"Nah kamu bisa bilang terbalik, tandanya kamu tahu kalau dia yang masih cinta sama kamu. Kenapa kamu tega cuekin dia kayak gitu?"
"Ya aku emang pernah cinta sama dia, tapi itu dulu Mel. Sekarang sudah beda. Aku sudah ngga mungkin nerima dia lagi."
"Ya ngga mungkin lah, orang sikap kamu dingin gitu sama dia. Ngga cinta lagi bukan berarti harus bersikap dingin kan?"
Henry terdiam lagi, mungkin dia mulai mati kutu mendengar argumenku. Atau dia sedang menghindari perdebatan yang akan lebih sengit jika dilanjutkan. Aku terdiam, lelah juga bicara sejak tadi. Akhirnya Henry membuka suara.
"Maaf ya Mel, aku kesini malah bikin kamu kesel."
"Ngga lah.. Kenapa mesti kesel? Biasa aja kok. Aku cuma ngga tega aja tiap kali lihat ekspresi mukanya Mba Lidya kalau lagi berhadapan sama kamu."
"Emang kenapa mukanya?"
"Sama kayak kamu, kelihatan sakit.. Sakit di dalam hatinya. Sudah lah kamu ngga akan ngerti perasaan cewek."
Aku menenggak habis teh manisku yang tinggal sedikit lalu memakan satu buah bolen pisang yang dibawakan Henry untukku. Aku tahu tatapan matanya sedang mengarah pada gerak-gerikku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan tentang diriku saat ini. Tiba-tiba aku mendengar suara tawa kecil dari mulutnya, sontak aku pun menoleh padanya sambil mengunyah bolen pisang dalam mulutku.
"Kenapa?" sedikit ku naikkan nada suaraku padanya.
"Haha, kamu juga lucu kayak Mama. Lihat tuh semangat banget makan bolennya."