Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

The Duke's Daughter (Bagian 21 - 25)

1 Januari 2024   06:51 Diperbarui: 1 Januari 2024   06:52 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

21. Gaun Untuk Martha

Semua orang telah memulai harinya kembali. Martha yang selalu tampak ceria, pagi hari ini sedang memandu tukang kebun yang disewanya untuk memangkas rumput-rumput yang sudah mulai tinggi di sekitar halaman rumahnya. Dengan gaun sederhana bernuansa ungu, kedua matanya teliti memperhatikan setiap detil pekerjaan yang sedang dilakukan paman tukang kebun itu.

Namun, seorang pelayan lelaki membuyarkan konsentrasinya. Dia menghampiri Martha untuk memberitahu bahwa dirinya kedatangan seorang tamu. Gadis itu cukup terkejut ketika tuan Rob mengatakan bahwa tamu tersebut adalah Daniel. Tanpa berpikir lebih lama, Martha pun beranjak pergi meninggalkan halaman belakang rumahnya.

"Selamat pagi Martha." sedikit membungkuk Daniel menyapa Martha dengan hangat.

"Ya Daniel, selamat pagi. Tapi, bukankah kau tahu bahwa Matias sedang bekerja di perkebunan pada jam ini?"

"Tentu Martha! Aku tahu itu. Tapi, aku kesini untuk menemuimu."

"Aku? Duduklah dulu Daniel." seraya bergerak mendekati kursinya diikuti Daniel yang kemudian juga mengambil posisi duduknya di kursi yang lain.

"Aku ingin memberikan sesuatu untukmu, Martha. Tapi, ku harap kau tidak tersinggung dan bersedia menerimanya."

"Kau? Memberi sesuatu untukku?"

Daniel tersenyum mengangguk, berbarengan dengan kedua tangan bibi Puff yang meletakkan cangkir-cangkir berisi teh hangat di atas meja, untuk kedua orang itu.

Martha melanjutkan kalimatnya kepada Daniel setelah bibi Puff menjauh pergi, "Apa yang ingin kau berikan untukku?"

"Ini Martha." seraya menyerahkan sebuah tas yang terbuat dari kertas, berwarna merah muda. Yang sedari tadi dijinjingnya dan cukup menyita perhatian Martha, membuat gadis itu bertanya-tanya dalam hati.

"Apa ini, Daniel?" dengan tangan kanannya menerima.

"Itu sebuah gaun. Kau bisa melihatnya nanti."

"Gaun?"

"Ya Martha! Tiba-tiba saja... aku ingin membelinya untukmu saat melihatnya pertama kali."

"Benarkah? Kenapa tiba-tiba kau mengingatku?"

"Entahlah! Hanya kau yang terlintas di benakku. Saat itu aku mengantar Ibuku ke penjahit langganannya. Lalu, aku melihat sebuah patung wanita mengenakan gaun itu. Ibuku sempat bertanya pada penjahitnya, paman itu mengatakan akan menjual gaun itu. Gaun itu bukanlah pesanan dari pelanggan. Paman itu sengaja menjahitnya untuk dijual."

"Apa kau membelinya saat itu juga, Daniel?"

"Tentu tidak Martha! Aku tidak membelinya bersama Ibuku."

"Lalu, kau kembali seorang diri kesana?"

"Ya! Dan aku sangat beruntung karena gaun itu belum terjual."

"Ah, jadi begitu ya. Aku harap ukuran gaun ini cocok denganku."

"Hmm. Dan aku benar-benar berharap kau sudi mengenakan gaun itu, Martha."

"Tentu Daniel, aku sangat berterima kasih dan menghargai pemberian darimu." seraya tersenyum dan menunduk tersipu malu.

Martha sudah tak sabar untuk segera melihat gaun pemberian Daniel. Selepas kepergian Daniel dari kediamannya, dia pun bergegas masuk ke kamarnya dan membuka tas kertas berwarna merah muda yang sedari tadi sudah berada di tangannya.

Dengan penuh kehati-hatian, sebelah tangan gadis itu meraih lembut kain yang tampak berwarna cokelat keemasan disana. Sorot kedua matanya kian berbinar seiring dengan perlahannya gaun yang tertarik keluar.

Kini Martha dapat melihat gaun cantik itu sepenuhnya. Dia telah membentangkannya di atas ranjang. Setelah cukup puas memandangi dan membelai tekstur kainnya, kini giliran Martha untuk coba mengenakannya.

"Wah, bagaimana bisa ukuran gaun ini sangat pas di tubuhku?" Martha tersenyum senang memandangi dirinya yang sedang mematutkan diri di depan cermin.

Sekejap alam pikirannya pun melanglang jauh tertuju kepada si pemberi gaun itu.

***

Pukul 10.00 pagi, kedatangan sekelompok orang telah membuat buyar seisi perkebunan anggur milik pemerintah. Bagaimana tidak, kelompok pengawal itu datang membawa sang tuan putri. Kembali mengunjungi perkebunan. Entah apa tujuan dari putri baginda raja tersebut, untuk ke sekian kalinya mendatangi perkebunan anggur itu.

"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia tuan putri." ucap tuan Carlos sedikit membungkuk di hadapan gadis yang saat itu mengenakan topi bulunya.

"Terima kasih tuan Carlos. Apa kedatanganku telah membuat Anda kerepotan?"

"Tentu tidak yang mulia. Yang mulia dapat berkunjung kapanpun ke perkebunan ini."

"Ah, baiklah tuan! Kalau begitu... bolehkah Saya berkeliling menikmati sejuknya udara disini?"

"Silahkan yang mulia. Matias akan mendampingi yang mulia untuk berkeliling sesuka hati."

