36. Matias dan Rodrigues
"Aku ingin mengatakan bahwa... pada dasarnya aku tidak keberatan jika kau memiliki hubungan dengan putraku, nona. Hanya saja... aku ingin meminta sesuatu padamu."
"Apa... yang dapat Saya lakukan, nyonya?" tanyanya sedikit tegang.
"Tolong jangan sampai membuat putraku berada dalam kesulitan. Selesaikanlah dulu urusanmu dengan keluarga kerajaan."
"Ah, Saya mengerti nyonya. Tentu, Saya juga tidak ingin membuat Matias sampai mengalami kesulitan."
"Dia sangat menyukaimu, nona Nivea. Sejak lama, sejak kau masih menjadi adik kelasnya. Aku hanya berpura-pura tidak tahu di depannya. Dia selalu menyembunyikan hal itu."
"Apa nyonya? Jadi... apakah benar selama itu?"
Countess Victoria pun tersenyum. "Aku mengatakan yang sebenarnya, nona."
"Ah, baiklah nyonya. Saya percaya pada Anda."
"Jika urusanmu dengan pangeran Edmund telah selesai, aku akan meyakinkan suamiku agar jangan mengkhawatirkan apapun lagi."
Nivea hanya dapat menjawab kalimat tersebut dengan senyum tipisnya.
Sementara pada waktu yang sama, Matias Vander Lawrence tiba di waktu yang tepat, ketika baginda raja dan pangeran Edmund sedang berada dalam sebuah perbincangan. Mereka sedang membahas tentang rencana mereka untuk melakukan lamaran resmi kepada putri dari duke Eduardo.
Rencana Matias dan Rodrigues untuk mengkonfrontir pangeran Edmund di hadapan baginda raja, tampaknya akan berjalan lancar hari ini juga.
"Permisi, yang mulia baginda raja. Yang mulia kedatangan tamu, seorang putra dari count Antonio Lawrence datang untuk menemui yang mulia."
"Putra dari... count Antonio? Ada perlu apa denganku?" tanya baginda raja keheranan. Sementara pangeran Edmund yang duduk berhadapan dengan beliau, mulai mengernyitkan dahi. Menelan rasa ketidaksukaannya mendengar lelaki itu berani datang ke istana tanpa diundang.
"Persilahkan saja dia kesini menemuiku!" titahnya kepada sang pembawa kabar.
Setelah kegugupannya mereda, akhirnya Matias memberanikan diri untuk mulai melangkah. Mengikuti langkah seorang penjaga istana menuju ruang kerja baginda raja.
"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia baginda raja dan keluarga." Matias sedikit membungkuk ke hadapan beliau.
"Terima kasih, tuan....?"
"Matias Vander Lawrence."
"Ah, maafkan aku yang belum menghafal namamu dengan baik. Kau putra pertama count Antonio?"
"Benar yang mulia." tatapan kedua mata Matias hanya tertuju kepada baginda raja. Seolah dirinya tak mempedulikan keberadaan pangeran Edmund disana.
"Hmm.. Bisa kau mengatakan sekarang? Maksud kedatanganmu menemuiku?"
"Saya ingin menunjukkan sesuatu kepada yang mulia baginda raja." tangan itu mulai merogoh ke dalam kantung bagian dalam jas hitamnya. Kemudian menyerahkan foto-foto yang telah dicetaknya tempo hari, ke tangan baginda raja.
Dan betapa terkejutnya beliau, begitu tatapannya menangkap salah satu sosok pemuda yang berada dalam foto itu. Beliau mengerti, tak langsung bereaksi kepada putranya. Seolah dirinya tak terkejut mendapati putranya berada dalam foto itu. Dan justru melanjutkan pertanyaannya kepada Matias.
"Bisa kau jelaskan maksud gambar-gambar ini, tuan Matias?"
"Tentu, yang mulia. Pada awalnya tuan Carlos, pengelola perkebunan anggur milik pemerintah. Dimana tempat Saya bekerja, beliau mengeluhkan adanya kejanggalan dalam laporan keuangannya yang menyangkut pajak."
Pangeran Edmund tersentak saat mendengar kata pajak di akhir kalimat Matias. Namun lelaki yang masih duduk di sofanya itu, berusaha menguasai diri untuk tetap tenang. Dia tidak ingin terlihat panik.
Baginda raja masih mengangguk mendengar penuturan Matias, "Lalu?"
"Tuan Carlos mengatakan setiap bulan dirinya rutin memberikan uang kepada tuan Benedict untuk disetorkan ke pihak pajak. Tuan Benedict adalah petugas keuangan di perkebunan kami. Tapi, tuan Carlos mendapat informasi dari pihak pajak bahwa kami telah menunggak sekian bulan."
"Hmm.. Baiklah! Lalu?"
"Pada awalnya Saya sama sekali tidak ingin terlibat dalam hal ini, yang mulia. Apalagi sampai menyelidikinya. Namun tanpa diduga, Saya memergoki tuan Benedict berbincang dengan lelaki asing di perkebunan. Lelaki bermata satu itu dan tuan Benedict ada dalam salah satu gambar itu yang mulia."
Baginda raja menghela nafas, "Kau sempat mendengar perbincangan mereka?"
"Tentu yang mulia. Saya terpaksa menguping karena mereka tampak mencurigakan."
"Apa yang mereka perbincangkan?"
"Lelaki bermata satu itu bernama tuan Keith. Beliau membantu tuan Benedict untuk membuat surat tagihan pajak yang palsu. Lalu kemudian memusnahkan surat tagihan yang asli. Setelah itu, tuan Benedict memberikan surat tagihan palsu tersebut kepada tuan Carlos. Setelah itu, barulah tuan Benedict mendapat keuntungan yang akan dibaginya kepada tuan Keith."
