Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gadis Barista (Bagian 9 - 10)

31 Desember 2023   14:30 Diperbarui: 31 Desember 2023   14:33 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian 9

Kepalaku terasa sangat berat ketika bangun tidur. Aku pikir ini sakit kepala biasa karena bangun dalam keadaan terkejut. Ya, aku terkejut ketika terbangun dan mendapati kini sudah pukul tujuh lewat sepuluh menit, cahaya dari balik gorden kamarku telah terasa hangat menyinari ruang kamar. Membuatku sontak langsung mengangkat tubuh ke posisi duduk. Padahal biasanya aku butuh waktu lima hingga sepuluh menit dulu untuk diam setelah membuka mata baru kemudian bisa bangkit dari ranjang.

Aku kira aku sudah terlambat, aku lupa kalau hari ini aku kebagian shift siang. Aku baru ingat ketika mencoba berkonsentrasi, menenangkan kekagetanku sambil tangan ku memegangi dahi sebelah kanan. Aku pun kembali merebahkan tubuh agar sakit kepala itu dapat mereda dengan sendirinya. Aku membuka dan menutup mata selama beberapa menit hingga rasa sakitnya berkurang.

Ku coba untuk kembali bangkit dari posisi rebah menjadi duduk, namun rasa sakit kepala di sebelah kanan tadi kini telah berubah menjadi terasa nyeri di kepala belakang sebelah kiri. Aku mengatur nafas, ku minum segelas air mineral yang ku sediakan di atas meja samping tempat tidurku kemudian memaksakan diri turun perlahan dari atas tempat tidur, menyeret langkah perlahahan hendak menggapai gorden kemudian menariknya ke sisi kanan. Kupegangi teralis berwarna cokelat itu dan ku geser tuas jendela melalui celah teralis. Perlahan aku mendorong jendela kamarku cukup lebar agar udara dapat bersirkulasi.

Hmm.. Aku menghirup udara Minggu pagi yang masih cukup dingin. Terlihat papa sedang mencuci motor maticnya di pekarangan rumah kami. Tampak dedaunan masih basah karena hujan tadi malam. Jalan beraspal di depan sana juga kelihatan masih belum kering.

"Halo Mel.." papa menyapaku. Sambil terus membersihkan body motornya dengan spon berbusa, beliau menoleh ke arahku saat mendengar suara jendela kamar ku buka.

Aku tersenyum padanya, meski masih menahan rasa nyeri di kepalaku, "Halo pa.."

Aku membalikkan tubuhku dan kembali duduk di ujung ranjang. Aku terdiam beberapa saat dan keluar dari kamar, menuju dapur untuk membuat segelas teh manis hangat. Mama tidak terlihat disana, mungkin sedang duduk di teras. Nyeri di kepala belakangku berangsur berkurang setelah aku menyeruput teh hangat itu sedikit demi sedikit. Aku urungkan untuk buru-buru minum obat sakit kepala, selama sakit itu masih dapat teratasi tanpa obat.

Aku segera mengambil setangkup roti tawar di atas meja makan kemudian mengolesinya dengan selai strawberry. Tanpa berlama-lama lagi ku lahap setangkup roti di tanganku. Kepalaku sudah terasa lebih baik sekarang. Roti yang tinggal sedikit di tangan kananku serta segelas teh yang belum habis, ku bawa bersamaku menuju ke teras.

"Jalan siang Mel?" tanya Mama padaku.

"Iya.." seraya aku mengambil posisi duduk di bangku bundar.

"Mau papa anter Mel?" papa yang baru saja mengambil gunting rumput, muncul dari pintu samping.

"Ngga usah pa. Papa ajak Mama jalan-jalan aja." seraya tertawa kecil aku menggodai mereka. Papa justru balas menggodaku,

"Teman mu mana? Si Henry."

"Ada di rumahnya. Kan dia libur."

"Suruh main sini dong..!"

"Main sama papa ya? Aku kan ngga libur."

Papa dan Mama malah kompak tertawa mendengar ucapanku. Lantas aku kembali ke dalam, menonton acara tayangan televisi Minggu pagi. Aku rebahkan diriku di atas karpet dan ku sangga kepalaku dengan bantal bundar berwarna pelangi yang berukuran cukup besar. Acara kartun Minggu pagi telah membawaku pada ingatan masa lalu. Kala aku masih berusia sekolah dasar, tayangan kartun Minggu pagi dimulai sejak pukul enam pagi. Berlanjut terus hingga pukul sepuluh pagi.

Tidak hanya satu judul kartun yang diputar pagi itu, ada beberapa judul yang masing-masing durasinya hanya tiga puluh menit. Maka sangat disayangkan jika aku harus melewatinya begitu saja. Aku begitu bersemangat bangun lebih pagi di hari Minggu, bahkan mungkin lebih bersemangat dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Aku selalu minta dibangunkan lebih pagi oleh Mama jika esoknya hari Minggu.

Aku kurang tertarik pada tayangan kartun yang saat ini sedang diputar, aku memindahkannya ke chanel lain. Aku coba memindah-mindah chanel beberapa kali hingga ku putuskan menonton berita pagi saja. Baru menontonnya sepuluh menit, tayangan berubah menjadi wawancara di studio. Topiknya tidak menarik, lantas aku matikan televisi dan kembali ke kamar.

Aku memilih mendengarkan musik lewat mp3 di laptop. Sambil membaca-baca berita atau artikel dari google. Mungkin aku sudah lupa kalau tadi pagi aku sempat merasakan sakit kepala. Asyik dengan kegiatanku, membuat waktu telah berlalu tanpa terasa. Sudah waktunya aku harus mandi dan bersiap-siap berangkat ke kedai. Hari ini aku berencana jajan diluar, jadi aku tidak perlu mempersiapkan bekal untukku bawa.

Pukul dua belas siang kurang lima belas menit, aku melangkah meninggalkan rumah. Papa dan Mama mengiringiku hingga di ujung teras. Setelah aku menutup pagar dari luar, mereka melambaikan tangannya ke arahku, aku pun membalas lambaian tangan mereka. Aku masih menoleh sekali lagi setelah melangkah beberapa langkah ke depan, tampaknya papa dan mama sedang bercakap-cakap sesuatu. Hmm.. Apa yang sedang mereka bicarakan saat ini? Membicarakan diriku atau membicarakan tanaman di pekarangan? Atau mungkin tentang yang lain..

Terkadang orang tua juga sibuk dengan dunianya sendiri. Aku harap papa dan mama selalu sehat dan bahagia.

Aku berjalan cukup santai menuju ke ujung jalan. Kali ini cuaca cukup cerah, tidak gerimis namun jalanan belum sepenuhnya kering. Dua bus kota telah melintas di hadapanku, tapi keduanya bukanlah bus yang ingin ku tumpangi. Aku masih harus menunggu sampai akhirnya bus kota ku pun tiba.

Selama perjalanan menuju kedai, aku mendengarkan mp3 dengan bantuan headsheet yang menghubungkan ponsel dengan kedua telingaku. Namun ponsel itu tetap aman ku letakkan dalam tas selempang yang kini sedang ku pangku dengan posisi risleting yang tertutup. Menikmati sepanjang perjalanan dengan memandang ke arah luar jendela. Meski mungkin aku sangat bosan dengan perjalanan yang setiap harinya sama saja. Tetapi aku berusaha untuk tetap menikmatinya.

Jalanan sangat lengang siang ini, aku baru saja turun dari bus dan hendak menyeberang. Aku berlari kecil menyeberangi dua jalur yang berbeda arah di hadapanku.

"Neng.. Baru dateng?" Pak Jarwo menyapaku, tersenyum ramah melihatku yang baru saja tiba, melintas di depan pos satpam.

"Iya pak.. Mari.." jawabku padanya diiringi senyuman pula.

Dari luar, kedai kami tampak cukup ramai pengunjung. Mungkin hanya sedikit meja tamu yang terlihat masih kosong. Aku berjalan ke samping hendak masuk melalui pintu samping kedai. Seperti kebiasaanku, begitu tiba aku langsung mempersiapkan diri mengenakan celemek hijau dan bergegas menuju meja barista.

Dion sedang melayani pesanan pelanggan, di balik etalase snack tampak Rena sedang merapikan susunan kue yang letaknya sudah mulai renggang, sudah hampir habis. Sedangkan Mutia sedang stand by di kasir.

"Ada lagi Yon? Gue buatin sini.."

"Belum, cuma ini. Dari tadi sih sudah lumayan yang masuk." sembari menggerakkan tuas pada mesin kopi di hadapannya, Dion menjawab pertanyaanku. Dia juga memberitahuku bahwa sejak tadi pesanan yang masuk sudah cukup lumayan.

"Faris cuti, Mel.."

"Hah? Lo nanya atau ngasih tau gue?"

"Ngasih tau, Mel.."

"Oh.. Iya. Berapa hari ya?"

"Tiga hari."

Benar juga, Faris masih pengantin baru, lagipula setahuku selama setahun kemarin, dia belum penah mengambil jatah cutinya. Hmm.. Biarlah.. Yang penting ku kerjakan saja apa yang telah menjadi tanggung jawabku.

Pelanggan sudah mulai berdatangan lagi, aku mengambil posisi untuk segera melayani. Dion baru saja keluar istirahat makan siang. Namun desiran air hujan mulai terdengar lagi, beradu dengan atap kedai. Hmm.. Pasti si Dion kehujanan diluar, lucu sekali membayangkan Dion terkaget-kaget diguyur hujan. Mungkin dia sedang berteduh sekarang.

"Mba, Americano satu ya." seorang lelaki tinggi tersenyum ramah memesan padaku.

"Baik Pak.. Tambahannya, roti atau kue silahkan di sebelah sini ya Pak." aku mengarahkan tanganku kepada etalase snack. Lelaki itu pun bergeser ke sisi samping mejaku. Di balik etalase sudah ada Rena yang siap melayani pesanannya. Aku pun telah kembali pada tugasku menyiapkan secangkir kopi Americano untuk lelaki itu.

Setelah membayar di kasir, dengan membopong sebuah piring yang berisi dua potong kue red velvet dia menuju ke meja tamu lalu meletakkan piring itu disana. Tanpa duduk dulu, dia langsung kembali menghampiri mejaku untuk mengambil secangkir kopi pesanannya.

"Makasih ya Mba.. Oh iya, maaf Mba. Tinggal di komplek Perdatam ya?"

"Lho, kok tau Pak?" tanyaku penasaran dengan mata sedikit membelalak namun tetap tersenyum. Lelaki itupun balas tersenyum padaku.

"Saya juga ngga jauh dari situ tinggalnya, teman Saya banyak di Perdatam. Kayaknya wajah Mba familiar."

"Oh.. Gitu.. Hehe.."

Lelaki itu meninggalkan mejaku seraya tersenyum kembali dan membawa serta secangkir kopi yang telah ku serahkan tadi padanya. Hmm.. Terkadang dunia terasa luas namun tak jarang juga bisa terasa sangat sempit.

Dari kejauhan Mba Lidya terlihat baru saja turun dari mobilnya. Dia sempat membuka payung namun dia menutupnya kembali. Tandanya, hujan atau gerimis telah usai. Jika sedang musimnya, hujan memang datang sesuka hatinya. Tentu tidak mengenal waktu, kadang durasinya sebentar, kadang kala juga sangat lama. Seperti hujan yang barusan saja mereda, ibarat hanya lewat sebentar untuk memandikan bumi.

"Mba.. Semalam pulang duluan ya?" tanyaku pada Mba Lidya yang sudah sampai di depan mata.

"Iya Mel, nyariin ya? Hehe.. Maaf ngga bilang."

"Oh iya Mba.. Ngga apa-apa.."

"Saya ke atas dulu ya.."

Dia pun berlalu menuju tangga di pojok kedai. Aku kembali melayani beberapa pelanggan yang baru saja tiba setelah Mba Lidya naik ke atas. Sambil membuatkan pesanan pelanggan, sekilas aku melihat Mutia datang dari arah ruang belakang. Aku kira ada Dion di belakangnya, tapi sepertinya dia kembali sendirian kesini.

"Dion mana Mut?"

"Hmm.. Tadi aku ajak makan mie ayam ngga mau. Ngga tahu dia kemana."

Belum lama ku balikkan tubuhku ke arah semula, tiba-tiba Dion sudah muncul di sampingku.

"Astaga.. Ngagetin lo.."

"Haha.. Ada lagi Mel?" Dion menawarkan bantuannya padaku.

"Itu tolong caramel macchiato satu. Dingin.. Gue lagi bikin latte."

Tanpa membuang waktu lagi, Dion langsung sigap membantuku menghandle pesanan.

Sudah empat jam berlalu sejak aku dan Dion sangat sibuk memenuhi semua pesanan para pelanggan. Mereka silih berganti keluar masuk kedai, seolah hanya ada satu kedai kopi yang buka di sekitar sini. Masih terlalu sore untuk mengatakan bahwa kedai sangat ramai pengunjung hari ini, karena petang belum berganti malam.

Rena dan Mutia juga tidak kalah sibuknya sejak tadi, bahkan Rena harus menghubungi bagian produksi kami untuk meminta mereka segera mengantarkan beberapa macam kue dan roti yang stoknya sudah sangat menipis disini. Untungnya Rena termasuk orang yang tanggap situasi, sebelum bagian produksi kami bubar, dia telah berhasil menghubungi mereka.

Oh iya, ada bagian yang hampir terlupa dalam ceritaku. Tim produksi "kedai kopi Rindu" terletak sekitar empat ratus meter dari lokasi kedai. Tidak terlalu jauh tentunya. Setiap harinya mereka memproduksi beberapa macam jenis kue, roti serta donat. Untuk kemudian diantarkan ke kedai sesuai permintaan kami. Mba Lidya tidak hanya memasarkan produksi kue-kuenya di kedai, namun dia juga menyuplainya ke beberapa kenalannya.

Jam kerja tim produksi tentu tidak sama dengan kami. Mereka bekerja sejak pukul delapan pagi hingga lima sore di hari Senin sampai Jumat, sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu mereka bekerja hanya sampai pukul dua siang.

Waktu untukku beristirahat makan sore telah tiba, aku mohon diri pada Dion untuk pergi makan diluar. Rencanaku sudah bulat sejak tadi pagi, aku ingin makan sate Padang di blok belakang kedai kami. Hmm.. Waktu itu aku pernah makan siang bersama Henry disana. Lantas aku melangkah pergi ke ruang belakang, namun ketika membalikkan tubuh, tiba-tiba saja kepalaku rasanya oleng seperti mau jatuh, hampir kehilangan keseimbangan. Aku juga merasakan aliran keringat yang dingin membasahi dahi dan leherku. Sebelum benar-benar terjatuh, aku menghentikan langkah dan meraih bagian ujung dinding pembatas ruang barista dan ruang belakang.

Dion yang sedang mencuci teko di bak pencucian yang sejajar dengan dinding itu, menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku. Dia segera meletakkan teko yang sedang dipegangnya dan dengan volume suara yang cukup lantang berjalan cepat mendekatiku.

"Lo kenapa Mel?"

Tangan kananku masih berpegangan pada ujung dinding sedang tangan kiriku memegangi dahi bagian tengah, kepalaku menunduk seraya kedua mata ku pejamkan dengan tekanan cukup kuat. Mendengar reaksi Dion, aku pun mendongak menatapnya. Belum sempat ku jawab pertanyaannya, dia sudah berkomentar lagi dengan ekspresi cukup terkejut.

"Muka lo pucet banget Mel.. Lo pusing ya?"

Rena dan Mutia tidak ikut mendekat pada ku, sepertinya mereka sedang melayani pelanggan yang memesan donat serta ada pula yang sedang membayar di kasir. Aku hanya dapat mendengar suara mereka sayup-sayup tanpa sanggup menoleh lagi ke arah mereka. Namun di saat bersamaan ketika Dion masih menyentuh bahu sebelah kiriku, Mba Lidya yang turun dari lantai dua telah sampai di dekat kami.

"Amel kenapa Yon?" aku dapat mendengar suaranya berayun dengan nada panik.

"Kepalanya pusing Mba, mukanya pucet banget." padahal sejak tadi aku belum mengatakan apapun pada Dion, tetapi dia telah menarik kesimpulan bahwa kepalaku yang sakit, mungkin karena dia melihat tanganku memegangi kepala.

Hmm.. Benar juga, kalau perutku yang sakit, buat apa aku memegangi kepalaku.

"Mel.. Sudah makan belum? Kalau ngga kuat pulang aja yuk. Saya antar."

Astaga.. Mba Lidya memang sangat baik, dia langsung menawarkan hal itu padaku. Aku ingin menolak tawarannya, aku sama sekali tidak ingin merepotkannya. Apalagi di kedai ini dia atasanku, bukan hanya sekedar teman bagiku. Karena aku belum menjawabnya, dia malah bertanya lagi.

"Apa kita ke dokter yuk? Sudah makan belum sih?"