Putri Nicole membelalak kesenangan, dalam hati dia mengatakan bahwa memang itulah yang diinginkannya.

Matias pun melangkah kian mendekat setelah seorang pekerja yang kebetulan melintas di dekat tuan Carlos, menyampaikan padanya bahwa tuan Carlos memanggil dirinya.

"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia tuan putri."

"Terima kasih tuan Matias." diiringi senyum tipisnya.

"Anda memanggil Saya, tuan Carlos?"

"Tentu! Tolong dampingi yang mulia untuk berkeliling. Beliau ingin menikmati udara segar di sekitar sini."

"Ah, baiklah tuan!"

"Silahkan yang mulia.." seraya sedikit membungkuk memberi jalan kepada putri Nicole.

"Hmm. Tuan Matias, bagaimana tentang... isi kotak makan siang itu? Apa Anda menyukai makanannya?"

"Ah, maafkan Saya yang mulia. Saya sampai lupa, harusnya Saya mengucapkan lebih dulu terima kasih Saya untuk kiriman Anda hari itu. Tentu makanan itu sangat nikmat, yang mulia."

"Benarkah?"

"Ya, yang mulia. Saya langsung menyantapnya setelah pelayan pribadi Anda mengantarnya untuk Saya."

"Tapi.. apa Anda tahu bahwa... semua itu Saya sendiri yang memasaknya?"

"Benarkah? Tentu Saya tidak berpikir tentang itu, yang mulia. Maafkan Saya. Saya mengira makanan itu dimasak oleh juru masak istana."

"Hmm. Apa Anda meremehkan kemampuanku?"

"Tidak yang mulia! Tentu tidak. Saya hanya tak menduga bahwa seorang putri dari baginda raja terjun langsung ke dapur."

"Hmm. Baiklah! Saya menerima alasan Anda."

Matias dan putri Nicole masih berjalan bersisian dengan jarak beberapa jengkal. Dengan sabar dan sopannya lelaki itu mendampingi sang tuan putri berkeliling di sela-sela perkebunan.

"Wah, anggur-anggur ini sudah ranum, tuan." seraya menyentuh salah satu kelompok anggur pada pohonnya yang dia lintasi.

"Betul yang mulia, sebentar lagi para pekerja akan memetiknya."

"Anda sudah mendengar tentang perjamuan makan malam yang akan diadakan oleh permaisuri?"

"Tentu yang mulia! Count Antonio telah menyampaikannya pada kami."

"Ah, baguslah kalau begitu. Jadi... apakah Anda akan datang ke istana?"

"Ya, yang mulia. Kami sekeluarga akan datang memenuhi undangan dari yang mulia permaisuri. Itu adalah suatu kehormatan besar bagi kami yang mulia. Kami sangat menghargainya." seraya mengangguk dan tersenyum ramah.

Putri Nicole hanya menimpali kalimat itu dengan senyuman. Sedangkan lelaki yang menjadi pemimpin dari para pekerja itu, tak dapat mengartikan senyuman sang tuan putri. Dia tak tahu dan tak menyadari bahwa sebenarnya senyuman itu mengandung sebuah arti.

Matias benar-benar tidak dapat merasakan bahwa gadis itu telah jatuh cinta padanya. Dan sedang berusaha keras memendam rasa untuknya, berharap Matias merasa peka terhadap sebuah perhatian yang diberikan olehnya.

Sejak saat pertama kali mereka berjumpa, lalu kiriman kotak makan siang itu. Bahkan semestinya Matias mulai berpikir, ketika putri Nicole mengatakan dirinya sendiri yang memasak beberapa macam makanan yang dikirim untuknya.

22. Kalung Pemberian Matias

Sudah tiba waktunya acara perjamuan makan malam di istana dilaksanakan. Nivea Del Castano tampak begitu anggun dan menawan mengenakan gaun ruffle bernuansa abu-abu. Dirinya tampak mewah dan elegan. Ditambah lagi sebuah topi cantik bertengger di atas kepalanya.

Nivea bersama duke Eduardo dan duchess Elvira, turun dari kereta kudanya. Melangkah memasuki area istana, mereka pun saling bertegur sapa dengan tamu-tamu undangan yang lainnya.

Betapa terkesannya pangeran Edmund pada penampilan Nivea malam hari ini. Membuatnya semakin ingin menjadikan Nivea sebagai permaisurinya di masa mendatang.

Namun belum sempat sang pangeran menghampiri dirinya, baginda raja memberi pengumuman bahwa tampaknya semua tamu undangan telah hadir dan beliau mempersilahkan para tamu undangan untuk memulai makan malamnya. Disana telah disediakan banyak meja makan dengan kapasitas lima kursi, dengan masing-masing meja telah diberi tanda nama keluarga tertentu.

Dan pangeran Edmund ingin sesi makan malam itu cepat selesai, agar dirinya dapat segera mendekati Nivea.

Nivea yang telah duduk di meja makannya, terlihat seperti sedang mencari keberadaan seseorang. Kedua matanya menjelajah ke meja-meja makan di sekelilingnya, hingga akhirnya dia menangkap keberadaan Matias di meja makan seberang sana. Berselang dua meja dari mejanya sendiri. Di saat yang sama, Matias juga menangkap keberadaan dirinya. Lelaki yang mengenakan tuksedo berwarna abu-abu itu tersenyum sepenuh hati kepada gadis yang disukainya. Dan hal itu sukses membuat hati Nivea bergetar.

Hingga akhirnya sesi makan malam telah selesai, para tamu undangan mulai berpencar dari meja makannya. Pihak istana juga menyuguhkan pertunjukan musik-musik harmoni romantika.

Langkah pangeran Edmund kepada Nivea sempat terhenti karena Matias telah mendahuluinya. Dalam diamnya pangeran Edmund memandang kedua orang yang sedang berbincang itu dari jauh. Tak lama, dia memutuskan untuk tetap melangkah maju.

