Mohon tunggu...
Nuraini Mastura
Nuraini Mastura Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga

Suka baca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Rumah Nene

7 September 2024   09:54 Diperbarui: 7 September 2024   10:01 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan beratapkan ijuk tampak di hadapan. Rumah pertama yang kami temui begitu memasuki desa ini. Berbeda dari rumah-rumah lainnya, ia tampak paling menonjol karena memiliki beranda yang cukup lega. Warga desa menyebutnya sebagai Rumah Nene.

Setelah bersusah-payah menempuh perjalanan panjang melalui rute darat dengan bus dan omprengan, dilanjut dengan menaiki rakit sederhana melintasi danau, akhirnya kami sampai di desa terpencil yang terletak di cekungan lembah. Terisolir sepenuhnya dari peradaban. Begitu mengitari danau, barulah mata kami menyaksikan barisan gubuk dengan atap-atap ijuk hitam yang terselubungi kabut.

Pak Awang, yang semula mengantar kami menyeberang dari desa sebelah, kini sudah tak terlihat batang hidungnya. Sepenuhnya meninggalkan kami sendiri di sini. Seperti empat anak itik yang baru kehilangan induknya.

Aku, Rendi, Yoga, dan Nada.

Empat mahasiswa yang akan menunaikan kerja pengabdian di sebuah desa sebagai salah satu prasyarat akhir kelulusan selama dua bulan ke depan.

Semenjak datang, kami langsung menyadari kejanggalan dari desa yang kami masuki ini. Warganya, terutama kaum usia mudanya, hanya tersisa segelintir. Sepanjang jalan, kami menemui banyak rumah-rumah kosong yang ditinggalkan tak berpenghuni.

Dahulu desa ini merupakan pusat pembuangan para penderita lepra. Ia sudah ada sejak abad ke-18. Warga di sini adalah keturunan para penyintas. Demikian penjelasan dari Pak Awang. Meski aturan pengarantinaan desa ini telah lama dihapus, kesan pengasingan itu masih kuat terasa.

"Ini bukan seperti desa terpencil. Ini, sih..." ucapanku terputus karena khawatir akan reaksi teman-teman yang lain.

"Desa mati." Tetapi Yoga malah meneruskan omonganku tanpa rem.

Nada seketika membelalak. Dari kami semua, mungkin dialah yang paling penakut.

"Huss." Rendi mendengus, kentara sekali terusik. Sebagai kapten di lapangan, komando ada di tangannya. Dan ia jelas tak segan mengambil tindakan bila melihat anggota timnya teralihkan dari fokus. Aku ingat dengan perkataannya sebelum kami berangkat. "Kita adalah tim perintis. Pemuda-pemudi dengan semangat baru yang tidak ternoda oleh takhayul dan kepercayaan mistis." Semangatnya begitu membara. Aku bisa membayangkan dirinya mengepalkan tinju di aksi-aksi mahasiswa yang memperjuangkan keadilan.

Di salah satu rumah yang ditinggalkan penghuninya inilah kami kemudian bermarkas. Tepatnya, di Rumah Nene. Aku berbagi kamar dengan Nada, sementara Rendi dan Yoga akan bermalam di rumah yang lebih kecil persis di depan. Telah disepakati juga bahwa kami akan menuntaskan tugas apapun sebelum magrib untuk kembali berkumpul di beranda rumah.

Sementara Nada sudah membongkar bawaan dan menyiapkan alas tidurnya di satu bilik ruangan, aku melangkah ke beranda. Langkahku seketika terhenti saat itu. Nyaris saja aku menabrak seseorang. Persis di sampingku, di pojok beranda, kusaksikan sosok seorang nenek berambut putih panjang sedang duduk terpekur. Jari-jemari kedua tangan rentanya sibuk menganyam akar-akar pohon. Kedua bola matanya putih pekat.

"Nek...?"

Sosoknya seakan menguarkan aura yang sangat tua. Seketika rambut-rambut halus di tengkukku meremang.

Tiba-tiba saja, bunyi gaok gagak hitam yang melintasi udara merebut perhatianku.

Begitu kukembalikan pandangan ke tepi beranda, sosok sepuh itu sudah tak ada lagi.

Aku bukanlah orang yang suka membaca pertanda. Tetapi keganjilan yang terjadi di hari pertama kami menginjakkan kaki di sana semestinya sudah cukup untuk memberitahuku bahwa ada sesuatu yang tidak beres di desa ini.