Saat ini sepertinya Rena dan Mutia juga sudah mendekat padaku. Terasa ada beberapa orang telah menghasilkan hawa hangat di sekeliling tubuhku. Aku belum sanggup membuka mataku, rasanya mau jatuh kalau aku membukanya sekarang. Dalam keadaan terdesak seperti ini, sepertinya aku tidak bisa menolak tawaran Mba Lidya. Akhirnya aku membuka suara.

"Belum.. Tolong anterin pulang aja deh Mba.. Ngga apa-apa Mba? Maaf Saya ngerepotin.." aku berbicara pelan dalam posisi mata yang belum bisa ku buka sepenuhnya.

"Makan roti dulu deh sekarang.. Yon, tolong ambilin yang mana aja."

Dion kembali dengan menyodorkan sebungkus roti kacang padaku, namun Mba Lidya yang meraihnya dan membukakan bungkusnya. Lalu meletakkan roti yang telah terbuka setengah bungkus itu di telapak tanganku. Perlahan aku pun memakannya. Mba Lidya meneruskan ucapannya. " Yakin ngga mau ke dokter aja?"

"Iya Mba.."

"Sebentar ya Saya ke atas dulu ambil kunci."

Sementara Rena membantu melepaskan celemek hijau yang ku kenakan. Tidak lama Mba Lidya telah kembali lagi di dekat kami. Roti kacangku telah habis, Rena juga telah membantuku untuk minum. Tas serta jaket ku sudah berada di tangan Mutia. Mereka bergegas kompak menggiringku ke mobil mba Lidya yang terparkir di area depan kedai. Hanya Rena dan Mutia yang menopang tubuhku, sedang Mba Lidya cekatan membukakan pintu mobilnya untukku. Kalau Dion, tadi aku mendengar suaranya samar-samar sedang melayani pelanggan yang baru masuk.

Aku sudah terduduk lemah di kursi jok depan mobil Mba Lidya. Bahkan tadinya dia menawariku untuk tiduran saja di jok belakang. Tapi aku menolaknya dengan sopan. Rena dan Mutia telah kembali ke dalam kedai. Mba Lidya telah siap di belakang kemudinya.

"Mel, di dalem situ ada plastik kalau kamu mual ya.." seraya telunjuk kirinya mengarahkan pandanganku ke laci dashboard di hadapanku.

"Iya Mba.. Makasih.."

Kami baru saja keluar dari pintu pagar ruko.

"Tolong kasih tahu ya Mel jalannya.. Eh, apa kamu mau tidur ya?"

"Ngga kok Mba, kayaknya Saya ngga bisa tidur. Pusing banget, nyut-nyutan.."

"Kamu ngga bawa obat ya di tas? Saya ada obat sakit kepala, kalau mau coba ngga apa-apa."

"Ngga usah Mba, nanti Saya coba istirahat aja dulu. Kalau masih sakit juga, Saya ke dokter sama papa."

"Hmm.. Ya sudah. Bisa jadi kurang tidur Mel, atau makannya kurang teratur. Kalau belum sempat makan paling ngga ngemil, apa gitu.. Kan Saya ngga ngelarang kalian ngemil, hehe.. Tapi lihat-lihat, jangan pas ada customer. Perut kosong juga bisa lho bikin sakit kepala." panjang lebar Mba Lidya menceramahiku, tapi tidak apa-apa, aku sama sekali tidak keberatan mendengarkan semua ucapannya.

Namun aku hanya sanggup menanggapinya singkat, "Iya Mba, makasih ya.."

Selanjutnya aku pun mengarahkan jalan ketika Mba Lidya minta dipandu sesekali. Sepanjang sisa perjalanan, kami tidak berbincang-bincang lagi tentang hal lain. Mba Lidya fokus pada kondisi jalan raya saat ini. Syukurlah malam ini jalanan menuju rumahku cukup lengang.

Kami telah sampai di depan rumahku, Mba Lidya memarkirkan mobilnya agak menjorok mendekati sisi pagar. Tampak papa dari ujung teras sedang berdiri memanjang-manjangkan lehernya memandang ke arah kami, beliau penasaran mobil siapa yang parkir menutupi sebagian pagar rumahnya.

Mba Lidya telah mematikan mesin mobilnya,

"Bisa Mel? Mau Saya pegangin?"

"Bisa Mba.. Ngga apa-apa." aku berusaha bangkit dari tempatku sembari memegang jaket dan tas yang telah ku selempangkan beberapa menit lalu. Aku pun membuka pintu mobil perlahan, berbarengan dengan Mba Lidya yang juga membuka pintu sebelah kanannya. Kini kami telah berada di luar, Mba Lidya melangkah cepat menghampiriku yang berjalan sangat lambat nyaris tertatih.

Dia tetap memegangi tangan kananku, membantuku agar dapat berjalan seimbang. Padahal tadi aku sudah menolak untuk dipegangi. Papa menyadari kehadiranku, gerakannya mungkin agak lambat karena dari jauh wajahku belum terlihat pucat. Ketika aku semakin mendekat padanya, lantas papa cepat menghampiriku dan menanyakan aku kenapa. Namun Mba Lidya sigap menjawabnya sebelum aku membuka mulut.

Kini tangan papa yang membantuku untuk bergerak masuk ke dalam rumah. Aku dan papa nyaris berbarengan mengajak Mba Lidya untuk ikut masuk juga. Aku langsung menjatuhkan tubuhku di sofa ruang tamu, disusul Mba Lidya yang duduk di sampingku setelah dirinya dipersilahkan duduk oleh papa.

Lalu Mama muncul dari ruang tengah mengenakan daster abu-abu kesayangannya bersama sebuah rol besar yang masih terpasang di bagian atas dahinya, menggulung rambut bagian poniya.

Astaga.. Sejak kapan Mama memiliki poni?! Apa tadi siang beliau memotongnya? Sudahlah..

"Eh Amel kenapa??" Mama mendekat padaku namun papa malah menghilang, mungkin beliau ke dalam hendak mengambilkan minum untukku dan Mba Lidya. Hmm.. Papa memang sangat telaten dan tanggap situasi.

"Pusing Ma.. Sakit, kepala aku.."

"Sudah minum obat belum? Ini teman mu?" Mama tersenyum ramah kepada Mba Lidya.

"Eh iya, ini Mba Lidya Ma.. Yang punya kedai."

"Oh.. Ya ampun.. Maaf ya Mba, ngerepotin. Aduh.. Sudah mau nganterin Amel.."

"Iya Ibu, Saya Lidya. Ngga apa-apa, tadi Amel sudah pucat banget. Baru makan roti aja, belum sempat makan nasi. Saya tawarin obat tapi ngga usah katanya."

"Hmm.. Amel, Mama ambilin makan deh ya. Sama itu.. Teh anget ya. Mba Lidya, tunggu ya, mau minum teh atau kopi?"

"Ngga usah repot-repot Ibu. Yang penting Amel aja dulu."

Mama belum bergerak tapi papa sudah keburu muncul dengan sebuah nampan di kedua tangannya yang berisi dua cangkir teh manis hangat. Luar biasa memang si papa.

"Ini Mba Lidya, silahkan diminum dulu. Ayo Amel juga, minum dulu Mel!" papa mengucapkannya dengan nada rendah kepada Mba Lidya, namun volume suaranya malah dinaikkan ketika menyuruhku segera minum. Yang anak papa itu, aku atau Mba Lidya? Hmm..

Mama sedang ke dalam, mungkin hendak mengambilkan seporsi nasi dan lauk atau sayur untukku. Aku dan Mba Lidya sedang menyeruput teh manis hangat buatan papa. Papa telah duduk di sofa yang lain, masih di dekat kami.

Ya ampun.. Baru sekarang aku ingat bahwa tadi pagi aku juga sakit kepala ketika bangun tidur. Karena ku pikir sakitnya sudah hilang, aku jadi tidak menduga kalau sakitnya akan kambuh lagi. Tapi aku tidak mau mengatakan yang sejujurnya pada papa atau mama tentang sakitku tadi pagi. Lebih baik aku segera makan nasi dan coba meminum obat sakit kepala milik mama yang biasa dibelinya di apotik.

Mama telah kembali ke ruang tamu dengan membawa seporsi nasi dengan lauk sayuran capcay serta gelas berisi air mineral untukku.

"Ayo Mba Lidya makan yuk di dalem, ini Amel harus diambilin biar banyak makannya."

"Ngga usah Bu, makasih.. Saya juga ngga bisa lama-lama ini sudah mau hujan lagi kayaknya."

"Jauh Mba tinggalnya?" tanya papa.

"Di Erlangga Pak.. Kebayoran."

"Oh, ya ngga jauh dari kedainya ya?" tanya Mama.

"Iya Bu, dekat. Lumayan."

Mba Lidya pun langsung pamit pada papa, mama dan juga aku. Bahkan dia mengatakan, "Kalau besok belum bisa kerja, ngga usah masuk dulu Mel."

Aku sudah mulai bisa berpikir jernih, "Besok kan Senin Mba, Saya libur."

"Oh.. Iya? Ya sudah istirahat deh. Cepat sembuh ya Mel."

Mba Lidya pun pergi meninggalkan rumah kami, diantarkan oleh papa sampai di depan mobilnya. Kami sekeluarga juga sangat berterima kasih padanya.

Aku benar-benar merasa semakin tidak enak pada Mba Lidya. Aku telah merepotkannya hari ini. Aku harap sakit kepalaku ini cepat berakhir sehingga tidak merepotkan dan membuat panik banyak orang lagi.

Selepas Mba Lidya pergi, aku menghabiskan makanan yang disiapkan tadi oleh Mama. Serta meminum obat sakit kepala setelahnya. Aku segera masuk ke kamar ditemani oleh Mama. Sakit kepalaku belum sepenuhnya mereda, sehingga aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang.

"Ma, aku belum cuci tangan, cuci muka.."

"Masih sakit banget ya kepalanya? Mama elapin aja ya pake lap handuk basah?"

"Hmm.. Iya Ma.."

Mama meninggalkanku sebentar ke dapur untuk mempersiapkan lap handuk basah yang akan digunakannya untuk mengelapi wajah dan tanganku. Aku memejam-mejamkan mata, namun aku masih belum tidur karena menunggu Mama kembali.

Beberapa menit kemudian Mama kembali dengan membawa sebuah baskom kecil berwarna merah, di dalamnya diisi air dan terdapat sebuah handuk kecil yang telah terendam. Dengan telaten Mama membantu mengganti pakaian dengan daster lalu beliau duduk di ujung tempat tidur, membersihkan dahulu seluruh bagian wajahku dengan lap handuk yang sudah diperasnya. Sebelum beliau melanjutkan membersihkan tanganku, aku pun mengingatkannya, "Ma, ganti airnya. Itu kamar mandi."

"Oh iya, Mama lupa disini ada kamar mandi." beliau bangkit dari duduknya menuju ke kamar mandi.

Setelah melihat Mama pergi ke kamar mandi, aku tidak melihat apa-apa lagi. Sepertinya aku langsung tertidur pulas begitu saja.

Pagi harinya, aku terbangun ketika seberkas cahaya matahari pagi telah terasa hangat menembus dari balik gorden kamarku. Pasti Mama tidak lupa mematikan lampu kamarku semalam. Mama tahu aku selalu tidur dalam keadaan gelap, beliau tahu sejak kecil aku tidak dapat tertidur jika lampu kamarku masih menyala terang.

Aku masih berada pada posisi terlentang menatap langit-langit kamar, aku belum berani mengambil posisi duduk, aku perlu menstabilkan lebih dulu kondisi tubuhku beberapa saat. Berharap tidak akan merasakan sakit di kepalaku lagi saat duduk atau berdiri. Mataku menatap ke arah jam dinding yang terpampang pada sisi tembok yang lurus menghadapku. Sudah pukul tujuh kurang lima belas menit. Aku sudah tidur cukup lama semalam, wajar kalau aku terbangun sendiri pagi ini tanpa ada orang yang membangunkanku.

Aku menghela nafas, bersiap untuk mengangkat bagian atas tubuhku ke posisi duduk. Aku bergerak perlahan. Ya, aku telah berhasil duduk dan ku rasa kepalaku sudah tidak sesakit semalam. Hanya sedikit nyeri pada kedua mata. Aku yakin ini hanya karena aku baru bangun tidur, kedua mataku juga belum normal sepenuhnya.

Aku meraih gelas bening berisi air mineral di atas meja samping tempat tidurku. Aku pun meminumnya perlahan. Setelahnya aku merasa lebih baik dan ku beranikan diri untuk turun dari atas tempat tidur. Syukurlah aku bisa berdiri tegap tanpa merasakan oleng atau sebagainya. Aku bersemangat melangkahkan kaki-kakiku ke arah jendela kamar dan menarik gorden berwarna cokelat muda itu ke sisi kanan.

Aku rasa semalaman hingga pagi ini, hujan tidak turun lagi. Tampak semua dedaunan tidak dibasahi lagi oleh sisa-sisa hujan. Mungkin hanya ada embun pagi disana. Dari balik jendela, ku lihat Mama sedang menyapu pekarangan rumah. Mungkin, papa di dalam sedang sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke kantor.

Aku membuka tuas jendelanya, krek.. suara itu terdengar cukup menarik perhatian orang yang mendengarnya.

"Eh.. Sudah ngga sakit kepalanya Mel?" Mama menghentikan kegiatannya sejenak dan bertanya padaku dari jarak yang agak jauh.

Aku pun memasang wajah semangat dan tersenyum padanya, "Ngga kok Ma.."

"Syukur deh kalau gitu. Sarapan ya Mel, roti dulu ngga apa-apa. Habis itu makan nasi." Mama melanjutkan kembali menyapu pekarangan dengan sapu lidi pendek tanpa gagang di bagian atasnya.

Aku melangkah pergi meninggalkan kamar, lalu hendak kemana lagi kalau bukan ke dapur. Terlihat papa yang baru saja keluar dari kamarnya, telah berpakaian sangat rapi dengan membawa serta tas kerjanya di tangan.

"Mel, sudah sehat kan?"

Aku mendekat padanya, "Sudah pa.."

Papa menyodorkan tangan kanannya kepadaku, "Papa jalan dulu ya."

"Iya pa, hati-hati ya.." seraya aku membungkuk mencium tangannya.

Papa pun berlalu menuju ke arah depan rumah. Aku melanjutkan niatku untuk membuat segelas teh manis hangat untukku. Hmm.. Kalau di rumah, aku lebih senang menggunakan gelas biasa atau mug sebagai wadah tehku, aku nyaris tidak pernah menggunakan cangkir, kecuali minuman itu ku buat untuk menyuguhkan tamu.

Sambil mengaduk air teh, pikiranku berkelana ke hari sebelumnya. Aku baru ingat kalau kemarin aku urung makan sore dengan sate Padang. Huh.. Kalau saja kepalaku tidak sakit tiba-tiba pasti aku jadi makan disana. Oh iya, aku harus mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Mba Lidya dan mengabarkan kondisi ku sekarang. Walaupun dia tidak bertanya atau belum menghubungiku, tidak ada salahnya aku yang menghubunginya lebih dulu.

Aku membawa segelas teh manis hangat ke meja makan, aku memutuskan untuk langsung sarapan nasi saja. Hari ini aku tidak ingin makan roti. Aku membuka tudung saji biru di depan mataku. Hmm.. tampaknya semua masakan Mama nikmat, begitu menggugah seleraku. Terdapat beberapa potong ayam goreng dengan suwiran bumbu lengkuas, semangkuk sambal goreng, lalapan selada dan timun, perkedel kentang juga ada serta semangkuk besar sayur sop.

Aku kembali dulu ke dapur mengambil piring sendok lalu kembali ke meja makan, menyendokkan nasi hangat dari dalam rice cooker di ujung sebelah kanan meja makan. Kulengkapi nasi itu dengan semua lauk yang ku lihat tadi. Aku berencana menyantap sayurnya belakangan, tanpa nasi. Hmm.. Aku begitu bersyukur dan sangat menikmati sarapanku.

"Mama sudah makan?" tanyaku ketika melihat kemunculan Mama.

"Belum, baru makan roti." beliau berlalu ke pekarangan samping rumah, tampaknya beliau akan menjemur pakaian yang telah dicucinya tadi pagi.

Seusai makan nasi dan menggadoi sayur sop, aku kembali ke kamar untuk menghubungi Mba Lidya lewat pesan singkat. Sampai di kamar, aku tidak mendapati ponselku di meja. Hmm.. Di mana ya? Oh iya, pasti dia masih berada di dalam tas selempang biru ku. Entah sudah berapa jam aku melupakan keberadaannya. Ku letakkan gelas teh yang ku bawa di atas meja kamar lalu aku merogoh bagian dalam tasku. Nah, aku telah menemukannya.

Tampak ada tiga kali panggilan tidak terjawab dan dua pesan. Kesemuanya dari Henry. Oh iya, aku sampai melupakannya karena sakit kepala kemarin.

"Mel, sibuk ya? Sudah makan?" dia mengirim pesan ini pukul enam tiga puluh petang kemarin.

Karena aku tidak menjawab pesan dan telponnya, lantas dia mengirim pesan lagi pukul dua puluh satu lebih tiga puluh menit,

"Mel, kenapa ngga angkat telpon aku?"