"Apa? Di perkebunan anggur milik pemerintah, terjadi praktik semacam itu?" baginda raja mulai berang. Menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lalu selanjutnya?"
"Lagi-lagi Saya tidak sengaja memergoki kedua lelaki itu sedang bertemu di depan kantor pajak pada waktu pagi hari. Dan kebetulan saat itu Saya sedang menyewa sebuah alat memotret yang akan Saya gunakan untuk membuat dokumentasi keluarga. Akhirnya Saya memutuskan untuk mengambil gambar mereka pagi itu, yang mulia."
"Benar, gambar ini berlatarkan gedung kantor pajak."
Di sebelah sana, pangeran Edmund semakin ketar-ketir untuk mendengar cerita Matias yang selanjutnya. Dia pun berpikir bagaimana cara membuat lelaki itu mengakhiri ucapannya.
"Seorang teman Saya membantu untuk menyelidiki siapa sebenarnya tuan Keith. Dan ternyata beliau adalah pekerja yang bertugas membuat dan mencetak tagihan di kantor pajak."
"Ah, luar biasa. Bahkan di instansi pemerintah pun, ternyata bisa menjadi sarang tikus. Lalu, tuan Matias?"
"Tuan Keith sudah banyak melakukan penipuan semacam itu, yang mulia. Bukan hanya di perkebunan anggur kami. Dan beliau dapat bebas melakukan aksinya karena telah mendapat perlindungan."
"Perlindungan?" baginda raja bertanya heran.
"Cukup, tuan Matias! Anda telah banyak menyita waktu yang mulia baginda raja dengan Saya."
"Diam kau Edmund! Kau sama sekali tidak sopan! Biarkan dia melanjutkan penjelasannya!" baginda raja pun dibuatnya refleks berteriak. Hingga akhirnya membuat pangeran Edmund tertunduk diam.
"Perlindungan dari siapa yang kau maksud?" lanjutnya bertanya pada Matias.
"Yang mulia dapat melihatnya di gambar itu."
"Ah, jadi kau... Edmund? Jawab aku, Edmund!!!"
Sang putra mahkota, masih tak mau membuka mulutnya.
"Berapa banyak keuntungan yang sudah kau ambil Edmund? Kemana larinya semua keuntungan yang kau dapat?? Kau tidak bisa bicara, Edmund? Jawab aku!!!"
"Bagaimana mungkin... semudah itu kau percaya semua ucapannya, Ayah? Hanya dengan beberapa buah gambar yang ada di tanganmu sekarang, kau sudah mempercayainya?"
Baginda raja menoleh kepada Matias. Terlintas di pikirannya, ucapan pangeran Edmund ada benarnya juga. Matias yang mengerti maksud dari tatapan baginda raja, buru-buru membuka mulut sebelum dirinya dituduh mengarang cerita.
"Teman Saya membawa saksi, yang mulia. Yang mulia dapat menanyakan langsung kepada saksi tersebut perihal masalah ini."
"Apa katamu? Saksi? Kau membayar seseorang untuk mengarang cerita di hadapan baginda raja?"
"Diam kau, Edmund! Dimana saksi itu sekarang? Segera bawa dia ke hadapanku!"
37. Topeng Pangeran Edmund
"Saya permisi untuk memanggilnya, yang mulia."
Baginda raja membiarkan Matias yang berbalik badan untuk menghampiri pintu ruangan tersebut.
Ketika Matias membuka pintunya dari dalam, tampaklah Rodrigues yang berdiri sambil memegangi tuan Keith disana. Lelaki bermata satu itu masih saja mencoba untuk melarikan diri. Membuat Rodrigues cukup bekerja keras sekuat tenaga untuk menjaganya.
"Bawa dia masuk, Rodrigues!"
Rodrigues pun menyeret langkah tuan Keith yang berada di depan tubuhnya, agar mau segera masuk ke dalam ruang kerja baginda raja. Sementara penjaga istana yang sedari tadi juga berdiri di depan pintu, hanya melirik ketika Matias meminta Rodrigues untuk masuk.
Untuk ke sekian kalinya, pangeran Edmund dibuat membelalakkan matanya. Sungguh terkejutnya dia melihat sosok lelaki yang tengah melangkah tersendat-sendat di hadapan mereka.
"Ini tuan Keith, yang mulia. Pekerja kantor pajak, yang dirinya berada dalam gambar itu."
"Anda tidak ingin memperkenalkan diri, tuan Keith? Tampaknya Anda tidak sabar berada disini. Kenapa Anda ingin buru-buru pergi?"
"Tidak... yang mulia. Mohon ampuni Saya, yang mulia."
"Ampuni? Memangnya apa kesalahanmu?"
Tuan Keith tertunduk malu, rasanya tak karuan berada di posisinya sekarang. Dirinya sungguh ketakutan, membayangkan hukuman yang harus diterimanya.
"Baiklah! Tuan Keith, tolong Anda menjawab setiap pertanyaan Saya dengan jujur!"
"Ba... baik... yang mulia baginda raja."
"Sejak kapan kau membuat dan mencetak tagihan pajak palsu?"
"Sudah cukup lama, yang mulia. Kurang lebih... satu setengah tahun ini."
"Apa? Bagaimana orang-orang meminta jasamu untuk membuat tagihan pajak yang lebih besar dari sebenarnya?"
"Dari mulut ke mulut, yang mulia. Biasanya, orang yang sudah tahu pekerjaan Saya akan mempromosikan kemampuan Saya memalsukan tagihan pajak."
"Benarkah putraku melindungi kejahatanmu?"
"Be... benar, yang mulia."