Aku semestinya tahu, dan lebih mempersiapkan diri.

***

Malam terasa begitu panjang dan sunyi. Jangankan internet, desa ini bahkan sama sekali belum terjamah oleh daya listrik. Berbeda dari desa tetangga yang setidaknya sudah memiliki generator listrik di rumah kepala desa. Keterasingan terasa begitu pekat di sini. Aku terlelap dengan perasaan seakan berada di dunia lain. Di tempat dengan langit bertabur ribuan bintang yang benderang.

Aku tidak menceritakan tentang penglihatanku kemarin kepada siapapun, khawatir hanya akan menimbulkan ketakutan yang tak diperlukan. Apalagi bagi Nada, teman sekamarku, yang mudah panik.

Aku yakin tidak sedang berhalusinasi kemarin. Tetapi aku tumbuh besar dengan memercayai bahwa sosok gaib takkan bisa membahayakan orang yang hidup. Apapun yang kulihat itu hanyalah sisa-sisa getaran dari masa yang berbeda. Tak usah kukhawatirkan.

Pagi hari kami menyambangi rumah ketua desa. Hendak menyampaikan maksud kedatangan kami sekaligus meminta izin darinya karena akan menjadi tamunya di desa selama beberapa waktu. Aku cukup kaget ketika memasuki rumahnya. Dalam pengamatanku, penampakan sang ketua desa tak ubahnya seorang dukun. Di beberapa sudut rumahnya---yang lebih menyerupai gubuk---tampak cawan-cawan dupa. Menguarkan asap dan bebauan yang membuat pening.

Usia sang kepala desa mungkin sudah seabad. Kulit tubuhnya yang kerempeng sudah begitu kisut, kedua matanya terselubungi katarak, dan beberapa ruas jemarinya tidak utuh, seperti terpotong. Pada dirinya, kusaksikan sisa-sisa dari wabah lepra yang pernah mengganas.

Pria tua itu tak bicara. Alih-alih, seorang wanita yang duduk di sisinya mengambil peran sebagai penyambung lidahnya. Wanita itu berwajah cantik, tetapi aku tak bisa menerka usianya. Umurnya bisa saja hanya beberapa tahun di atasku. Bisa juga menjelang akhir 30-an. Kurasa itu karena penampilannya yang tidak tersentuh oleh tren busana di kota. Dia mengenakan kain jarik sedikit di atas betis dan kebaya berwarna cokelat pudar. Rambutnya disanggul longgar. Beberapa helai rambut tergerai menutupi telinga dan tengkuknya. Wanita di desa memang memiliki keayuan yang tak terjamah. Dia memperkenalkan namanya sebagai Bulan.

"Eh, Mbak Bulan," ucap Rendi. Mungkin ragu hendak menyematkan sapaan Bu, Mbak, atau Kak. Sama sepertiku, dia pun bingung menerka usianya. "Sungguh besar harapan kami, Anda bersedia membimbing kami selama bertugas di sini." Yoga menyikutku, seraya terkekeh pelan. Entah Rendi tengah melancarkan orasi biasanya atau hanya gugup di hadapan kecantikan Mbak Bulan.

"Ini Nada dan Ami." Ia menunjuk ke arah kami. "Saya Rendi, dan ini...Yoga." 

Wanita itu menatap kami dengan senyum yang seperti dipaksakan. Bola matanya melirik penuh arti seakan menakar diri kami satu-satu.

Dari dialah, kami mengetahui kebenaran ucapan Pak Awang. Bahwa dahulu pernah datang perwakilan dari pemdes dan sekelompok mahasiswa hendak membangun jembatan yang akan menghubungkan desa ini dengan desa sebelah yang terdekat. Namun sebelum pengerjaannya tuntas, jembatan itu sudah dirusak oleh warga. Kepala desa sebelah enggan untuk bertanggung jawab dan melaporkan nama-nama warganya yang bersalah. Fakta itu saja sudah cukup memberitahukan pada kami bahwa aksi perusakan jembatan itu merupakan tindakan bersama yang direstui kepala desa tetangga. Pengisolasian sudah dibuka sejak lama, tetapi warga di luar tetap menolak untuk membuka hubungan dan mengakui keberadaan warga desa sini.

"Sepertinya memang perlu kampanye edukasi secara bertahap," ucap Rendi, menatap kami. Semangat dan idealismenya tak pernah surut.

Namun aku juga ingat ucapan Pak Awang, yang mengawal kami memasuki desa ini, beberapa saat sebelum meninggalkan kami. "Warga desa sini memiliki kepercayaan yang aneh. Mereka berbeda dari kita. Berhati-hatilah." Ia seakan bukan hanya membicarakan tentang penyakit yang leluhur desa ini pernah derita.

            Entah apa yang dimaksudnya, tetapi menyaksikan ruangan kepala desa ini, perutku agak melilit. Di satu sisi ruangan tampak beberapa kerangka kepala hewan yang dikeringkan. Kelelawar, musang, babi hutan.

            Sementara itu, ketika Bulan bicara, mata ketua desa yang sepuh seperti menghunjam terus ke arahku. Sepasang mata katarak itu seketika mengingatkanku pada kilasan mata sang nenek di sudut beranda kemarin sore.

Juga, jemari buntungnya yang tak henti menganyam akar.          

***

Sudah hampir dua pekan kami menghuni desa ini. Rutinitas sudah tercipta. Aku bersama Nada akan mendatangi kaum ibu di desa, mencari tahu kebutuhan di sana untuk merumuskan program tepat sasaran sebagai laporan akhir. Sementara Rendi bersama Yoga melakukan pengamatan ke kebun-kebun warga. Budi daya tanaman merupakan spesialisasi keduanya. Di luar dugaan kami, meski dengan segala keterbatasan sumber daya yang dimiliki, nyatanya kami mendapati bahwa warga desa mampu memenuhi kebutuhan mereka dengan sangat baik. Membangun ruang hunian, bercocok tanam, bahkan merawat yang sakit semua dilakukan dengan kearifan masa silam.

Meski begitu, tak ada yang menyangka sebuah peristiwa menggemparkan akan terjadi suatu hari.

"Lihat!"

Suatu sore, Yoga datang membawakan buah yang belum pernah kulihat seumur hidupku. Ukurannya menyerupai sawo, tetapi warnanya hitam legam.

"Buah apa itu?" kami semua menghampiri, penasaran.

"Kata warga, buah ini dinamakan jintala."

"Kau sudah meminta izin?" seperti biasa, Rendi selalu menjadi perusak suasana. Kembali hadir dengan wanti-wanti dan peringatan. "Jangan sembarangan saja makan apa yang ada di sini."

"Memangnya aku nggak belajar agrikultur? Ini jelas-jelas bukan buah beracun." Yoga menepis, tampak jengah diceramahi. Seakan-akan dari kami semua, hanya Rendi si paling tahu adab dan sopan satun.

Ia lantas mengambil sebilah pisau lipat dari saku dan mengupas sebuah. Kami semua terkesima dibuatnya. Begitu kulitnya terlepas, tampak daging buah berwarna merah pekat. Yoga langsung melahapnya. Getah dan air dari daging buah yang menetes ke dagunya terlihat menyeramkan. Seperti darah.

Seleraku susut seketika. Begitu juga sepertinya dengan Rendi.

"Eh, mana Nada?" tanya Yoga. Tiba-tiba teringat akan absennya satu anggota kami.

"Biasa... lagi bobo cantik," sahutku, sedikit ketus.

Aku mulai kesal dipasangkan dengan Nada dalam menggarap proyek kami. Bekerja sama dengannya adalah sebuah ujian kesabaran tersendiri. Ia sering sekali mengeluh letih. Kalaupun hadir di lapangan, lebih banyak bengongnya. Akhirnya banyak pekerjaan, yang semestinya bisa dilakukan bersama, terpaksa kukerjakan sendiri.

"Bener? Nggak mau nyoba, nih?" Yoga kembali menawarkan sambil mengangsurkan potongan buah di tangan yang kami jawab dengan gelengan kepala.

"Terserah kalian. Enak... seger."

Ia mengucapkannya sambil memonyongkan bibir ke arah Rendi, sengaja memuncratkan cipratan air liur berwarna merah ke arahnya.

            Namun tepat saat itu tiba-tiba saja kami tersentak oleh suara-suara aneh. Dari arah ruang tidur, Nada berjalan ke arah kami. Namun yang menghampiri kami bukanlah Nada yang kami kenal. Kedua matanya membeliak dan dari mulutnya keluar sumpah serapah penuh kebencian.

            "KAU ANAK TERKUTUK!!! KENAPA KAU BELUM MATI!"

Ia seperti sedang berjalan sambil tidur, atau kesurupan. Tangannya menuding-nuding ke arah kami.

            Mata itu... seperti mata sang nenek yang kusaksikan di hari pertama.

            Jantungku berdegup tak keruan.

            Bak pahlawan, Rendi kemudian dengan sigap menghampiri dan memejamkan kedua mata temannya itu. Aku dan Yoga hanya bertatap bingung. Seketika saja Nada sudah terkulai. Entah pingsan atau tertidur kembali.

            Namun, kejadian yang ganjil tidak berakhir hanya sampai di situ.

Keesokan pagi, lagi-lagi rumah markas kami gempar. Aku terbangun oleh suara teriakan yang kali ini berasal dari gubuk depan beranda kami.

"Aaaaaa.... Tolong!!!"

Itu suara Yoga.

Apa lagi sekarang?

            Ternyata, pagi itu Yoga terbangun tanpa bisa membuka kedua matanya. Kedua matanya terpejam rapat seperti ditempeli oleh getah yang lengket. Karena tak tahu mesti berbuat apa, kami akhirnya memutuskan untuk membawanya ke gubuk kepala desa.  Entah jampi apa yang diberikan olehnya, tetapi siang hari Yoga sudah kembali seperti sediakala. Sama seperti Nada sehari sebelumnya.

Kedua kejadian itu semestinya sudah cukup untuk menyadarkan kami bahwa ada hal gelap di desa ini yang tidak kami mengerti. Mungkin lazimnya orang sudah akan angkat kaki dari desa angker ini. Tetapi sehari sejak kejadian itu, Rendi membujuk kami semua agar bersedia bertahan sebulan lagi. Setidaknya, sampai tugas akhir kami di sini berakhir. Dengan sikap wibawanya, aku menemui kesulitan untuk menolaknya. 

Tetapi itu sebelum kudapati Nada demam tinggi beberapa hari kemudian. Wajahnya begitu pucat.

Namun lagi-lagi di rumah Nene, kudapati Yoga dan Rendi berseteru.

Rendi mengusulkan agar ia diberi pengobatan alternatif, menyandarkan pada ilmu tabib di desa ini. Sementara Yoga bersikeras bahwa fasilitas kesehatan di sini tidak memadai.

"Kau mau membawanya ke dukun? Sudah sinting lo," Yoga mendamprat. Jelas-jelas merasa itu pilihan yang tak masuk akal.

"Lo pikir perjalanan naik perahu akan aman baginya?" balas Rendi.

"Sudah, hentikan!" pekikku tak tahan lagi.

Aku merasa ada kekuatan di rumah ini yang mencerai-beraikan kami. Ini tidak normal. Tetapi aku juga merasa tak bisa berbuat apa-apa.

***

"Kau pernah bilang setiap rumah kosong ada ceritanya. Mau kuceritakan apa yang terjadi di rumah ini?"

Satu waktu Yoga mendatangiku.

"Ini perkataan banyak warga. Nenek buta penghuni rumah ini dulu adalah penenun keranjang. Dia menjadi gila setelah anaknya yang semata wayang pergi meninggalkannya. Suatu hari, dia membunuh cucu perempuannya yang tinggal bersamanya. Rambut cucunya itu dijadikan sabuk keranjang."

Yoga menceritakan semua dengan berapi-api, tetapi aku agak sangsi. Sulit untuk mencerna semua perkataannya.

"Kau lihat sendiri apa yang terjadi pada Nada. Bukankah ia tengah kesurupan arwah Nenek? Konon katanya, buah jintala adalah buah kesukaan si Nenek ini."

"Tadi malam aku sudah memberi sandi dengan lampu sorot, memanggil agar Pak Awang segera menjemput kita besok subuh dengan rakitnya. Ami, kau juga harus segera pergi dari sini. Nggak ada gunanya bertahan sehari pun."

***

Berkas sinar matahari menyusup masuk melalui sela jendela. Ketika aku terbangun pagi hari itu, hal pertama yang kusadari adalah keheningan di ruangan. Tak ada lagi suara dengkur halus dari teman sekamar. Barulah ingatanku kembali. Nada sudah dibawa oleh Yoga keluar dari desa ini. Dijemput oleh rakit Pak Awang sebelum fajar menyingsing.

Kendati ajakannya, aku memutuskan untuk tidak pergi. Rendi benar. Tidak ada gunanya merasa panik.  

"Buat apa Yoga menyebarkan isu yang nggak jelas asal-usulnya?" Rendi  bersungut. "Jangan bilang, kamu juga percaya cerita begituan." Aku tahu dia merasa kecewa oleh aksi sepihak Yoga yang memilih untuk kabur dari proyek bersama kami tanpa pemberitahuan lebih dulu.

"Bertahanlah, setidaknya sebulan lagi," ucapnya kemudian.

Sebulan bersamanya, mimpi apa aku. Tanpa gangguan. Seperti kesibukan yang selalu merebut perhatiannya kala di kampus, bila kelak kita kembali ke kota. Selama waktu itu, Rendi akan memiliki banyak waktu untuk lebih mengenal kepribadianku. Sepertinya semesta sungguh-sungguh merestui hubungan kami.

Pagi itu aku terbangun dengan tubuh yang segar. Kusapa Rendi yang tengah berdiri di depan beranda, berbalut jaket warna biru almamater kampusnya.

"Mereka semua sudah pulang. Aneh ya, rasanya. Sekarang cuma ada kita berdua."

Rendi mendongakkan muka. Ia melempar senyum sehangat mentari. Tetapi senyum itu tidak diarahkannya padaku.

"Pagi, Nek." Ia menyapa ke arah beranda tepat di belakangku. Aku menoleh, tetapi tak melihat apapun. Beranda itu kosong.

Tanpa  bicara, Rendi segera pergi meninggalkanku. Entah ke mana, ia tak memberitahu.

Kau sebaiknya pergi...

Aku ingat ucapan Yoga kemarin. Yang kuabaikan.

Kau tahu di mana Rendi menghabiskan waktunya seharian? Di gubuk dukun tua itu.

Kini menatapi punggungnya yang bergerak menjauh dan tampak semakin kecil, bulu kuduk di sekujur tubuhku meremang. Gerak-geriknya penuh kerahasiaan. Namun mataku tak bisa lepas, hingga sosok titik biru itu menghilang sepenuhnya.

Hingga yang tersisa, hanya aku.

Sendiri di sini.

***

"Kau anak baru?"

Dengan menimang banyak buku, aku sibuk mencari-cari ruang kelas. Gedung fakultas masih asing bagiku. Aku yang membolos pekan orientasi jelas tertinggal dari teman-teman yang lain. Mungkin kebingungan sudah tercetak jelas di wajahku.

"Sini, biar aku bantu." Pemuda itu mengambil setumpuk buku dari tanganku yang penuh.

Itulah kali pertama kami berkenalan dan semenjak hari itu, dia telah berhasil menawan hatiku.    

Rendi, anak senat yang begitu simpatik dan selalu ringan tangan. Sementara aku, seorang gadis pemalu yang medioker, hanya bisa diam-diam mengaguminya dari kejauhan.

"Aku tahu selalu bisa mengandalkanmu. Ami, aku suka kamu. Aku ingin agar kamu selalu di sisiku."

Ia lalu meraih tanganku, menggenggamnya. Namun perlahan, genggamannya itu menjadi terlalu erat. Meremas tanganku.

Auch.

"Lepaskan."

Saat kudongakkan pandangan dari genggamannya, wajah yang kusaksikan di hadapanku membuatku terperanjat seketika.

Sang nenek renta dengan rambut putih panjang. Menatapku dengan sepasang mata butanya.

"Aku suka kamu."

Dari mulutnya yang tersungging lebar, menetes cairan merah menjijikkan dari buah jintala. Serupa darah.

Penglihatan mengerikan itu membuatku tersentak. Terbangun seketika.

Aku lega mengetahui itu hanya sebuah mimpi, meski tanganku masih terasa ngilu bekas cengkeraman Rendi dari alam mimpi. 

Meski kesadaranku berangsur kembali, tubuhku tetap tak mampu digerakkan.

Ruangan begitu gelap. Aku tak mampu melihat apapun. Aku tak ingat kapan tertidur. Semestinya belum malam, mungkin masih sore.

Dari tepi penglihatan, kusaksikan sang nenek di pojok beranda tempat dia biasa terduduk. Menganyam bilah-bilah akar pohon.

Nenek itu seperti tengah bersenandung.

Lambat-laun pencahayaan menjelaskan siluet sosok itu.

Bukan, itu Bulan. Wanita muda yang beberapa waktu lalu berada di gubuk kepala desa.

Penglihatanku mungkin silap, tetapi seberkas cahaya petang yang jatuh di wajahnya membuat senyumnya terlihat bengis.  

Tenanglah, Ami. Makhluk gaib tidak akan bisa melukaimu. 

Bulu kudukku merinding.

Tetapi manusia bisa...

Telingaku menangkap senandung lirih darinya.

 

Turua wija kula sayang.

Iki sungkawa tan neda dangu.[1]

 

 

Lagu itu mengandung ratapan ratusan tahun. Pengasingan dan derita.

 

Bangun, Ami. Bangun.

 

Entah mengapa, tubuhku masih tak dapat digerakkan.

 

Usai menembang, ia memiringkan kepala. Pelan-pelan. Menoleh ke arahku. Sepasang matanya menatapku tajam.

 

"Pulanglah, Nak. Tempatmu bukan di sini."

 

Suaranya setajam sembilu, menekanku. Ia terlihat jauh lebih tua dari awal perkenalan kami. Bulan dan si Nene penenun akar pohon mungkin tak lain dua pribadi yang terhimpun dalam diri satu makhluk.

 

Perkataan Yoga masih membayang.

 

Kau harus segera keluar.

 

Mumpung masih ada waktu.

 

***

 

Ia salah. Tidak ada yang berusaha menahanku di sini.

 

Di awal pagi, tak lama setelah fajar baru menyingsing, aku terduduk di atas rakit sementara Pak Awang mengayuh. Mungkin Yoga yang menyuruhnya untuk datang menjemputku. Atau, mungkin ini perintah dari dalam desa itu sendiri.

 

Pulanglah, Nak. Tempatmu bukan di sini. Teringat sebuah pesan yang dilontarkan oleh wanita itu. Yang menghampiriku kemarin petang. 

 

"Oh, dia bukan warga asli desa itu," ucap Pak Awang ketika aku menanyakan perihal wanita bernama Bulan itu. Melihatku yang terdiam, ia meneruskan dengan sambil lalu. "Dia datang dari luar. "

 

Datang dari luar?

 

Sungguh aneh. Terlahir di desa yang konon dikatakan terkutuk itu, sudah sewajarnya bila menerima nasib dikucilkan oleh dunia. Tetapi seorang pendatang dari luar, lain cerita. Aku tak bisa membayangkan alasan apa yang ia miliki kalau bukan karena melarikan diri dari entah apa.

 

Selama beberapa minggu menetap di sana, aku sepenuhnya menyadari bahwa kelangsungan desa itu tak mungkin bisa bertahan tanpa kedatangan orang-orang baru. Terutama anak-anak mudanya.

 

Yang hilang mesti berganti.

 

Rumah Nene itu, kusadari, merupakan tempat menyeleksi jiwa-jiwa pendatang baru. Aku tahu energi Nada terlalu lemah. Tubuhnya sudah ambruk menanggapi aura gelap dari desa itu sejak hari pertama. Sementara tindak-tanduk Yoga yang terlampau gegabah langsung tertolak. Sedikitpun ia tak menghormati ranah asing yang dipijaknya. Auranya terus bertumbukan dengan Rendi sehingga rasanya mustahil keduanya bisa bernaung di tempat yang sama.

 

Gaok burung gagak kembali terdengar. Terbang melintasi cakrawala pagi.

 

Mataku melirik ke arah keranjang anyaman dengan sabuk serupa rambut manusia yang tergeletak di dekat kakiku. Di dalamnya, tampak buah-buah jintala ranum warna hitam legam. Entah siapa yang membawakan itu. Kudapati Pak Awang menatapku tajam sebelum membuang mukanya. Pak Awang mungkin bukan hanya penghubung antara dua desa, melainkan antara dua alam. Konon katanya, jembatan itu dirusak oleh warga desa sebelah. Mungkin dia tak sepenuhnya bersih. Ada sebabnya jembatan itu dirusak.

 

Kami berdua kini meluncur dalam keheningan syahdu.

 

Pohon-pohon lebat di tebing lereng dan berkas-berkas kabut putih kembali menyamarkan semua. Seakan-akan desa yang baru saja kutinggalkan itu tidak pernah ada.

 

Dalam keheningan waktu fajar, benakku mendengar jiwa-jiwa yang seakan memanggil-manggil dari kejauhan sana. Mungkin, salah satunya adalah Rendi. Aku tahu dia takkan kembali dalam waktu sebulan sebagaimana janjinya.

 

Tetapi itu tidak mengapa. Tak lama lagi, aku yakin akan menjadi lebih kuat. Aku akan membawa energi yang lebih pas.

 

Tunggulah. Aku akan segera kembali.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun