Setelah menyelesaikan sarapannya pagi ini, Nivea bersama Seri segera berangkat ke toko. Melakukan aktivitas hariannya seperti biasa.
Dalam perjalanan mereka kali ini, Nivea memilih diam dan sesekali tampak memejamkan mata, membuat pelayan pribadinya itu tak berani membuka mulut.
Sesampainya mereka di toko, dengan telaten Nivea mulai bekerja membuat adonan rotinya. Dia tampak berkonsentrasi jika dilihat dari luar, tak ada yang tahu bahwa pikirannya sedang bercabang.
“Kenapa kau terus menggangguku, Kakek? Untuk apa kau menyampaikan tentang pelayan kerajaan yang mati konyol karena lelaki yang dicintainya? Apa hal itu penting buatku?” batinnya tak terucap. Pandangannya masih tertuju pada wadah berisi adonan roti di hadapannya. Dan tangannya masih meremas setiap bagian dari adonan yang mulai tampak kalis itu.
Beberapa jam berlalu, Nivea telah selesai dengan roti-rotinya. Dia berdiri dengan anggun di balik etalase rotinya. Tampak seorang lelaki dengan topi koboi memasuki toko itu.
Dengan sopan lelaki itu melepas topinya lalu sedikit membungkuk saat menyadari keberadaan Nivea disana.
“Ah, nona Nivea! Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Sangat cerah, tuan Rodrigues. Kau ingin roti yang mana?”
“Dua buah roti dengan selai cokelat di dalam.”
“Kau berencana duduk disini?” tanya Nivea seraya mengambil kedua buah roti dengan bantuan alat capit.
“Tidak nona. Tolong dibungkus saja. Saya membelinya untuk seorang teman.”