Bukannya merasa bersalah tidak bisa menjawab panggilan Henry, aku malah tertawa sendiri melihat tingkahnya ini. Ada apa dirinya sampai menelponku tiga kali. Hmm.. Nanti saja lah aku hubungi dia kembali.

Lantas aku mengirim pesan pada Mba Lidya sekarang juga, "Mba, sekali lagi maaf ya kemarin sudah ngerepotin. Terima kasih banyak, sekarang Saya sudah membaik berkat obat dari Mama dan tidur yang cukup."

"Iya Mel, sama-sama. Syukurlah kalau gitu, semoga besok sudah benar-benar sehat dan bisa kembali masuk kerja ya Mel.."

"Ok Mba." aku menjawabnya singkat sambil menghabiskan setengah gelas teh manisku.

Bagian 10

Aku ketiduran lagi setelah mengirim pesan terakhir kepada Mba Lidya. Aku meraih ponsel yang masih berada di atas kasur, di dekatku. Sekarang sudah pukul sepuluh lewat sembilan menit. Perlahan aku bangkit dari posisi tidurku. Ku bawa ponsel dan gelas kosong bersamaku keluar dari kamar. Aku duduk di ruang tamu, gelas kosong itu ku letakkan sementara di atas meja tamu.

Aku teringat Henry, aku pun membalas pesannya kemarin malam.

"Hai Mas, maaf ya baru bisa balas. Kemarin sore aku sakit, sekitar jam enam sore Mba Lidya anter aku pulang. Ada apa telpon aku?"

"Kamu sakit apa? Aku telpon karena kamu ngga balas pesan aku. Aku kira kamu marah sama aku."

Hmm.. Dia tidak berkomentar apapun mengetahui Mba Lidya yang mengantarku pulang kemarin. Baiklah.

"Kepalaku yang sakit, tapi sekarang sudah membaik. Lho kenapa aku mesti marah sama kamu? Kamu merasa punya salah apa sama aku? Hehe."

"Bagus lah kalau sekarang sudah baikan. Ya, semenjak aku anter kamu pulang dari acara Faris, kita kan belum kontek lagi. Mungkin ngga sengaja aku bikin salah sama kamu."

"Oh.. Ngga kok Mas. Santai aja. Kamu di kantor ya? Kebetulan aku emang libur hari ini, jadi ngga perlu izin ngga masuk."

"Iya aku di kantor. Ya sudah jangan main kemana-mana dulu Mel, hari ini istirahat aja di rumah. Maaf aku lanjut kerja dulu ya."

Hmm.. Baguslah dia sendiri yang mengakhiri percakapan kami. Tumben, biasanya dia banyak bicara. Mungkin sekarang dia sedang benar-benar sibuk dengan pekerjaannya. Aku melangkah ke dapur untuk mencuci gelas kotor yang ku pegang. Tampak Mama sedang duduk di kursi panjang, menonton tayangan televisi. Sebelah kakinya dilipat ke atas kursi, tangannya memeluk sebuah bantal bundar berukuran kecil.

"Sudah bangun Mel?"

"Mama tahu aku tidur lagi?"

"Iya tadi Mama ke kamar, lihat kamu tidur ya Mama diemin aja. Biar istirahat."

Seusai kembali dari dapur, aku duduk di samping Mama. Hmm.. Tiba-tiba aku ingin menceritakan sesuatu tentang Mba Lidya. Aku tidak peduli pada tanyangan televisi yang sedang ditonton Mama, aku mulai mengajaknya bicara.

"Ma, Mba Lidya cantik ya?'

"Iya, kelihatannya juga ngga sombong ya.."

"Hmm.. Dia baik sama semua anak buahnya di kedai."

"Kenapa Mel? Anak Mama juga cantik kok." seraya tersenyum dan tangan kanannya mengusap lembut kepalaku.

"Hmm.. Mba Lidya itu dulu pernah pacaran sama Henry."

"Hah? Gimana ceritanya bisa gitu?" Mama yang sedang duduk mulai menggeser tubuhnya lebih dekat denganku. Beliau terkejut seolah tidak percaya pada ucapanku.

"Iya dulu waktu mereka masih kuliah. Dunia sempit ya Ma? Sekarang mereka sudah sering ketemu lagi."

"Kenapa mereka putus? Sudah lama putusnya?"

"Iya putusnya emang sudah lama, tapi begitu mereka ngga sengaja ketemu lagi di kedai, kata Henry, Mba Lidya hubungin dia lagi dan ngerasa nyesel sudah ninggalin dia. Ternyata sampe sekarang Mba Lidya masih sayang sama Henry."

"Lho iya terus putusnya tuh kenapa? Kamu tahu kan?"

"Dulu waktu ayahnya Mba Lidya masih ada, Mba Lidya ditentang pacaran sama Henry. Ayahnya kekeh jodohin Mba Lidya sama anak teman bisnisnya. Mau ngga mau, Mba Lidya terpaksa ninggalin Henry."

"Tapi kenapa sekarang Mba Lidya belum nikah?"

"Dia putus lah, sama cowok itu. Setelah ayahnya Mba Lidya meninggal. Sedangkan Henry sudah keburu kecewa karena kejadian itu. Sampe sekarang sikapnya masih dingin sama Mba Lidya."

"Hmm.. Mama tahu sekarang, jangan-jangan kamu ngga mau pacaran sama Henry karena ngga enak ya sama Mba Lidya?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Mama, pandanganku hanya kosong menatap ke layar televisi yang masih menyala dengan volume suara yang kecil. Mama melanjutkan ucapannya. "Menurut Mama sih, kalau Henry sendiri emang sudah ngga mau balik lagi sama Mba Lidya, kamu berhak nerima Henry. Sah sah aja Mel.."

"Hmm.. Ngga tahu deh Ma, terlepas dari itu aku emang belum siap mulai hubungan yang lebih dari teman sama Henry. Aku ngerasa nyaman berteman dekat sama dia, tapi aku ngerasa belum tentu aku akan senyaman ini kalau nanti pacaran sama dia."

"Ya Mel.. Kamu sudah makin dewasa, apapun jalan yang kamu ambil itu bebas kamu tentukan sendiri. Mama cuma sebagai orang tua, teman curhat kamu yang cuma bisa kasih masukan buat kamu. Mama harap kamu lebih tahu apa yang baik buat kamu." Mama mengambil salah satu tanganku kemudian menggenggamnya, mengusap-usapnya lembut seraya tersenyum lebar menenangkan hatiku, tatap matanya beradu dengan mataku.

Akhirnya yang ku tahan-tahan selama ini untuk tidak ku ceritakan pada Mama, telah ku ceritakan juga. Aku senang dengan respon Mama yang seperti tadi. Beliau menghargai dan tetap mendukung setiap keputusanku. Aku sangat bersyukur untuk kesekian kalinya dan merasa beruntung memiliki seorang Mama seperti yang ada di hadapan ku sekarang.

"Oh iya Mel, Mama mau ke rumah Eyang. Berapa hari ini Mama ngga sempet kesana. Kamu gimana mau ikut atau istirahat dulu di rumah?"

Mama menawariku untuk ikut dengannya ke rumah Eyang, orang tua Mama. Rumah mereka tidak terlalu jauh dari sini, hanya melewati dua gerbang kompleks perumahan dari ujung jalan utama di depan sana. Biasanya kalau hendak bertandang kesana kami menumpang ojek, naiknya dari pangkalan ojek depan komplek perumahan sebelah.

"Aku di rumah aja ya Ma, kalau bisa tidur ya aku tidur. Tapi kalau ngga ya aku tidur-tiduran aja. Salam buat Eyang uti sama eyang kung."

"Hmm.. Oke ya sudah. Mama siap-siap ya, nanti hujan jadi batal lagi." Mama berlalu meninggalkanku yang masih duduk di depan televisi.

Aku merebahkan tubuhku di bangku panjang yang sekarang ku duduki. Aku menyanggah kepalaku dengan bantal bundar kecil yang tadi dipeluk Mama. Ku miringkan tubuhku ke kanan, ke arah televisi. Beberapa menit pada posisi seperti ini, aku merasa tidak nyaman. Aku lantas bangkit dari kursi panjang itu seraya mematikan televisi. Hmm.. memang hanya kamarku tempat paling favorit bagiku di rumah ini.

"Mama jalan dulu ya Mel. Kunci pintunya nih!"

"Hati-hati ya Ma. Bawa payung ngga?" aku membuntuti di belakang Mama hendak mengunci pintu depan.

"Bawa. Sudah ya. Dadah Amel.."

"Dadah Mama.." aku langsung mengunci pintu depan rumah kami lalu melangkah kembali menuju kamarku.

Setelah menutup pintu kamar, aku membuka laptop dan berselancar ke chanel video film-film drama. Setelah memilih-milih cukup lama, aku putuskan untuk menonton salah satu film Korean movie yang berdurasi sekitar dua setengah jam penuh. Film yang ku pilih ini bergenre drama romantis namun ini memang termasuk film produksi lama. Mungkin dirilisnya pada tahun-tahun aku masih setingkat sekolah menengah pertama.

Namun aku sangat familiar dengan wajah pemeran wanitanya, Son Ye Jin. Hmm.. Banyak sekali film drama yang telah dibintangi olehnya. Judul film yang telah siap ku tonton sekarang berjudul "A Moment to Remember". Oke, aku akan mulai berkonsentrasi menontonnya sekarang. Tapi sebelum mulai memutarnya, aku perlu mengaktifkan mode tanpa dering pada ponselku, agar aku tidak terganggu dengan pesan atau panggilan yang masuk. Aku juga telah mengambil sebuah toples dari ruang tamu yang berisi kue kuping gajah, siapa tahu aku akan menonton sambil ngemil.

Eh tapi, ngomong-ngomong sejak kapan toples ini ada di meja ruang tamu? Sepertinya semalam tidak ada, kalau ada pasti aku sudah menawarkannya pada Mba Lidya. Ah.. Sudahlah..

Dua setengah jam telah berlalu, entah telah berapa kali aku merubah posisiku di atas tempat tidur. Dan air mata telah membasahi kedua belah pipiku. Sungguh film drama yang ku tonton tadi telah membuatku jadi sangat emosional. Jalan ceritanya begitu mengharukan. Dalam film itu menceritakan Son Ye Jin sebagai peran utama yang mengidap penyakit alzheimer setelah dirinya menikah dengan lelaki pujaan hatinya.

Drama hidupnya cukup kompleks, dimana sebelum menikah dengan lelaki itu dia sempat memadu kasih dengan pria beristri. Dia juga mengalami depresi yang cukup panjang manakala pria beristri itu meninggalkan dirinya. Namun penyakit yang mengakibatkan ingatannya hilang perlahan lahan itu, justru terjadi di saat dia telah hidup bahagia bersama lelaki yang juga sangat mencintainya. Dia didiagnosis terkena alzheimer di usia tiga puluhan.

Huh.. menyedihkan sekali endingnya, pada akhir cerita dia telah benar-benar melupakan keberadaan suaminya serta anggota keluarganya yang lain.

Terlalu lama fokus menatap ke layar laptop, kedua mataku jadi terasa cukup lelah. Aku mengecek ponselku yang sejak tadi ku setel mode tanpa dering. Tampak ada dua pesan masuk disana. Dari Mutia dan juga Eka. Hmm.. Setelah ku baca pesan mereka, intinya cukup sama, mereka menanyakan bagaimana keadaanku sekarang. Lantas aku pun langsung membalas kedua pesan itu masing-masing.

Sekarang sudah sangat siang, hari ini cuaca tampak cerah. Namun matahari tidak seterik kala musim panas. Dia tampaknya masih agak malu-malu untuk menampakkan sinar seutuhnya. Sepoi-sepoi angin bebas keluar masuk jendela kamarku yang terbuka namun berteralis. Sesekali ku hirup hawa angin yang cukup menenangkan itu. Mungkin aku mulai ngantuk lagi, aku juga baru saja menguap. Tetapi, aku tidak ingin tidur lagi.

Astaga.. Sejak diantar pulang semalam oleh Mba Lidya, aku belum mandi. Kenapa aku bisa selupa ini?! Hmm.. Aku pun bergegas untuk segera mandi. Tapi, sekali-sekali hawa dingin masih terasa, aku takut badanku masih kurang fit. Jadi ku putuskan untuk tidak mengguyur kepalaku. Lantas aku pun membungkus rambut bob kesayanganku ini dengan mengenakan hair cap berbahan plastik tebal berwarna biru bermotif polkadot putih.

Hmm.. Kini aku sudah terasa lebih segar dan juga nyaman. Aku sedang mengisi daya baterai pada laptopku. Jadi, aku memutar lagu lewat mp3 dalam ponselku. Aku baru memutarnya dua lagu, Henry menelponku, membuat musik itu terhenti sejenak berganti dengan nada dering ponselku.

"Mel, di rumah?"

"Iya. Kenapa?"

"Nanti aku ke rumah ya. Boleh ngga? Kan jenguk kamu."

"Jenguk? Kan sudah sembuh. Ya tapi ngga apa-apa kok kalau mau kesini."

"Oke.. Sampe ketemu ya Mel."

Tepat setelah kami mengakhiri pembicaraan di telpon, hujan tiba-tiba turun lagi. Waduh, jemuran Mama.. Untung aku ingat. Ponsel dalam genggaman tanganku langsung ku lempar ke atas tempat tidur, aku berlari marathon untuk membuka pintu samping dan secepat kilat menyabet satu per satu pakaian kami. Haduh.. Jemuran ini banyak sekali, mana ada seprainya juga. Aku pun berlari lagi kembali ke dalam rumah. Kepalaku masih mengenakan hair cap yang tadi belum sempat ku buka setelah mandi.

Huh.. Lelah juga berlarian sambil membopong pakaian sebanyak ini. Setelah pintu samping ku tutup kembali, aku melangkah menuju ruang televisi, aku hampir menjatuhkan semua pakaian itu di kursi panjang depan televisi. Tapi ku urungkan niatku karena rasanya tidak enak saja kalau hujan-hujan sendirian begini duduk di ruang televisi. Akhirnya ku bopong lagi semua pakaian itu ikut serta bersamaku ke kamar. Sambil ku tekan satu per satu saklar lampu di ruang televisi, ruang tamu serta teras.

Ku buka hair cap yang masih menudungi kepalaku, lantas aku langsung menjatuhkan semua pakaian tadi di atas tempat tidur. Satu per satu ku lipati sambil ku periksa dengan teliti, siapa tahu ada bagian yang basah karena sudah sempat tersiram hujan.

Sedang asyik melipat pakaian, ponselku berdering lagi. Kini giliran Mama yang menelpon.

"Jemuran Mama, Amel....??"

"Tenang Ma, aman. Ini lagi aku lipetin semua."

"Huh, untung kamu tahu Mama ninggalin jemuran di luar. Makasih ya Mel. Mama balik jam tujuhan nanti, kamu baik-baik ya di rumah."

"Iya Ma.. Oh iya nanti Henry mau kesini katanya."

"Hmm.. Ya sudah, masih ada kue toplesan kok di lemari dapur cari aja. Sudah ya Mel. Dadah.."

"Oke Ma.. Dah.."

Setelah Mama menutup telponnya, aku baru tahu ternyata tadi Mama sempat menelponku dua kali. Oh.. pasti saat itu aku sedang berjuang mengangkat jemuran di samping.

Syukurlah, tidak semua pakaian menjadi basah lagi karena hujan. Hanya sempat terkena hawa dinginnya saja. Kini hujan telah berangsur reda, semua pakaian yang telah ku lipat itu ku tumpuk sementara di atas karpet, depan lemariku.

Tampaknya pengisian baterai laptopku telah rampung. Aku mengecek warna lampunya lalu kemudian mencabut kabel listriknya. Ku simpan laptop beserta kabel chargenya ke dalam tas berwarna abu-abu. Aku baru ingat kalau sejak siang tadi, aku belum makan nasi. Hanya ngemil kue kuping gajah ketika asyik menonton film drama.

Aku memutuskan untuk segera makan nasi sebelum sakit perut atau sakit kepala menyerang ku lagi. Ku tinggalkan kamar dengan membawa setumpuk tinggi pakaian yang tadi ku lipat. Aku meletakkan mereka pada sebuah keranjang berbahan plastik yang berada di kamar setrika, di samping kamar Mama. Sebetulnya kamar itu dapat digunakan jika ada sanak saudara yang ingin menginap di rumah kami, namun karena intensitasnya jarang sekali, maka kami memanfaatkan kamar itu sebagai tempat menyetrika pakaian.

Sampai di meja makan, tanpa berlama-lama aku langsung mengambil seporsi nasi dengan lauk dan siraman sayur. Tidak lupa sebotol air mineral juga ku ambil dari dalam kulkas. Lagi-lagi aku menuju ke kamar. Ku nikmati santapan sore itu diiringi alunan lagu-lagu pop yang ku putar lagi dari ponselku.

Tampak hari sudah semakin gelap, aku menutup jendela serta gorden kamarku lalu ku nyalakan lampu neon yang sinarnya memancar dari tengah-tengah langit kamar.

Pukul enam lewat lima belas menit, petang. Terdengar suara motor Henry berhenti di luar sana, di depan pagar rumahku. Aku bergegas ke pintu depan lalu keluar hingga di ujung teras lalu mempersilahkan Henry membawa motornya masuk ke pekarangan. Dengan sedikit berteriak padanya, aku memanjangkan leherku ke arahnya.

"Mas.. Motornya masukin sini aja.."

Dia yang sejak tadi memang belum turun dari atas motornya lantas turun dari atas motornya dan membuka pintu pagar. Dia pun membawa masuk motornya hingga terparkir di pekarangan depan, tidak jauh dari tempat kami akan duduk di teras.

"Ngga kehujanan?"

"Ngga kok, tadi cuma gerimis dari sana." Henry turun dari motornya dan menghampiriku di teras.

"Cepet juga ya, Senin macet banget biasanya. Ngebut ya?" tanyaku sambil menggaruk-garuk kepala kanan. "Eh tunggu ya, aku ambil minum sama kue." aku pun berlalu ke dapur mencari setoples kue yang tadi dibilang Mama.

Aku telah menemukannya sekarang, sebuah toples berisi kue nastar yang isinya baru berkurang sedikit. Aku segera membopongnya bersama dua cangkir teh manis hangat dengan bantuan sebuah nampan.

"Silahkan.. Ayo minum dulu Mas.."

"Iya Mel, makasih. Eh iya, ini buat kamu." seraya dirinya menyodorkan plastik berwarna putih, dari luar tampaknya ada sebuah kotak makanan di dalamnya.

"Wah, apa nih? Bolen ya??" tanyaku sambil tertawa kecil mengintip isi kotak makanan itu.

"Hmm.. Lebih banyak kan? Daripada yang waktu itu."

"Iya, makasih banyak ya.."

"Iya, jangan pelit sama Mama." Henry malah tertawa-tawa menggodaku.

Plastik putih berisi bolen itu ku letakkan di atas meja bundar di tengah-tengah kami. Sekali lagi aku mempersilahkan Henry untuk minum, kami pun menikmati secangkir teh hangat bersama.

"Mel, apa bener-bener ngga ada kesempatan lagi buat aku?"

Aku cukup terkejut dengan pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Henry. Aku terdiam beberapa saat, kemudian menjawabnya.

"Maksudnya kesempatan buat terima kamu jadi pacar aku?"

"Hmm.."

"Sekarang kamu tanya soal kesempatan. Maaf ya Mas, kamu sendiri kenapa ngga kasih kesempatan buat Mba Lidya. Kesempatan untuk dia perbaikin hubungan kalian, seenggaknya kalian bisa berteman lagi."

"Kok kamu jadi ngomongin Lidya?"

"Maaf Mas. Bukannya aku ngga mau kasih kamu kesempatan, tapi selama ini aku lebih nyaman kalau kita cuma berteman, bersahabat. Bukannya aku ragu sama kamu, bukan aku ngga percaya, tapi aku emang belum siap untuk memulai hubungan itu."

Astaga.. Aku terus berbohong padanya, menutupi perasaanku yang sesungguhnya. Aku tidak mungkin jujur padanya, mengatakan bahwa aku tidak bisa menerima dirinya karena Mba Lidya.

Henry termangu, hanya mendengar setiap kalimat yang terlontar dari mulutku tanpa mampu menjawabnya.

"Kamu inget ngga waktu aku lagi ngobrol sama Mba Lidya di samping kedai, tiba-tiba kamu dateng narik-narik tangan aku. Saat itu yang aku lihat di mata kamu bukan kebencian, tapi rasa sakit. Aku tahu, tahu banget kalau kamu kecewa dan tersakiti sama sikapnya Mba Lidya yang dulu. Tapi bukan berarti dia ngga berhak dapet kesempatan dari kamu."

Aku belum juga mendengar Henry menanggapi ucapanku. Sedari tadi dirinya hanya menatap ke arah rerumputan di depan kami, mendengarkan aku bicara sendiri. Aku justru mendengar suara seekor burung yang semakin mendekat di telingaku.

Astaga.. Mama baru saja turun dari atas motor ojek dengan membawa seekor burung di dalam sangkarnya. Sungguh berhasil beliau mencuri perhatian kami. Mama melangkah semakin mendekat pada kami, sementara Henry bangkit dari kursi dan berdiri menyambut Mama.

"Hai Tante.." Henry tersenyum, membungkukkan tubuhnya mencium tangan Mama.

"Halo.. Sudah lama?"

"Lumayan, Tante. Ini baru beli?" tanya Henry penasaran seraya memegang sisi sangkar burung yang dibawa Mama.

"Mama ada-ada aja deh." spontan aku berkomentar dengan wajah heran, mengerutkan dahiku.

"Ih ini dikasih sama Eyang Kung. Disana ada empat, Mama dibagi satu. Lihat warnanya tuh cakep, ijo kuning. Ini namanya Love bird, bisa joget lho."

Haduh.. Sejak mama belum turun dari motor ojek sampai sekarang, burung itu masih saja bercicit-cuit. Apa mulutnya tidak lelah ya? Apa dia sendiri tidak keberisikan dengan suaranya? Kapan dia akan berhenti bersuara?!

"Iya Tante bagus banget warnanya."

"Tante masuk dulu ya, mau bawa ini ke belakang. Nanti minta dibuatin dulu sama papanya Amel buat disangkutin disitu." telunjuk Mama mengarah ke langit-langit atas kepalaku yang sedang duduk.

Astaga.. Aku hanya bisa menutupi wajahku dengan kedua tangan saat ini. Mama berlalu masuk ke dalam dengan membawa serta si Love bird dalam sangkarnya. Henry kembali duduk di tempatnya semula. Bukannya menanggapi ucapanku yang sebelumnya, dia malah membahas Mamaku.

"Hehe, si Mama lucu juga ya".

Hmm.. kenapa jadi Mama yang dibilang lucu. Benar-benar, Mama sukses mengalihkan pembicaraanku dan Henry. Aku harus langsung ke intinya sekarang.

"Kamu masih cinta ya sama Mba Lidya? Buktinya sakit hati kamu ngga habis-habis sama dia."

"Lho? Kenapa jadi aku yang masih cinta sama dia. Terbalik kali.."

"Nah kamu bisa bilang terbalik, tandanya kamu tahu kalau dia yang masih cinta sama kamu. Kenapa kamu tega cuekin dia kayak gitu?"

"Ya aku emang pernah cinta sama dia, tapi itu dulu Mel. Sekarang sudah beda. Aku sudah ngga mungkin nerima dia lagi."

"Ya ngga mungkin lah, orang sikap kamu dingin gitu sama dia. Ngga cinta lagi bukan berarti harus bersikap dingin kan?"

Henry terdiam lagi, mungkin dia mulai mati kutu mendengar argumenku. Atau dia sedang menghindari perdebatan yang akan lebih sengit jika dilanjutkan. Aku terdiam, lelah juga bicara sejak tadi. Akhirnya Henry membuka suara.

"Maaf ya Mel, aku kesini malah bikin kamu kesel."

"Ngga lah.. Kenapa mesti kesel? Biasa aja kok. Aku cuma ngga tega aja tiap kali lihat ekspresi mukanya Mba Lidya kalau lagi berhadapan sama kamu."

"Emang kenapa mukanya?"

"Sama kayak kamu, kelihatan sakit.. Sakit di dalam hatinya. Sudah lah kamu ngga akan ngerti perasaan cewek."

Aku menenggak habis teh manisku yang tinggal sedikit lalu memakan satu buah bolen pisang yang dibawakan Henry untukku. Aku tahu tatapan matanya sedang mengarah pada gerak-gerikku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan tentang diriku saat ini. Tiba-tiba aku mendengar suara tawa kecil dari mulutnya, sontak aku pun menoleh padanya sambil mengunyah bolen pisang dalam mulutku.

"Kenapa?" sedikit ku naikkan nada suaraku padanya.

"Haha, kamu juga lucu kayak Mama. Lihat tuh semangat banget makan bolennya."

Aku hanya melengoskan pandangan mataku dari menatapnya menjadi lurus ke depan lagi. Setelah menghabiskan sisa teh manis yang ku buatkan untuknya, Henry pun pamit untuk pulang. Aku bergegas menghampiri Mama ke dalam untuk mengatakan bahwa Henry akan pulang.

"Kok buru-buru Hen?"

"Ngga Tante, sudah dari tadi kok. Besok Amel kerja pagi, biar dia bisa istirahat lagi. Mel, aku pulang ya. Jangan sakit lagi!"

"Iya. Makasih ya. Hati-hati.."

"Makasih Henry.." Mama menimpaliku.

Henry telah mengenakan jaket hitam dan helmnya di atas motor, dia bebalik arah keluar dari pekarangan, lantas aku membuntuti di samping motornya kemudian membukakannya pagar. Sampai di pagar dia malah mengucapkan kata maaf lagi padaku, tadi dia tidak bermaksud untuk membuat kami jadi berdebat. Hmm.. Aku pun hanya menjawab dengan singkat, "Iya ngga apa-apa." seraya melemparkan senyum untuknya. Henry tancap gas, berlalu pergi meninggalkan rumah ku.

"Mel..!!!" terdengar suara seorang wanita menyapaku setelah motor Henry melaju.

"Eh Bu RT.. Dari mana Bu?"

"Ini, dari warung Ucok.." beliau menghentikan langkahnya di seberang tempatku berdiri sekarang. Sambil mengangkat sedikit kantung plastik hitam yang dijinjingnya. Beliau meneruskan ucapannya tadi, "Yang tadi pacarnya Mel?" seraya tersenyum dan menggelengkan kepala ke arah perginya Henry.

"Hah? Bukan bu, cuma teman kok.." mungkin wajahku tampak kurang meyakinkan menjawabnya, tapi aku berusaha tetap tersenyum lebar.

"Oh kirain pacarnya. Ayo Mel.. Mari.." beliau melanjutkan langkah kakinya yang terhenti sejenak untuk menyapaku.

"Iya Bu.." aku tersenyum seraya mundur untuk masuk perlahan ke dalam pagar kemudian menutupnya kembali.

Aku melangkah ke dalam rumah dengan membopong nampan berisi semua benda yang tadi berada di atas meja bundar teras. Tentu aku tidak lupa mengaitkan plastik bolen pisang pada jari telunjukku sembari menjaga keseimbangan nampan yang ku bawa. Haduh.. Rumahku jadi berisik sekali.. Terdengar cicit cuit dari si Love bird yang tadi dibawa Mama.

Aku menuju dapur untuk mencuci cangkir-cangkir kotor yang ku bawa. Sejenak plastik bolen ku letakkan di atas meja samping wastafel. Suara cicit cuit itu menarik perhatianku lagi, aku pun menghampiri ke arah datangnya suara itu. Aku melongo dari balik pintu samping rumah, tampak Mama sedang bertepuk-tepuk tangan kecil ke arah si Love bird. Seraya mengajaknya bicara, satu-satu kata diucapkan olehnya. Burung dengan sangkarnya itu diletakkan di atas meja plastik persegi, berwarna merah.

"Mama.. ih.. Malah ngajak main burung." aku berteriak dari balik pintu. Memunculkan setengah tubuhku ke arah Mama.

"Biarin deh, habis kamu ngga mau diajak main." jawab Mama sembari masih asyik senyam-senyum menatapi si Love bird.

Aku kembali ke dapur dengan wajah cemberut. Setelah mencuci peralatan kotor, tidak lupa ku sabet plastik bolen tadi untukku bawa menuju kamar. Eh, aku berhenti sejenak mengambil sebuah piring ceper lalu membawanya. Piring ceper itu ku letakkan di atas meja makan, ku buka kotak bolen pisang itu dan memindahkan empat buah bolen itu ke atas piring. Sambil melangkah menuju kamar, aku berteriak dari balik jaring-jaring antara ruang televisi dengan pekarangan samping.

"Mama.. Di meja ada bolen pisang. Dua-dua ya sama papa."

"Iya, thank you Mel.." Mama hanya sedikit menoleh padaku, tampaknya beliau lebih tertarik pada si Love bird.

Sampai di kamar, ku letakkan plastik bolen pisang itu di atas tempat tidur. Hmm.. Persediaan air mineral di kamarku tinggal sedikit, biarlah nanti saja aku mengisi botolnya lagi. Ku nikmati kembali manis lembutnya si bolen pisang. Tampaknya satu kotak ini berisi dua belas pcs. Apa aku masih dikatakan pelit kalau hanya membagi empat buah untuk mama dan papa. Hmm.. Tak apalah..

Ku raih ponselku di dekat bantal, aku ingat harus mengabari Dion agar besok dia tidak perlu datang pagi-pagi ke kedai.

"Yon, besok pagi gue masuk kok. Lo dateng normal aja ya. Makasih."

"Sip deh.. Sudah sembuh berarti Mel?"

"Iya Yon, sudah sehat kok."

"Oke deh, sampai jumpa yo!" jawab Dion mengakhiri percakapan kami lewat pesan singkat.

Sepertinya di luar gerimis lagi, terdengar suara percikan air menetesi kaleng pot tanaman papa di samping kamarku. Aku pun mengintip dari balik gorden. Benar saja, aku tidak bisa mengkategorikan ini sebagai gerimis atau hujan. Kalau dikatakan gerimis, air yang menetes cukup banyak. Namun jika dikatakan hujan, airnya masih kurang banyak. Hmm.. Baiklah mungkin lebih pantas dikatakan sebagai hujan ringan. Airnya menetes bersamaan dengan tempo yang sangat lamban, terasa tenang jatuhnya.

Aku keluar dari kamar membawa botol kosong berukuran satu liter, untuk kemudian ku penuhi kembali air di dalamnya. Di tengah desiran hujan ringan, tampak Mama sedang menonton televisi sambil memakan bolen pisang pemberianku, oh maaf.. pemberian Henry lebih tepatnya.

"Mama, burungnya kedinginan ngga tuh di samping?"

"Biarin, Mama sudah geser kandangnya di bawah atap. Kalau mau, kamu selimutin aja gih!".

Setelah memenuhi botol satu liter tadi, aku menggendongnya di tanganku, setengah memeluknya. Ku tatap jam dinding di atas meja televisi, sudah pukul delapan malam kurang sepuluh menit.

"Ma, duduk teras yuk.. Sebentar lagi papa pulang kan?"

"Yuk.." Mama bangkit dari kursi seraya mematikan televisi dan berjalan beriringan denganku menuju ke teras. Aku merangkul tubuh mama yang sedikit lebih pendek dariku.

Aku langsung membuka pintu depan. Hawa lembut tercium, semerbak wangi tanah yang diguyur hujan. Hmm.. Tenang sekali rasanya, aku suka bau hujan. Kami pun duduk di kursi bundar, nyaris bersamaan. Ku letakkan sementara botol yang kubawa di atas meja bundar. Masing-masing kedua mata kami memandang ke depan, ke arah rerumputan hijau yang tertetesi oleh air dari langit. Suaranya terdengar indah, sangat alami.

"Mel, besok kamu sudah bisa masuk kerja?"

"Hmm.. Iya Ma, besok aku jalan pagi. Sudah ngabarin ke teman ku."

"Kalau belum fit bener, jangan dipaksain ya!"

"Iya Ma.. Tenang aja." aku tersenyum lembut menoleh kepada Mama.

Lima belas menit menunggu papa, akhirnya beliau tiba. Tampak papa dari balik pagar mengenakan jas hujan berwarna abu-abu serta helm silver kesayangannya. Beliau turun dari motor, sejenak membuka pagar. Menggiring motornya hingga masuk sepenuhnya ke dalam pagar, kemudian menutup pagarnya kembali. Barulah beliau memacukan motornya hingga sebatas samping teras.

Aku berdiri dari tempat dudukku, mencium tangan papa. Begitu pun dengan Mama. Tanganku siap menadahkan jas hujan yang sedang dibuka oleh papa. Satu per satu mulai bagian atasan lalu bawahannya. Kini sepasang jas hujan abu-abu itu telah berada di kedua tanganku. Aku mengibas-ngibasnya lalu menjemurnya di samping, aku masuk lewat pintu samping yang berada di sebelah kanan motor papa.

Hmm.. Suara papa dan mama sudah semakin menjauh terdengar di telingaku. Pasti mereka meninggalkanku ke dalam. Benar saja, ketika aku sampai di teras keduanya telah masuk ke dalam rumah. Aku membawa kembali botol satu liter ku untuk langsung masuk ke dalam kamar.

Sudah pukul setengah sembilan malam, aku menguap saat mataku sedang menatap jam dinding dalam kamarku. Aku mengambil posisi tidur. Tanpa butuh waktu lama, mataku langsung terpejam sepenuhnya. Pasti papa dan mama akan mencari keberadaanku. Biarlah.. mungkin mereka pikir aku telah hilang di bawa penculik ke planet lain saat menjemur jas hujan di samping. Namun mereka akan menemukan jawabannya jika mencari ke dalam kamarku.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun