Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

The Duke's Daughter (Bagian 1-5)

25 Desember 2023   20:13 Diperbarui: 26 Desember 2023   15:44 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Bertemu Kakek

Nivea del Castano masih melamun sekian menit saat dirinya terbangun dari tidur malamnya. Dirinya bersandar pada dipan ranjang, berbalut selimutnya memandang kosong ke depan. Jendela berukuran sangat besar di hadapannya tentu masih tertutup tirai. Mana mungkin Seri, sang pelayan pribadinya berani membuka tirai itu di saat nonanya tampak masih tertidur pulas.

"Permisi nona." Seri melangkah ke hadapan Nivea dan membuat lamunan gadis itu terhenti.

"Ah, kau!"

"Apa sesuatu mengganggu Anda, nona?"

"Hmm. Aku bertemu dengan mendiang Kakek."

"Apa? Maksud Anda?"

"Seri, sebaiknya kau buka dulu tirai itu!"

Tanpa menjawab, sang pelayan itu sigap melangkah menghampiri jendela di sisi sana lalu membuka semua tirai yang masih tertutup. Serta membuka beberapa bagian jendela agar udara pagi dapat leluasa masuk ke setiap sudut kamar Nivea. Setelahnya, dia pun kembali menghampiri Nivea.

"Apa? Kau menunggu aku bercerita?"

"Hmm. Apa nona tidak ingin bercerita tentang... pertemuan Anda dengan mendiang Kakek Anda?"

Nivea menghela nafas, "Entahlah Seri! Aku begitu sering memimpikan Kakek. Tapi, semalam rasanya... beliau begitu dekat dan aku merasa itu sangat nyata."

"Apa beliau mengatakan sesuatu?"

Nivea mengangguk, "Tak hanya bicara tapi... kali ini beliau menunjukkan sesuatu padaku."

"Boleh Saya tahu, nona? Apa yang... ditunjukkan Kakek Anda?"

"Sebuah lukisan. Aku kira itu wajahku, tapi Kakek mengatakan bahwa gadis dalam lukisan itu adalah seorang pelayan kerajaan di tahun.... tahun... Ah, aku tidak ingat tahun berapa dia bilang."

"Anda yakin, nona?"

"Hmm. Ya, aku yakin Kakek mengatakan bahwa itu bukan diriku. Justru Kakek ingin mengatakan bahwa diriku yang sekarang adalah... gadis itu yang telah terlahir kembali."

"Apa? Maksud Anda, apakah Anda reinkarnasi dari seorang pelayan kerajaan?"

"Ya. Mungkin itu maksud Kakek. Tapi, untuk apa Kakek mengatakan hal itu padaku? Aku tidak mengerti, Seri."

"Anda tidak perlu terus memikirkannya, nona. Saya harap Anda tidak terganggu karena mimpi itu."

"Tapi Seri, apa kau ingat? Aku pernah bercerita padamu tentang bagaimana aku mengetahui kekuatan tanganku. Saat itu, Kakek yang lebih dulu mengetahuinya. Saat itu beliau masih sehat dan mengatakannya padaku di usiaku yang ke tujuh tahun."

"Tentu nona. Saya ingat Anda pernah menceritakannya pada Saya. Menurut Saya, hal itu berbeda. Satu hal yang disampaikan oleh Kakek saat beliau masih hidup dan yang satunya beliau menyampaikan pada Anda hanya lewat mimpi. Saya... Saya juga tidak mengerti nona. Hahaha. Maaf nona, ini sudah waktunya Anda harus pergi ke toko."

Lagi-lagi Nivea menghela nafas, "Baiklah, untuk sementara aku akan berhenti memikirkan hal itu, Seri. Bantu aku bersiap-siap sekarang!"

Perlahan Nivea menurunkan kaki-kakinya dari ranjang. Lalu melangkah kepada salah satu sisi jendela yang terbuka lebar. Gadis dengan warna rambut burgundy itu memandang keluar sana, dengan mata cokelatnya tajam menatap suasana pagi di sekeliling kediamannya.

Selang beberapa menit, Seri kembali ke hadapan Nivea untuk mengatakan bahwa air hangatnya telah siap. Seri mempersilahkan nonanya untuk beranjak pergi ke kamar mandi. Sedangkan Seri menyiapkan gaun yang akan dikenakan oleh Nivea hari ini.

Kini Nivea telah duduk di depan meja riasnya. Dia telah mengenakan gaun sederhana berwarna merah muda pilihan Seri. Seperti biasanya, Seri menyisir rambut Nivea dengan lembut kemudian menatanya sesuai keinginan Nivea.

"Apa hari ini Anda berencana mengurai rambut Anda, nona?"

"Tidak. Tolong kau sanggul saja!"

"Baik nona."

Setelah puas dengan tatanan rambutnya, gadis cantik itu berdiri dari duduknya. Mematut diri sekali lagi di depan cerminnya, lalu beranjak pergi meninggalkan kamarnya.

"Dimana Ibuku, Seri?"

"Ah, duchess Elvira sedang menikmati tehnya di taman belakang."

Dengan mengangkat sedikit bagian depan gaunnya, dia pun melangkah ke arah taman yang berada di sisi belakang kediamannya. Nivea berniat menemui sang Ibu sebelum pergi ke toko roti miliknya. Sementara Seri akan terus mengekor di balik tubuhnya.

"Selamat pagi, Ibu."

"Ah, kau Nivea. Selamat pagi sayang. Apa tidurmu nyenyak?"

"Hmm. Aku rasa cukup nyenyak."

"Apa kau... akan langsung pergi ke tokomu?"

"Ya Ibu. Aku akan pergi sekarang."

"Hmm. Baiklah! Semoga harimu menyenangkan, anakku!"

Nivea sedikit membungkuk, "Terima kasih, Ibu. Aku harap kau juga selalu diberkati."

