"Hmm.."
"Sekarang kamu tanya soal kesempatan. Maaf ya Mas, kamu sendiri kenapa ngga kasih kesempatan buat Mba Lidya. Kesempatan untuk dia perbaikin hubungan kalian, seenggaknya kalian bisa berteman lagi."
"Kok kamu jadi ngomongin Lidya?"
"Maaf Mas. Bukannya aku ngga mau kasih kamu kesempatan, tapi selama ini aku lebih nyaman kalau kita cuma berteman, bersahabat. Bukannya aku ragu sama kamu, bukan aku ngga percaya, tapi aku emang belum siap untuk memulai hubungan itu."
Astaga.. Aku terus berbohong padanya, menutupi perasaanku yang sesungguhnya. Aku tidak mungkin jujur padanya, mengatakan bahwa aku tidak bisa menerima dirinya karena Mba Lidya.
Henry termangu, hanya mendengar setiap kalimat yang terlontar dari mulutku tanpa mampu menjawabnya.
"Kamu inget ngga waktu aku lagi ngobrol sama Mba Lidya di samping kedai, tiba-tiba kamu dateng narik-narik tangan aku. Saat itu yang aku lihat di mata kamu bukan kebencian, tapi rasa sakit. Aku tahu, tahu banget kalau kamu kecewa dan tersakiti sama sikapnya Mba Lidya yang dulu. Tapi bukan berarti dia ngga berhak dapet kesempatan dari kamu."
Aku belum juga mendengar Henry menanggapi ucapanku. Sedari tadi dirinya hanya menatap ke arah rerumputan di depan kami, mendengarkan aku bicara sendiri. Aku justru mendengar suara seekor burung yang semakin mendekat di telingaku.
Astaga.. Mama baru saja turun dari atas motor ojek dengan membawa seekor burung di dalam sangkarnya. Sungguh berhasil beliau mencuri perhatian kami. Mama melangkah semakin mendekat pada kami, sementara Henry bangkit dari kursi dan berdiri menyambut Mama.
"Hai Tante.." Henry tersenyum, membungkukkan tubuhnya mencium tangan Mama.
"Halo.. Sudah lama?"