"Kau lihat sendiri apa yang terjadi pada Nada. Bukankah ia tengah kesurupan arwah Nenek? Konon katanya, buah jintala adalah buah kesukaan si Nenek ini."
"Tadi malam aku sudah memberi sandi dengan lampu sorot, memanggil agar Pak Awang segera menjemput kita besok subuh dengan rakitnya. Ami, kau juga harus segera pergi dari sini. Nggak ada gunanya bertahan sehari pun."
***
Berkas sinar matahari menyusup masuk melalui sela jendela. Ketika aku terbangun pagi hari itu, hal pertama yang kusadari adalah keheningan di ruangan. Tak ada lagi suara dengkur halus dari teman sekamar. Barulah ingatanku kembali. Nada sudah dibawa oleh Yoga keluar dari desa ini. Dijemput oleh rakit Pak Awang sebelum fajar menyingsing.
Kendati ajakannya, aku memutuskan untuk tidak pergi. Rendi benar. Tidak ada gunanya merasa panik. Â
"Buat apa Yoga menyebarkan isu yang nggak jelas asal-usulnya?" Rendi  bersungut. "Jangan bilang, kamu juga percaya cerita begituan." Aku tahu dia merasa kecewa oleh aksi sepihak Yoga yang memilih untuk kabur dari proyek bersama kami tanpa pemberitahuan lebih dulu.
"Bertahanlah, setidaknya sebulan lagi," ucapnya kemudian.
Sebulan bersamanya, mimpi apa aku. Tanpa gangguan. Seperti kesibukan yang selalu merebut perhatiannya kala di kampus, bila kelak kita kembali ke kota. Selama waktu itu, Rendi akan memiliki banyak waktu untuk lebih mengenal kepribadianku. Sepertinya semesta sungguh-sungguh merestui hubungan kami.
Pagi itu aku terbangun dengan tubuh yang segar. Kusapa Rendi yang tengah berdiri di depan beranda, berbalut jaket warna biru almamater kampusnya.
"Mereka semua sudah pulang. Aneh ya, rasanya. Sekarang cuma ada kita berdua."
Rendi mendongakkan muka. Ia melempar senyum sehangat mentari. Tetapi senyum itu tidak diarahkannya padaku.