Â
Gaok burung gagak kembali terdengar. Terbang melintasi cakrawala pagi.
Â
Mataku melirik ke arah keranjang anyaman dengan sabuk serupa rambut manusia yang tergeletak di dekat kakiku. Di dalamnya, tampak buah-buah jintala ranum warna hitam legam. Entah siapa yang membawakan itu. Kudapati Pak Awang menatapku tajam sebelum membuang mukanya. Pak Awang mungkin bukan hanya penghubung antara dua desa, melainkan antara dua alam. Konon katanya, jembatan itu dirusak oleh warga desa sebelah. Mungkin dia tak sepenuhnya bersih. Ada sebabnya jembatan itu dirusak.
Â
Kami berdua kini meluncur dalam keheningan syahdu.
Â
Pohon-pohon lebat di tebing lereng dan berkas-berkas kabut putih kembali menyamarkan semua. Seakan-akan desa yang baru saja kutinggalkan itu tidak pernah ada.
Â
Dalam keheningan waktu fajar, benakku mendengar jiwa-jiwa yang seakan memanggil-manggil dari kejauhan sana. Mungkin, salah satunya adalah Rendi. Aku tahu dia takkan kembali dalam waktu sebulan sebagaimana janjinya.
Â