Baginda raja meninggalkan ruang kerjanya dan pangeran Edmund seorang diri di dalam sana. Langkahnya terhenti oleh kemunculan putri Nicole di hadapannya.
"Ayah! Ada apa Ayah? Aku melihat tuan Matias disini. Dia pergi terburu-buru."
Yang ditanya hanya dapat menjawabnya dengan sebuah helaan nafas, baginda raja enggan membuka mulut. Dengan kedua tangan yang terkait di balik tubuhnya, beliau melanjutkan langkahnya. Melintasi tubuh putrinya.
Tak lama, tampak pangeran Edmund yang juga melangkah keluar dari ruangan itu. Lagi-lagi putri Nicole bertanya.
"Kakak.......?"
"Kau tahu Nicole? Pemuda yang kau sukai itu, telah menghancurkan hidupku! Jika kau... masih saja mengejarnya... Aku tak akan pernah menganggapmu sebagai adikku lagi."
Putri Nicole pun mengernyitkan dahi tak mengerti. "Apa maksudmu, Kakak?"
Dan putri Nicole ditinggalkan untuk kedua kalinya. Pangeran Edmund telah menjauh dari hadapannya.
Suasana istana di penghujung sore hari itu, terasa sunyi sepi. Baginda raja dan pasukan pengawalnya pergi meninggalkan istana setelah keributan yang terjadi siang tadi di ruang kerja baginda raja. Pangeran Edmund mengurung diri di kamarnya. Putri Nicole bersama pelayan pribadinya, memilih sibuk dengan memetik buah cherry di halaman samping istana.
Sementara permaisuri, sedang menangis terisak di dalam kamarnya. Beliau masih terus memikirkan pangeran Edmund yang terlibat dalam kasus penyelewengan pajak itu. Permaisuri tak kuasa menahan tangisnya, saat baginda raja menyempatkan diri bercerita singkat tentang apa yang kini tengah terjadi. Dan atas keputusan beliau akan mengirim putranya ke pengasingan.
Tentu saja, semua itu jelas berpengaruh pada kondisi psikologis permaisuri. Sebagai wanita yang melahirkan dan membesarkan pangeran Edmund, beliau merasa sangat terpukul dengan keputusan yang telah diambil suaminya.