"Berapa besar keuntungan yang dia minta darimu?"
"Tiga puluh persen dari upah, yang Saya terima dari orang dalam, yang mulia."
Baginda raja terdiam, beliau menghela nafas lalu memandang putranya yang kini hanya dapat menunduk pasrah.
Dalam keheningan sesaat itu, Matias menunjukkan kertas tagihan pajak perkebunan bulan lalu dengan dua versi. Satu versi yang didapat tuan Carlos dari tangan tuan Benedict, dan satu versi yang didapat tuan Carlos dari gedung arsip.
Lagi-lagi baginda raja hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya, saat mengamati kedua kertas tagihan pajak tersebut.
"Kertas yang ini didapat tuan Carlos dari tangan tuan Benedict, yang mengatakan surat ini datang dari kantor pajak. Sementara kertas yang ini, kemarin tuan Carlos meminjamnya dari gedung arsip. Ini adalah salinan yang asli, yang mulia."
"Bagaimana bisa... dalam satu periode, kau membuat dua tagihan dengan nilai yang jauh berbeda, tuan Keith? Kau benar-benar keterlaluan! Kau mengacaukan sistem yang ada!"
"Mohon ampuni Saya, yang mulia." pintanya dengan gemetaran.
Baginda raja mengusap wajah dengan sebelah telapak tangannya. Beliau mengucapkan terima kasihnya kepada Matias dan Rodrigues yang telah sangat berani menyelidiki dan mengungkap kasus ini.
Beliau akan mempertimbangkan hukuman yang pantas untuk tuan Keith.
Beberapa menit kemudian, yang tersisa disana hanyalah baginda raja, pangeran Edmund dan seorang asisten laki-laki kepercayaan baginda raja. Tuan Ruddy.
"Apa yang kau lakukan dengan gedung arsip, Edmund?" seraya bersedekap dada, baginda raja masih terus melontarkan pertanyaan kepada putranya.
"Apa maksud Ayah?"
"Jika tuan Keith sudah melakukan pemalsuan tagihan sejak satu setengah tahun lalu, itu artinya selama itu juga kau mengetahui dan melindunginya."
"Tidak ayah! Aku baru mengenalnya awal tahun ini."
"Apa ucapanmu masih dapat ku percaya? Kau serakah, Edmund. Dengan sombongnya kau memberikan perlindungan kepada penjahat itu, apa kau berpikir bahwa orang-orang begitu takut menyentuhmu? Karena kau anak seorang raja.. Semua salinan tagihan pajak yang asli tersimpan rapi di gedung arsip. Kau yang menyabotase gedung arsip dengan ledakan waktu itu, Edmund?"
Pangeran Edmund mulai gemetar, dia tak sanggup mengucap apapun lagi.
"Kau telah menginjak kepalaku Edmund! Aku akan memerintahkan mereka untuk mengirimmu tinggal di pengasingan. Aku masih berbaik hati tidak mengirim dirimu ke penjara bawah tanah. Berdiamlah di pengasingan, hingga kau benar-benar menyadari kesalahanmu. Dan kembali dengan hati yang bersih. Satu hal lagi, sebelum aku mati... aku akan menyerahkan tahtaku kepada adikku. Pamanmu Hendrick, lebih pantas menggantikanku."
"Ayah???"
"Tidak akan ada acara melamar! Aku akan membatalkan rencana pernikahanmu. Gadis itu... tidak akan menyukai lelaki bodoh sepertimu."
"Ruddy!"
"Ya, yang mulia."
"Lakukan audit pajak besar-besaran di seluruh perusahaan milik swasta dan pemerintah. Sekaligus di perkebunan. Telusuri semua aliran dananya jika kau menemukan orang dalam yang bermain seperti tuan Benedict. Selidiki juga seluruh pekerja di kantor pajak! Dan kau Ruddy... secepatnya temui tuan Carlos di perkebunan anggur, mintalah dia menyerahkan tuan Benedict kepadamu. Urus lelaki itu sesuai hukum yang berlaku! Aku sendiri yang akan mengurus tuan Keith."
"Baik, Saya mengerti yang mulia."
Baginda raja meninggalkan ruang kerjanya dan pangeran Edmund seorang diri di dalam sana. Langkahnya terhenti oleh kemunculan putri Nicole di hadapannya.
"Ayah! Ada apa Ayah? Aku melihat tuan Matias disini. Dia pergi terburu-buru."
Yang ditanya hanya dapat menjawabnya dengan sebuah helaan nafas, baginda raja enggan membuka mulut. Dengan kedua tangan yang terkait di balik tubuhnya, beliau melanjutkan langkahnya. Melintasi tubuh putrinya.
Tak lama, tampak pangeran Edmund yang juga melangkah keluar dari ruangan itu. Lagi-lagi putri Nicole bertanya.
"Kakak.......?"
"Kau tahu Nicole? Pemuda yang kau sukai itu, telah menghancurkan hidupku! Jika kau... masih saja mengejarnya... Aku tak akan pernah menganggapmu sebagai adikku lagi."
Putri Nicole pun mengernyitkan dahi tak mengerti. "Apa maksudmu, Kakak?"
Dan putri Nicole ditinggalkan untuk kedua kalinya. Pangeran Edmund telah menjauh dari hadapannya.
Suasana istana di penghujung sore hari itu, terasa sunyi sepi. Baginda raja dan pasukan pengawalnya pergi meninggalkan istana setelah keributan yang terjadi siang tadi di ruang kerja baginda raja. Pangeran Edmund mengurung diri di kamarnya. Putri Nicole bersama pelayan pribadinya, memilih sibuk dengan memetik buah cherry di halaman samping istana.
Sementara permaisuri, sedang menangis terisak di dalam kamarnya. Beliau masih terus memikirkan pangeran Edmund yang terlibat dalam kasus penyelewengan pajak itu. Permaisuri tak kuasa menahan tangisnya, saat baginda raja menyempatkan diri bercerita singkat tentang apa yang kini tengah terjadi. Dan atas keputusan beliau akan mengirim putranya ke pengasingan.
Tentu saja, semua itu jelas berpengaruh pada kondisi psikologis permaisuri. Sebagai wanita yang melahirkan dan membesarkan pangeran Edmund, beliau merasa sangat terpukul dengan keputusan yang telah diambil suaminya.
Di sisi lain hatinya, permaisuri sangat kecewa terhadap kelakuan putranya. Anak lelaki yang dibesarkannya dengan pendidikan yang sangat baik, telah mencoreng wajah orang tuanya. Seorang calon pewaris tahta yang selama ini mereka harapkan, telah terbuka topengnya.
38. Kemarahan Count Antonio
"Kau melampaui batasmu, Matias! Apa yang kau lakukan di hadapan yang mulia baginda raja hari ini? Semua orang di kantor pemerintahan membicarakan dirimu. Apa itu yang kau harapkan???"
"Aku tidak mengharapkan apapun, Ayah. Aku hanya ingin membantu tuan Carlos menemukan pelaku penyelewengan pajak perkebunan."
"Lalu apa maksudmu dengan mengungkap hingga sejauh itu, Matias?"
"Aku benar-benar tidak sengaja, Ayah. Dua kali aku memergoki tuan Benedict bertemu dengan pekerja pajak itu. Sehingga aku tidak bisa tinggal diam dan hanya menerka-nerka."
"Dan kau meminta bantuan sahabatmu Rodrigues untuk menyelidikinya bersamamu?"
"Tidak ayah! Kami hanya sepakat mendalaminya bersama. Mana mungkin aku diam saja ketika aku mengetahui seseorang melakukan kejahatan, yang merugikan banyak pihak."
"Kau seperti pahlawan kesiangan, Matias!"
"Maafkan kelancanganku dan Rodrigues, Ayah.."
"Dan kau... apa kau akan tetap menikahi putri duke Eduardo?"
"Tentu, ayah! Kami akan tetap menikah."
"Seluruh orang di negeri ini akan berpikir bahwa kau sengaja menjatuhkan pangeran Edmund, agar kau dapat merebut gadis pilihannya."
"Aku tidak peduli dengan semua itu, Ayah! Mereka tahu, aku sama sekali tidak memfitnah pangeran Edmund. Aku mengungkap kejahatannya dengan membawa bukti tertulis dan seorang saksi."
Count Antonio Lawrence sengaja menunggu kepulangan putranya di ruang tengah kediaman mereka, beliau sungguh tidak sabar ingin bertanya langsung kepada yang bersangkutan, mengapa dirinya sampai menjadi buah bibir di kantor pemerintahan hari ini.
Beliau langsung mencegat langkah Matias ketika lelaki itu baru saja tiba dan hendak menuju ke kamarnya. Dan tanpa banyak basa-basi, beliau langsung melakukan sidang kepada Matias. Seolah putranya itu yang menjadi terdakwanya. Di hadapan countess Victoria dan Martha, count Antonio terus melontarkan pertanyaan yang tengah mengganggu pikirannya.
"Antonio, aku tidak bermaksud membela Matias. Tapi sudahlah! Aku rasa Matias telah menjelaskan semuanya dengan jujur kepada kita. Bisakah kau tenangkan dirimu?"
Martha hanya menggembung kempiskan kedua pipinya, duduk diam tak berani bersuara sedari tadi. Dia hanya menjadi penonton dan pendengar yang baik. Kedua tangannya sibuk memainkan kain gaunnya di bagian lutut.
"Aku masih memikirkan tentang hubunganmu dengan gadis itu, tapi hari ini... kau malah membuat ulah lagi."
"Untuk apa ayah pusing-pusing memikirkan hubunganku dengan Nivea? Kami sudah dewasa, Ayah. Dan Nivea... dia sama sekali tidak berminat menjadi bagian dari keluarga kerajaan."
Count Antonio menghela nafas, menunduk dengan kedua tangan yang menopang kepalanya.
"Berhentilah sekarang juga, Matias.. Antonio! Sudahi perdebatan kalian. Ini sudah semakin malam, waktunya kalian bisa beristirahat. Mau sampai kapan kalian bertengkar?"
"Pergilah ke kamarmu Matias! Sudah cukup, kau membuatku hampir gila."
Tanpa sepatah kata, Matias beranjak dari hadapan mereka setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan sang ayah.
Keesokan harinya, semua orang di seantero negeri itu diributkan dengan adanya audit besar-besaran yang dilakukan oleh beberapa tim keuangan dari kerajaan, di bawah pimpinan tuan Ruddy. Asisten kepercayaan baginda raja itu, bekerja sigap memenuhi titah baginda rajanya.
Namun, di tengah keributan kabar tentang audit pajak, baginda raja membuat pengumuman yang terkesan mendadak serta sepihak. Dengan gagahnya beliau telah berdiri di podium pusat kantor pemerintahan, untuk kemudian memulai pengumumannya.
"Dengan berat hati, Saya.. Jacob Kenneth. Mengumumkan bahwa.. putraku Edmund Kenneth, akan kami kirim ke wilayah pengasingan. Sebagai sanksi atas perbuatan tercela yang telah dilakukannya, sehingga merugikan banyak pihak. Dan Saya juga mengumumkan bahwa... yang bersangkutan, Edmund Kenneth batal melakukan gelaran pernikahan yang telah direncanakannya tempo hari. Karena yang bersangkutan akan menjalani masa hukumannya di wilayah pengasingan hingga batas waktu yang belum ditentukan."