"Selamat malam nona Nivea."

"Ah! Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia pangeran." jawab Nivea yang sedikit membungkuk bersamaan dengan Matias yang juga memberi hormatnya kepada sang pangeran.

"Terima kasih. Anda sangat menawan malam ini, nona."

"Terima kasih juga yang mulia pangeran. Ah, apa kalian belum saling mengenal?" tanya Nivea dengan pandangan matanya bolak balik kepada pangeran dan Matias.

Keduanya tak ada yang menjawab. Segera saja Matias memperkenalkan dirinya dengan sopan.

"Perkenalkan, yang mulia pangeran. Saya Matias Vander Lawrence. Putra pertama dari count Antonio Lawrence."

"Ah, jadi Anda yang bekerja di perkebunan anggur milik pemerintah?"

"Benar yang mulia."

Pangeran Edmund mengangguk-angguk dan melanjutkan kalimatnya. "Apakah kalian berteman?"

"Ah, itu tentu yang mulia pangeran. Saya dan Matias adalah adik dan kakak kelas saat di perguruan ketiga."

"Jadi begitu ya. Dan.... apakah kalian sepakat mengenakan busana dengan warna senada?"

"Oh? Apa?" Nivea membulatkan kedua matanya. Lalu melihat kepada gaunnya sendiri dan Matias di hadapannya. "Ah. Hahaha. Kami tidak sengaja yang mulia. Bahkan Saya baru menyadarinya karena yang mulia mengatakan hal itu. Benar kan, Matias?" Nivea melirik kepada Matias agar dirinya ikut menjawab.

"Ah, itu benar yang mulia. Kami sama sekali tidak berniat mengenakan busana dengan warna yang sama."

Pangeran Edmund bekerja keras menyembunyikan ketidaksukaannya melihat hal itu. Lagi-lagi hatinya terbakar. Namun kali ini yang membakarnya adalah api cemburu.

Terlihat seorang lelaki menghampiri pangeran Edmund, lelaki itu membisikkan sesuatu di telinga pangeran Edmund.

"Sepertinya Saya harus meninggalkan kalian lebih dulu. Ada sesuatu yang harus Saya urus."

"Baiklah yang mulia. Terima kasih atas jamuan Anda, yang mulia." jawab Matias diikuti Nivea yang sedikit membungkuk juga ke hadapan pangeran.

Satu pengganggu telah pergi dari tengah mereka, namun sayangnya memunculkan satu pengganggu lagi.

"Tuan Matias, sejak tadi Anda disini?"

"Salam hormat, semoga keberkahan dan kebahagiaan mengalir untuk Anda, yang mulia tuan putri." sapa Matias dengan cukup terkejut mendapati putri Nicole telah mendekat padanya.

Nivea pun ikut membungkuk ke hadapan sang tuan putri. Menyatakan rasa hormatnya.

"Ah, Anda disini juga nona Nivea?"

"Tentu yang mulia."

Sorot kedua mata tuan putri menggerayangi pakaian yang dikenakan dua orang di hadapannya. Tampaknya dia menahan diri untuk tidak berkomentar apapun. Dia cukup menelannya sendiri, menyadari kedua orang itu mengenakan pakaian dengan warna senada. Hal itu sungguh membuatnya iri.

"Oh ya tuan Matias, apakah pekerjaanmu di perkebunan berjalan dengan lancar?"

"Tentu yang mulia. Semua berjalan baik-baik saja, seperti biasanya."

"Apa yang dikatakan tuan Carlos benar, bahwa kedatangan Saya tidak mengganggu pekerjaan kalian?"

"Ah, tentu saja yang dikatakan tuan Carlos itu... benar yang mulia. Kami semua merasa mendapat perhatian dari Anda, yang mulia."

Nivea mulai gerah, berada di tengah kedua orang yang sibuk berbincang sendiri. Seolah dirinya tidak ada disana. Hingga dirinya mulai dapat menangkap gelagat aneh putri Nicole. Nivea dapat merasakan kalau putri Nicole menyukai Matias.

Kehadiran Martha ke tengah mereka, lantas menjadi penolong bagi Nivea yang tak mampu bersuara sejak tadi.

"Apa kalung ini milikmu, Kakak? Seorang pelayan mengatakan... tadi kau sedang mencari kalungmu yang terjatuh." tambahnya seraya menyodorkan sebuah kalung berjenis emas putih kepada Matias.

"Ah, benar Martha! Ini milikku." Matias segera meraihnya dari tangan Martha.

"Tapi, kenapa liontin kalung itu berinisial N?"

Matias tersentak, membuatnya hanya bisa terdiam.

Dengan penuh percaya diri, putri Nicole membuka suara, "Apa Anda mau memberikannya untukku, tuan Matias?"

"Ah, Saya memohon maaf yang mulia tuan putri, Saya harus mengatakan bahwa... Saya membeli kalung ini untuk... nona Nivea."

Sontak Martha menutup mulutnya dengan sebelah tangan, dia tak menduga kakaknya akan bicara sejujur itu.

"Ah, benar! Kami memiliki awalan nama dengan huruf yang sama. Anda sudah menemukan kalung itu, maka berikanlah padanya sekarang!"

Semuanya terdiam. Matias dan Nivea malah saling memandang aneh hingga Nivea membuka mulut.

"Anda menginginkan kalung itu, yang mulia putri Nicole?"

"Ah, tidak begitu nona. Tuan Matias mau memberikannya untuk Anda. Jadi, terimalah kalung itu dengan baik."

Tanpa menunggu Matias menyerahkan kalung itu padanya, salah satu tangan Nivea bergerak cepat meraih kalung di tangan Matias.

