuanya.
Di sampingnya, Gazi sudah bangun lebih dulu. Suaminya itu tengah menyiapkan sarapan di dapur, suara panci yang berdenting terdengar dari balik pintu. Rindu merasa cemas, merasa tak tahu bagaimana harus menghadapi hari ini.
Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Beberapa pesan baru masuk, termasuk pesan dari Rasha yang masih membekas di pikirannya sejak malam sebelumnya. Rindu menatapnya sejenak, merasakan perasaan yang sulit diungkapkan. Rasha selalu ada, bahkan tanpa diminta, selalu datang begitu saja, mengingatkan perasaan yang ia coba sembunyikan.
Gazi masuk ke kamar, tersenyum melihat Rindu yang masih terbaring di ranjang. "Sayang, ayo bangun. Anak-anak sudah siap sarapan," katanya dengan suara lembut.
Rindu tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa hampa. "Iya, sebentar lagi," jawabnya, berusaha terdengar normal meskipun hatinya penuh gejolak.
Gazi menatap istrinya dengan tatapan penuh perhatian. "Kamu terlihat lelah," katanya. "Ada yang mengganggu pikiranmu?"
Rindu merasa terperangkap. Kata-kata Gazi menyentuh hatinya, namun ia tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya. Ia tidak ingin menyakiti Gazi, pria yang selalu sabar dan penuh kasih sayang. Namun, hatinya terus dipenuhi oleh bayangan Rasha, yang semakin sulit diabaikan.
"Aku hanya butuh waktu," jawab Rindu, dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Mungkin hanya butuh sedikit waktu untuk diriku sendiri."
Gazi mengangguk, meski ekspresinya tampak cemas. "Aku mengerti. Tapi jika ada yang kamu ingin bicarakan, aku selalu ada untukmu, Rindu."
Rindu menghela napas. "Terima kasih, Gazi. Aku... Aku hanya perlu sedikit waktu untuk memikirkan semuanya."
Setelah sarapan, suasana rumah kembali terasa hangat. Rea dan Gio bermain di ruang tamu, sementara Gazi duduk di meja makan membaca koran. Rindu duduk di balkon, menikmati secangkir kopi hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Namun, bayangan Rasha terus mengganggu, seperti bayang-bayang yang tak bisa disingkirkan.
Ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Rasha.
Rasha:
"Aku menunggumu, Rindu. Hanya sebentar saja. Aku ingin melihatmu, berbicara tentang semuanya."
Rindu menatap layar ponselnya. Hatinya bergejolak, tapi ia tahu bahwa bertemu dengan Rasha adalah keputusan yang tidak mudah. Ia sudah berkeluarga, sudah memiliki dua anak yang sangat ia cintai. Namun, di sisi lain, Rasha adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa begitu saja ia tinggalkan.
Ketika hari mulai beranjak siang, Rindu duduk di ruang kerjanya, mencoba berkonsentrasi pada pekerjaannya sebagai selebgram. Namun, meskipun ia sibuk dengan aktivitas di depan layar, pikirannya terus melayang. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan Rasha? Kenangan bersama pria itu begitu dalam, begitu hidup, dan rasa itu tak pernah padam.
Tak lama kemudian, Gazi masuk ke ruang kerja. "Rindu, aku ada jadwal meeting dengan klien, mungkin aku akan keluar sebentar. Anak-anak sudah selesai belajar dan mereka ingin bermain di luar. Bisa kamu menemani mereka sebentar?" tanya Gazi.
Rindu menatap suaminya, merasa bersalah karena ia tidak bisa memberi perhatian penuh seperti yang diinginkan. "Tentu, aku akan menemani mereka," jawabnya.
Rindu berdiri dan berjalan menuju ruang tamu. Rea dan Gio tampak antusias melihat ibunya. "Ibu, ayo ikut main sama kami!" seru Rea, sementara Gio hanya tersenyum manis.
Rindu tersenyum, berusaha mengalihkan perhatiannya dari pikiran tentang Rasha. Ia bermain dengan anak-anaknya di halaman belakang, berlari-lari kecil bersama mereka, meskipun hatinya tetap terasa kosong. Tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan rasa itu---perasaan yang ia simpan untuk Rasha.
Malam tiba, dan Rindu duduk di balkon rumah, menikmati angin malam yang sejuk. Gazi baru saja pulang dari pertemuan bisnisnya, terlihat lelah namun tetap tersenyum ketika melihat Rindu. "Sayang, kamu tidak makan malam?" tanya Gazi, berdiri di depan pintu balkon.
"Belum," jawab Rindu. "Aku hanya ingin sedikit sendiri."
Gazi mengangguk, kemudian duduk di samping Rindu. "Kamu masih memikirkan sesuatu, ya?" tanyanya pelan, tanpa ada nada memaksa.
Rindu menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Perasaannya semakin kacau, dan ia merasa bingung dengan perasaan yang terus bergejolak di hatinya. "Gazi, aku merasa aku tidak adil padamu," ujar Rindu, akhirnya.
Gazi menatap istrinya dengan penuh pengertian. "Rindu, aku tahu kita mungkin tidak sempurna, dan aku tahu ada banyak hal yang belum bisa aku beri padamu. Tapi aku berjanji akan terus ada untukmu. Aku mencintaimu."
Rindu terdiam, merasakan rasa hangat yang mengalir melalui kata-kata Gazi. Namun, di sisi lain, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang terus terlepas. Sebuah kekosongan yang hanya bisa diisi oleh Rasha, pria yang selalu hadir dalam pikirannya, meskipun ia tahu cinta itu tak bisa ia miliki sepenuhnya.
"Terima kasih, Gazi," kata Rindu akhirnya, menunduk dan menghapus air matanya. "Aku hanya butuh waktu untuk menemukan jawabannya."
Suasana malam itu terasa hening, seolah-olah dunia berhenti berputar sejenak, memberi ruang bagi Rindu untuk mengumpulkan perasaan yang kacau. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa jalan yang ia pilih tidak akan mudah. Cinta yang tak pernah bisa dimiliki selalu meninggalkan luka yang dalam, meskipun ia tahu, pada akhirnya, ia harus memilih.
Bab 5: Titik Balik yang Mengubah Segalanya
Pagi itu, udara Bandung terasa sedikit lebih sejuk dari biasanya. Rindu berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang tampak lelah. Meskipun sudah berusaha untuk tersenyum, ada sesuatu yang terasa kosong dalam dirinya. Hatinya seperti sedang terombang-ambing di antara dua dunia yang tidak pernah bisa ia miliki secara bersamaan. Cinta yang terpendam, dan keluarga yang ia cintai.
Di ruang makan, Gazi sedang duduk sambil menyeruput kopi, terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Rindu melangkah menuju meja makan, mengambil secangkir kopi juga, dan duduk di seberang suaminya.
"Sudah siap untuk hari ini?" tanya Gazi, dengan senyum khasnya yang selalu mencoba memberi rasa nyaman.
Rindu mengangguk pelan. "Iya, aku siap."
Gazi menatapnya dengan seksama, seolah-olah ada yang mengganjal dalam dirinya. "Rindu, ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya, nada suaranya lebih dalam dari biasanya.
Rindu menatap mata suaminya, mencari kata-kata yang tepat. Namun, entah mengapa, ia merasa bingung dengan segala perasaan yang mengerumuni dirinya. Rasha, keluarga, dan rasa cinta yang tidak bisa ia jalani---semua itu berputar di pikirannya.
"Aku..." Rindu terdiam, mencoba mencari kata-kata yang bisa menjelaskan segala sesuatunya tanpa menyakiti hati Gazi. "Aku merasa seperti ada yang hilang, Gazi. Aku tak bisa menjelaskan, tapi aku merasa seperti... terjebak."
Gazi menarik napas panjang. "Rindu, jika ada sesuatu yang mengganggu hatimu, aku ingin mendengarnya. Aku tahu, mungkin aku bukan yang terbaik, tapi aku selalu berusaha untuk memahami."
Rindu merasa sesak. Di satu sisi, Gazi adalah suami yang baik, yang selalu mendukungnya, yang telah memberi kehidupan yang nyaman untuk dirinya dan anak-anak mereka. Namun, ada satu sisi yang terus memanggilnya, satu perasaan yang tak bisa ia abaikan---perasaan terhadap Rasha yang tak pernah hilang.
"Sebenarnya... aku masih mencintainya, Gazi," suara Rindu pecah, jujur dan tanpa bisa ditahan. Kata-kata itu meluncur keluar begitu saja, tanpa ia rencanakan.
Gazi terdiam, matanya menatap dalam ke mata Rindu. Ada kedukaan yang tersembunyi di sana, namun ia tetap berusaha untuk menjaga ketenangannya. "Rasha?" tanya Gazi dengan nada yang sangat lembut.
Rindu hanya mengangguk, air mata sudah mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin sekali bersama dia, Gazi. Tapi aku juga tahu, aku sudah berkeluarga denganmu. Aku sudah punya anak-anak, dan aku tidak ingin menghancurkan semuanya."
Gazi tidak langsung menjawab. Ia menundukkan kepala, berusaha mengendalikan perasaannya. Beberapa detik berlalu sebelum ia mengangkat wajahnya kembali, dan menatap Rindu dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam hatimu, Rindu. Aku hanya tahu satu hal---aku mencintaimu. Aku ingin kau bahagia, meskipun itu berarti harus melepaskanmu."
Kata-kata Gazi seperti petir di siang bolong. Rindu merasa dunia seakan berhenti berputar sejenak. Ia memandang suaminya, terkejut dengan pengakuan itu. Gazi, yang selama ini selalu sabar, yang selalu memberi segalanya untuk keluarganya, kini berkata demikian. Apa artinya semua ini?
"Kenapa kamu bisa berkata begitu?" Rindu hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Gazi menatapnya dalam-dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dalam daripada kata-kata yang bisa ia ucapkan. "Karena aku tahu, jika hatimu tidak ada di sini, aku tidak bisa memaksamu. Aku tidak ingin menjadi orang yang menghalangimu mencari kebahagiaanmu sendiri. Jika itu berarti kau harus bersama Rasha, aku tidak akan menghalangimu."
Rindu terdiam, hatinya terombang-ambing. Di satu sisi, ia merasa sangat mencintai Gazi, tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar yang tidak bisa ia penuhi dengan suaminya---perasaan terhadap Rasha yang selalu membekas.
Beberapa hari setelah percakapan itu, Rindu merasa semakin tertekan. Ia berusaha berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa---bersama anak-anak, mengikuti kegiatan di media sosial, dan menjaga keseimbangan dalam keluarga. Namun, hatinya terus berpindah-pindah, antara Gazi yang penuh kasih dan Rasha yang selalu menunggu.
Malam itu, saat anak-anak sudah tidur, Rindu kembali melihat pesan dari Rasha. Rasa rindu itu datang lagi, seakan-akan Rasha berbicara langsung di hadapannya.
Rasha:
"Kita perlu berbicara, Rindu. Aku tidak bisa terus menunggu."
Rindu menggigit bibir bawahnya, perasaan bersalah dan bingung semakin melanda. Ia tahu bahwa pertemuan dengan Rasha kali ini mungkin akan menjadi titik balik dalam hidupnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.
Beberapa jam kemudian, Rindu keluar dari rumah dengan perasaan gelisah. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menghadapi perasaan ini, untuk mengerti apa yang sebenarnya ia inginkan.
Ia mengendarai mobilnya menuju sebuah kafe kecil yang sudah menjadi tempat pertemuan rahasia mereka. Di sana, di tengah malam yang sunyi, Rasha menunggunya.
Rasha berdiri saat melihat mobil Rindu datang, senyumnya yang penuh harapan itu tak bisa disembunyikan. "Aku sudah menunggumu, Rindu," katanya dengan suara yang hangat namun penuh rasa cemas.
Rindu menatapnya dalam-dalam, merasa seolah-olah dunia mereka hanya ada di antara dua jiwa yang saling mencari.
"Aku tahu, aku salah," kata Rindu, suara agak gemetar. "Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa mengabaikan perasaan ini."
Rasha mendekat dan menggenggam tangan Rindu. "Aku tidak meminta semuanya, Rindu. Aku hanya ingin kesempatan, kesempatan untuk mencintaimu."
Namun, di dalam hatinya, Rindu tahu bahwa jalan yang akan ia pilih tidak mudah. Cinta yang ia simpan selama ini tak bisa begitu saja ia jalani tanpa akibat. Di luar sana ada Gazi, yang menunggunya dengan segala kesabaran. Ada anak-anak yang sangat ia cintai. Cinta yang tak bisa dimiliki mungkin adalah cinta yang harus dilepaskan---demi kebaikan semua orang.
Tapi bagaimana jika ia merasa bahwa cinta sejati tidak pernah benar-benar bisa ia miliki?
Bab 6: Perasaan yang Terus Bergulir
Pagi itu, Rindu merasa lebih berat dari biasanya. Udara Bandung yang sejuk seakan tidak mampu menghapus kegelisahan yang menggerogoti hatinya. Ia duduk di balkon rumah, memandang ke jalanan yang mulai sibuk. Sebuah pagi yang terlihat biasa, namun di dalam dirinya, kekosongan yang sama terus menghantui.
Hari-hari setelah percakapan dengan Gazi dan pertemuan dengan Rasha membuat Rindu semakin bingung. Ia sudah memutuskan untuk menghadapinya, namun setiap kali berhadapan dengan kenyataan, hatinya terasa sesak. Apa yang seharusnya ia pilih? Keluarga yang ia cintai atau cinta yang selama ini terpendam?
"Rindu, kenapa masih di luar?" Gazi muncul dari dalam rumah, tampak sedikit khawatir melihat istrinya yang tampak terdiam begitu lama.
Rindu mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. "Aku hanya butuh waktu untuk berpikir."
Gazi duduk di sampingnya, menatapnya dengan tatapan lembut. "Tentang apa, sayang?"
Rindu memalingkan wajah, mencoba menutupi kegelisahan di matanya. "Tentang kita, Gazi. Tentang perasaan yang sulit untuk dijelaskan."
Gazi menarik napas dalam-dalam, dan mengenggam tangan Rindu dengan lembut. "Aku tahu, Rindu. Aku bisa merasakannya. Tapi aku ingin kau tahu, aku di sini untukmu. Tidak peduli apapun yang terjadi, aku tetap mencintaimu."
Rindu menunduk, hatinya seperti terkoyak. Ia tahu Gazi sangat mencintainya, namun apa yang bisa ia lakukan jika hatinya lebih sering berpaling ke arah yang lain? Rasha. Pria yang dulu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Perasaan yang begitu mendalam, begitu sulit untuk dilupakan.
Sementara itu, Rasha juga tidak tinggal diam. Setelah pertemuan malam itu, ia tak pernah berhenti memikirkan Rindu. Perasaan yang tumbuh semakin kuat membuatnya tak bisa tidur. Ia ingin sekali mengajak Rindu untuk kembali bersama, namun ia tahu ada banyak hal yang harus dipertaruhkan. Anak-anak, suami Rindu, dan kehidupan yang sudah mereka jalani bersama.
"Rindu, aku tidak ingin kita hanya berakhir sebagai kenangan." Pesan singkat dari Rasha kembali masuk ke ponselnya, dan Rindu hanya bisa menatap layar itu dengan hati yang berat.
Rindu menggigit bibirnya. Perasaan itu kembali. Rasha selalu tahu bagaimana cara menyentuh hatinya. Bahkan ketika semuanya terasa salah, perasaan itu tetap ada. Ia menjawab pesan itu dengan cepat, tanpa berpikir panjang.
"Aku juga tidak ingin kita hanya berakhir sebagai kenangan, Rasha. Tapi bagaimana kita bisa bersama jika aku masih punya semuanya di sini?"
Tidak ada balasan langsung. Namun, Rindu tahu bahwa Rasha pasti sedang berpikir dengan serius. Mungkin Rasha merasa bingung, seperti dirinya. Atau mungkin, Rasha sudah siap untuk mengambil langkah berani.
Hari demi hari, Rindu merasa terperangkap dalam kebimbangannya. Suatu pagi, ketika Rindu sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anak, Gazi duduk di meja makan, diam dengan pandangan yang tidak bisa ia sembunyikan. Rindu tahu ada yang mengganjal dalam diri suaminya. Ia bisa melihatnya di matanya, bahkan jika Gazi tidak mengatakannya.
"Gazi, ada apa?" tanya Rindu dengan suara lembut, namun penuh perhatian.
Gazi menatapnya, tampak seperti orang yang sedang berperang dengan pikirannya sendiri. "Aku merasa ada yang tidak beres, Rindu. Aku tidak tahu apa yang sedang kau rasakan, tapi aku merasa kau semakin jauh dariku."
Rindu menundukkan kepala, hati semakin teriris. "Aku tidak ingin menjauh darimu, Gazi. Aku hanya... tidak tahu harus bagaimana."
Gazi terdiam sejenak. "Aku tahu kau mencintainya, Rindu. Aku tahu itu. Aku hanya ingin kau tahu, jika akhirnya kau memilihnya, aku akan mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sini jika hatimu sudah tidak ada di sini."
Rindu terkejut dengan pengakuan itu. Gazi, yang selama ini begitu sabar, begitu penuh perhatian, kini menyampaikan perasaan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Cinta, pengertian, dan rasa sakit yang tak terucapkan.
"Gazi, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," suara Rindu hampir pecah.
Gazi mendekat, meletakkan tangannya di tangan Rindu. "Tidak perlu menjelaskan apapun, Rindu. Aku hanya ingin kau bahagia. Jika bersama Rasha adalah kebahagiaanmu, aku akan melepasmu."
Malam itu, Rindu merasa tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang terus berkembang di dalam dirinya. Ia memilih untuk bertemu dengan Rasha, untuk menghadapinya, meskipun ia tahu pertemuan itu mungkin akan mengubah segalanya.
Di kafe yang sama, Rasha sudah menunggunya. Senyumnya yang dulu selalu memberikan kenyamanan kini terasa berbeda---lebih seperti sebuah harapan yang sulit digapai.
"Rindu..." Rasha memanggilnya dengan lembut.
Rindu duduk di hadapan Rasha, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. "Rasha, aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku mencintaimu. Tapi aku juga mencintai keluargaku."
Rasha menggenggam tangan Rindu, wajahnya serius. "Aku tahu, Rindu. Aku tidak ingin memaksamu, tapi aku ingin kau tahu satu hal---aku akan selalu menunggumu. Aku akan selalu ada untukmu."
Rindu menatapnya, merasa terombang-ambing antara dua dunia yang begitu berbeda. Ia tahu, perasaan ini tidak akan mudah pergi. Tetapi ia juga tahu bahwa keputusan yang ia buat akan mempengaruhi hidup banyak orang---termasuk anak-anak yang begitu ia cintai, dan suaminya yang selalu setia.
Dengan suara yang hampir tak terdengar, Rindu berkata, "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Rasha. Tapi aku tidak bisa terus menjalani hidup dengan perasaan yang seperti ini."
Saat malam mulai merambat, Rindu duduk di rumah, sendirian, dengan perasaan campur aduk. Hatinya tidak pernah merasa lebih berat dari ini. Apa yang akan ia pilih? Cinta yang selama ini terpendam, atau keluarga yang telah dibangunnya dengan penuh cinta?
Di luar sana, jalan-jalan mulai sepi. Rindu menatap ke luar jendela, merasa bingung dengan langkah hidupnya yang tak pasti. Dalam hatinya, ada harapan dan kekhawatiran yang sama besarnya.
Bab 7: Pilihan yang Tak Terucapkan
Rindu terbangun pagi itu dengan perasaan kosong. Udara Bandung yang sejuk tidak dapat menyegarkan hatinya yang mulai lelah. Matanya yang baru terbangun masih terpejam sejenak, seakan mencoba menyingkirkan kenyataan yang menekan dadanya. Semalam, setelah pertemuan dengan Rasha, ia kembali ke rumah dan memendam semuanya dalam diam. Ia tahu, ia harus membuat pilihan, namun rasanya terlalu berat untuk melakukannya.
Suara anak-anaknya, Rea dan Gio, berlarian di luar kamar, mengingatkan Rindu pada kenyataan lain dalam hidupnya yang selalu menghadapinya dengan penuh kasih sayang. Mereka adalah kebahagiaan, namun ada bagian dari dirinya yang seolah tidak bisa dimiliki sepenuhnya. Seperti ada ruang kosong dalam dirinya yang selalu terasa penuh dengan perasaan yang tak terungkap.