Jeda sesaat.
"Saya, atas nama keluarga besar kerajaan.. meminta maaf kepada seluruh pihak yang telah merasa dirugikan atas kasus penyelewengan pajak yang telah terjadi pada banyak instansi. Dan kami, pihak kerajaan akan terus menelusuri kasus serupa pada instansi-instansi lain yang belum terungkap."
***
"Ayahmu sudah memberitahumu, Martha? Tentang pengumuman dari baginda raja?"
"Hmm. Tentu, Daniel! Siapapun pasti terkejut mendengar hal itu. Pengasingan terhadap pangeran Edmund."
"Aku tidak menduga Matias dan Rodrigues melakukan penyelidikan terhadap kasus itu. Dan lebih tidak menduga lagi, bahwa pangeran Edmund terlibat di dalamnya."
"Benar, Daniel! Kau tahu, ayah sangat marah pada kakak. Mereka bertengkar karena hal itu."
"Tentu, Martha! Ayahmu tentu sangat terkejut karena Matias dan Rodrigues yang mengungkap kasus itu di hadapan yang mulia baginda raja."
"Hmm. Aku... tidak berani membuka mulut saat menyaksikan pertengkaran itu."
"Martha, ibuku mengundangmu berkunjung ke rumah kami."
"Benarkah? Duchess Valerie mengundangku datang?"
"Tentu! Beliau ingin... memasak bersamamu."
"Wah.. apa kau bercanda, Daniel?"
Daniel yang sedang berdiri di samping Martha, langsung menggeleng, "Tidak Martha! Mana mungkin aku bercanda soal ini. Datanglah besok siang! Aku akan pulang lebih awal pulang dari kebun."
"Hmm.. Baiklah, Daniel!"
Sore hari ini, keduanya sedang menghabiskan waktu bersama setelah gerimis sempat turun di siang harinya. Kini Martha dan Daniel sedang berkeliling mengitari area taman Edelweis, yang saat ini terlihat lebih banyak pengunjungnya.
Setelah puas berkeliling bersama selama satu jam lebih, Daniel pun mengantar kekasihnya pulang dengan kereta kuda miliknya. Sang kusir dengan senang hati bersedia mengantar mereka.
Tiba di rumah, Martha dikejutkan oleh keberadaan sang kakak yang sedang duduk membaca di ruang tengah.
"Kakak! Kau pulang lebih awal?"
"Hmm. Aku ingin beristirahat lebih awal, Martha." seraya mengalihkan pandangan dari bukunya kepada Martha. "Kau pergi bersama Daniel?"
"Tentu! Kami berkeliling di taman Edelweis."
"Ah, kalian berdua... romantis sekali!"
"Kau merasa iri hati kepada kami, Kakak?" bisiknya mendekat ke telinga Matias dari belakang.
"Apa katamu? Iri hati? Hmm.. Tidak!"
"Baiklah! Kalau begitu, aku akan ke kamar sekarang." gadis itupun beranjak pergi dari sana.
Matias memikirkan gadisnya. Sesungguhnya dia sudah merindukan Nivea. Tapi, dia belum bisa menemuinya. Situasinya masih belum memungkinkan.
Diluar sana, orang-orang masih membahas tentang pengasingan terhadap pangeran Edmund. Meski mereka juga mengetahui bahwa rencana pernikahan pangeran juga telah dibatalkan, tapi lebih baik jika Matias juga memikirkan posisi Nivea saat ini.
Dirinya memang tidak peduli, jika orang-orang diluar sana membicarakan hal yang tidak baik tentang dirinya. Tapi, Matias tidak ingin jika kekasih hatinya itu ikut dijadikan topik pergunjingan. Matias tidak ingin perasaan Nivea sampai terlukai.
Tak hanya itu, lelaki itu juga masih harus menjaga perasaan banyak pihak. Terutama keluarga kerajaan, keluarga Del Castano dan keluarganya sendiri. Matias sudah lelah jika harus bertengkar lagi dengan ayahnya. Jadi sebaiknya, kini dirinya lebih berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Dia tidak ingin bersikap egois demi mementingkan perasaannya sendiri. Dia akan lebih bersabar hingga nanti dirinya dapat kembali menemui Nivea seperti sedia kala.
39. Bersama Duchess Valerie
Sesungguhnya hati gadis itu dilanda kegundahan. Semenjak kekasihnya berhasil mengungkap kasus penyelewengan pajak yang melibatkan putra baginda raja, kekasihnya itu belum juga tampak batang hidungnya. Dari tempatnya, Nivea hanya dapat menaruh sebuah harap semoga kini Matias berada dalam kondisi yang baik.
"Apa rencana Anda selanjutnya, nona?"
"Hmm? Rencana apa, Seri?"
"Setelah baginda raja mengumumkan bahwa rencana pernikahan itu batal?"
"Ah, itu... Aku.. hanya akan terus melanjutkan hidup." jawabnya seraya menggulung adonan rotinya di atas meja.
"Kalau itu, Saya juga tahu nona. Tapi, apakah... Anda dan tuan Matias memiliki sebuah hubungan?"
"Sstt.. Pelankan suaramu! Mereka bisa mendengarnya, Seri." seraya melirik kepada Clara dan David yang sedang duduk membelakangi mereka di seberang sana.
"Ah, baik nona."
"Kau tahu? Sebenarnya saat malam itu, di taman Edelweis aku telah melamar Matias." ucapnya datar.
"Apa???"
"Hsshh! Seri!"
"Anda tidak bercanda, nona?"