Kereta kuda dan seorang kusirnya telah siap mengantar Nivea dan Seri. Dalam perjalanan mereka, Seri membuyarkan lamunan Nivea.

"Nona, maaf. Boleh Saya bicara?"

"Ya? Kau ingin mengatakan apa, Seri? Kenapa harus bertanya sebelumnya?"

"Ah, karena Saya lihat Anda tampak sedang memikirkan sesuatu."

"Tentu! Aku memang sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang tampaknya mulai menggangguku. Tapi, kau ingin bicara tentang apa?"

"Kakak kelas Anda di perguruan ketiga, sepertinya pemuda itu menyukai Anda."

"Hah? Apa katamu? Siapa kakak kelas yang kau maksud?"

"Ah, itu nona.. dia putra dari count Antonio."

"Hahaha. Kau bercanda Seri?"

"Tidak nona. Pemuda itu meminta Saya menyampaikan salamnya untuk Anda."

"Apa? Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?"

"Saya.. Saya tidak ingat nona. Karena tadi pagi Anda membahas tentang pertemuan dengan mendiang Kakek Anda, Saya jadi lupa untuk menyampaikannya. Maafkan kecerobohan Saya, nona."

"Tidak masalah! Tapi, kapan kau bertemu dengan Matias?"

"Kemarin sore, saat Saya sedang membeli buah untuk duchess Elvira. Saya lihat pemuda itu juga membeli beberapa jenis buah dari toko yang sama."

"Apa yang dikatakannya padamu? Apa dia bilang kalau dia menyukaiku?"

"Dia hanya bilang, tolong sampaikan salamku untuk nona Nivea. Ya, hanya itu."

"Dan kau mengartikan salam darinya sebagai tanda... bahwa dia menyukaiku? Huh, kau bercanda Seri!"

"Itu suatu kemungkinan, nona. Bukankah sejak dulu... dia suka mencari perhatian pada Anda? Tapi Saya rasa, Anda kurang peka pada sikapnya."

"Benarkah? Apa aku kurang peka? Ah, sudahlah Seri! Aku tak ingin membahas Matias."

Seri membimbing Nivea menapakkan kakinya di depan bangunan toko rotinya. Seperti kebiasaannya, saat tiba di dalam area toko Nivea akan berjalan lebih dulu ke area dimana biasanya para pelanggan dapat duduk menikmati suguhan roti dan minuman yang dijajakan di toko itu. Lalu kemudian langkahnya tertuju pada sepanjang etalase rotinya dan terakhir, Nivea baru akan menuju ke dapurnya di bagian belakang meja pemesanan.

Di toko roti itulah tempat Nivea menghabiskan banyak waktu sehari-harinya. Gadis itu begitu mencintai pekerjaannya membuat berbagai macam jenis roti. Dengan sepenuh hati, Nivea mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk menghasilkan roti-roti yang pantas dinikmati oleh semua kalangan di negeri itu.

Nivea tak pernah mengambil banyak keuntungan dari usaha yang dijalaninya. Baginya, dia bahagia dapat bebas melakukan sesuatu hal yang dia sukai. Dan baginya, setiap orang berhak menikmati sebuah roti tanpa harus membedakan dia datang dari kalangan mana. Maka tak heran, jika toko rotinya memiliki banyak pelanggan. Nivea juga sangat ramah memperlakukan semua orang yang ditemuinya.

2. Kakak Kelas

“Nivea, kenapa kau buru-buru bangun? Aku belum selesai bicara padamu.”

“Ah, itu.. Apa maksudmu Kakek? Kau ingin aku tidur lebih lama? Bagaimana kalau aku tidak bisa membuka mataku lagi?”

“Bukan itu maksudku bodoh!” jemari sang Kakek menyentil dahi Nivea.

“Aduh! Sakit Kakek.. Baiklah! Kau bisa katakan sekarang apa yang ingin kau sampaikan padaku?”

“Kau... cucuku yang malang.”

“Malang bagaimana? Bisakah kau bicara lebih jelas, Kakek?”

“Kau terlahir sebagai reinkarnasi dari pelayan kerajaan dalam lukisan usang itu. Dia mati membunuh dirinya sendiri, karena terlalu mencintai lelaki yang tidak pernah mau memikirkan dirinya.”

“Jadi, apa maksud Kakek... kelak aku akan mengalami nasib yang sama dengannya?”

“Entahlah! Hanya saja... aku pernah mendengar bahwa Ibu dari pelayan kerajaan itu begitu mengutuk lelaki yang dicintai anaknya. Wanita renta yang bermulut tajam itu bersumpah, jika di kehidupan mendatang lelaki itu terlahir kembali, kejadiannya akan terbalik.”

“Terbalik?”

“Ya, wanita renta itu bersumpah kelak di masa mendatang... lelaki itulah yang akan tergila-gila pada anak gadisnya.”

“Lalu Kakek, menurutmu... apa yang akan terjadi pada hidupku nanti?”

Tubuh sang Kakek perlahan tampak menipis, lenyap menyisakan kepulan asap tipis yang perlahan pun terbang mengikuti arah angin.

“Kakek.. Kakek!!!” Nivea terbangun dengan nafas yang terengah-engah. Dia pun bangkit bersandar pada dipannya. Menepuk-nepuk dadanya, terasa jantungnya tengah berpacu dengan kuat. Salah satu tangannya menggapai gelas berisi air minum di sisi kirinya.

Setelah minum, dia mulai mengatur ritme nafasnya. Lagi-lagi sang Kakek hadir dalam tidurnya. Nivea semakin tak mengerti, namun dia kembali mencoba untuk memejamkan kedua matanya karena diluar sana hari tampak masih gelap.

Beberapa jam berlalu, Ayah dan Ibu Nivea pagi itu telah duduk di kursi makannya, bersiap memulai sarapan.

“Selamat pagi Ayah, Ibu.”

“Selamat pagi Nak, duduklah!” titah sang Ayah.

“Kami kira kau sudah pergi sejak pagi-pagi. Jarang sekali kau mau ikut sarapan dengan kami.”

“Tidak Ibu. Aku rasa, aku bangun agak telat pagi ini.”

“Apa kau baik-baik saja Nivea? Kau sakit?”

“Ah, tidak Ayah. Aku hanya... mungkin kualitas tidurku kurang baik.”

“Segeralah pulang setelah membuat roti, kau tidak perlu seharian berada di toko.”

“Tidak Ibu. Justru aku sangat senang jika bisa melayani banyak pelanggan.”

Setelah menyelesaikan sarapannya pagi ini, Nivea bersama Seri segera berangkat ke toko. Melakukan aktivitas hariannya seperti biasa.

Dalam perjalanan mereka kali ini, Nivea memilih diam dan sesekali tampak memejamkan mata, membuat pelayan pribadinya itu tak berani membuka mulut.

Sesampainya mereka di toko, dengan telaten Nivea mulai bekerja membuat adonan rotinya. Dia tampak berkonsentrasi jika dilihat dari luar, tak ada yang tahu bahwa pikirannya sedang bercabang.

“Kenapa kau terus menggangguku, Kakek? Untuk apa kau menyampaikan tentang pelayan kerajaan yang mati konyol karena lelaki yang dicintainya? Apa hal itu penting buatku?” batinnya tak terucap. Pandangannya masih tertuju pada wadah berisi adonan roti di hadapannya. Dan tangannya masih meremas setiap bagian dari adonan yang mulai tampak kalis itu.

Beberapa jam berlalu, Nivea telah selesai dengan roti-rotinya. Dia berdiri dengan anggun di balik etalase rotinya. Tampak seorang lelaki dengan topi koboi memasuki toko itu.

Dengan sopan lelaki itu melepas topinya lalu sedikit membungkuk saat menyadari keberadaan Nivea disana.

“Ah, nona Nivea! Bagaimana kabarmu hari ini?”

“Sangat cerah, tuan Rodrigues. Kau ingin roti yang mana?”

“Dua buah roti dengan selai cokelat di dalam.”

“Kau berencana duduk disini?” tanya Nivea seraya mengambil kedua buah roti dengan bantuan alat capit.

“Tidak nona. Tolong dibungkus saja. Saya membelinya untuk seorang teman.”

“Ah, baiklah!”

“Temanku sangat menyukai rotimu.”

“Benarkah?”

“Tentu. Saya rasa Anda mengenalnya. Dia kakak kelas Anda di perguruan ketiga.” seraya menerima bungkus roti berwarna cokelat yang diserahkan oleh Nivea.

“Ah, mungkin aku mengenalnya. Ada banyak kakak kelas disana.”

“Dia putra dari count Antonio.”

“Ah.. Hahaha. Ya, aku cukup mengetahuinya.”

“Baiklah, terima kasih nona. Kalau begitu Saya pamit.” lelaki itu kembali membungkuk sebelum beranjak dari hadapan Nivea.

Nivea masih termenung di tempatnya. Tampaknya dia memikirkan seorang kakak kelas yang dimaksud oleh tuan Rodrigues tadi. Tak lama dirinya tersadar dari lamunannya, dia melangkah untuk mengambil sebotol limun di lemarinya. Dan seperti biasa, hanya dengan tangan kosong dia begitu mudah membuka tutup botol beling yang masih tertutup sangat kuat.

Jika orang lain harus membuka tutupnya dengan bantuan alat, tapi tidak dengan Nivea. Tangannya memiliki kekuatan ajaib yang tidak diketahui oleh banyak orang. Dan dia menyadari kemampuan itu sejak berusia tujuh tahun.

Setelah menuang limunnya ke dalam gelas, dia segera meminumnya.

“Nona, Anda baik-baik saja?” tanya Seri yang muncul dari arah dapur.

“Hmm!”

“Ah, selamat sore nona. Kau ingin roti yang mana?” Seri mengalihkan pandangannya kepada seorang gadis bergaun hijau yang menghampiri etalase.

“Aku mau roti... Ah, itu Anda nona Nivea?” kedua mata yang sedang menjelajah seisi etalase akhirnya dapat menangkap keberadaan Nivea yang masih berdiri setengah membelakangi etalase roti itu.

Diiringi senyum, Nivea membalikkan tubuhnya ke arah gadis itu.

“Biar aku saja.” ucapnya lirih pada Seri sehingga Seri bergeser dan kembali ke dapur.

“Selamat sore nona Martha. Apa kau akan duduk disini untuk menikmati roti dan limun kami?”

“Sore nona Nivea. Aku ingin membawa pulang beberapa roti untukku dan kakak.”

Nivea membulatkan kedua matanya, senyumnya menipis, “Ada apa dengan Matias? Semua orang ingin membelikannya roti hari ini.” batinnya.

“Kakak ku sedang kurang sehat, nona.”

“Hah, apa? Ah, baiklah. Jadi, kau mau roti yang mana nona? Apa nona Martha bisa mendengar apa yang ku ucapkan dalam hati? Ah, tidak tidak..” batinnya lagi-lagi mengaduh.

Kedua tangan Nivea cekatan menyiapkan roti-roti yang disebutkan oleh Martha. Dia pun segera membungkusnya dalam kantung kertas berwarna cokelat.

“Ini rotimu, nona.”

Martha membayarnya setelah Nivea menyebutkan total belanjanya.

“Terima kasih nona Martha.”

“Ya nona. Terima kasih kembali. Sampai jumpa.” diiringi senyum Martha membalikkan tubuhnya kembali ke arah pintu masuk toko.

Nivea beranjak dari balik etalasenya, dia melangkah ke dapur mencari pelayan pribadinya.

“Seri, ayo pulang!”

“Apa? Anda mau pulang sekarang, nona?”

“Aku harus bicara berapa kali, Seri?”

“Ah, baik nona.”

Seri meninggalkan selai kacang yang sedang dibuatnya dalam wadah di atas meja, dengan kode dia meminta tolong pada pekerja yang lain untuk melanjutkan pekerjaan yang harus ditinggalkannya. Seri berlarian kecil mengejar nonanya yang baru saja melangkah keluar dari toko.

“Anda terlihat pucat nona.” ucapnya saat mereka telah duduk berhadapan di dalam kereta kudanya.

“Benarkah? Aku rasa... aku... Entahlah! Aku hanya ingin pulang lebih cepat dan beristirahat.”

“Bukankah... gadis tadi itu putri count Antonio?”

“Hmm. Kau benar!”

“Apa yang dia katakan padamu nona? Apa Anda mendadak ingin pulang karena dia mengatakan sesuatu?”

“Tidak ada.”

“Anda berbohong nona.”

“Apa aku tampak sedang berbohong, Seri? Dan kenapa kau selalu ingin tahu sesuatu dariku?”

“Ah, tidak.. tidak.. Maafkan Saya nona. Saya akan berusaha untuk tidak mengulanginya.”

Sepanjang perjalanan menuju kediamannya sore ini, Nivea hanya terdiam memandang ke sisi jalan lewat jendela kecil yang berada di samping kanannya.

3. Ledakan di Jalan Hawkins

Suasana Jalan Hawkins pagi ini tampak mencekam. Kepulan asap hitam membumbung tinggi bahkan hampir menutupi sebagian jalan. Mengakibatkan jarak pandang pengguna jalan kian terbatas. Kondisi kian memanas dan membuat semua orang yang berada di dalam kereta kudanya mulai panik. Mereka takut akan adanya ledakan susulan dari gedung arsip yang sudah setengah hancur itu.

Satu persatu dari mereka memilih turun dari kereta kudanya yang sudah tak mungkin dapat bergerak maju lagi. Dalam situasi seperti ini, berjalan kaki adalah pilihan yang paling tepat. Nivea melompat dari keretanya diikuti Seri dan seorang kusirnya. Sebelumnya, Nivea harus memaksa sang kusir untuk ikut dengannya, meninggalkan dulu keretanya yang entah kapan dapat kembali bergerak.

Nivea dan kedua orang yang ikut bersamanya itu berjalan cepat menerobos sela-sela kereta kuda lain yang sepertinya, juga sudah mulai ditinggalkan pemiliknya. Namun gadis bergaun biru itu menghentikan langkah saat mendengar suara seorang penumpang yang kesulitan membuka pintu keretanya dari dalam. Sedangkan kusirnya sedang kewalahan mengendalikan kudanya yang hampir mengamuk.

Melihat hal itu membuat Nivea mendekat kepada kereta kuda itu dan dengan mudahnya tangan Nivea membuka tuas yang terkunci itu. Padahal kuncian tuas itu memang telah rusak sebelumnya, membuat pintu kereta kuda itu sering kali terkunci sendiri. Nivea melengos pergi setelah dia menyelamatkan si penumpang. Dan penumpang itu belum sempat mengucapkan terima kasih padanya. Lelaki itu hanya melihat punggung Nivea dan Seri yang masih mengekorinya.

“Kau? Nivea?” gumamnya sendiri ketika dirinya telah berhasil keluar dari keretanya.

“Maaf tuan, Saya masih harus menjinakkan kuda ini. Sebaiknya Anda pergi sekarang!”

“Apa? Baiklah! Berlari lah jika kau sudah tak sanggup mengendalikan kudanya!”

Matias Vander Lawrence beranjak pergi meninggalkan kereta kuda dan kusirnya, dia memutuskan kembali ke rumah, mengurungkan niatnya pergi menemui Rodrigues. Setibanya di rumah, dia langsung masuk ke kamarnya. Masih tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Nivea. Hanya dengan sebuah hentakan tangan pada tuas yang mustahil dapat dibuka dengan tangan kosong, gadis itu mampu membukanya dengan waktu singkat.

Lelaki yang kini duduk di sofanya sambil menopang kepala dengan kedua tangan, dia membawa ingatannya pada masa bertahun-tahun lalu. Ketika pertama kali dirinya melihat Nivea yang sedang membaca sebuah buku di perpustakaan sekolah mereka. Sejak hari itu, dirinya sering mengunjungi perpustakaan, berharap adik kelasnya yang manis itu berada disana.

***

Setelah berjalan kaki sekian ratus meter, akhirnya Nivea sampai di tokonya. Seri sigap menyeduhkan secangkir teh untuk sang nona. Agar gadis itu dapat merasa lebih nyaman setelah berjalan kaki cukup jauh.

“Ini teh Anda, nona.” Seri menyodorkan secangkir teh chamomile di hadapan Nivea yang duduk pada salah satu kursi pelanggan.

“Hmm. Terima kasih Seri.”

“Saya ke dapur, nona. Anda bisa memanggilku jika butuh sesuatu.”

“Hmm.” seraya mengangguk Nivea hanya menjawab singkat.

Nivea menyesap tehnya selagi hangat, sedikit demi sedikit dia menikmatinya. Sambil memandang ke arah jalan yang terhampar luas di balik kaca tembus pandang. Sinar mentari pagi menghangatkan hatinya. Kini Nivea telah siap melanjutkan harinya, meski tampaknya keramaian diluar sana belum juga tampak seperti biasanya. Hanya beberapa orang saja yang sejak tadi terlihat hilir mudik melintas di depan tokonya.

“Aku rasa... hari ini tidak akan ramai, jadi sebaiknya kita tidak terlalu banyak membuat roti. Karena ledakan di jalan Hawkins pagi tadi, mungkin kebanyakan orang memilih untuk tidak keluar rumah.”

“Baiklah nona!" jawab Seri dibarengi dengan anggukan dua orang pekerja lainnya.

Kemudian mereka pun mengerjakan tugasnya masing-masing.

“Dimana kau membeli buah berry ini, David?”

“Ah, itu.. Saya membelinya di toko milik tuan Robert, nona. Seperti biasa.”

“Hmm. Aku rasa sekarang kualitas buah miliknya semakin baik. Aku kira... kau membelinya di tempat lain.”

“Saya tidak mungkin membeli ke tempat lain tanpa persetujuan Anda, nona.”

“Hahaha. Kau sangat pintar David! Seri, bisa tolong kau ambilkan aku air dengan wadah hitam itu?” lanjutnya.

“Baik nona.”

Dua jam kemudian Nivea telah selesai dengan roti-roti buatannya hari ini. Sedang yang lainnya tampak masih cukup disibukkan dengan tugas lainnya. Operasional toko baru dibuka beberapa menit yang lalu. Di balik meja pemesanan, Seri telah melayani setidaknya tiga orang pelanggan sejak tadi. Nivea beranjak dari dapurnya, menghampiri keberadaan Seri untuk ikut melayani pelanggan.

“Mereka tampak menyukai rotiku, Seri?”

“Tentu nona. Saya rasa begitu. Gadis yang duduk berdua disana, Saya pernah melihatnya beberapa kali datang kemari.”

“Benarkah? Kau tahu, kira-kira... apa yang membuat mereka kembali datang kesini?”

“Tentu saja, itu karena roti buatan Anda begitu nikmat dan... lembut. Tak hanya itu nona, Saya pikir itu juga karena pelayanan yang kita berikan sangat baik kepada mereka.”

“Apa semua itu benar, Seri? Tak jarang aku merasa takut... tidak bisa menyembunyikan mimik wajahku yang terkadang sedang sedih atau kesal.”

“Ah, tidak nona! Anda telah melakukan yang terbaik selama ini. Saya rasa Anda tak perlu mengkhawatirkan apapun. Mereka tidak akan kembali jika pelayanan kita tidak baik.”

Tak terasa siang hari telah usai, berganti sore dengan sisa matahari yang masih terasa cukup menyengat di kulit. Nivea menghampiri kusirnya yang sedang duduk meminum limunnya di sudut dapur toko. Lelaki jangkung itupun bangkit dari kursinya ketika melihat kemunculan Nivea yang hendak menghampiri dirinya.

“Tuan Willy, bisakah sekarang kau kembali ke jalan Hawkins? Tak lama lagi aku harus pulang. Tolong kau lihat dulu keadaan kereta kudamu.”

Lelaki itu sedikit membungkuk di hadapan Nivea, “Baik nona. Saya mengerti.”

“Terima kasih tuan Willy. Kau tidak perlu berlari kesana. Tidak usah terburu-buru, berjalanlah dengan hati-hati. Aku akan menunggu sampai kau kembali.”

“Baik nona. Saya pergi sekarang.” sekali lagi kusir itu membungkuk tanda menghormati lawan bicaranya. Dia pun bergegas pergi untuk melakukan apa yang barusan diperintahkan oleh Nivea.

Selepas kusir itu pergi, Nivea kembali ke meja pemesanan. Dia masih bersemangat melayani pelanggan yang akan datang. Dia bersenandung lirih, tak jauh dari Seri yang sedang merapikan susunan botol limun pada lemari yang menempel di dinding sana.

“Suasana hati Anda begitu baik, nona?”

“Hmm. Aku rasa... tidak juga.”

“Anda bersenandung seolah hati Anda sedang berbunga-bunga.”

“Tidak Seri, kau berlebihan jika berpikir begitu. Aku hanya menghindari rasa bosan.”

“Anda bosan berada disini, nona?”

“Ah, tidak! Tentu aku tak pernah merasa bosan disini. Maksudku, hari ini memang tidak seramai biasanya. Prediksi ku benar, pasti mereka masih enggan keluar rumah karena insiden tadi pagi.”

Selang beberapa menit kemudian, tuan Willy telah kembali ke toko dengan mengendarai kereta kudanya. Nivea juga telah selesai melayani tiga pelanggan yang sempat datang. Dia pun langsung menutup operasional toko setelah melihat kemunculan kusirnya diluar sana. Lalu mengajak Seri untuk bergegas pulang bersamanya.

4. Perjamuan Teh

“Selamat pagi Ayah, Ibu.”

“Selamat pagi.” jawab count Antonio bersamaan dengan countess Victoria yang sudah siap di meja makannya untuk memulai sarapan hari ini.

“Dimana Martha?”

“Aku disini Kakak.” gadis dengan rambut serupa warna jagung itu melangkah untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan kakak laki-lakinya.

Keempat orang dalam satu keluarga itu memulai sarapannya dengan khidmat. Hingga satu persatu dari mereka terlihat sudah selesai dengan makanannya.

“Kemarin kau tidak pergi ke perkebunan, Matias?”

“Tidak Ayah. Kemarin aku berniat menemui Rodrigues untuk mengajaknya melihat perkebunan. Tapi karena insiden di jalan Hawkins, aku memilih untuk pulang saja. Ah, iya aku baru ingat, apa tuan Luigi sudah memperbaiki kunci keretanya ya?”

“Kunci keretamu bermasalah, Matias?”

“Ya Ibu. Aku akan kesulitan kalau pintunya terkunci sendiri saat aku berada di dalam, meski mungkin aku dapat meminta bantuan pada tuan Luigi untuk membukanya dengan alat. Tapi aku pikir... memang sudah seharusnya kuncian tuas itu diganti dengan yang baru.”

"Itu benar Matias. Cukup berbahaya jika itu tidak segera diganti."

“Aku menerima undangan perjamuan teh sore ini di kediaman duchess Valerie. Apa Ibu mau datang bersama ku?”

“Hmm. Aku rasa tidak, Martha. Aku hanya ingin di rumah saja hari ini. Aku sedang merajut baju hangat untuk Ayahmu.”

