"Lo kenapa Mel?"
Tangan kananku masih berpegangan pada ujung dinding sedang tangan kiriku memegangi dahi bagian tengah, kepalaku menunduk seraya kedua mata ku pejamkan dengan tekanan cukup kuat. Mendengar reaksi Dion, aku pun mendongak menatapnya. Belum sempat ku jawab pertanyaannya, dia sudah berkomentar lagi dengan ekspresi cukup terkejut.
"Muka lo pucet banget Mel.. Lo pusing ya?"
Rena dan Mutia tidak ikut mendekat pada ku, sepertinya mereka sedang melayani pelanggan yang memesan donat serta ada pula yang sedang membayar di kasir. Aku hanya dapat mendengar suara mereka sayup-sayup tanpa sanggup menoleh lagi ke arah mereka. Namun di saat bersamaan ketika Dion masih menyentuh bahu sebelah kiriku, Mba Lidya yang turun dari lantai dua telah sampai di dekat kami.
"Amel kenapa Yon?" aku dapat mendengar suaranya berayun dengan nada panik.
"Kepalanya pusing Mba, mukanya pucet banget." padahal sejak tadi aku belum mengatakan apapun pada Dion, tetapi dia telah menarik kesimpulan bahwa kepalaku yang sakit, mungkin karena dia melihat tanganku memegangi kepala.
Hmm.. Benar juga, kalau perutku yang sakit, buat apa aku memegangi kepalaku.
"Mel.. Sudah makan belum? Kalau ngga kuat pulang aja yuk. Saya antar."
Astaga.. Mba Lidya memang sangat baik, dia langsung menawarkan hal itu padaku. Aku ingin menolak tawarannya, aku sama sekali tidak ingin merepotkannya. Apalagi di kedai ini dia atasanku, bukan hanya sekedar teman bagiku. Karena aku belum menjawabnya, dia malah bertanya lagi.
"Apa kita ke dokter yuk? Sudah makan belum sih?"
Saat ini sepertinya Rena dan Mutia juga sudah mendekat padaku. Terasa ada beberapa orang telah menghasilkan hawa hangat di sekeliling tubuhku. Aku belum sanggup membuka mataku, rasanya mau jatuh kalau aku membukanya sekarang. Dalam keadaan terdesak seperti ini, sepertinya aku tidak bisa menolak tawaran Mba Lidya. Akhirnya aku membuka suara.