"Rindu, aku tidak ingin kita hanya berakhir sebagai kenangan." Pesan singkat dari Rasha kembali masuk ke ponselnya, dan Rindu hanya bisa menatap layar itu dengan hati yang berat.
Rindu menggigit bibirnya. Perasaan itu kembali. Rasha selalu tahu bagaimana cara menyentuh hatinya. Bahkan ketika semuanya terasa salah, perasaan itu tetap ada. Ia menjawab pesan itu dengan cepat, tanpa berpikir panjang.
"Aku juga tidak ingin kita hanya berakhir sebagai kenangan, Rasha. Tapi bagaimana kita bisa bersama jika aku masih punya semuanya di sini?"
Tidak ada balasan langsung. Namun, Rindu tahu bahwa Rasha pasti sedang berpikir dengan serius. Mungkin Rasha merasa bingung, seperti dirinya. Atau mungkin, Rasha sudah siap untuk mengambil langkah berani.
Hari demi hari, Rindu merasa terperangkap dalam kebimbangannya. Suatu pagi, ketika Rindu sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anak, Gazi duduk di meja makan, diam dengan pandangan yang tidak bisa ia sembunyikan. Rindu tahu ada yang mengganjal dalam diri suaminya. Ia bisa melihatnya di matanya, bahkan jika Gazi tidak mengatakannya.
"Gazi, ada apa?" tanya Rindu dengan suara lembut, namun penuh perhatian.
Gazi menatapnya, tampak seperti orang yang sedang berperang dengan pikirannya sendiri. "Aku merasa ada yang tidak beres, Rindu. Aku tidak tahu apa yang sedang kau rasakan, tapi aku merasa kau semakin jauh dariku."
Rindu menundukkan kepala, hati semakin teriris. "Aku tidak ingin menjauh darimu, Gazi. Aku hanya... tidak tahu harus bagaimana."
Gazi terdiam sejenak. "Aku tahu kau mencintainya, Rindu. Aku tahu itu. Aku hanya ingin kau tahu, jika akhirnya kau memilihnya, aku akan mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sini jika hatimu sudah tidak ada di sini."
Rindu terkejut dengan pengakuan itu. Gazi, yang selama ini begitu sabar, begitu penuh perhatian, kini menyampaikan perasaan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Cinta, pengertian, dan rasa sakit yang tak terucapkan.
"Gazi, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," suara Rindu hampir pecah.