“Wah, kau beruntung Ayah! Ku lihat Ibu sangat mencintaimu.”

“Hahaha. Tentu Matias! Aku harap kelak... kau akan memiliki istri yang seperti Ibumu ini.” dengan senyumnya salah satu tangan count Antonio meraih tangan istrinya untuk digenggamnya beberapa saat.

Beberapa jam berlalu.

“Kau tampak sehat Matias!”

“Tentu Rodrigues. Kemarin aku batal menemuimu. Aku rasa kau tahu sebabnya.”

“Ya. Semua orang membicarakan insiden di jalan Hawkins. Dan aku pikir... ada yang tidak beres dengan ledakan di gedung arsip itu.”

“Kenapa kau sampai berpikir begitu, Rodrigues?”

“Entahlah! Firasatku mengatakan bahwa suatu hal buruk yang terjadi di gedung pemerintahan, bukanlah hal yang kebetulan. Tapi ada seseorang yang menjadi otaknya. Ah, sudahlah! Kita tidak perlu membahas hal itu.”

“Kita berangkat sekarang, Rodrigues?”

Lelaki yang merupakan sahabat Matias itu, mengiyakan ajakan sahabatnya untuk pergi sekarang juga ke perkebunan anggur yang terletak di barat daya kota itu. Di sanalah Matias bekerja selama ini. Pengelola perkebunan anggur milik kaum pemerintah itu mempercayakan kepada Matias untuk memimpin para pekerjanya di kebun. Sedangkan Matias telah berjanji pada Rodrigues untuk membantunya menyediakan objek penelitian terhadap anggur di wilayah mereka. Rodrigues melakukannya guna memenuhi tugas dari lembaga perguruannya.

Kereta kuda yang membawa mereka kini sedang melintasi sepanjang jalan Hawkins. Yang tampak sekarang adalah kondisi bangunan gedung arsip yang sudah hancur setengah bagian itu. Masih tersisa sedikit puing reruntuhan gedung yang dipinggirkan di salah satu sisi samping bangunan berwarna merah bata itu.

Dan Matias, kembali memutar ulang memori dalam ingatannya ketika Nivea menolongnya membuka pintu keretanya dari luar, dengan sangat mudah. Lelaki itu tak mengatakan pada siapapun bahwa Nivea melakukan hal itu. Dia tak yakin bahwa kekuatan ajaib yang dimiliki oleh Nivea sudah diketahui oleh banyak orang. Sosok adik kelas yang manis itu selalu menghantuinya. Dia tak pernah mampu melupakan senyum milik Nivea, terutama senyumannya di kala pertama kali mereka berkenalan dulu.

“Kau melamun, Matias?”

“Ah, tidak.. Aku hanya sedang melihat-lihat ke jalan.”

“Jadi, kapan kau akan menikah?”

“Apa? Hahaha. Kau bermimpi Rodrigues! Dengan siapa aku harus menikah? Ini bukan waktunya aku berpikir tentang pernikahan.”

“Hahaha. Kau kira aku bodoh dan tidak tahu apa-apa? Kau sudah menyukai gadis itu sejak masih di perguruan ketiga. Apa kau belum pernah mengatakan padanya?”

“Ah, hahaha. Bagaimana bisa kau mengatakan hal itu, Rodrigues? Kau jangan asal menebak!”

“Entahlah! Yang jelas... aku bukan orang yang mudah dibohongi.”

Matias memilih diam, sorot kedua mata cokelatnya kembali memandang keluar jalan melalui jendela kecil di sampingnya.

Hingga tanpa terasa kereta kuda yang mereka tumpangi telah sampai di perkebunan anggur tujuan mereka. Rodrigues mengekor di balik tubuh Matias yang sudah siap membantunya melakukan penelitian dengan peralatan yang dibawa oleh Rodrigues.

***

Sore hari yang teduh telah tiba. Martha Virginia Lawrence menghadiri undangan perjamuan teh di kediaman duchess Valerie yang merupakan Ibu dari seorang pemuda bernama Daniel, salah satu temannya semasa di sekolah.

“Selamat sore duchess Valerie, Saya mengucapkan terima kasih atas undangan Anda. Suatu kehormatan Saya dapat berkunjung ke kediaman Anda.” Martha sedikit membungkuk di hadapan sang tuan rumah.

“Ah, selamat sore nona Martha. Saya juga sangat berterima kasih, Anda sudah mau repot-repot datang kemari.”

“Tidak nyonya, tentu bukan hal yang merepotkan bagi Saya. Saya sangat senang Anda sudah mengundang Saya dalam perjamuan ini.”

“Selamat sore semuanya. Maaf kalau aku kurang sopan.” Nivea sedikit membungkuk di hadapan dua orang yang sedang berbincang itu. Dirinya baru saja tiba dengan mengenakan gaun berwarna lilac dengan sedikit taburan mutiara pada bagian dadanya.

“Ah, kau sudah tiba, nona Nivea.”

“Terima kasih atas undangan perjamuan dari Anda duchess Valerie. Aku sangat menghargai undangan Anda. “

“Ya, semoga kalian menikmati perjamuan yang sederhana ini.” jawab sang tuan rumah diiringi senyum tipisnya. “Kalau begitu, Saya akan menyapa yang lainnya dulu. Kalian berbincanglah!”

Duchess Valerie beranjak pergi menuju bagian depan kediamannya. Tersisalah Nivea dan Martha disana.

“Apa Anda datang seorang diri, nona Nivea?”

“Ah, tentu nona Martha. Aku tidak membawa Seri kali ini. Kau tampak sangat cantik dengan gaun itu nona Martha.”

“Ah, benarkah nona Nivea? Aku tersanjung mendengarnya. Kau juga selalu saja terlihat cantik, nona Nivea. Bahkan kau tak sadar telah membuat kakak ku....”

