Ia menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Beberapa pesan baru masuk, termasuk pesan dari Rasha yang masih membekas di pikirannya sejak malam sebelumnya. Rindu menatapnya sejenak, merasakan perasaan yang sulit diungkapkan. Rasha selalu ada, bahkan tanpa diminta, selalu datang begitu saja, mengingatkan perasaan yang ia coba sembunyikan.
Gazi masuk ke kamar, tersenyum melihat Rindu yang masih terbaring di ranjang. "Sayang, ayo bangun. Anak-anak sudah siap sarapan," katanya dengan suara lembut.
Rindu tersenyum tipis, namun senyuman itu terasa hampa. "Iya, sebentar lagi," jawabnya, berusaha terdengar normal meskipun hatinya penuh gejolak.
Gazi menatap istrinya dengan tatapan penuh perhatian. "Kamu terlihat lelah," katanya. "Ada yang mengganggu pikiranmu?"
Rindu merasa terperangkap. Kata-kata Gazi menyentuh hatinya, namun ia tidak bisa menjelaskan yang sebenarnya. Ia tidak ingin menyakiti Gazi, pria yang selalu sabar dan penuh kasih sayang. Namun, hatinya terus dipenuhi oleh bayangan Rasha, yang semakin sulit diabaikan.
"Aku hanya butuh waktu," jawab Rindu, dengan suara yang hampir tidak terdengar. "Mungkin hanya butuh sedikit waktu untuk diriku sendiri."
Gazi mengangguk, meski ekspresinya tampak cemas. "Aku mengerti. Tapi jika ada yang kamu ingin bicarakan, aku selalu ada untukmu, Rindu."
Rindu menghela napas. "Terima kasih, Gazi. Aku... Aku hanya perlu sedikit waktu untuk memikirkan semuanya."
Setelah sarapan, suasana rumah kembali terasa hangat. Rea dan Gio bermain di ruang tamu, sementara Gazi duduk di meja makan membaca koran. Rindu duduk di balkon, menikmati secangkir kopi hangat, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Namun, bayangan Rasha terus mengganggu, seperti bayang-bayang yang tak bisa disingkirkan.
Ponselnya kembali bergetar. Pesan dari Rasha.
Rasha:
"Aku menunggumu, Rindu. Hanya sebentar saja. Aku ingin melihatmu, berbicara tentang semuanya."