Seraya mengatakan, "Baiklah, aku terima kalung ini."

Sikap Nivea yang seperti itu telah mengejutkan mereka. Membuat berpasang mata itu melongo tak percaya.

"Terima kasih atas pemberianmu, Matias." lanjutnya.

Dan Matias hanya dapat menjawabnya dengan senyuman tipis.

Situasinya menjadi sangat canggung sekarang. Martha hanya dapat mengutuk dalam hati, atas kebodohan yang dilakukannya. Dia datang membawa kalung itu di saat yang tidak tepat. Lain halnya dengan putri Nicole, gadis itu menyesal telah gegabah terlalu percaya diri berpikir kalau Matias akan memberikannya sebuah kalung. Pada akhirnya dirinya harus menanggung malu, terlebih di hadapan Nivea.

23. Akhir Perjamuan

Alunan musik benuansa harmoni romantika yang terdengar di seantero ruangan dalam istana, masih terus terdengar di telinga. Semua tamu undangan masih sibuk dengan perbincangannya dalam kelompok masing-masing. Hampir semuanya berbincang sambil memegang sebuah gelas di tangannya. Perbincangan yang seolah tak ingin mereka akhiri, sesekali diselingi dengan kegiatan meminum.

Pandangan tajam kedua mata Daniel berhasil menangkap keberadaan seorang gadis yang tampak dari belakang, rasanya Daniel sangat mengenal gaun berwarna cokelat keemasan yang dikenakannya. Lelaki dengan tuksedo hitam itu pun melangkah kian mendekat kepada gadis yang sedang duduk seorang diri di dekat pilar bangunan istana.

"Selamat malam, Martha!"

"Ah, Daniel! Kau mengagetkanku."

"Boleh aku duduk disini?" tanyanya mengalihkan pandangan Martha kepada kursi kosong di dekatnya.

"Tentu saja Daniel. Duduklah!"

"Kau melamun, Martha? Sampai aku membuatmu terkejut?"

"Ah, itu.. Hanya saja, aku sedang memikirkan sesuatu. Aku terlalu serius memikirkannya."

"Hmm. Kau mengenakan gaun pemberianku."

"Hmm. Benar Daniel. Aku sangat menyukai gaun cantik ini. Aku tidak menduga ukurannya bisa sangat pas di tubuhku. Aku merasa nyaman mengenakannya."

"Benarkah? Kau menyukainya?"

"Tentu Daniel! Aku bicara tentang kejujuran, bukan untuk sekedar menyenangkan hatimu." ucapnya diakhiri senyuman dan menunduk malu.

"Aku sangat bersyukur jika itu benar, Martha."

Hening sekian detik.

"Kau tahu Daniel, kakakku sangat menyukai seorang gadis. Tapi, sekarang aku dapat melihat ada gadis lain yang menyukai kakakku."

"Ah, benarkah? Lalu kira-kira kakakmu akan berjalan ke arah gadis yang mana?"

"Hmm. Entahlah! Hanya saja... aku merasa ternyata menyukai seseorang itu cukup rumit juga. Bahkan terkadang kau harus sampai melukai perasaan seseorang yang sudah menyukaimu dengan tulus."

"Martha, lihatlah aku!" pintanya seraya bergeser menghadap kepada gadis di sampingnya. Dan dengan degup jantungnya yang tak karuan, Martha berusaha keras memandang wajah Daniel. "Kau jangan memikirkan hal yang rumit. Kau tahu, Martha? Aku menyukaimu!"


Sekejap kedua mata gadis itu membulat, getaran memenuhi rongga dadanya. Membuatnya susah payah membuka mulut.

"Apa... kau bilang Daniel? Tolong... ucapkan... sekali lagi!"

"Aku menyukaimu!" diikuti senyum terbaiknya.

Martha menepis pandangannya dari kedua mata Daniel, dia menunduk dan tertawa ringan. Tak sanggup lagi matanya menatap mata Daniel.

"Dan... apa kau juga tahu, Daniel?"

"Hmm. Apa Martha?"

"Aku juga menyukaimu sejak... Sejak...."

"Sejak kapan Martha?"

"Sejak kau menjadi murid baru di sekolah dasar kami."

"Apa? Hahaha. Kau bercanda Martha? Benarkah sudah selama itu?"

"Hmm. Aku tidak bercanda, Daniel."

"Tapi, bagaimana bisa kau menahannya selama itu?"

"Entahlah! Aku cukup bekerja keras untuk berusaha menyembunyikannya."

"Ah, lihat Martha! Mereka mulai berdansa. Kau... mau berdansa denganku?" seraya menyodorkan sebelah telapak tangannya yang terbuka, meminta tangan Martha untuk bersedia berdansa dengannya.

Tentu saja Martha tak mungkin menolak. Dengan binar kebahagiaan, dia menerima tangan Daniel. Sambil berpegangan tangan, keduanya pun menyeret langkah mereka ke tengah lantai dansa.

Terlihat sepasang demi sepasang maju ke arena dansa di depan sana. Begitupun Matias dan Nivea yang tak mau ketinggalan dalam momen ini. Putri Nicole yang memandang tak suka, memilih duduk berdiam diri di dekat pintu ruang tengah. Seraya bersedekap dada, dia mengamati sepasang demi sepasang para pasangan yang sedang berdansa ceria disana.

Sedangkan pangeran Edmund, dirinya telah lenyap sejak kedatangan seorang lelaki yang membisikkan sesuatu di telinganya.

Tiga jam telah terlewati, kini area istana telah kembali pada keheningan. Dalam senyap sepinya malam, sayup terdengar tangisan seorang tuan putri. Namun, hanya dirinya sendiri yang mendengar tangisan pilunya.

Putri Nicole terlungkup di atas ranjangnya. Gadis itu menutupi kepalanya dengan bantal. Di dalam sana, dia menelan sendiri rasa sakit dan cemburu yang memenuhi rongga dadanya. Ternyata, jatuh cinta tak seindah yang dikatakan oleh banyak orang.

Ingin rasanya dia menyudahi perasaannya kepada Matias saat ini juga. Mengakhiri rasa sakitnya. Tapi dirinya tak kuasa, melenyapkan perasaan itu secepatnya hanya dalam sekejap.

Putri Nicole mulai bergerak bangkit dari posisinya. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran dipan ranjangnya yang mewah. Dengan kedua tangan mengusap sisa air mata di kedua belah pipinya.

Dia menghela nafas kemudian perlahan bergerak menuruni ranjangnya. Langkah itupun membawa dirinya keluar dari kamar. Telinganya menangkap sayup suara sang ayah di ruang kerjanya. Putri Nicole yang belum mengganti gaun pestanya dengan gaun tidur, melangkah kian mendekat kepada sumber suara disana.

"Harusnya kau bisa menahan dirimu sebentar, Edmund! Kau pergi di sela-sela acara perjamuan dan tak kembali hingga acara itu berakhir."

"Harus berapa kali aku mengatakannya, Ayah? Ada sesuatu yang harus ku urus diluar sana."

"Apa sesuatu yang kau maksud itu, Edmund? Apa yang lebih penting dari acara perjamuan tadi?"

"Aku... tak bisa mengatakannya."

"Kau seorang pangeran. Kau putraku. Calon penerusku di masa depan. Kenapa kau melakukan semuanya sesuka hatimu?"

Pangeran Edmund hanya menjawab dengan helaan nafasnya.

"Katakan padaku! Apa yang kau urus tanpa sepengetahuanku?"

"Baiklah Ayah! Aku akan mengatakannya. Aku datang ke permukiman janda-janda, Ayah. Aku hanya membantu seorang janda yang tanahnya akan segera direbut oleh pihak swasta."

"Kau yakin, Edmund? Jika aku tahu kau berani membohongiku, aku tidak akan pernah mengampunimu. Pergilah! Rasanya percuma saja menyuruhmu untuk bicara jujur."

Untuk ke sekian kalinya baginda raja bertengkar dengan putranya itu. Sifat dasar mereka benar-benar bertentangan. Rasanya seperti bukan anak kandung saja.

Melihat sang kakak keluar dari ruang kerja ayahnya, putri Nicole tanpa rasa takut sedikit pun justru menghampiri pangeran Edmund. Bahkan gadis itu menyiramkan bensin pada api yang masih berkobar dalam dada kakaknya.

"Seseorang akan merebut Nivea darimu, Kakak!"

Lelaki itu mengernyitkan dahi, "Jadi kau menyuruhku untuk bersaing dengan sampah itu?"

"Apa? Kau menyebut pemuda yang ku sukai sebagai sampah?"

"Hahaha.." pangeran pun tertawa jahat mendengarnya. "Dugaanku benar, ternyata orang itu yang membuatmu jatuh hati."

"Rebutlah Nivea dengan caramu sendiri, Kakak! Janganlah kau berani menyentuh Matias sedikit pun! Carilah cara yang lebih terhormat untuk merebut Niveamu!"

Putri Nicole berbalik badan, melengos pergi. Dia kembali ke dalam kamarnya dan membanting pintunya dari dalam.

"Sial!!! Semua orang di istana ini meremehkanku. Lihat saja, aku akan membalasnya!" dalam kesendiriannya sang pangeran meracau. Memaki perlakuan ayah dan adiknya kepada dirinya.

Nyata sudah, malam itu tak memberi akhir bahagia bagi semua orang.

Mungkin hanya Daniel dan Martha yang dapat merasakan betapa berkesannya malam ini. Mereka telah memulai hubungannya sebagai sepasang kekasih.

Dan di kejauhan sana, Nivea masih saja memandangi wajahnya di depan cermin. Meski telah mengenakan gaun tidurnya, kedua matanya terasa sulit dipejamkan. Dia sedang memikirkan ucapan nona Isabel yang berbicara dengannya dalam mimpi tempo hari.

Dia cukup menyesali takdirnya yang harus terlahir dari reinkarnasi seseorang, dengan kisah cintanya yang mengerikan.

24. Kesedihan Tuan Putri

"Buah-buahan yang Anda beli sangat baik nona. Tidak sulit untuk mengolahnya menjadi selai."

"Benarkah itu David? Syukurlah kalau begitu. Tuan Matias membantuku memilihnya."

"Nona.. nona..!!!" seru Seri yang berlarian kecil dari arah depan sana. Dia mendekat kepada Nivea di dapur tokonya.

"Hei, ada apa denganmu, Seri?"

"Yang... yang mulia pangeran datang mencarimu."

Nivea, David dan Clara kompak memandang tak percaya kepada Seri.

"Hahaha.. Kau bercanda!"

"Tapi Saya serius nona. Tolong Anda keluar, nona. Pangeran Edmund datang bersama seorang pengawalnya."

"Jadi begitu. Baiklah!"

Nivea pun berlalu diikuti Seri yang mengekor di balik tubuhnya. Seri menghentikan langkah di balik meja pemesanan. Sementara Nivea masih melangkah mendekat kepada sang pangeran yang telah duduk pada salah satu kursi pelanggan.

Di dalam sana, David dan Clara masih saling bertanya-tanya.

"Ada apa dengan yang mulia pangeran? Kenapa beliau datang kesini?"

"Entahlah Clara, mungkin saja... beliau ingin membeli roti dari nona kita."