“Hmm? Kakak mu? Ada apa dengan kakak mu?”

“Ah, tidak! Tidak nona Nivea. Aku hanya.. Hahaha. Aku takut salah bicara.”

“Hahaha. Baiklah. Lupakan saja! Ayo nona Martha, kita mencari tempat duduk agar bisa menikmati suguhan mereka.”

Kedua gadis itu mulai melangkah beriringan menuju kursi tamu yang terlihat masih kosong di sisi dekat pilar bangunan itu. Dan keduanya pun hampir bersamaan menjatuhkan diri di kursinya masing-masing.

Seorang pelayan lelaki tampak menghidangkan dua cangkir teh hangat di atas meja bundar kecil yang berada di tengah Nivea dan Martha. Diikuti seorang pelayan wanita yang juga menghidangkan kudapan berupa biskuit gandum dan roti manis.

“Hmm. Teh ini benar-benar nikmat nona Martha. Aku suka aromanya.” seraya meletakkan secangkir teh hijau yang baru saja dinikmatinya.

“Ya, kau benar nona Nivea. Kita juga harus mencoba roti manis ini.” Martha meraih sebuah roti manis dengan selai buah berry disana. Begitupun Nivea melakukan hal yang sama dengannya.

“Hmm. Aku rasa roti buatan mu lebih nikmat, nona Nivea.” ucap Martha kemudian dengan nada berbisik setelah menggigit sepertiga bagian roti manis di tangannya.

“Hahaha. Kau membuat ku hampir tersedak, nona Martha. Kau terlalu menyanjungku. Mana mungkin roti yang sudah dipersiapkan untuk perjamuan ini tidak memiliki kualitas rasa yang baik.”

“Tapi aku mengatakan yang sebenarnya, nona Nivea. Roti buatanmu juga terasa lebih lembut dibanding roti ini.”

“Kalau begitu, lain kali kau harus memborong rotiku saat kembali ke toko ku.”

“Tentu nona! Aku tak akan pernah bosan menikmati semua roti buatanmu. Dan pastinya Matias.......”

“Hmm? Kenapa dengan Matias?”

“Ah, itu. Hahaha. Tidak!”

“Kau ini kenapa nona Martha, sudah dua kali kalimatmu menggantung seperti itu. Sebenarnya ada apa dengan kakak mu?”

“Tidak ada nona Nivea. Hanya saja... Matias.. Dia.. Juga sangat menyukai rotimu.”

“Ah, baiklah! Aku sangat senang dan bersyukur jika memang rotiku disukai oleh banyak orang.”

5. Kabar Dari Ayah

Seusai menghadiri perjamuan teh sore tadi, kini Nivea telah kembali ke kediamannya. Dirinya baru saja tiba di depan pintu rumahnya yang megah itu, Seri yang sudah berdiri selama beberapa menit disana akhirnya dapat merasa tenang saat melihat kereta kuda yang membawa nonanya berjalan kian mendekat.

“Ah nona, akhirnya Anda tiba juga.” seraya tangannya membimbing Nivea turun dari atas keretanya.

“Ada apa, Seri? Apa kau menunggu disini sejak tadi?”

Nivea mulai melangkah masuk, tentu diikuti oleh Seri di balik tubuhnya.

“Ya, Saya cukup lama berdiri disana menunggu Anda. Saya ingin menyampaikan bahwa duke Eduardo meminta Anda menemuinya di ruang kerja jika Anda sudah tiba di rumah.”

Langkah Nivea terhenti, membuat Seri terkejut. Gadis bergaun lilac itu membalikkan tubuhnya untuk bertanya pada pelayan pribadinya.

“Apa ada masalah, ketika aku tidak di rumah?”

Seri menggeleng dengan tatapan kosong, “Tidak nona! Saya rasa... ayah Anda.. Beliau ingin berbincang saja dengan Anda.”

“Baiklah, aku akan langsung menemuinya. Dan kau, tolong siapkan saja air hangat untukku mandi.”

“Baik nona.”

Keduanya berpisah beberapa langkah setelahnya. Nivea berbelok ke kanan hendak menghampiri keberadaan sang Ayah di ruang kerjanya sementara Seri tetap lurus melangkah ke bagian belakang dalam rumah.

“Kau mencariku, Ayah?” dengan anggun Nivea mengangkat sedikit bagian depan gaunnya, melangkah memasuki ruang kerja itu.

“Kau baru tiba, Nak?”

“Ya, baru saja.” seraya duduk di kursi yang berada di hadapan duke Eduardo.

“Aku harap... kau tidak terkejut jika aku mengatakan hal ini.”

“Apa itu, Ayah? Tentu aku akan terkejut jika kau mengatakan hal yang mungkin... akan membuatku terkejut.”

“Baiklah! Yang mulia baginda raja mengundang kita untuk makan malam bersama. Besok di istana. Beliau ingin... kau dan pangeran Edmund menjalin sebuah hubungan.”

Nivea membelalakkan matanya, namun dirinya malah tertawa di detik selanjutnya.

“Hahaha. Menjalin hubungan apa yang Ayah maksud?”

“Serius lah sedikit, anakku!”

“Baik Ayah. Bisa kau mengatakan lebih jelas? Hubungan seperti apa yang dimaksud baginda raja?”

“Beliau ingin... kau menikah dengan putranya.”

“Aku? Hahaha. Aku menikah dengan pangeran Edmund? Kenapa aku harus mendengar lelucon ini, Ayah?”

“Aku tidak sedang bercanda, Nivea. Ikutlah dengan kami besok ke istana!”

“Tidak Ayah!”

“Kau berani membangkang padaku?”

“Aku tidak bermaksud kurang ajar padamu, Ayah. Aku hanya tidak ingin menghadiri undangan makan malam itu.”

“Kau begitu sombong Nivea, seorang baginda raja mengundangmu dan kau tak mempedulikannya? Entah bagaimana nanti mereka akan menilaiku dan Ibumu. Mungkin mereka akan mengatakan bahwa kami tidak berhasil mendidik anak gadis kami. Ya, terserah! Terserah saja, lakukan apapun yang kau mau!”

Nivea menghela nafas di akhir kalimat panjang yang dia dengar dari mulut sang Ayah, setelah sebelummya dia hanya termangu memandangi ayahnya yang bicara.

“Baiklah! Untuk kali ini aku akan ikut dengan kalian. Tapi itu, semata-mata hanya karena aku menjaga martabatmu, Ayah. Bukan berarti aku mau menjalin sebuah hubungan dengan pangeran Edmund. Apalagi... sampai menikah dengannya. Jika tidak ada lagi yang akan kau sampaikan, aku permisi Ayah.”

Bahkan gadis itu bergegas bangkit dari kursinya sebelum mendengar jawaban apapun dari ayahnya. Duke Eduardo hanya dapat membulatkan kedua matanya, tertegun melihat kelakuan anak gadisnya yang kini semakin sulit diatur. Beliau masih mematung di tempatnya saat Nivea telah beranjak pergi dari hadapannya.

“Ada apa sayang?” tanya duchess Elvira ketika berpapasan dengan anak gadisnya yang berwajah masam.

“Bagaimana bisa... Ayah mengatakan bahwa yang mulia baginda raja menginginkan aku menikah dengan pangeran?”

“Jadi, Eduardo sudah mengatakannya padamu?”

“Ya Ibu. Aku... Aku saja sudah cukup menyesal terlahir sebagai anggota keluarga dari seorang duke. Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup, jika aku sampai menikah dengan seorang pangeran.”

“Kau menyesal menjadi putriku?”

Nivea menghela nafas, “Bukan begitu maksudku Bu. Hanya saja, aku... Seandainya aku bisa memilih dilahirkan di keluarga mana, tentu aku akan memilih menjadi rakyat biasa. Mereka tampak bahagia dapat melakukan apapun yang mereka mau tanpa harus peduli pada penilaian orang lain.”

“Jadi selama ini, kau tidak bahagia Nivea?”

“Tidak sepenuhnya Ibu. Aku beruntung memiliki Ibu sepertimu dalam hidupku. Tapi aku merasa selama ini, aku harus sangat berhati-hati menjaga sikapku. Karena aku anak gadis dari seorang duke. Hampir semua orang di negeri ini akan menyoroti sikapku. Bahkan mungkin hal lainnya tentangku. Jujur saja, bagiku hal itu sangat konyol, Ibu.”

“Aku mengerti Nivea. Kau tak bisa merubah takdirmu, Nak.”

“Besok aku akan ikut pergi ke istana. Tapi aku sudah mengatakan pada ayah, bahwa aku melakukan itu hanya karena aku... menjaga martabatnya di hadapan baginda raja.”

“Terserah kau saja Nivea. Pergilah mandi dan istirahat!” duchess Elvira mengecup lembut kening Nivea lalu beranjak pergi lebih dulu meninggalkan tempatnya.

Satu jam berlalu.

Nivea telah selesai membersihkan diri, kini dirinya telah mengenakan gaun tidur dan duduk selonjoran di atas ranjangnya. Dia menegakkan punggungnya pada sandaran dipan yang dilapisi busa itu. Rambut khas berwarna burgundy miliknya tengah terurai manis sedikit melewati bahu.

“Anda telah melewatkan makan malam Anda, nona. Saya membawakan biskuit gandum dan teh chamomile ini untuk Anda.” Seri meletakkan sebuah nampan yang berisi kudapan tersebut di atas nakas kayu, di samping ranjang Nivea.

“Terima kasih Seri. Tapi, bawa saja biskuit itu untukmu. Aku tidak ingin makan apapun. Biarkan tehnya disitu, aku akan meminumnya.”

“Anda tidak lapar nona?”

Nivea hanya menggeleng.

“Baik nona, Saya akan kembalikan biskuit ini ke dapur. Selamat malam, semoga tidur Anda nyenyak.”

Gadis itu menghela nafas setelah pelayan pribadinya menutup pintu kamarnya dari luar. Dia segera menyesap secangkir teh hangat yang dibawakan Seri untuknya. Namun rasanya tak senikmat biasanya, Nivea menambahkan gula putih dengan bantuan sendok yang juga telah disediakan di atas nampan. Setelah mengaduk tehnya, dia tak lantas melanjutkan minumnya.

Dia justru melamun, membuat dirinya tak sadar kalau sendok teh di tangan kanannya itu telah melengkung, menekuk ke dalam bagian cangkir. Sendok cantik yang terbuat dari bahan nikel dan tembaga itu dengan mudahnya dia buat melengkung.

“Astaga! Bodohnya. Kenapa aku bisa melamun? Apa yang ku pikirkan?” dia pun buru-buru mengangkat sendok malang itu dari dalam cangkir dan mulai meminum tehnya sedikit-sedikit.

Hal seperti itulah yang membuat mendiang kakeknya dulu memperingatkan dirinya agar lebih berhati-hati dalam menyentuh sesuatu. Karena kekuatan ajaib yang dimilikinya itu tak jarang dapat merusak benda-benda di sekitarnya. Atau bahkan karena kekuatannya itu, Nivea dapat merugikan orang lain.

Tak ada yang tahu dari mana Nivea mendapat kekuatan itu. Mendiang kakeknya pun tidak sengaja lebih dulu mengetahuinya, saat menyadari beberapa kali sudah Nivea kecil membengkokkan alat perkakas miliknya. Hingga kini, rahasia yang dimiliki Nivea itu hanya diketahui oleh mendiang kakek, Ibu, Seri dan mungkin.. Matias yang masih tak habis pikir bagaimana mungkin Nivea membuka kuncian keretanya yang rusak hanya dengan tangan kosong.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun