Sementara itu, ketika Bulan bicara, mata ketua desa yang sepuh seperti menghunjam terus ke arahku. Sepasang mata katarak itu seketika mengingatkanku pada kilasan mata sang nenek di sudut beranda kemarin sore.
Juga, jemari buntungnya yang tak henti menganyam akar. Â Â Â Â Â
***
Sudah hampir dua pekan kami menghuni desa ini. Rutinitas sudah tercipta. Aku bersama Nada akan mendatangi kaum ibu di desa, mencari tahu kebutuhan di sana untuk merumuskan program tepat sasaran sebagai laporan akhir. Sementara Rendi bersama Yoga melakukan pengamatan ke kebun-kebun warga. Budi daya tanaman merupakan spesialisasi keduanya. Di luar dugaan kami, meski dengan segala keterbatasan sumber daya yang dimiliki, nyatanya kami mendapati bahwa warga desa mampu memenuhi kebutuhan mereka dengan sangat baik. Membangun ruang hunian, bercocok tanam, bahkan merawat yang sakit semua dilakukan dengan kearifan masa silam.
Meski begitu, tak ada yang menyangka sebuah peristiwa menggemparkan akan terjadi suatu hari.
"Lihat!"
Suatu sore, Yoga datang membawakan buah yang belum pernah kulihat seumur hidupku. Ukurannya menyerupai sawo, tetapi warnanya hitam legam.
"Buah apa itu?" kami semua menghampiri, penasaran.
"Kata warga, buah ini dinamakan jintala."
"Kau sudah meminta izin?" seperti biasa, Rendi selalu menjadi perusak suasana. Kembali hadir dengan wanti-wanti dan peringatan. "Jangan sembarangan saja makan apa yang ada di sini."
"Memangnya aku nggak belajar agrikultur? Ini jelas-jelas bukan buah beracun." Yoga menepis, tampak jengah diceramahi. Seakan-akan dari kami semua, hanya Rendi si paling tahu adab dan sopan satun.