"Tidak! Dan... dia juga sudah menerima lamaranku." Nivea tersenyum senang menoleh ke wajah Seri.
"Wah.. Saya ikut senang mendengar itu, nona."
"Hmm.. Bisakah... kau rahasiakan itu sementara waktu?"
"Tentu nona! Anda selalu bisa mempercayai Saya."
Satu jam setelahnya, roti-roti buatan Nivea telah mengembang sempurna. Nivea masih melanjutkannya dengan membantu tugas David mengoleskan berbagai macam selai pada permukaan atas roti-rotinya. Sedangkan Seri dan Clara sudah mulai terlihat sibuk, melayani pesanan para pelanggan yang mengantre di depan meja pemesanan.
Dan menjelang waktunya makan siang, pelanggan yang datang sudah mulai berkurang. Seri dan Clara bertukar posisi dengan sang nona.
"Hai, nona Nivea!" dengan sedikit membungkuk anggun, Martha mengucapkan salam di hadapan Nivea.
"Hai! Kau begitu cerah, nona Martha! Hmm.. aku menebak, bahwa hari ini suasana hatimu sangat baik."
"Ah, tentu nona! Tolong bungkuskan untukku... enam buah roti dengan selai kacang, selai buah berry dan selai strawberry. Masing-masing dua buah, nona."
"Baiklah! Hmm.. nona Martha!" Nivea memajukan wajahnya untuk berbisik.
"Hmm? Ada apa?" tanya Martha yang mengikuti nada bicara berbisiknya.
"Apa kau membeli roti-roti ini untuk keluargamu? Kenapa kau tidak membeli roti selai cokelat?"
"Ah, aku membelinya untukku bawa ke rumah Daniel, nona!" jawabnya bersemangat.
"Begitu ya. Baiklah! Jadi.. apa kau akan langsung pergi ke rumah Daniel sekarang?" tanya Nivea seraya menyiapkan semua roti pesanan Martha.
"Tentu, nona! Kau tahu, duchess Valerie mengundangku kesana. Daniel mengatakan padaku bahwa ibunya ingin memasak bersamaku."
"Wah.. Tampaknya beliau merestui hubungan kalian ya."
"Hmm.. Terima kasih nona!" Martha mengangguk dan menerima kantung kertas berisi rotinya.
"Baiklah! Tolong sampaikan salamku untuk... Matias. Hahaha. Tidak.. tidak.. aku bercanda."
"Hahaha.. Baiklah nona Nivea, aku permisi."
Dalam perjalanannya menuju kediaman keluarga Daniel, tampaknya Martha sudah tidak sabar untuk cepat sampai disana. Dia penasaran, mengira-ngira duchess Valerie akan mengajaknya memasak makanan apa saja.
Martha juga sudah beberapa kali memandang kepada kantung kertas yang berada dalam pangkuannya. Dia berharap semoga saja duchess Valerie merasa senang dan menyukai roti-roti pilihannya itu.
Dalam hitungan menit, Martha telah sampai ketika tanpa disengaja Daniel juga baru saja turun dari kereta kudanya.
"Martha, kau telah tiba, sayang?"
"Hmm.. Aku membeli beberapa buah roti untukmu dan ibumu." diiringi senyum dan tangannya meraih tangan Daniel yang membimbingnya turun dari kereta kuda.
"Ah, terima kasih Martha! Maaf aku tidak menjemputmu. Kau lihat, aku cukup berkeringat."
"Hmm.. tidak masalah, Daniel!" keduanya mulai melangkah bersamaan menuju ke dalam rumah.
Terlihat duchess Valerie dengan gaun sederhananya, melangkah anggun menghampiri mereka. Dengan senyum riangnya beliau menyambut kehadiran Martha.
"Selamat siang, duchess Valerie." Martha membungkuk hormat padanya.
"Selamat siang, Martha! Kemarilah Nak! Kita akan memasak bersama hari ini."
"Baiklah nyonya! Saya membawakan beberapa buah roti manis. Saya harap Anda menyukainya, nyonya."
"Benarkah? Terima kasih Martha! Tentu aku akan memakannya nanti." beliau tersenyum menerima kantung kertas itu dari tangan Martha.
"Kalian berbincanglah, aku harus membersihkan diri dulu." ucap Daniel kepada mereka.
"Ah, baiklah Daniel", timpal ibunya.
"Ayo Martha, kita ke dapur..." lanjutnya seraya merangkul tubuh Martha dan mengarahkan langkah mereka ke sisi bagian samping rumah itu.
Terlihat sebuah dapur yang cukup luas namun terkesan sederhana. Beberapa jenis peralatan memasak tersusun rapi pada tempatnya masing-masing. Keluarga itu juga memiliki sebuah lemari pendingin, yang berdiri kokoh di sudut ruangan itu. Martha pun semakin antusias untuk memulai kegiatannya.
"Apa di rumahmu, kau sudah pernah memasak, Martha?" seraya meletakkan ke atas meja, bahan-bahan yang akan mereka gunakan untuk memasak.
"Tentu nyonya! Ibu beberapa kali memintaku memperhatikan bibi Puff saat memasak. Dan di lain hari bibi Puff mengajariku memasak."
"Ah, itu sangat bagus Martha! Kita akan memasak haggis siang ini. Apa kau suka haggis?"
Martha mengangguk, "Tentu nyonya! Saya menyukainya."
"Kau sudah pernah membuatnya sendiri?"
"Belum nyonya." seraya tersenyum malu-malu.
"Baiklah! Kau bisa membantuku memotong bahan-bahan itu.. dan.. Hmm.. Kau bisa memperhatikan caraku memasaknya."
"Ya nyonya!"
"Sekarang.. Aku akan mencincang jeroan ini. Dan kau.. bisakah kau iris semua bawang bombay ini, Martha?" diiringi senyumnya beliau menepuk-nepuk dua buah bawang bombay berukuran besar di hadapannya.
"Ah, tentu nyonya!" gadis itupun mulai bergerak meraih pisaunya di meja.
"Pasti kau sudah tahu kalau memasak haggis itu tidak sebentar, Martha."
"Tentu nyonya! Kita baru bisa menikmatinya setelah tiga jam."
"Tepat Martha! Dan saat nanti kita sedang merebusnya selama tiga jam, kita bisa menunggu dengan melakukan hal lain."
"Baiklah nyonya!"
Beberapa menit berlalu, duchess Valerie dan Martha telah duduk di kursi yang menghadap ke halaman belakang rumah itu. Disana juga ada Daniel, yang terlihat sedang memberi makan bagi burung-burung liar yang singgah.
"Apa kalian telah selesai memasak?"
"Belum. Kami sedang menunggu haggis itu direbus." jawab sang ibu.
"Ah, jadi kalian memasak haggis. Hmm.. Aku jadi tidak sabar ingin segera mencicipinya."
"Tentu Daniel! Kau pasti menyukainya dan makan dengan lahap."
"Ya, tampaknya begitu, Martha."
"Roti selai kacang ini sangat lembut, Martha. Selainya cukup banyak." duchess Valerie berkomentar setelah memakan sepotong rotinya.
"Tentu nyonya! Saya membelinya di toko roti nona Nivea. Putri dari duke Eduardo. Nona Nivea sendiri yang membuat roti-roti itu."
"Benarkah? Bahkan rasanya lebih nikmat daripada roti manis yang pernah ku pesan untuk perjamuan tempo hari. Gadis itu sangat berbakat, Martha!"
"Benar nyonya! Bahkan dia juga selalu memberikan pelayanan terbaik di tokonya. Dia selalu ramah melayani semua pelanggannya. Dia tak peduli pelanggannya itu datang dari kalangan mana, semuanya akan mendapat perlakuan yang sama."
"Benarkah?"
"Tentu nyonya! Dia ingin semua orang dapat menikmati roti-roti buatannya."
"Hmm.. Â Dia benar-benar gadis yang rendah hati."
"Kau benar Ibu! Lain kali, aku akan mengajakmu berkunjung ke tokonya." ucap Daniel menimpali.
40. Gerimis Membawanya Kembali
Dua hari berselang, sepuluh menit yang lalu sepasang pelanggan yang duduk di dekat pintu itu akhirnya beranjak pergi. Belum terlihat lagi pelanggan yang datang sejak kedua orang itu pergi. Gerimis diluar sana, membuat udara sekitar kian terasa dingin.
Tak seperti biasanya, Nivea yang sedari tadi masih berdiri di balik meja pemesanan, terlihat cukup bekerja keras menahan rasa kantuk. Beberapa kali dirinya sudah menguap. Dia lantas menarik kursi di belakang etalase rotinya kemudian duduk disana. Dengan bersedekap dada, dalam hitungan detik matanya terpejam. Nivea ketiduran.
"Nona! Hei.. kau tidur siang disini, nona? Nivea!" lelaki itu menaikkan volume suaranya saat menyebut nama Nivea. Dan itu berhasil membuat Nivea terbangun sekaligus terkejut.
"Kau? Apa... apa aku sedang bermimpi?" seraya menoleh ke kanan dan kirinya kemudian bangkit dari kursinya.
Gerimis telah membawa lelaki itu kembali ke hadapannya.
Lelaki itu pun tertawa melihat ekspresi wajah bodoh yang ditampilkan Nivea, "Hahaha.. Ya, kau bermimpi di siang hari!"
Nivea pun menghela nafas, "Aku sangat senang melihatmu. Duduklah! Aku akan membawakan roti dan teh hangat untukmu."
Matias segera bergeser untuk memilih mejanya disana. Lalu duduk sambil bertopang dagu memandangi gerimis yang belum juga usai.
"Apa yang kau lihat diluar sana?"
"Tak ada. Hanya... gerimis yang turun."
"Kau berjalan kaki dari perkebunan?"
"Hmm.. Aku menyuruh tuan Luigi pulang lebih dulu." jawabnya seraya mulai menyesap teh hangatnya.
"Kau baik-baik saja Matias?"
"Tentu! Aku hanya perlu waktu untuk dapat bebas menemuimu lagi."
"Ah, itu benar! Baginda raja telah mengumumkan pembatalan pernikahan itu. Kau tahu? Aku merasa senang dan bebas karenanya."
"Aku sangat merindukanmu, Nivea!"
Sesaat Nivea memandang kedua mata Matias, "Aku juga!"
"Aku melewati banyak hal selama kita tidak berjumpa kemarin."
"Benarkah?"
"Hmm.." angguknya. "Aku bertengkar dengan ayah karena kasus itu. Beliau terkejut karena aku dan Rodrigues yang telah mengungkap kasus itu kepada yang mulia baginda raja."
"Lalu, apa kau menjelaskan secara kronologis kepada ayahmu?"
"Tentu! Tapi, beliau mengatakan bahwa semua orang akan berpikir aku sengaja menjatuhkan pangeran Edmund, agar bisa merebut gadis pilihannya."
"Hahaha. Lelucon apa itu!"
"Hmm.. Aku bilang saja kalau aku tidak peduli akan hal itu."
"Matias, apakah.. kau berencana menemui ayahku dalam waktu dekat ini?"
"Tentu Nivea! Aku akan segera menemui duke Eduardo."
"Untuk apa kau ingin menemui ayahku?"
"Apa? Kau bercanda? Pertanyaan macam apa itu! Tentu aku akan mengatakan pada beliau, bahwa aku ingin menikahi anak gadisnya."
"Bagaimana kalau tidak boleh?"
"Entahlah! Mungkin aku akan... membunuh diriku sendiri."
"Tidak! Jangan pernah katakan hal seperti itu lagi, Matias!"
"Kenapa? Kau takut aku mati? Baiklah! Kalau begitu... aku hanya bercanda."
"Jangan bercanda dengan ucapan semacam itu."
Karena mendengar kata bunuh diri, Nivea langsung teringat akan kutukan yang diceritakan oleh mendiang kakeknya di dalam mimpi. Nivea tidak ingin kutukan itu benar-benar menjadi kenyataan. Dirinya sungguh tak ingin Matias mati. Dia tak sanggup membayangkan jika hal itu sampai terjadi.
***
Sepuluh orang bersenjata itu tergabung dalam pasukan keamanan kerajaan. Mereka tengah berdiri di hadapan baginda raja, telah siap untuk melaksanakan tugas mereka hari ini. Mengantar pangeran Edmund ke wilayah pengasingan yang tersembunyi.
Di bawah pimpinan tuan Ruddy, pasukan itu akan bergerak sebentar lagi.
"Maafkan aku, Ibu. Tidak seharusnya aku mempermalukan dan mengecewakan Ibu."
"Aku selalu memaafkanmu, Edmund! Jagalah dirimu, dimana pun tempatmu nanti. Belajarlah menjadi lebih baik, anakku." permaisuri menitihkan air mata saat mengusap wajah putranya itu.
"Dan kau, Nicole.. Aku harap kau akan menemukan lelaki yang tulus mencintai dan menjagamu."
"Kak... Aku akan merindukanmu.." gadis itupun meraih tubuh sang kakak dan memeluknya erat sebelum mereka harus terpisahkan.
"Sudahlah! Kau harus segera pergi, Edmund!"
Sang pangeran melepaskan pelukannya dengan putri Nicole, bergerak mundur dan mulai menjauh, menghampiri tuan Ruddy yang sudah memberi kode padanya untuk segera berangkat.
"Maafkan aku, ayah!" ucapnya terakhir kali sebelum dia membalikkan tubuhnya untuk benar-benar pergi.
Tangis permaisuri pecah tak terbendung, seiring kian menjauhnya langkah Edmund. Putri Nicole berusaha menenangkan sang ibu dengan memeluk tubuh beliau. Namun perlahan suara tangis itu memudar, berganti dengan tubuh yang kian melemah. Permaisuri jatuh pingsan.
Situasi dalam istana kian menjadi kacau, karena permaisuri yang pingsan sejak dua jam yang lalu belum juga membuka matanya. Semua penghuni istana begitu cemas menanti kabar dari seorang dokter yang masih memeriksa kondisi permaisuri di dalam sana, dengan didampingi baginda raja.
Dengan keahliannya, dokter keluarga tersebut telah memeriksa permaisuri dengan sangat teliti. Hingga beliau menemukan fakta bahwa..
"Yang mulai permaisuri sudah bangun sejak tadi, yang mulia." ucapnya kepada baginda raja setelah mereka menjauh dari ranjang permaisuri.
"Apa???"
"Hanya saja... yang mulia permaisuri tidak mau membuka matanya. Beliau berada dalam kondisi yang sangat teguncang saat ini, sehingga enggan membuka mata."
Baginda raja hanya mampu menoleh, memandang wajah permaisuri yang terkulai lemah di ranjang. Wanita itu seolah telah kehilangan mataharinya. Wajahnya sungguh pucat, tak menampakkan sedikit pun semangatnya untuk melanjutkan hidup.
"Sebaiknya kita keluar, yang mulia. Agar yang mulia permaisuri bisa leluasa membuka matanya. Tampaknya beliau tidak ingin kita tahu bahwa dirinya sudah bangun."
Baginda raja menghela nafas, lalu mengekor di balik tubuh dokternya yang beranjak pergi meninggalkan kamar itu.
Dan apa yang dikatakan oleh sang dokter, benar adanya. Permaisuri Angelina membuka kedua matanya setelah mendengar pintu yang terbuka dan ditutup dari luar. Namun lagi-lagi setitik air mengalir dari sudut matanya, hatinya sungguh terasa hancur. Pandangannya hanya kosong menatap langit-langit.
"Apakah ibuku sudah sadar, dokter?"
"Sebenarnya, yang mulia permaisuri sudah sadar sejak tadi. Tapi sayangnya, beliau tidak ingin membuka matanya. Tolong dampingi ibu Anda dalam melewati masa sulitnya ini, yang mulia tuan putri. Sebuah kebahagiaan kecil dapat menyehatkan kembali hatinya yang rapuh."
"Baik dokter. Saya mengerti."
Baginda raja dan dokternya berlalu pergi kemudian, meninggalkan tuan putri yang masih mematung seorang diri di tempatnya.
Kepergian pangeran Edmund meninggalkan istana, telah memberikan lukanya tersendiri. Putri Nicole dilanda kegundahan menghadapi kondisi sang ibu di depan mata.
Kini dirinya merasa telah menemui jalan buntu. Putri Nicole tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, dia akan terus berpikir dengan lebih jernih untuk dapat menemukan cara bagaimana mengembalikan semangat hidup dan senyuman permaisuri.
Putri Nicole sangat mencintai permaisuri. Dirinya tak ingin mengecewakan sang ibu seperti halnya yang dilakukan sang kakak. Dia tak mau membunuh ibunya dua kali. Dia pun bertekad untuk menjadi seorang gadis yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI