Namun lagi-lagi di rumah Nene, kudapati Yoga dan Rendi berseteru.
Rendi mengusulkan agar ia diberi pengobatan alternatif, menyandarkan pada ilmu tabib di desa ini. Sementara Yoga bersikeras bahwa fasilitas kesehatan di sini tidak memadai.
"Kau mau membawanya ke dukun? Sudah sinting lo," Yoga mendamprat. Jelas-jelas merasa itu pilihan yang tak masuk akal.
"Lo pikir perjalanan naik perahu akan aman baginya?" balas Rendi.
"Sudah, hentikan!" pekikku tak tahan lagi.
Aku merasa ada kekuatan di rumah ini yang mencerai-beraikan kami. Ini tidak normal. Tetapi aku juga merasa tak bisa berbuat apa-apa.
***
"Kau pernah bilang setiap rumah kosong ada ceritanya. Mau kuceritakan apa yang terjadi di rumah ini?"
Satu waktu Yoga mendatangiku.
"Ini perkataan banyak warga. Nenek buta penghuni rumah ini dulu adalah penenun keranjang. Dia menjadi gila setelah anaknya yang semata wayang pergi meninggalkannya. Suatu hari, dia membunuh cucu perempuannya yang tinggal bersamanya. Rambut cucunya itu dijadikan sabuk keranjang."
Yoga menceritakan semua dengan berapi-api, tetapi aku agak sangsi. Sulit untuk mencerna semua perkataannya.