Dia membalas pesan itu dengan cepat.
"Aku baik-baik saja, Rasha. Kamu bagaimana?"
Dia tahu, membalas pesan ini sama sekali bukan langkah bijak. Tetapi hatinya tak bisa mengabaikan perasaan itu, perasaan yang menggebu-gebu dalam dirinya meski dia berusaha menahannya.
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Rasha masuk.
"Aku baik. Tapi aku tak bisa berhenti memikirkan kita, Rindu. Kita berdua tahu kita saling mencintai. Aku tahu kamu merasa kesepian, dan aku juga begitu. Aku masih ingin bersamamu."
Rindu membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan. Apakah dia bersalah? Tentu saja, tetapi apakah dia bisa mengabaikan perasaan yang sudah tertanam begitu dalam dalam dirinya?
Dia meletakkan ponselnya di meja, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Suara hujan yang terus mengguyur seperti mengiringi kegelisahannya. Mengapa perasaan ini selalu datang begitu saja, tak bisa dia kendalikan? Mengapa saat dia mencoba untuk menenangkan dirinya, bayangan Rasha justru semakin kuat menghampirinya?
Rindu menggigit bibirnya, menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Dia tahu ini salah, dia tahu dia tidak boleh merasakannya. Tapi perasaan ini---cinta yang tidak akan pernah bisa dia miliki---adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dia hindari.
Pintu kamar terbuka perlahan. Gazi, suaminya, muncul di ambang pintu dengan wajah khawatir. "Rindu, kamu oke?" tanyanya lembut.
Rindu mengangguk dengan cepat, berusaha menyembunyikan kerisauan di wajahnya. "Iya, aku hanya... sedikit lelah." Dia tersenyum, meskipun senyum itu terasa palsu di bibirnya.
Gazi berjalan mendekat, duduk di samping Rindu, dan merangkulnya. "Kamu selalu bekerja keras, sayang. Jangan lupa istirahat."