Di salah satu rumah yang ditinggalkan penghuninya inilah kami kemudian bermarkas. Tepatnya, di Rumah Nene. Aku berbagi kamar dengan Nada, sementara Rendi dan Yoga akan bermalam di rumah yang lebih kecil persis di depan. Telah disepakati juga bahwa kami akan menuntaskan tugas apapun sebelum magrib untuk kembali berkumpul di beranda rumah.
Sementara Nada sudah membongkar bawaan dan menyiapkan alas tidurnya di satu bilik ruangan, aku melangkah ke beranda. Langkahku seketika terhenti saat itu. Nyaris saja aku menabrak seseorang. Persis di sampingku, di pojok beranda, kusaksikan sosok seorang nenek berambut putih panjang sedang duduk terpekur. Jari-jemari kedua tangan rentanya sibuk menganyam akar-akar pohon. Kedua bola matanya putih pekat.
"Nek...?"
Sosoknya seakan menguarkan aura yang sangat tua. Seketika rambut-rambut halus di tengkukku meremang.
Tiba-tiba saja, bunyi gaok gagak hitam yang melintasi udara merebut perhatianku.
Begitu kukembalikan pandangan ke tepi beranda, sosok sepuh itu sudah tak ada lagi.
Aku bukanlah orang yang suka membaca pertanda. Tetapi keganjilan yang terjadi di hari pertama kami menginjakkan kaki di sana semestinya sudah cukup untuk memberitahuku bahwa ada sesuatu yang tidak beres di desa ini.
Aku semestinya tahu, dan lebih mempersiapkan diri.
***
Malam terasa begitu panjang dan sunyi. Jangankan internet, desa ini bahkan sama sekali belum terjamah oleh daya listrik. Berbeda dari desa tetangga yang setidaknya sudah memiliki generator listrik di rumah kepala desa. Keterasingan terasa begitu pekat di sini. Aku terlelap dengan perasaan seakan berada di dunia lain. Di tempat dengan langit bertabur ribuan bintang yang benderang.
Aku tidak menceritakan tentang penglihatanku kemarin kepada siapapun, khawatir hanya akan menimbulkan ketakutan yang tak diperlukan. Apalagi bagi Nada, teman sekamarku, yang mudah panik.