"Ibu, ayo bangun!" suara Gio yang ceria mengagetkannya, dan Rindu tersenyum lelah.
"Iya, nak. Ibu bangun," jawabnya sambil mengusap wajahnya, berusaha mengatur perasaan.
Pagi itu, Gazi tampak lebih pendiam dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Rindu tahu bahwa suaminya sangat mencintainya, namun ia merasa semakin sulit untuk memberi jawaban yang pasti. Gazi duduk di meja makan dengan secangkir kopi, menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Rindu mengatur langkah, mencoba melangkah menuju meja itu, namun jantungnya berdegup lebih cepat.
"Gazi, kita perlu bicara," kata Rindu, suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia inginkan.
Gazi mengangkat pandangannya. "Tentang apa?" tanyanya, terdengar penuh perhatian.
"Tentang kita... tentang perasaan aku yang semakin sulit untuk disembunyikan," jawab Rindu, tanpa bisa menghindari rasa cemas yang semakin mendalam.
Gazi menatapnya dengan mata yang penuh pengertian, namun di sana ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan. "Aku tahu, Rindu. Aku tahu ada sesuatu yang kau sembunyikan dari aku. Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakannya, tapi aku ingin kau tahu, aku akan tetap mencintaimu, apapun yang terjadi."
Rindu merasa sesak di dadanya. "Aku mencintaimu, Gazi, tapi aku juga mencintainya." Suaranya hampir pecah. "Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku tidak ingin mengecewakanmu, tapi hatiku terus berpaling padanya."
Gazi menarik napas dalam-dalam, menahan perasaan yang meluap di dalam dirinya. Ia mencoba tersenyum, meski itu terasa amat berat. "Aku tidak bisa memaksa hatimu, Rindu. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku hanya ingin yang terbaik untukmu."
Rindu merasa terhimpit oleh rasa bersalah yang terus menguasai dirinya. Ia mencintai Gazi, namun perasaan itu tidak cukup untuk menutupi kekosongan yang ada dalam hatinya. Ia merasa terjebak dalam labirin perasaan yang tak terurai, antara keluarganya dan Rasha, pria yang selalu membangkitkan gairah dan kenangan lama dalam dirinya.
Di sisi lain, Rasha tidak bisa tidur nyenyak. Ia merasa hatinya berat dan penuh keraguan setelah percakapan terakhir dengan Rindu. Perasaan yang terus berkembang membuatnya gelisah. Ia tahu, Rindu juga mencintainya, namun ada banyak hal yang harus dipertaruhkan. Anak-anak, suami Rindu, dan kehidupan yang telah mereka jalani bersama.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, menandakan pesan masuk. Rasha segera melihat layar, dan matanya menangkap pesan dari Rindu. Hatinya berdegup lebih cepat.
"Rasha, aku... aku tidak tahu bagaimana ini harus berakhir. Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai keluargaku."
Rasha menatap layar ponselnya, hatinya terasa semakin berat. Apa yang harus ia katakan? Ia tidak bisa memaksakan diri, namun ia tidak ingin kehilangan Rindu. Ia menulis pesan balasan, dengan hati yang penuh dengan perasaan yang tak terucapkan.
"Aku tahu, Rindu. Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada, menunggumu. Jika kau memilih untuk kembali, aku akan menunggu."
Pesan itu terkirim, dan Rasha merasa sedikit lega, meski hatinya tetap penuh kekhawatiran. Ia merasa seperti berada di tepi jurang, di antara dua pilihan yang saling menariknya. Namun, yang paling ia inginkan adalah kebahagiaan Rindu, meskipun itu berarti melepaskannya.
Beberapa hari berlalu, dan Rindu merasa semakin sulit untuk mengabaikan perasaannya. Ia mencintai Gazi, suaminya yang sabar dan penuh kasih, namun ia juga merasa terikat pada Rasha, pria yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Setiap kali ia melihat anak-anaknya, hatinya terasa teriris. Rea dan Gio adalah bagian dari dirinya yang tak bisa diabaikan. Mereka adalah kebahagiaan yang ia bangun bersama Gazi. Namun, hatinya yang terdalam tak bisa mengabaikan rasa cintanya pada Rasha.
Akhirnya, pada suatu sore yang sunyi, Rindu memutuskan untuk menemui Rasha sekali lagi. Mereka bertemu di tempat yang sama, di sebuah kafe yang tenang. Rindu duduk di hadapan Rasha, merasakan gemuruh di dalam hatinya. Wajah Rasha tampak serius, dan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya.
"Rindu, aku tahu ini tidak mudah untukmu," kata Rasha dengan suara yang penuh empati.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku pilih, Rasha," jawab Rindu, matanya basah. "Aku mencintaimu, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Gazi dan anak-anak."
Rasha menggenggam tangan Rindu dengan lembut. "Aku tahu, dan aku tidak ingin memaksamu. Tapi aku ingin kau tahu satu hal, Rindu. Aku akan selalu mencintaimu, apapun yang terjadi. Aku akan menunggu sampai kau siap."
Rindu menatap Rasha dengan mata yang penuh kerinduan. Tangan Rasha terasa hangat, namun Rindu tahu, ia harus memilih. Memilih antara dua dunia yang begitu berbeda, namun sama-sama penuh dengan cinta.
Ketika Rindu kembali ke rumah, Gazi sudah menunggu di ruang tamu. Ia duduk di sana dengan ekspresi yang tidak bisa disembunyikan. Rindu merasakan betapa perasaan mereka semakin dekat, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi berdiam diri.
"Gazi," kata Rindu dengan suara gemetar. "Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak ingin menyakitimu, tapi aku juga tidak bisa terus menahan perasaan ini."
Gazi menatapnya dalam-dalam, seperti sedang menunggu kata-kata yang sudah ia duga. "Aku tahu, Rindu. Aku tahu kamu mencintainya."
Rindu merasakan air mata menetes di pipinya. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Gazi. Aku merasa sangat terjebak."
Gazi mendekat, mengelus rambut Rindu dengan lembut. "Aku ingin kau bahagia, Rindu. Jika itu artinya kita harus berpisah, aku akan melepaskanmu. Tapi aku akan selalu mencintaimu."
Rindu berdiri di persimpangan antara dua dunia yang penuh dengan cinta, dan hatinya hancur karena tidak bisa memiliki keduanya. Perasaannya bergulir seperti ombak yang tak pernah bisa berhenti. Namun, dia tahu satu hal---keputusan ini akan mengubah segalanya.
Bab 8: Menanti Jawaban
Pagi itu, Rindu terbangun dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Rumah yang dulu terasa penuh dengan keceriaan kini seakan terasa hampa. Rea dan Gio sudah berangkat sekolah, dan suasana rumah yang biasanya ramai kini tampak sunyi. Gazi masih tidur di kamar mereka, dan Rindu merasa seolah dunia bergerak lambat di sekitarnya. Ada banyak hal yang mengganjal di dalam hatinya, namun semuanya terlalu rumit untuk diungkapkan.
Malam sebelumnya, ia telah berbicara dengan Gazi. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seakan tidak bisa diambil kembali. Rindu merasa terjepit antara dua dunia yang saling bertentangan---satu dunia yang ia bangun dengan suaminya, Gazi, dan dunia lain yang terasa penuh gairah dan kenangan manis bersama Rasha. Namun, ia tahu bahwa ada satu hal yang harus ia pilih, meskipun itu terasa sangat sulit.
"Aku tak bisa terus seperti ini," gumam Rindu, memandangi langit pagi dari jendela ruang tamu. "Aku tak bisa terus bersembunyi di balik kebahagiaan semu."
Ia melangkah menuju kamar Gazi, memutar kenangan tentang mereka yang dulu begitu bahagia. Gazi yang penyayang, yang selalu ada untuknya, namun tidak bisa memenuhi kebutuhan emosional dan seksualnya. Rindu tahu bahwa itu bukan kesalahan Gazi, tapi kenyataannya---ia merasa kosong. Ketika berhadapan dengan Rasha, perasaan itu seakan hidup kembali. Rasha adalah kenangan manis yang tak pernah hilang, meskipun waktu telah membawa mereka ke jalan yang berbeda.
Gazi terbangun, menatap Rindu dengan mata yang penuh kekhawatiran. "Rindu, kamu tak perlu memaksakan diri. Jika kamu ingin berbicara, aku akan mendengarkan." Suaranya lembut, namun ada keraguan yang tersembunyi di sana.
Rindu duduk di tepi tempat tidur, meraih tangan Gazi. "Aku merasa hancur, Gazi. Aku mencintaimu, tetapi aku juga mencintainya." Suaranya serak, menahan tangis yang hampir meledak. "Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatasi perasaan ini. Aku takut jika aku memilih salah satu, aku akan kehilangan semuanya."
Gazi menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba untuk tetap tenang, meskipun hatinya sedang hancur. "Aku sudah tahu, Rindu. Aku sudah tahu bahwa ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan dia." Ia menggenggam tangan Rindu dengan lembut. "Aku mencintaimu, dan aku ingin kau bahagia. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik, tapi jika kau merasa kau perlu memilih jalan lain, aku takkan menghalangimu."
Rindu terdiam, merasakan beratnya kata-kata itu. Gazi, suaminya yang penyayang, yang sudah memberinya begitu banyak cinta, sekarang rela melepaskannya jika itu yang terbaik untuknya. Namun, perasaan yang ia miliki untuk Rasha begitu kuat, dan ia merasa tak sanggup menahan diri lebih lama. Cinta itu begitu nyata, begitu mendalam, dan seakan tak bisa dihapus begitu saja.
Pagi itu, Rindu memutuskan untuk menulis pesan kepada Rasha. Ia tahu itu adalah langkah yang harus diambil, meskipun ia masih ragu dan bingung. Ponselnya terasa berat di tangan. Pesan itu, kata-kata yang harus ia sampaikan, terasa seperti beban yang tak mampu ia pikul sendirian.
"Rasha, aku sudah memutuskan. Aku tidak bisa hidup dalam kebohongan lagi. Aku mencintaimu, dan aku ingin bersamamu. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapinya. Aku takut kehilangan semuanya."
Rindu menekan tombol kirim dan menatap layar ponselnya. Ia menunggu balasan yang tidak kunjung datang. Hatinya gelisah. Waktu seolah berjalan begitu lambat, dan ketidakpastian itu membuatnya semakin terjepit di dalam kebimbangan.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar. Pesan dari Rasha masuk.
"Aku menunggu, Rindu. Aku juga mencintaimu. Tapi aku tidak ingin kau merasa terburu-buru. Aku ingin kau memilih dengan hati yang tenang. Apapun yang kau pilih, aku akan menghormatinya."
Rindu merasa ada sedikit kelegaan di hatinya, namun rasa takut tetap menggerogoti dirinya. Keputusan ini tidak mudah, dan ia tahu bahwa ia akan kehilangan banyak hal. Kehidupan yang telah ia bangun bersama Gazi, anak-anaknya, semuanya akan berubah. Namun, rasa cinta yang ia miliki untuk Rasha begitu kuat, tak bisa ia pungkiri.
Setelah membaca pesan itu, Rindu memutuskan untuk pergi keluar rumah sejenak. Ia ingin melarikan diri dari kenyataan, meskipun ia tahu bahwa pelarian ini hanya sementara. Pikirannya berkecamuk, dan langkah kakinya membawa dirinya ke sebuah taman kecil di dekat rumah. Di sana, ia duduk di bangku taman, menatap langit yang mulai berubah warna. Angin sepoi-sepoi menenangkan pikirannya, namun hatinya tetap terasa kacau.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya dalam hati.
Pikirannya kembali pada anak-anaknya---Rea yang cerdas dan Gio yang penuh semangat. Mereka adalah dunia yang tak tergantikan. Ia tahu, meskipun perasaan cintanya kepada Rasha begitu besar, ia harus memilih yang terbaik untuk mereka. Keputusan yang ia ambil akan mempengaruhi kehidupan anak-anaknya, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa ia anggap enteng.
Malam itu, Rindu kembali ke rumah dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa percakapan dengan Gazi tidak bisa ditunda lebih lama. Ia harus memberi jawaban yang pasti, meskipun itu akan melukai banyak hati. Ia mencintai suaminya, Gazi, yang begitu sabar dan penuh kasih, namun perasaan yang ia miliki untuk Rasha begitu mendalam. Dalam hatinya, ia merasa terperangkap antara dua dunia yang tak bisa ia pilih dengan mudah.
Ketika Rindu masuk ke rumah, Gazi sudah menunggunya di ruang tamu, duduk dengan tatapan serius. Ia tahu, Rindu telah membuat keputusan. Waktu untuk berpura-pura sudah habis.
"Rindu, apakah kau sudah memutuskan?" tanya Gazi dengan suara yang tenang, meski ada rasa cemas di matanya.
Rindu berdiri di depan Gazi, menatapnya dalam-dalam. Ia tahu ini adalah saat yang paling menentukan dalam hidupnya. "Gazi, aku mencintaimu, tetapi aku juga mencintainya. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebingunganku."
Gazi menundukkan kepala, berusaha menahan air matanya. "Jika itu yang membuatmu bahagia, aku akan melepaskanmu."
Rindu merasa sesak di dadanya, namun ia tahu bahwa ini adalah jalan yang harus ditempuh. Ia tidak bisa lagi bersembunyi dari kenyataan. "Aku... aku harus pergi," kata Rindu, suara terbata.
Rindu meninggalkan rumah itu, melangkah menuju masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Ia tahu bahwa keputusan ini akan membawa banyak perubahan, namun ia harus mengikuti hati nuraninya. Dunia yang dulu ia kenal akan berubah, dan ia harus siap menghadapi semuanya.
Bab 9: Keputusan Tak Terelakkan
Setelah malam itu, Rindu merasa seakan dunia sekelilingnya terbalik. Hatinya seolah dihancurkan oleh pilihan yang harus ia buat. Ia telah mengungkapkan perasaannya pada Gazi, yang meskipun dengan berat hati, memilih untuk memberinya kebebasan. Namun, kebebasan itu terasa seperti beban yang sangat berat baginya. Ia tahu apa yang ia inginkan, namun kenyataan hidup menyapanya dengan cara yang tak pernah ia duga.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Rindu mencoba menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini, namun rasa cemas dan keraguan masih menguasai pikirannya. Ia sering terjaga hingga larut malam, memikirkan bagaimana hidupnya akan berubah setelah keputusan ini. Apakah ia akan benar-benar bahagia dengan Rasha? Ataukah ia akan merindukan kehidupan yang ia tinggalkan bersama Gazi dan anak-anak mereka?
Suatu pagi, saat Rindu sedang duduk di meja makan, menunggu Rea dan Gio bersiap untuk berangkat ke sekolah, ponselnya bergetar. Rindu memandang layar ponselnya, dan detak jantungnya langsung berpacu lebih cepat. Sebuah pesan masuk dari Rasha.
"Aku menunggu jawabanmu, Rindu. Aku tak ingin kau ragu lagi. Aku ingin kamu ada di sini, bersamaku. Apa yang harus kita lakukan untuk membuat ini nyata?"
Rindu merasakan hangat di dadanya, namun ketakutan juga muncul bersamaan. Rasha begitu percaya diri, begitu yakin dengan perasaannya. Tapi Rindu? Ia masih merasa terombang-ambing. Ia menatap pesan itu lama, merasa seolah waktunya telah tiba. Ia tak bisa terus menerus menunda keputusan ini. "Aku harus memilih," pikirnya.
Ketika Gio dan Rea akhirnya berangkat ke sekolah, Rindu memutuskan untuk keluar dari rumah. Ia merasa terperangkap dalam keheningan dan kebingungan. Ia ingin bicara dengan seseorang, mungkin seseorang yang bisa memberinya sedikit petunjuk tentang apa yang harus ia lakukan. Hatinya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Ia berjalan kaki menuju sebuah kafe kecil yang biasa ia kunjungi untuk sekadar menenangkan pikiran. Di sana, ia duduk di sudut, memesan secangkir kopi, sambil menatap dunia yang sibuk berlalu di luar jendela. Tidak ada suara yang cukup keras untuk mengalahkan kebisingan di dalam hatinya.
Tak lama, pintu kafe terbuka, dan seseorang masuk. Rindu terkejut ketika melihat siapa yang baru saja masuk. Itu adalah Gazi, suaminya. Ia menatap Gazi dengan tatapan bingung dan cemas. Apa yang dilakukan suaminya di sini? Gazi sepertinya sedang mencari sesuatu atau seseorang, dan matanya langsung tertuju pada Rindu.
Dengan langkah yang pasti, Gazi mendekat, lalu duduk di hadapan Rindu. "Rindu," kata Gazi dengan suara yang tenang, namun ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku tahu ini sulit. Aku tahu kau sedang berada di persimpangan jalan, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak ingin kau merasa terbebani. Apapun keputusanmu, aku akan tetap menghargainya."
Rindu menundukkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Gazi. Aku merasa terjebak antara dua dunia. Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintainya. Aku tahu itu salah, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan itu."
Gazi menghela napas panjang, menatap Rindu dengan penuh pengertian. "Aku sudah tahu, Rindu. Aku sudah tahu tentang perasaanmu padanya. Aku tidak akan menyalahkanmu, karena aku tahu bagaimana rasanya mencintai seseorang dengan sepenuh hati. Tapi aku ingin kau ingat satu hal."
Rindu menatap Gazi dengan penuh perhatian.
"Apa pun yang kau pilih, aku akan tetap mencintaimu, dan aku akan selalu ada untukmu. Aku tahu kita punya anak-anak yang membutuhkan kita berdua, dan kita punya banyak kenangan indah bersama. Aku tidak akan pernah memaksamu untuk memilihku jika hatimu tidak ada di sini."
Rindu merasa seperti ada batu besar yang terangkat dari pundaknya. Gazi, suaminya, orang yang selama ini ia cintai, begitu sabar dan pengertian. Tapi apakah itu cukup? Rindu merasa bingung. Ia tahu bahwa Gazi adalah pria yang baik, yang selalu mendukungnya, namun perasaan untuk Rasha tak pernah hilang. Rasha adalah seseorang yang bisa membuatnya merasa hidup, meski itu terasa begitu rumit.
"Aku tidak tahu bagaimana cara untuk memilih, Gazi," jawab Rindu dengan suara yang gemetar. "Aku takut kehilangan semuanya. Anak-anak, keluarga kita, semuanya. Tapi di sisi lain, aku juga takut jika aku terus menekan perasaanku, aku akan semakin kehilangan diriku sendiri."
Gazi meraih tangan Rindu dengan lembut, matanya penuh kehangatan. "Kamu tidak perlu takut, Rindu. Aku akan selalu mendukungmu. Kau bisa memilih apapun yang membuatmu bahagia. Jika itu berarti kau harus pergi, aku akan melepaskanmu. Tapi jika kamu memilih untuk tetap di sini, aku akan berusaha lebih baik lagi untuk menjadi suami yang kau butuhkan."
Rindu menatap Gazi dengan mata berkaca-kaca, terharu dengan kesabaran dan ketulusan suaminya. Ia tahu bahwa Gazi adalah pria yang luar biasa, namun perasaan yang ia miliki untuk Rasha terlalu kuat untuk diabaikan. Ia merasa terbelah antara dua dunia yang sama-sama mencintainya, namun hanya satu yang bisa ia pilih.
Rindu menarik napas panjang dan menatap Gazi dengan penuh keseriusan. "Aku... aku harus pergi. Aku harus mencari kebahagiaanku sendiri."
Gazi menatap Rindu dengan mata yang sulit disembunyikan kesedihannya, namun ia hanya mengangguk. "Jika itu yang membuatmu bahagia, aku akan mendukungmu, Rindu. Aku akan selalu ada untukmu, meskipun kita tidak lagi bersama."
Rindu merasa hatinya hancur. Tapi, ia tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuknya. Ia harus mengikuti hatinya, meskipun itu akan meninggalkan luka yang dalam. Ia meraih tasnya, beranjak dari kursi, dan memberi Gazi sebuah pelukan singkat.
"Terima kasih, Gazi. Terima kasih telah menjadi suami yang baik. Aku akan selalu menghargaimu."
Dengan langkah yang berat, Rindu meninggalkan kafe itu, menuju masa depan yang penuh ketidakpastian. Ia tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus siap menghadapi konsekuensinya. Hatinya masih penuh dengan cinta untuk Rasha, dan ia akan mengikuti jalan yang sudah dipilihnya.
Bab 10: Dua Pilihan
Rindu menatap kosong ke luar jendela mobil yang melaju cepat. Kota Bandung tampak sibuk di pagi hari, dengan hiruk-pikuk kendaraan dan aktivitas manusia yang tak henti-hentinya. Namun, meskipun dunia di luar begitu hidup, hatinya terasa kosong. Keputusan yang baru saja ia ambil masih menggantung di pikirannya, membuatnya merasa terombang-ambing. Setiap detik terasa seperti beban yang berat, dan perasaan cemas semakin menguasainya.
Setelah percakapan dengan Gazi di kafe tadi, Rindu kembali ke rumah dengan langkah yang berat. Gazi menerima keputusan itu dengan tenang, meskipun jelas ada rasa kesedihan di matanya. Namun, ia tahu apa yang harus dilakukan. Jika Rindu benar-benar merasa bahwa itu adalah yang terbaik untuk dirinya, ia tak bisa menahannya lagi. Meski hatinya hancur, ia berusaha untuk memberi ruang bagi Rindu untuk mengejar kebahagiaannya.
Di rumah, Rindu segera mengambil tas dan barang-barang penting. Ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang sudah ia rencanakan, ke rumah Rasha. Sesuatu di dalam dirinya mendesaknya untuk segera bertemu dengan pria itu, yang selalu ada di hatinya meskipun selama bertahun-tahun ia mencoba menyingkirkannya.
Namun, sebelum ia sempat meninggalkan rumah, anak-anaknya pulang dari sekolah. Rea dan Gio berlari ke dalam rumah dengan riang, melontarkan tawa ceria yang mengisi ruang tamu. Begitu melihat ibunya berdiri di sana, mereka menghampiri dan memeluknya.
"Bu, ayo kita main!" Gio berkata dengan senyum ceria, mengangkat mainan yang dibawanya pulang dari sekolah.
Rindu menatap kedua anaknya dengan tatapan lembut. Rea yang berusia sepuluh tahun, dengan kecerdasan yang luar biasa, memandangnya dengan perhatian. Anak perempuan itu sudah cukup mengerti jika ibunya sedang menghadapi masalah. Wajah Rea menunjukkan kecemasan, namun ia tidak mengatakan apapun.
Rindu tersenyum tipis, meskipun hatinya terasa perih. Ia membelai kepala Rea dan Gio, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang ada di dalam dirinya. "Kalian bermain dulu, ya. Ibu harus beres-beres sedikit," jawabnya, berusaha terdengar santai meski ia merasa hancur di dalam.
Setelah anak-anaknya bermain di luar, Rindu duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga yang terpajang di dinding. Gazi, Rea, Gio, dan dirinya. Semua terlihat bahagia. Tapi hatinya merasa begitu kosong. Ia tahu keputusan yang ia ambil adalah sesuatu yang tak mudah, namun perasaan untuk Rasha tetap membara.
Lalu, ponselnya berbunyi. Pesan dari Rasha masuk lagi.
"Kapan kau datang? Aku sudah menunggu."
Rindu menggigit bibir bawahnya, memandang pesan itu dengan penuh kecemasan. Rasha sudah menunggu. Semua sudah menunggunya untuk membuat keputusan ini, untuk melangkah lebih jauh dalam hubungan yang telah lama terpendam. Ia tahu ini adalah kesempatan yang tak bisa dilewatkan. Tetapi ia juga tahu bahwa keputusan ini akan mengubah segalanya---termasuk hubungannya dengan anak-anaknya, dengan Gazi.
Rindu bangkit dari duduknya dan meraih tas yang sudah ia persiapkan sejak pagi. Ia berjalan ke luar rumah dengan langkah yang ragu-ragu. Mobilnya terparkir di halaman, menunggu untuk membawanya menuju rumah Rasha.
Ketika Rindu tiba di rumah Rasha, suasana di depan rumah itu tampak sunyi. Rindu menekan bel pintu dengan tangan yang gemetar. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, dan di balik pintu itu, Rasha berdiri menunggu, tampak lebih tampan dari yang Rindu ingat. Senyum Rasha menyambutnya dengan hangat, namun ada sesuatu yang berbeda di mata pria itu, sesuatu yang penuh harapan.
"Kau datang," kata Rasha, suara lembut namun penuh keyakinan. Rindu hanya bisa mengangguk, suaranya serasa hilang. Mereka saling berpandangan lama, seolah saling mengukur apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Rindu," kata Rasha sambil mendekat, mengulurkan tangannya. "Kau sudah memilih."
Rindu menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia mengangguk, tapi hatinya penuh dengan kekhawatiran. "Aku... aku sudah memilih," jawabnya pelan. "Aku ingin bersamamu, Rasha."
Rasha tersenyum lebar, senyum yang penuh dengan kebahagiaan. "Aku sudah menunggumu. Kamu tidak akan menyesali keputusanmu ini."
Rindu merasa ada kehangatan dalam pelukan Rasha, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bebas. Tidak ada lagi rasa terjebak, tidak ada lagi kebingungan. Di dalam pelukan Rasha, ia merasa seperti kembali menjadi dirinya sendiri, seperti menemukan rumah yang selama ini ia cari.
Namun, di balik kebahagiaan itu, ada suara kecil di dalam dirinya yang berkata, "Apa yang akan terjadi pada anak-anak? Apa yang akan terjadi pada Gazi?"
Saat Rindu menutup mata dalam pelukan Rasha, dia tahu bahwa ia telah melangkah ke dunia yang tak bisa kembali. Ia tak bisa mengubah keputusan ini, meskipun ia tahu bahwa perasaannya akan membawa dampak besar pada hidupnya dan orang-orang yang ia cintai.
Rasha meraih wajah Rindu dengan lembut, menghapus air mata yang mulai mengalir. "Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kamu sudah memilih kebahagiaanmu. Aku akan membuatmu bahagia."
Rindu hanya bisa menatapnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang ditawarkan Rasha. Meski ada perasaan bersalah yang mendalam, ia tahu bahwa ia tidak bisa mengingkari perasaan ini.
Kehidupan yang baru, kehidupan yang penuh dengan rasa cinta dan kebahagiaan, kini ada di hadapannya. Namun, Rindu tidak tahu bahwa jalan yang ia pilih ini akan menuntunnya ke ujian yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. Dan pada akhirnya, ia harus mempertanggungjawabkan segala keputusan yang telah ia buat.
Bab 11: Bayang-Bayang yang Terus Mengikuti
Hari-hari berlalu begitu cepat setelah keputusan besar yang Rindu buat. Setiap pagi, ia mulai menjalani kehidupan baru bersama Rasha, dengan segala rasa cemas yang masih terus menghantuinya. Ia mencintai Rasha, itu tak bisa disangkal, tetapi perasaan bersalah terhadap Gazi dan anak-anaknya, Rea dan Gio, tetap menghantui pikirannya. Meskipun ia tahu Rasha adalah kebahagiaannya yang sejati, hati kecilnya selalu bertanya-tanya apakah ia telah melakukan hal yang benar.
Pagi itu, Rindu duduk di balkon rumah Rasha, menatap ke luar jendela yang menghadap ke kota Bandung yang sibuk. Semilir angin membawa bau tanah yang segar, seolah memberikan rasa ketenangan sementara. Namun, pikiran Rindu tak bisa lepas dari bayangan Gazi yang selalu hadir di kepalanya. Meski Gazi sudah tahu keputusannya dan menerima semuanya dengan berat hati, perasaan bersalah Rindu tetap tumbuh seperti benih yang terus berkembang.
"Rindu?" suara lembut Rasha memecah lamunannya. Rindu menoleh, melihat Rasha berdiri di dekatnya, senyum hangat di wajahnya. "Kau terlihat sedang jauh di sana. Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Rindu tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku... aku hanya merasa sedikit bingung," jawabnya pelan. "Tentang Gazi dan anak-anak. Mereka... mereka pasti sangat terluka karena aku memilih pergi."
Rasha mendekat, duduk di sampingnya dan meraih tangan Rindu. "Jangan terlalu banyak berpikir tentang itu. Kamu sudah membuat keputusan yang tepat untuk dirimu sendiri. Kau berhak bahagia, Rindu."
Rindu menundukkan kepala, merasa cemas. "Tapi bagaimana dengan mereka? Bagaimana dengan Rea dan Gio? Mereka masih anak-anak. Apa yang akan aku katakan pada mereka?"
Rasha menarik napas panjang, matanya menatap jauh, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Anak-anak akan mengerti seiring waktu. Mereka masih kecil, mereka tidak sepenuhnya mengerti tentang hubungan kita, tapi mereka akan tahu bahwa kamu mencintai mereka. Cinta itu akan selalu ada."
Rindu merasa sedikit terhibur, tetapi bayangan Gazi dan wajah anak-anaknya terus menghantui pikirannya. Dia tahu Gazi adalah pria yang baik. Mereka telah membangun kehidupan bersama selama bertahun-tahun, meski perasaan cinta yang mendalam tak pernah ada di hatinya untuk pria itu. Gazi selalu sabar, selalu penuh pengertian, dan begitu baik kepada anak-anak mereka. Ia tak bisa menghilangkan rasa bersalah yang begitu dalam.
Beberapa hari setelah Rindu memutuskan untuk tinggal bersama Rasha, Gazi menghubunginya. Meskipun ia sudah mengira apa yang akan terjadi, kata-kata dari Gazi tetap membuat hatinya teriris. Rindu tahu bahwa ia harus berbicara dengan Gazi, menyelesaikan segala hal yang belum sempat ia utarakan. Tapi, saat itu juga, perasaan takut menguasainya---takut jika Gazi benar-benar merasa dikhianati, takut jika anak-anaknya merasa ditinggalkan.
Hari itu, Gazi mengirimkan pesan singkat. "Aku ingin berbicara. Bisa kamu datang ke rumah?"
Rindu menatap pesan itu lama. Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Aku harus pergi," katanya pada Rasha, suaranya penuh kecemasan. "Aku perlu berbicara dengan Gazi."
Rasha menatapnya dengan lembut, menggenggam tangan Rindu. "Jika itu yang kau butuhkan, aku akan menunggumu di sini."
Rindu mengangguk dan segera keluar dari rumah Rasha, menumpang taksi menuju rumah yang dulu ia huni bersama Gazi dan anak-anak. Setiap detik perjalanan terasa berat. Rumah itu masih memiliki kenangan-kenangan indah, meskipun kini penuh dengan luka.
Sesampainya di rumah, Rindu langsung disambut oleh Gazi yang berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat letih, dan matanya seperti menahan banyak perasaan. Rindu bisa melihat betapa hancurnya hati pria itu.
"Rindu," kata Gazi dengan suara serak. "Aku... aku tidak pernah membayangkan ini akan terjadi. Aku tahu kamu mencintainya, tapi... kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal? Kenapa harus seperti ini?"
Rindu menunduk, hatinya semakin teriris. "Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, Gazi. Aku terlalu takut untuk mengecewakanmu, untuk menghancurkan keluarga kita."
Gazi menghela napas panjang, matanya yang penuh kesedihan seolah menguak segala penyesalan yang telah ia pendam. "Kau tahu aku tidak pernah berharap kamu akan meninggalkanku. Tapi, kalau itu yang membuatmu bahagia, aku akan melepaskanmu, Rindu."
Air mata mulai mengalir di pipi Rindu, tetapi ia tak bisa menahan perasaan yang sudah begitu lama terpendam. "Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku... aku mencintaimu sebagai teman, sebagai pasangan hidup, tetapi tidak seperti yang kamu harapkan. Aku rasa kita sudah sampai di ujung jalan ini."
Gazi menatapnya, kemudian mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku sudah tahu sejak lama. Tapi aku tidak bisa memaksakanmu. Kamu punya hak untuk bahagia, Rindu. Aku ingin kamu bahagia, meskipun itu berarti harus melepaskanmu."
Rindu menggigit bibirnya, menahan tangis. "Aku tidak tahu bagaimana aku akan menjelaskan ini pada anak-anak kita. Mereka masih kecil, Gazi. Mereka belum mengerti."
Gazi menyeka air mata yang mulai jatuh. "Aku akan menjelaskan kepada mereka. Aku akan menjaga mereka dengan segenap hatiku. Jangan khawatir, Rindu. Kamu tidak perlu merasa bersalah."
Percakapan itu berlangsung lama, penuh dengan kata-kata yang penuh air mata, keheningan yang berat, dan perasaan yang sulit untuk dipahami. Ketika akhirnya Rindu beranjak untuk pergi, Gazi hanya mengangguk, menatapnya dengan mata yang penuh pengertian. "Jaga dirimu, Rindu. Dan... kalau suatu saat kamu membutuhkan aku, aku akan ada."
Rindu keluar dari rumah itu dengan perasaan yang bercampur aduk---lega karena telah berbicara dengan Gazi, namun juga merasa semakin terluka karena ia tahu tak ada jalan kembali.
Sesampainya di rumah Rasha, ia mendapati pria itu menunggunya dengan tatapan cemas. "Apa yang terjadi?" tanya Rasha, melihat wajah Rindu yang pucat.
Rindu hanya bisa menunduk, mencoba menahan tangis yang tiba-tiba pecah. "Aku... aku sudah pergi darinya, Rasha. Tapi ini bukanlah hal yang mudah. Semua perasaan itu begitu rumit... aku merasa seperti telah menghancurkan segalanya."
Rasha meraih Rindu, memeluknya dengan lembut. "Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi, Rindu. Tapi yang penting adalah kamu sudah memilih untuk bahagia. Dan aku akan selalu ada di sini, menemanimu."
Namun, meskipun Rasha berbicara penuh keyakinan, Rindu tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan bahwa hidupnya kini dipenuhi dengan bayang-bayang masa lalu yang tak bisa hilang begitu saja. Gazi, anak-anaknya, dan semua kenangan yang telah mereka bangun bersama akan selalu menjadi bagian dari dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H