Belum lama ku balikkan tubuhku ke arah semula, tiba-tiba Dion sudah muncul di sampingku.
"Astaga.. Ngagetin lo.."
"Haha.. Ada lagi Mel?" Dion menawarkan bantuannya padaku.
"Itu tolong caramel macchiato satu. Dingin.. Gue lagi bikin latte."
Tanpa membuang waktu lagi, Dion langsung sigap membantuku menghandle pesanan.
Sudah empat jam berlalu sejak aku dan Dion sangat sibuk memenuhi semua pesanan para pelanggan. Mereka silih berganti keluar masuk kedai, seolah hanya ada satu kedai kopi yang buka di sekitar sini. Masih terlalu sore untuk mengatakan bahwa kedai sangat ramai pengunjung hari ini, karena petang belum berganti malam.
Rena dan Mutia juga tidak kalah sibuknya sejak tadi, bahkan Rena harus menghubungi bagian produksi kami untuk meminta mereka segera mengantarkan beberapa macam kue dan roti yang stoknya sudah sangat menipis disini. Untungnya Rena termasuk orang yang tanggap situasi, sebelum bagian produksi kami bubar, dia telah berhasil menghubungi mereka.
Oh iya, ada bagian yang hampir terlupa dalam ceritaku. Tim produksi "kedai kopi Rindu" terletak sekitar empat ratus meter dari lokasi kedai. Tidak terlalu jauh tentunya. Setiap harinya mereka memproduksi beberapa macam jenis kue, roti serta donat. Untuk kemudian diantarkan ke kedai sesuai permintaan kami. Mba Lidya tidak hanya memasarkan produksi kue-kuenya di kedai, namun dia juga menyuplainya ke beberapa kenalannya.
Jam kerja tim produksi tentu tidak sama dengan kami. Mereka bekerja sejak pukul delapan pagi hingga lima sore di hari Senin sampai Jumat, sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu mereka bekerja hanya sampai pukul dua siang.
Waktu untukku beristirahat makan sore telah tiba, aku mohon diri pada Dion untuk pergi makan diluar. Rencanaku sudah bulat sejak tadi pagi, aku ingin makan sate Padang di blok belakang kedai kami. Hmm.. Waktu itu aku pernah makan siang bersama Henry disana. Lantas aku melangkah pergi ke ruang belakang, namun ketika membalikkan tubuh, tiba-tiba saja kepalaku rasanya oleng seperti mau jatuh, hampir kehilangan keseimbangan. Aku juga merasakan aliran keringat yang dingin membasahi dahi dan leherku. Sebelum benar-benar terjatuh, aku menghentikan langkah dan meraih bagian ujung dinding pembatas ruang barista dan ruang belakang.
Dion yang sedang mencuci teko di bak pencucian yang sejajar dengan dinding itu, menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku. Dia segera meletakkan teko yang sedang dipegangnya dan dengan volume suara yang cukup lantang berjalan cepat mendekatiku.