Ia lantas mengambil sebilah pisau lipat dari saku dan mengupas sebuah. Kami semua terkesima dibuatnya. Begitu kulitnya terlepas, tampak daging buah berwarna merah pekat. Yoga langsung melahapnya. Getah dan air dari daging buah yang menetes ke dagunya terlihat menyeramkan. Seperti darah.
Seleraku susut seketika. Begitu juga sepertinya dengan Rendi.
"Eh, mana Nada?" tanya Yoga. Tiba-tiba teringat akan absennya satu anggota kami.
"Biasa... lagi bobo cantik," sahutku, sedikit ketus.
Aku mulai kesal dipasangkan dengan Nada dalam menggarap proyek kami. Bekerja sama dengannya adalah sebuah ujian kesabaran tersendiri. Ia sering sekali mengeluh letih. Kalaupun hadir di lapangan, lebih banyak bengongnya. Akhirnya banyak pekerjaan, yang semestinya bisa dilakukan bersama, terpaksa kukerjakan sendiri.
"Bener? Nggak mau nyoba, nih?" Yoga kembali menawarkan sambil mengangsurkan potongan buah di tangan yang kami jawab dengan gelengan kepala.
"Terserah kalian. Enak... seger."
Ia mengucapkannya sambil memonyongkan bibir ke arah Rendi, sengaja memuncratkan cipratan air liur berwarna merah ke arahnya.
      Namun tepat saat itu tiba-tiba saja kami tersentak oleh suara-suara aneh. Dari arah ruang tidur, Nada berjalan ke arah kami. Namun yang menghampiri kami bukanlah Nada yang kami kenal. Kedua matanya membeliak dan dari mulutnya keluar sumpah serapah penuh kebencian.
      "KAU ANAK TERKUTUK!!! KENAPA KAU BELUM MATI!"
Ia seperti sedang berjalan sambil tidur, atau kesurupan. Tangannya menuding-nuding ke arah kami.