"Aku pernah mendengar kalau nona Nivea adalah satu-satunya gadis pada angkatannya, yang mengikuti latihan memanah di halaman konsulat. Dan aku rasa... mereka sering bertemu waktu itu."

"Ah, itu benar Clara! Karena mereka saling mengenal lantas yang mulia pangeran ingin berkunjung kesini."

Sementara di area depan toko, sesekali Seri mencuri pandang. Melirik kepada nonanya yang sedang berbincang, berhadapan dengan pangeran Edmund. Lelaki yang tadi datang mengawal pangeran, tak terlihat lagi di dalam sana. Pangeran telah menyuruhnya untuk menunggu diluar saja.

Meski telinga Seri tak dapat menangkap apa yang sedang dibicarakan oleh Nivea dan pangeran, namun dia dapat dengan jeli membaca mimik wajah Nivea dan lelaki itu.

"Apa kedatanganku membuatmu terganggu, nona Nivea?"

"Hmm. Sedikit."

"Ah, aku sungguh meminta maaf jika itu benar."

"Jadi, apa yang membawa Anda kesini yang mulia pangeran?"

"Entahlah! Kata hatiku mengatakan hari ini aku harus menemuimu."

Nivea mengernyitkan dahi. "Ah, begitu ya."

"Hmm. Bisakah kita bicara dengan lebih santai?"

"Maksud Anda, yang mulia?"

"Bisakah, kita saling menyapa hanya dengan... menyebutkan nama saja?"

"Ah, itu.. Hahaha. Tentu saja! Itu tidak bisa, yang mulia. Saya tidak terbiasa. Akan terdengar sangat aneh jika Saya hanya menyebut nama Anda."

"Maka cobalah, kau akan terbiasa nantinya."

"Tidak, maafkan Saya yang mulia."

Pangeran menghela nafas, "Baiklah! Itu, tidak masalah. Apakah hari ini kau memiliki cukup waktu luang?"

"Hmm. Saya pikir, hari ini Saya tidak dapat meninggalkan toko, yang mulia."

"Benarkah? Jadi kira-kira, kapan aku bisa mengajakmu... pergi berjalan-jalan?"

"Apa? Ah, soal itu... Saya juga tidak dapat memastikan, yang mulia."

"Apakah boleh jika Saya... meminta kesempatan untuk lebih banyak mengenal dirimu, nona Nivea?"

Nivea menelan ludah, dia benci dihadapkan dengan situasi ini.

"Saya... Maafkan Saya yang mulia, tapi... Saya pikir yang mulia pangeran tidak perlu membuang waktu Anda yang begitu berharga hanya untuk mengenal diri Saya. Saya bukan seorang gadis yang pantas untuk didekati oleh seorang putra dari baginda raja." ucapnya dengan sengaja merendah diri.

"Apa yang kau katakan, nona Nivea? Kau gadis yang sangat menarik, kau begitu berbakat dalam banyak hal. Dan aku sangat menyukai semua itu."

"Maafkan Saya, yang mulia. Saya benar-benar tidak ingin membuat Anda berharap sesuatu yang lebih dari diri Saya."

Dan sepertinya pangeran Edmund sudah mulai kesal, dia pun memilih mengakhirinya saja.

"Hmm. Baiklah nona! Aku rasa, sudah waktunya aku harus pergi sekarang." seraya bangkit dari duduknya.

Begitupun Nivea, yang ikut berdiri dan sedikit membungkuk hormat di hadapan pangeran Edmund.

***

Nuansa muram yang terlihat di raut wajah putri Nicole pagi tadi membuat sang permaisuri mempertanyakan sebabnya. Secara pribadi, beliau menemui putri kesayangannya itu di dalam kamar. Karena setelah sarapan bersama berakhir, beliau tak melihat putrinya lagi.

"Nicole, sesuatu telah mengganggumu, Nak?" permaisuri Angelina berdiri di balik tubuh putrinya. Kedua tangannya mengusap lembut kedua bahu putri Nicole. Gadis itu sedang duduk pada sebuah kursi yang menghadap keluar jendela. Dia tengah melamun, memandangi setiap tangkai pepohonan yang berayun lembut di halaman sana.

"Tidak ada, Ibu."

"Kau mencoba menyembunyikan sesuatu dariku, Nicole?"

"Hanya saja, rasanya.. Entahlah Ibu! Aku benar-benar tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan saat ini."

"Kau menyukai seseorang? Apakah tebakanku benar?"

"Hmm. Tapi, aku tidak tahu bagaimana caranya agar pemuda itu menyukaiku."

"Jadi, kau menyukai seseorang. Hmm.. Kau berhak untuk itu, sayangku. Tapi, apakah sebaiknya kau mencoba untuk membuka diri pada pangeran dari negeri seberang? Dia... yang dulu sering bermain denganmu saat berkunjung kemari. Dia juga masih sering menanyakan kabarmu lewat ayah."

"Benarkah Ibu? Apa... pangeran George masih juga bertanya tentangku pada ayah?"

"Tentu benar, Nicole! Dia sedang menempuh pendidikan militer saat ini. Kau tahu..? Lebih baik kau belajar mencintai orang yang mencintaimu lebih dulu. Daripada kau, harus bekerja keras membuat orang yang belum pasti bisa mencintaimu seperti kau mencintainya."

"Tapi, bukankah juga sangat sulit Ibu... untuk melenyapkan perasaan cinta dalam sekejap?"

"Boleh aku tahu, pada siapa kau jatuh cinta?" seraya bergerak ke hadapan putrinya. Dan memandang wajah sendu putri Nicole.

Gadis itu pun membuat sudut lengkung di bibirnya, memandang wajah sang Ibu. "Tidak Ibu. Kau tidak perlu tahu siapa pemuda itu. Aku akan mengatasinya sendiri."

"Ah, jadi... itu rahasia ya. Hmm.. Baiklah! Aku hanya tidak ingin melihatmu murung, Nicole. Keluarlah dari kamar, lakukan hal-hal yang menyenangkan hatimu!"

"Hmm.. Ya Ibu! Aku akan segera keluar dari sini."

Selang beberapa jam kemudian, putri Nicole tengah berada di halaman belakang istana. Dirinya tampak duduk seorang diri, bersilang kaki di kursi taman. Kedua matanya tertuju pada halaman buku yang berada di tangannya.

Dipayungi cerahnya hari ini, sesekali putri Nicole menyesap teh hijau dalam cangkirnya. Dia sedang berusaha untuk menyibukkan diri, mencoba melupakan apa yang harus dilupakannya.

Tak lama, pandangannya beralih dari buku itu kepada Bella yang sedang memetik bunga-bunga di salah satu sisi taman. Putri Nicole tertarik untuk menghampiri pelayan pribadinya itu. Segera saja dia meletakkan dulu buku bacaannya di atas kursi, berlarian kecil menghampiri Bella.

"Kau memetiknya, Bella?"

"Ah, yang mulia! Saya harus memetiknya sekarang, sebelum bunga-bunga ini jatuh ke rumput dan menjadi layu."

"Itu benar, Bella! Jika bunganya layu, kita tidak bisa menaruhnya sebagai hiasan di dalam. Bisakah kau mengajariku bagaimana cara memetik bunga dengan baik?"

"Ah, silahkan yang mulia tuan putri! Yang mulia bisa mengikuti cara Saya memetiknya."

Diam-diam dari kejauhan sana, pada salah satu jendela kamar dalam istana, sang permaisuri mengamati putrinya. Beliau dapat merasa lebih tenang, melihat anak gadisnya sudah mau keluar dari kamar. Sungguh beliau tak ingin putrinya merasakan kesedihan serupa, seperti yang pernah dirasakan dirinya dulu. Kala harus menyaksikan duke Eduardo yang dicintainya, menikahi duchess Elvira.

25. Pesta Para Gadis

Pihak istana memutuskan untuk menggelar pesta untuk para gadis. Pesta itu tentunya akan dihadiri oleh seluruh gadis di negeri itu. Gadis dari kalangan manapun dipersilahkan menghadirinya. Pada hari itulah, sang pangeran akan memilih calon pendampingnya, calon permaisuri di masa depan.

Nivea menggembungkan kedua belah pipinya, bicara pada dirinya sendiri di hadapan cermin seperti biasanya. Beberapa menit yang lalu duke Eduardo baru saja menyampaikan berita tentang akan diadakannya pesta para gadis di istana.

"Setelah menemuiku kemarin, dia meminta kepada keluarganya untuk segera mengadakan pesta para gadis. Cih, dia itu laki-laki atau bukan? Ingin mengambil jalan pintas tanpa harus repot-repot mendekatiku. Dia pikir, aku akan tunduk sepenuhnya pada perintah istana jika dia memintaku menikah dengannya di hadapan semua orang? Hahaha. Kau terlalu percaya diri Nivea! Belum tentu pangeran itu mau memilihmu. Datanglah saja dulu ke pesta itu dan... apapun yang terjadi nantinya... lihat saja nanti."

Gadis yang telah siap dengan penampilannya pagi itu, beranjak dari tempatnya dan kembali melakukan aktivitas hariannya.

"Seri, ikutlah denganku besok ke pesta para gadis."

"Apa? Hahaha.. Tidak nona!"

"Kau membantahku, Seri? Kau juga seorang gadis."

"Itu betul nona, tapi pangeran akan memilih calon pendampingnya disana. Hanya gadis-gadis yang sepadan dengan pangeranlah yang akan datang dengan penuh percaya diri. "

"Kau sangat pintar bicara, Seri. Baiklah! Kau tetap harus ikut denganku! Ini sebuah perintah yang tidak bisa kau langgar."

"Baiklah nona!"

Setengah hari ini telah berjalan dengan sempurna. Nivea telah berhasil menjual banyak roti-rotinya. Karena kualitas roti-roti buatannya tak pernah mengecewakan para pelanggan. Gadis itu sudah sangat mahir dalam kemampuannya membuat roti.

Hujan ringan mulai turun diluar sana, membawa seseorang ke hadapan Nivea yang sedang berdiri di balik meja pemesanan.

"Matias!"

"Hai! Kau sedang melamun, Nivea?"

"Tidak! Kau kehujanan lagi?"

Matias menggeleng sambil tersenyum, "Tidak! Kau tidak menyadari hujan itu turun bersamaan dengan langkahku masuk?"

"Ah, benar sekali Matias! Aku tidak memperhatikannya. Kau ingin roti favoritmu dan secangkir teh chamomile?"

"Hmm. Aku ingin duduk disana untuk menikmatinya."

"Baiklah!" sambil bergerak menyiapkan semua pesanan Matias.

"Dan jika boleh... bolehkah aku meminta mu untuk duduk denganku disana?"

"Ah, itu.. Tentu! Aku akan memanggil Seri untuk menggantikanku disini. Kau duduklah dulu!" diiringi senyumnya Nivea menyerahkan nampan di tangannya ke tangan Matias.

Selang beberapa menit Nivea telah kembali. Langkahnya telah sampai di salah satu meja pelanggan, dimana Matias sudah duduk lebih dulu. Perlahan Nivea menjatuhkan dirinya di kursi yang berhadapan dengan lelaki itu.

"Kau tidak minum teh, Nivea?"

Nivea menggeleng, "Kau saja."

"Aku mengganggu pekerjaanmu?"

"Tidak! Aku selalu punya Seri untuk membantuku disana. Oh ya Matias, kau sudah dengar tentang pesta para gadis besok malam?"

"Hmm. Ayahku mengatakannya."

"Martha akan datang?"

"Tentu!"

"Ah.. aku rasa.. Aku ingin menyampaikan sesuatu hal padamu Matias."

"Apa itu?"

Nivea menghela nafas, bersiap mengatakannya. "Jauh sebelum acara perjamuan makan malam di istana waktu itu, baginda raja telah mengundang keluargaku untuk makan malam bersama di istana."

"Benarkah? Lalu?" Matias masih sambil mengunyah roti selai cokelatnya pelan-pelan.

"Dan saat itu, pangeran Edmund mengatakan satu hal yang sungguh diluar dugaan semua orang."

"Apa yang dikatakannya?"

"Dia mengatakan bahwa... dia ingin melamarku."

Matias tersentak kaget, membelalakkan matanya untuk sesaat. Menelan susah payah sisa roti dalam mulutnya. Lalu menyesap teh hangatnya.

"Dan... kau setuju dengan lamaran itu?"

"Eh! Tentu saja tidak, Matias.. di hadapan semua orang yang ada di meja makan, aku mengatakan bahwa aku sedang tidak ingin menerima lamaran dari siapapun."

"Kau mempermalukannya di hadapan orang-orang?"

"Ah, orang-orang itu kan hanya keluargaku dan keluarganya sendiri. Lagi pula itu salahnya sendiri, tanpa mendekatiku sebelumnya... tiba-tiba saja dia mengatakan hal itu di hadapan keluarganya."

"Jadi begitu ya.."

"Hmm.. Dan jujur saja, aku... Bukan maksudku terlalu percaya diri, tapi aku takut dia tetap memilihku pada pesta para gadis besok malam."

Matias tersentak untuk ke sekian kalinya menyadari hal itu. Posisinya juga terancam jika Nivea terpaksa menerima lamaran pangeran Edmund di hadapan semua orang besok malam. Matias yang sedang memotong roti berikutnya, sontak mendongak mendengar kalimat gadis di hadapannya.

"Hmm.. Lalu, apakah kau akan terus menghindar dari pangeran?"

"Tentu! Aku tidak menyukainya."

"Ah, kau tidak menyukainya. Jadi, apa yang bisa ku lakukan untuk membantumu?"

"Kalau itu.. Ah, tidak ada. Kau tidak perlu melakukan apapun untukku. Aku hanya ingin bercerita saja padamu."

"Hmm.. Baiklah!" angguknya.

***

Sore hari telah tiba. Dengan sekeranjang buah strawberry di tangannya, Daniel mendatangi kediaman keluarga Lawrence. Seorang pelayan mempersilahkan dirinya untuk menunggu. Dia pun meletakkan keranjang rotan itu di atas meja yang berada di teras, lalu duduk menunggu Martha.

Ketika itu, countess Victoria baru tiba dan menangkap keberadaan Daniel disana.

"Itukah kau, Daniel?"

"Ah, countess Victoria." Daniel yang cukup terkejut lalu berdiri dan sedikit membungkuk ke hadapan beliau memberi salam. "Anda baru tiba, nyonya?"

"Ya, Daniel. Apakah kau menunggu Matias?"

"Ibu!" seru Martha yang tengah melangkah ke hadapan mereka. "Daniel menungguku, Ibu!"

Daniel melongo tak percaya, mendengar jawaban Martha. Begitupun dengan countess Victoria yang bolak-balik memandang kepada kedua orang itu.

Dan beliau melemparkan senyumnya, "Benarkah itu, Daniel?"

"Benar nyonya! Saya datang untuk menemui Martha."

"Ah, apa yang kau bawa Daniel?" tanya Martha mengalihkan topik. Tubuhnya mengarah pada sebuah keranjang rotan di atas sana.

"Ah, itu strawberry untuk keluarga Lawrence. Aku memetiknya di kebun paman. Tempatku bekerja paruh waktu."

"Wah, terima kasih banyak Daniel. Kau sudah perhatian dan mau repot-repot membawa strawberry itu untuk kami."

"Sama-sama nyonya."

"Duduklah! Aku akan masuk, kalian bisa berbincang disini."

"Ibu!" Martha kembali berseru memanggil countess Victoria yang sudah ingin menjauh. Membuat beliau menoleh kembali.

"Hmm? Ada apa Martha?"

"Aku dan Daniel... Kami.... Kami menjalin sebuah hubungan, Ibu!"

"Apa?"

Daniel menunduk, pipinya memerah. Tersipu mendengar Martha mengucapkan hal itu kepada ibunya.

"Hahaha.. Apakah itu benar, Daniel?

Lelaki itu buru-buru mendongak dan menjawabnya, "Tentu nyonya! Martha mengatakan hal yang sebenarnya."

"Hmm.. Jadi begitu ya. Ya.. ya.. Baiklah! Tolong kau jaga baik-baik gadisku ini!"

"Ah, itu tentu nyonya! Aku akan berusaha keras menjaga gadis cantik ini. Anda dapat mempercayakannya kepadaku."

Senyuman terindah menghias di wajah mereka masing-masing. Martha dan kekasihnya itu merasa sangat bahagia karena countess Victoria tampaknya memberi lampu hijau pada hubungan mereka.

Untung saja Daniel buru-buru mengutarakan perasaannya pada Martha, saat acara perjamuan makan malam di istana tempo hari. Kalau Daniel tidak mengatakannya malam itu, entah sampai kapan Martha harus memendam perasaan itu. Perasaan yang tak pernah berani dia ungkapkan lebih dulu. Perasaan yang tak pernah berubah sejak pertama kali mereka bertemu di sekolah dasar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun