LIEBESLIED
'love's sorrow'
"Ainokanashimi"
Gadis itu menatap kamera dengan senyum yang terlihat bahagia. Memegang sebuah trofi emas yang ia dapatkan berkat kerja kerasnya. Wajahnya terlihat bahagia. Beberapa kali terdengar bunyi kamera yang mengambil gambar, dan gadis itu tetap tersenyum menjaga ekspresi nya.Â
Gaun putih sepanjang mata kaki itu terlihat bersinar oleh lampu sorot yang ada di atas panggung dimana ia berdiri. Rambut hitamnya yang setengah terurai terlihat sedikit basah karena keringat. Poni dan anak rambut disekitar wajahnya terlihat basah, membuktikan seberapa keras perjuanganya.Â
Disamping kanannya ada sesosok pria tinggi dengan rambut berwarna coklat yang serasi dengan warna matanya. Juga memegang sebuah trofi yang ukurannya lebih kecil darinya. Sosok pria itu terlihat sedikit kecewa akan hasil yang ia dapatkan. Rambut coklatnya yang juga agak basah dan keringat yang masih menetes di sekitar wajahnya, membuktikan bahwa ia juga telah mengerahkan seluruh kemampuannya.Â
Lalu, disamping kirinya, terdapat sosok wanita yang terlihat menangis karena hasil yang ia dapatkan tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Gadis dengan rambut sebahu berwarna coklat itu menundukkan kepalanya sembari menangis tersedu sedu.Â
Gadis yang berada ditengah itu. Merupakan juara kompetisi ini. Juara pertama. Sosok gadis mungil yang terhimpit oleh dua sosok kakak yang ada dikanan dan kirinya. Ia adalah kompetitor termuda dalam kompetisi ini. Menang untuk yang pertama kalinya dalam kompetisi pertamanya.Â
Tentu saja banyak yang curiga bagaimana sosok pendatang baru itu tiba tiba merebut posisi juara dalam kompetisi pertamanya. Usianya kala itu bahkan baru menginjak 9 tahun. Masih terlalu muda untuk merasakan bangku kompetisi dalam tingkat ini. Bahkan peserta kompetisi ini rata rata berusia 13 tahun. Hanya ia saja yang masih dibawah 10 tahun.Â
Namun, kenyataannya seluruh juri dan staf tidak mempermasalahkan usia untuk mengikuti kompetisi ini. Selama orang itu memiliki niat dan bakat, maka ia diizinkan untuk ikut dalam kompetisi ini. Tapi tidak bagi peserta lain.Â
Mereka mempermasalahkannya, meremehkan kemampuan gadis itu dalam kompetisi ini. Walaupun bukan sebuah kompetisi yang setara dengan kompetensi provinsi Tokyo, tapi mereka tetap saja tidak menerimanya. Padahal mereka telah melihat bagaimana kemampuan gadis itu dalam bermain piano. Ya itu adalah sebuah kompetisi piano. Kompetisi yang diadakan untuk pelajar. Dan hanya diikuti oleh peserta yang berada di prefektur ini.Â
Setelah selesai melakukan sesi pemotretan juara kompetisi ini, gadis itu berjalan ke belakang panggung. Yang menyambutnya dengan hangat hanyalah para staf penyelenggara kompetisi ini. Sedangkan para peserta lain menatapnya sinis.Â
"Gadis itu"
"Apa apaan dia"
"Pasti ia menyogok juri agar dia jadi pemenang"
"Kemampuannya biasa saja"Â
Gadis itu hanya berjalan menuju ruang ganti dengan tertunduk. Padahal ia sudah menahan diri untuk tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya. Yang ia tunjukkan di kompetisi hari ini adalah setengah dari kemampuan aslinya. Ia hanya berusaha agar tidak menang. Berusaha tidak menarik perhatian para juri.Â
Seseorang menabraknya. Gadis itupun berhenti berjalan. Ia menatap siapa yang menabraknya. Sosok laki laki berambut cokelat dengan mata coklat terang itu menatapnya dalam.Â
"Maaf," kata gadis itu dan ia berusaha berjalan melewatinya.Â
"Tunggu" kata laki laki itu sembari menggenggam pergelangan tangan gadis di sebelahnya. Untungnya mereka berada di lorong yang sepi, sehingga tidak ada yang memperhatikan mereka.Â
"Kau tidak bermain dengan benar" ungkap sosok laki laki itu. Gadis itu menatapnya. Ia sedikit terkejut akan ungkapan sang lelaki itu. Gadis itu kemudian menunduk. Menghela napas sembari menatap tangannya yang di genggam oleh laki laki itu.Â
"Apa maksudmu?" Tanyanya sembari tersenyum.Â
"Kau tak bisa membohongiku. Aku tau itu bukanlah seluruh kemampuan yang kamu miliki."
"Eto, itu tidak benar. Inilah kemampuan ku"
"Aku tau itu bukan seluruh kemampuanmu. Kamu hanya mengalah dan berusaha untuk tidak menang bukan?"Â
"Ya, kau benar aku tidak berusaha untuk menang" gadis itu kembali menunduk sembari menatap tangannya. Ia kemudian menggenggam tangan laki laki itu dengan tangan yang satunya. Dan berusaha melepaskannya. Namun, laki laki itu malah mengeratkan genggaman tangannya.Â
"Tolong lepaskan aku" kata gadis itu sembari menatap sosok laki laki itu dengan tatapan sendu
"Lalu, apa tujuanmu mengikuti kompetisi ini"
"Ah, aku hanya ingin bermain. " Jawab gadis itu. Kemudian lelaki itu melepaskan tangannya.Â
"Siapa namamu?" Tanya laki laki itu.Â
"Shi" jawab gadis itu
" Takigawa Seiya" setelah mengatakan itu, ia pun pergi dari tempat gadis itu. Membiarkan gadis yang menyebut dirinya "Shi" itu terdiam.Â
Gadis itu memegang tangan yang tadi dicengkeram oleh sosok Seiya itu. Ia tersenyum lirih. Kemudian meletakkan tangan itu di dekat dadanya.Â
"Tangan yang hangat"
Gadis itu kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ruang ganti. Ia berusaha secepat mungkin menyelesaikan ganti bajunya. Berusaha menghiraukan gunjingan miring dari para peserta dan para orangtua peserta yang tidak terima dengan kehadirannya.Â
Gadis itu kemudian menegakkan tubuhnya dan beranjak pergi sembari melambaikan tangannya pada staf itu. Sesampainya diluar, ia mencari sosok gurunya yang seharusnya sudah berada diluar auditorium.Â
"Mumu senseiiii" ia memanggil gurunya. Sembari melambaikan tangannya. Dan disahuti oleh sang guru yang kemudian juga melambaikan tangannya. Gadis itu berlari kearahnya. Tersenyum manis pada sosok guru laki lakinya itu.Â
"Kerja bagus" ucap sang guru sembari mengusap kepala gadis berusia 9 tahun itu.Â
"Bukankah itu Satou Muramasa?"Â
"Eh iya, dia adalah pianis yang katanya pensiun itu bukan?"
"Bagaimana dia bisa mengenal gadis itu?" Terdengar bisikan bisikan dari orang sekitar.Â
"Hey, sensei" kata gadis itu. Sang guru pun menghentikan elusannya dan berdehem.Â
"Aku baru tau ternyata kau terkenal" kata gadis itu polos.Â
"HAH?!!! Yang benar saja, kau tidak tau siapa aku?" Jawab guru itu kesal. Gadis itu hanya mengangguk dengan tampang polosnya.Â
"Baiklah baiklah, nanti akan ku beritahu, sekarang kita pulang saja. Kakakmu pasti sedang menunggumu"Â
Gadis itu mengangguk, kemudian merentangkan kedua tangannya ke hadapan sang guru. Seakan tau kode yang diberikan gadis itu, sang guru pun menggendongnya. Dan disambut baik oleh gadis itu dengan melingkarkan tangannya ke leher sang guru.Â
"Ya ampun, aku seperti sudah memiliki anak"Â
"Memangnya Mumu sensei belum memiliki anak?"Â
"Bicara apa kamu ini, punya istri saja belum"Â
"Oh, iya juga. Padahal sensei sudah tua"Â
"Hah, apa kamu bilang? Aku baru berusia 20 tahun"Â
"Manisnya" batin gurunya.Â
'apakah gadis itu putri satou sensei?'
'sepertinya tidak mungkin'
'bukankah satou sensei belum menikah'
Hah... Muramasa menghela napas berat. Ia tau kedekatannya dengan gadis dalam gendongannya itu tidak terlalu wajar. Mereka terlalu dekat. Tidak cocok sebagai kakak adik, ayah dan anak, maupun paman dan ponakan. Kenyataannya keluarga Satou adalah kerabat jauh dari keluarga Shinagawa.Â
Kali pertama ia bertemu dengan sosok Shinagawa Shinerin ia langsung terpikat oleh sosoknya. Aura yang gadis itu keluarkan begitu nyaman dan menenangkan. Sehingga ia betah dekat dengannya. Karena ia yang berusaha dekat dengannya dan juga Shinagawa bersaudara nyaman ketika bersamanya. Kini Muramasa sudah dianggap seperti kerabat dekat dari keluarga Shinagawa karena ia selalu menjaga kedua anak dari keluarga itu. Muramasa sendiri bahkan sangat dekat dengan sosok kakak dari Shinagawa Shinerin. Mereka terlihat sangat cocok. Mungkin salah satunya karena usia mereka yang hanya terpaut sedikit sehingga kakak dari Shinagawa Shinerin bisa dekat dengannya.Â
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit, mereka akhirnya tiba di kediaman Shinagawa. Dengan Muramasa yang masih menggendong Shi yang kini tertidur lelap di pelukannya, ia masuk kedalam rumah itu dengan santai.Â
Ketika ia sampai didalam, ia melihat sosok kakak dari Shinagawa Shinerin sedang bertelepon dengan seseorang. Ia kemudian memutuskan untuk mengantarkan Shi ke dalam kamarnya. Karena ia sudah sedikit lelah menggendongnya. Setelah sampai di dalam kamar Shi, ia kemudian meletakkannya diatas kasur dan beranjak menghampiri kakak dari shi.Â
"Siapa yang menelepon yu?" Tanya Muramasa ketika ia telah sampai di bawah.Â
"Oh kak Muramasa. Ayo duduk dulu, aku ingin sedikit bercerita. " Jawab sosok yang dipanggil Yuu itu.Â
"Jadi?"
"Bagaimana jika kami berdua pindah. Maksudku aku dan Shi."
"Apa orang tua kalian yang menyuruh kalian pindah?" Tanya Muramasa. Yuu hanya terdiam sembari menunduk.Â
"Ada apa Shinagawa Yuuichirou"Â
"Ya, ayah dan bunda meminta kami pindah setelah aku masuk sekolah menengah pertama. Shi akan dimasukkan ke sekolah akselerasi. Mereka menargetkan agar di usia Shi yang ke 11 ia bisa masuk sekolah menengah pertama. Entah apa yang mereka pikirkan"
"Kemana kalian akan pindah?"Â
" Ke prefektur Shinjuku"
"Ya baiklah. Kau tau Shi tidak akan bisa menolak apa yang keluarganya inginkan. Aku juga tidak akan menolaknya. Selain itu Shinjuku adalah kampung halaman ku. Jadi kita akan sering bertemu"
"Hah benarkah?!??" Muramasa hanya mengangguk sebagai jawaban.Â
"Yes, jika aku tau aku akan pindah dari lama. Yang penting ada kak Muramasa"
3 tahun setelah kepindahan keluarga Shinagawa.Â
Kini Shi sudah duduk dibangku sekolah menengah pertama. Tepatnya kini ia duduk dibangku kelas 2. Sekolah yang dia ambil tentu saja sama dengan sekolah yang kakaknya -yu- ambil.Â
"Aku pulang" teriak Shi ketika ia masuk kedalam rumah.Â
Ia melihat sepasang sepatu sekolah yang cukup asing di matanya. Ia tau bahwa yang satu adalah milik kakaknya. Tetapi yang satunya lagi ia tidak tau karena itu juga bukanlah sepatu milik Muramasa sensei.Â
'Apakah ada tamu?'Batinnya.Â
Setelah selesai melepas sepatunya, ia kemudian berjalan masuk kedalam rumahnya. Yang pertama ia lakukan adalah mengecek ruang tamu. Disana ia menemukan sang kakak bersama dengan sosok laki laki yang tidak ia kenali karena ia hanya melihat punggungnya saja.Â
"Oh Shi, selamat datang"
"Aku pulang"Â
Suaranya itu memancing sosok pria yang bersama kakaknya untuk menoleh menatap dirinya. Shi mengamati sosok pria itu. Seragamnya sama seperti seragam yang dikenakan oleh kakaknya.Â
'Sekolah menengah atas Shinjuku' batinnya
"Ah shi, perkenalkan ia teman sekelasku. Murid pindahan dari Shibuya. Sama seperti kita dulu"
'shibuya?'
"Namaku Shinagawa Shinerin. Senang bertemu denganmu" ucap Shi sembari membungkuk kan badannya.Â
"Aku, Takigawa Seiya. Salam kenal" kata pria itu.Â
'Takigawa Seiya? Dia orang yang kutemui di kompetisi pertama shibuya bukan? Wajah dan matanya sangat mirip hanya bentuk wajahnya saja yang terlihat lebih dewasa' batin Shi ketika ia masih membungkuk kan badannya.Â
Ia kemudian menegakkan badannya dan menatap sosok Takigawa Seiya. Dan benar saja. Ia adalah sosok yang pernah ia temui di kompetisi piano di Shibuya. Shi hanya tersenyum melihatnya.Â
"Apakah kita pernah bertemu?" Tanya Seiya
"Dengan kak Takigawa? Sepertinya tidak" jawab Shi dengan ragu.Â
"Sudah ya aku ke atas dulu, panggil saja jika kalian membutuhkanku." Kata Shi sembari berbalik dan berjalan pergi.Â
'Wajah dan suaranya familiar, apa dia gadis yang aku cari. Aish kenapa aku tidak bertanya nama lengkapnya saat itu' batin Seiya.Â
"Dia imut bukan?" Tanya Yuu . Setelah melihat Seiya yang belum mengalihkan pandangannya. Seiya tersentak sejenak lalu menatap Yuu .Â
"Ya, aku akui itu"Â
"Baiklah ayo kita mulai belajarnya" ucap Yuu dan Seiya hanya menganggukkan kepalanya.Â
"Ahh. Akhirnya bisa tiduran" ucap Shi ketika ia sampai dikamarnya.Â
"Sepertinya itu benar benar dia" Shi terus menggumam tentang sosok Takigawa Seiya yang baru saja ia temui.Â
Shi kemudian mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Ia masih tetap menggunakan kacamatanya karena ada tamu dirumah ini . Itu adalah sebuah kamuflase agar sosoknya tidak dikenali. Ya, ia berusaha menyembunyikan fakta bahwa ia adalah sosok Satoru Shinrin. Sosok pianis muda yang memenangkan kompetisi pertamanya di usia 9 tahun. Dan sosok yang hanya bisa dilihat oleh orang orang di dalam kompetisi. Sosok dengan identitas minim dan nama panggung yang misterius.Â
Hah.... Shi menghela napas berat. Ia kemudian turun kembali ke lantai bawah dan pergi menuju dapur yang letaknya dekat dengan ruang tamu. Ketika ia sampai dibawah, ia dikejutkan oleh sosok Takigawa Seiya yang muncul di dapur. Ia berusaha menghilangkan hawa keberadaannya selagi Seiya tidak menyadarinya.Â
Ia berjalan mengendap endap di belakang Seiya. Berjalan perlahan menuju kulkas. Ia berhasil. Seiya tidak menyadarinya. Ia kemudian membuka kulkas secara perlahan dan mengambil minuman bersoda di dalam kukas.Â
"Shi" panggil Seiya.Â
"IYA" ucapnya terkejut, hingga minuman yang berada di tangannya nyaris jatuh.Â
" Apakah kau punya camilan? Yuu menyuruhku mencarinya"Â
"Oh, kenapa ia tidak mencarinya sendiri?" Tanya Shi kesal. Tetapi ia tetap berjalan menuju rak dibagian ujung dapur untuk mencari camilan untuk Yu. Ia kemudian meletakkan botol minumannya di meja dibawah rak. Dan mulai mengambil beberapa makanan ringan yang tersimpan di dalamnya.Â
" Di bilang dia sedang malas dan menyuruhku mencari nya" ucap Seiya tetapi tetap sembari menatap pergerakan gadis mungil bernama Shi itu.Â
"Apa kalian memang sudah lama kenal?" Tanya Shi
"Kami satu kelas selama tiga tahun ketika masih berada di bangku sekolah dasar"
"Tidak pernah ketemu" kata Shi lirih.Â
"Kamu mengatakan sesuatu?"Â
"Tidak"Â
"Sekarang kak Takigawa tinggal dimana?"Â
"Dekat sini, jadi aku mampir sekalian. Rumahku hanya 4 rumah lebih masuk dari rumah kalian"
"Oh, ini sudah semua. Kakak sudah membawa minumnya kan" kata Shi yang kini sedang memegang sebuah nampan berisi camilan.Â
Tiba tiba Seiya mendekat ke arah Shi. Hingga ketika hanya tinggal satu langkah lagi wajah mereka bersentuhan, Seiya kemudian mengambil alih nampan yang dipegang Shi sembari menatap mata Shi yang terhalang lensa kacamata.Â
"Panggil aku Seiya"Â
Setelah mengatakan itu, Seiya akhirnya berbalik dan pergi meninggalkan Shi yang masih terdiam.Â
'sudah kuduga itu dia' batin Shi.Â
Tiga bulan setelah pertemuan kembali mereka, Shi menjadi jarang menunjukkan wajahnya ketika sosok Takigawa Seiya datang berkunjung atau sekedar bermain. Ia hanya akan diam dikamar dan menonton film di laptopnya.Â
Hari ini adalah hari sabtu. Hari dimana sekolah libur dan Shi dipaksa oleh Satou Muramasa untuk berlatih piano. Kembali, tentu saja untuk mengikuti kompetisi dan sebagai hiburan saat weekend.Â
"Hey, Mumu sensei. Apa hari ini kau tidak ada janji dengan kekasih barumu itu?" Tanya Shi sembari masih menatap lurus tuts piano dihadapannya.Â
"Tidak, hari ini aku sedang ingin melatihmu"Â
"Kalimatmu selalu sama ketika kita sedang berlatih piano"Â
"Hoho tentu saja"Â
Beberapa menit setelahnya, ketika Shi sedang fokus bermain piano, suara handphone milik Muramasa terdengar. Shi sontak menghentikan permainan pianonya.Â
"Angkatlah Mumu sensei" perintah Shi. Akhirnya muramasa mengangkat teleponnya. Setelah itu entah apa yang mereka bicarakan, Muramasa terlihat agak panik dan kemudian berkata.Â
"Sasha membutuhkan ku. Aku pergi dulu"Â
"Huum hati hati dijalan" ucap Shi.Â
Ketika muramasa telah pergi. Raut wajah Shi berubah menjadi sendu. Ia terlihat sedih padahal ketika bersama muramasa tadi ia terlihat biasa saja.Â
Kemudian Shin beranjak dari duduknya, membuka jendela yang ada diruangan itu, tetapi menuntup tirainya. Sehingga cahaya yang datang hanyalah cahaya dari ventilasi udara. Ia lalu duduk kembali di kursinya. Mulai bermain piano dan ia bernyanyi
Chiisana kata o nabete aruita
Nani demonai koto de warai ai onaji yume o mitsumete ita
Mimi o sumaseba ima demo kikoeru
Kiminokoe orenji-iro ni somaru machi no naka
Kimigainai to hontoni taikutsuda ne
Sabish to ieba warawa rete shimaukedo
Nokosa reta mono nando mo tashikameru yo
Kieru koto naku kagayaite iru
Orange-7 (original soundtrack shigatsu wa kimi no uso)
Ia berhenti sejenak. Airmata menetes dipipinya. Jemarinya bergetar. Ia terus berusaha menuangkan segala perasaannya di dalam nada yang terus terikat. Jemarinya tidak berhenti. Perasannya tidak berhenti. Begitu juga dengan air matanya. Entah apa yang menbuatnya menangis.Â
Lalu perlahan nadanya berubah. Memelan, menekan segala rasa yang mencuat ke permukaan. Menelan segala yang mendengarnya untuk hanyut dalam perasaan yang terus memaksa keluar. Hingga akhirnya ia berhenti.Â
Ia kemudian menghapus jejak airmatanya. Dan beralih memainkan partitur yang ada dihadapannya. Partitur yang dipilihkan oleh gurunya. Chopin op 25 no 5. Ia mulai bermain sesuai partitur dan mencoba mendalami apa yang disampaikan oleh sang komposer dalam partitur ini.
Tanpa ia sadari, ada seseorang yang mendengarkan permainan pianonya dari luar ruangan. Sosok itu adalah Takigawa Seiya. Awalnya ia datang karena disuruh oleh Yuu untuk mengambil sebuah barang yang tertinggal, sekalian ia juga ingin mengambil barang dirumahnya. Namun, ketika ia sampai di kediaman Shinagawa, ia mendengar suara permainan piano yang familiar di telinganya.Â
'sudah kuduga itu pasti dia, Satoru Shinrin. Suara piano yang khas itu. Aku bisa merasakannya' batinnya sembari mengepalkan tangannya. Ia kemudian memutuskan untuk pergi kembali ke tempat Yuu berada. Ia sudah puas mendengarkan permainan piano milik Shi.Â
Beberapa hari kemudian.
"Shi, Seiya berkata dia akan menginap di rumah kita besok." Ucap yu
"Hah, apa alasannya, bukankah rumahnya dekat dengan rumah kita"
"Katanya, keluarganya sedang pergi dan ia malas jika sendirian di rumah."Â
"Hah oke. Berapa hari?"
"Mungkin dua atau tiga hari"
Shi hanya mengangguk sebagai jawaban.Â
Keesokan harinya, Takigawa Seiya benar benar datang untuk menginap di kediaman Shinagawa. Shi hanya bisa pasrah menerima tamu milik kakaknya itu. Seiya kemudian di tempatkan di kamar yang berada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar milik Shi. Karena disitulah satu satunya kamar tamu yang ada.Â
Malam harinya, setelah mereka selesai makan malam, terdengar suara telepon rumah. Shi langsung berlari untung mengangkatnya.Â
"Aku saja aku saja" ucapnya sembari berlari.Â
"Halo, Shinagawa disini"Â
'Shi' ucap seorang laki laki diseberang telepon.Â
"Ayah?"Â
'ya ini aku. Dimana yu?'
"Sedang membereskan meja makan"
'mengapa tidak kau bantu? Dasar tidak berguna'
Shi terdiam. Kembali. Kata kata kasar orang tuanya terus menghujani hatinya.Â
'ah sudahlah. Aku tidak ada waktu untuk meladeni orang sepertimu'
"Ahaha" Shi tertawa hambar
'panggilkan yu'Â
"Baik"Â
Shi kemudian meletakkan gagang teleponnya di meja dan bergegas memanggil yu. Ia kemudian menggantikan pekerjaan kakaknya yang belum selesai. Di tatapnya sosok kakaknya yang terlihat bahagia ketika menyambut telepon itu.Â
Ia menyadarinya sungguh.Â
"Shi" suara sosok Takigawa Seiya memecahkan keheningan. Ia terus menatap Shi yang sejak tadi terpaku oleh sosok kakaknya.Â
"Ah iya" Shi tersenyum sembari bergegas membereskan pekerjaannya.Â
'aku tidak boleh goyah' batin Seiya sembari mengepalkan tangannya.Â
"Aku ke kamar dulu, selamat malam" ucap Shi yang kemudian meninggalkan tempat itu. Punggung Shi terlihat sangat jauh ketika Seiya kembali metatapnya.Â
Sosok Seiya kemudian mengalihkan atensinya pada Yuu yang terlihat sumringah setelah berbicara dengan seseorang yang menelepon.Â
"Siapa itu yu?" Tanya Seiya
"Ayah kami"Â
"Oh, jadi kau terlihat bahagia" tanya Seiya dengan nada menggoda.Â
"Mereka akan pulang bulan desember mendatang tepat saat kompetisi piano di prefektur ini diadakan. Mereka mensponsori kompetisi ini, jadi mereka akan menjadi juri pendamping disana. "
Seiya terdiam. Tak tau harus mengatakan apa. Bagaimana bisa impian seperti itu ada? Bagaimana bisa sosok Shinagawa Shinerin bermain piano untuk alasan sederhana.Â
Mereka berdua kemudian melanjutkan kegiatan mereka. Belajar bersama. Setelah jam menunjukkan pukul 10 malam, mereka kemudian memutuskan untuk menyudahi kegiatan belajar mereka.Â
Tepat pukul 12 malam.Â
Seiya berjalan mengendap endap menuju kamar Shi yang berada disebelah kamarnya. Ia melihat pintunya tidak terkunci. Dan ia menganggap itu kesempatan terbaik untuknya.Â
Ia membuka pintu itu, melihat keadaan kamar yang gelap walau ada cahaya dari ventilasi udara dan jendela yang tirainya tidak tertutup. Suasana kamar milik Shi begitu dingin. Ia menemukan sosok Shi sedang tertidur pulas di kasurnya. Wajahnya terkena sedikit cahaya yang berasal dari bulan purnama.Â
'cantik'
Seiya kemudian mengeluarkan barang yang ada disaku celananya. 'sebuah pisau lipat' . Dengan tangan yang gemetar, ia berusaha menusuk sosok Shi tepat di jantungnya. Namun, tepat lima centimeter sebelum pisau itu menyentuh tubuh Shi, ia berhenti. Entah mengapa, tubuhnya seloah membeku, tidak bisa meneruskan hal yang ingin dia lakukan.Â
"Mengapa berhenti?" Suara serak Shi memecah keheningan.Â
Seiya tersentak kaget dan hanya terdiam. Ia melihat sosok Shi bangkit dari tidurnya, menghidupkan lampu di nakas sebelah kasurnya dan kemudian menggengam tangan Seiya yang memegang pisau lipat itu.Â
"Bunuh saja aku" ucapnya sembari mencoba menekan pisau dalam genggaman Seiya ke dadanya. Seiya tetap berusaha menahan tangannya agar tidak mengenai tubuh Shi. Namun terlambat. Pisau jtu telah mengenai bagian dada Shi. Darah mulai menetes dari luka yang Shi timbulkan sendiri. Shi terus saja menekan piasu itu.Â
"Hentikan" ucap Seiya perlahan. Ia kemudian menarik pisau yang sudah menusuk bagian dada Shi.Â
"Apa yang kau lakukan ha?" Bentak Seiya dengan suara pelan. Shi memegang bagian dadanya yang terluka.Â
"Bukankah kau ingin membunuhku? Mengapa berhenti?" Tanya Shi sembari terus menekan dadanya yang terluka. Seiya diam. Shi kemudian membenarkan posisi duduknya. Ia menggenggam tangan Seiya yang gemetaran. Membuang pisau berlumur darah yang Seiya pegang.Â
"Kamu boleh membunuhku kak. Aku akan baik baik saja." Tatapan mata Shi yang terlihat sendu membuat Seiya tak kuat untuk menatapnya. Tiba tiba, darah mengalir dari hidung Shi.Â
"Shi, hidungmu" ucap Seiya kaget.Â
"Ah" Shi melepaskan genggaman tangannya, lalu berlari ke kamar mandi. Ia menatap dirinya yang berlumuran darah. Ia kemudian mengambil tisu dan menunduk untuk menghentikan mimisannya.Â
Tangan satunya kemudian mengambil beberapa benda di dalam lemari dibalik kaca kamar mandinya. Ia berusaha mengobati luka di dadanya sembari menghentikan mimisannya.Â
'darah. Mengapa aku tidak bisa menahannya'Â
Beberapa menit berlalu. Seiya masih menatap Shi yang berjuang mengobati dirinya sendiri. Terbesit rasa penyesalan di hantinya. Mencoba balas dendam atas kematian adiknya yang bunuh diri pada sosok yang bahkan tidak tau apa apa, seolah adalah perbuatan yang sia sia. Ia terus menatap sosok Shi yang terlihat memucat.Â
"Hey, kau baik baik saja?" Tanyanya.Â
"Tentu, ah , bisakah kau ambilkan kaus yang ada dilemariku, tolong" ucapnya. Suaranya begitu lemah.Â
Shi kembali menatap wajahnya di hadapan cermin. Setelah selesai mengobati dadanya yang tertusuk. Mimisannya masih belum berhenti. Dan kini ia merasakan sesak kembali. Ia kemudian menundukkan wajahnya kembali, sembari menunggu hingga mimisannya benar benar berhenti.Â
"Shi ini pakaianmu" ucap Seiya yang baru kembali dari mengambilkan pakaian untuknya.Â
"Oh, terimakasih" ucap Shi kemudian mengambil dan menutup pintu kamar mandi meninggalkan Seiya yang terdiam.Â
Shi bergegas membalut lukanya dengan perban dan mengganti pakaiannya. Untungnya mimisannya sudah berhenti. Namun sesak napasnya masih terus menghantuinya. Ia kemudian keluar dari kamar mandi dan melihat sosok Takigawa Seiya sedang menunggunya.Â
Mereka duduk di karpet yang ada ditengah ruangan. Masih dengan mengandalkan cahaya remang remang bulan dan lampu tidur yang ada.Â
"Jadi, boleh aku bertanya?" Tanya Shi
"Tentu"
"Apa alasanmu ingin membunuhku?" Shi menatap Seiya sambil meletakkan kepalanya di atas meja.Â
"Balas dendam"Â
"Hm?"
"Adikku bunuh diri setelah kalah pada kompetisi Shibuya tiga tahun yang lalu. Tepat ketika kamu pertama kali tampil sebagai seorang pianis"
"Aku tidak tau itu, maafkan aku"Â
'mengapa kau minta maaf Shi'
"Ia orang yang menjadi juara tiga kala itu"
Jeda sejenak
"Ia adalah juara bertahan di kompetisi Shibuya sebelum kamu datang. Ia sangat suka ketika dirinya dipuji oleh orang lain karena permainan pianonya. Ia ingin menjadi pianis yang terkenal. Namun, ketika dirimu datang, ia merasa tersudutkan. Bahkan setelah pembagian juara selesai, ia malah merasa terintimidasi dan tertekan karena dirimu. Sebelum ia bunuh diri, ia sempat bercerita bahwa ia begitu membencimu"
"Jadi alasan dirinya bunuh diri adalah karena merasa sudah tidak berguna karena kalah satu kali?"Â
"Begitulah"
"Oh astaga bagaimana bisa? Bukankah ada juara kedua kala itu?"
"Aku pun tidak tau."
Shi mendekat ke arah Seiya, memegang kedua sisi pipinya, dan menempelkan dahinya ke dahi Seiya. Ia menghela napas sejenak lalu menatap mata Seiya yang terlihat lelah, menyelami apa yang ada di mata itu. Lalu Shi memejamkan mata sejenak.Â
"Jika kau benar benar menginginkannya. Kau boleh membunuhku. Bahkan jika itu hanya dengan alasan balas dendam, jika kau memang menginginkannya kau boleh membunuhku. Jika itu membuatmu merasa lebih baik, lakukanlah"Â
Suara Shi terdengar begitu lembut di telinga Seiya. Tangannya yang dingin seolah memberikan kehangatan tak terhingga pada diri Seiya. Hatinya menghangat. Kembali ia menimang nimang apa perbuatannya kali ini adalah perbuatan yang benar. Ia kemudian menggenggam tangan shi yang berada di pipinya.Â
"Aku ingin kamu memikirkannya kembali Takigawa Seiya. Apakah pada akhirnya kau benar benar akan membunuhku atau tidak. Aku ingin, setelah kompetisi provinsi Tokyo selesai, kau telah memutuskan tindakan yang tepat."Â
"Baiklah, aku mengerti"
"Bolehkah aku memelukmu kak?" Tanya Shi, namun belum sempat Seiya menjawab ia lebih dahulu memeluknya, membenampan wajahnya ke dada bidang milik Seiya.Â
'Nyaman' ucap mereka dalam batinnya.Â
Setelah beberapa menit berlalu, Shi melepaskan pelukannya dan menyuruh Seiya untuk kembali ke kamarnya. Shi kemudian menutup kembali pintu kamarnya dan menguncinya. Ia sudah menduga Seiya pasti akan datang walaupun awalnya ia tidak tau motif perbuatannya.Â
Shi bersandar pada pintu yang baru saja ia tutup. Terduduk lemas sembari memegang bagian dadanya yang kembali mengeluarkan darah. Terasa sakit, terasa menyesakkan. Bahkan hanya dengan memhentuhnya luka itu terasa semakin menyakitkan.Â
'Hey, Takigawa Seiya. Aku bahkan tak tau apa aku masih bisa bertahan hingga bulan Desember nanti' Shi tersenyum lirih.Â
Seiya yang baru saja kembali ke kamar yang ia tempati, ia kembali merenungkan perbuatannya. Apakah ia salah dengan dendam yang ia miliki?
'mengapa kau terlihat begitu rapuh? Seolah hanya dengan menyentuhmu kamu akah hancur'
Malam itu adalah malam dimana mereka berdua memutuskan untuk berbicara satu sama lain. Lalu angin musim gugurpun menyambut hari hari mereka yang penuh dengan kejutan.Â
Memulai bulan baru di September setelah liburan musim panas, entah bagaimana mereka mulai sering pergi dan pulang sekolah bersama. Hari hari di bulan September lebih seperti hari hari di musim semi daripada di musim gugur bagi mereka. Mereka mulai sering berbicara dan bertemu.Â
Sebulan berlalu. Bulan Oktober mereka mulai disibukkan oleh urusan masing masing. Takigawa Seiya yang mulai fokus belajar untuk ujian semester pada akhir oktober nanti. Sedangkan Shinagawa Shinerin dengan kesibukannya dalam berlatih piano.Â
20 oktober.Â
Jam pulang sekolah sudah berbunyi. Shi bergegas menuju roof top untuk menenangkan diri. Hari ini sosok Satou Muramasa tidak datang untuk melatihnya bermain piano. Jadi tidak ada alasan baginya untuk pulang cepat.Â
Ia menatap siswa yang berlalu lalang di bawahnya. Melihat bagaimana serunya mereka bercanda bersama teman temannya. Shi terdiam sejenak. Ia kemudian membuka kacamatanya dan melepaskan kucir rambutnya.Â
Ia bersandar pada dinding yang ada di roof top itu. Menikmati angin musim gugur yang selalu membuatnya merasakan ketenangan. Melihat daun daun yang berguguran di sekitarnya. Warna coklat mendominasi jalan setapak di bawahnya.Â
'aku berharap hujan akan turun'Â
Dan benar saja. Satu jam setelah Shi berdoa agar hujan turun, hujan benar benar turun. Ia kemudian bergegas turun dari roof top dan mengambil tas dan sepatunya. Ia berjalan keluar sekolah. Menatap gedung yang baru saja ia tinggalkan sembari menikmati derasnya hujan.Â
"Shi, apa yang kamu lakukan?"Â
'ah, apa aku sedang berhalusinasi? Apa aku benar benar merindukan sosoknya?"
Tiba tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. Shi menoleh dan terkejut tatkala menemukan sosok yang ia rindukan. Takigawa Seiya. Entah mengapa sosok itu seolah bertambah tinggi. Padahal baru dua minggu mereka tidak bertemu.Â
"Ah, halo" jawab Shi kikuk. Ia kemudian menghadap ke Seiya dan mengukur tingginya pada tinggi Seiya.
"Apa kau bertambah tinggi?" Tanya Shi sembari memiringkan kepalanya ke sebelah kanan.Â
 Tawa Seiya kemudian terdengar. Shi hanya menatapnya heran.Â
"Apa apaan kau ini. Mana mungkin dalam dua minggu aku bertambah tinggi. Mungkin kamu yang bertambah pendek. Hahaha"
"Apa iya?" Tanya Shi sembari menatap kakinya yang basah sepenuhnya. Setelah itu meletakkan tangannya diatas kepala sembari berjinjit mengecek apakah dia bertambah pendek.Â
Seiya kembali tertawa dan kemudian memukul kepala Shi perlahan.Â
"Hahaha ada ada saja. Jadi? Apa yang kamu lakukan hingga selarut ini?"Â
"Tidak ada"Â
"Mengapa kau malah hujan hujanan Shi? Tidak takut sakit?"
'aku sudah sakit'Â
"Mana mungkin. Aku kan kuat" Shi membalasnya dengan candaan.Â
"Baiklah ayo kemari, kita berbagi payung" Shi menggelengkan kepalanya. Ia kemudian berjalan mendahului sosok Seiya. Menikmati setiap tetesan air yang terjatuh di wajahnya.Â
"Hey" ia berbalik menatap Seiya.Â
"Apa langit sedang sedih?" Tanyanya. Seiya yang bingung hanya mengangkat pundak tidak tau. Shi tersenyum, kemudian melanjutkan jalannya. Sesekali ia berhenti menatap jalan setapak dihadapannya atau hanya sekedar menatap langit yang terus menjatuhkan air.Â
"Apa kau suka hujan?" Tanya Shi. Seiya menggeleng.Â
"Aku menyukainya" Shi tersenyum manis sembari melangkah kembali dengan Seiya yang berjalan dibelakangnya.Â
Ketika mereka sampai di jembatan. Shi tiba tiba berhenti. Menatap air yang mengalir deras dibawahnya. Air yang begitu jernih. Membuatnya ingin terus menatapnya.Â
"Apa kau tidak kedinginan Shi?" Shi menggeleng
"Aku tidak membenci dingin, karena di dalam dingin lah kehangatan bisa datang"Â
'terlalu positif' batin Seiya.Â
"Terserah kau saja" ucap Seiya yang kemudian berjalan mendahului Shi. Shi hanya menatap punggung Seiya yang berbalut seragam dan membawa payung berwarna hitam.Â
'hey, apa kau juga akan meninggalkanku? Takigawa Seiya-kun'Â
Tanpa sadar air mata Shi mulai mengalir. Ia beruntung karena kini ia tidak perlu berusaha keras untuk menyembunyikan air matanya. Ia menatap langit yang seolah berbagi kesedihan dengan dirinya. Bertanya tanya apakah hujan di musim gugur ini benar benar datang karena dirinya.Â
Perasaan sesak kembali menghampirinya. Menekan dadanya secara berkala. Semakin lama napasnya semakin berat. Setiap helan yang keluar dari dirinya terdengar jelas seolah mengatakan bahwa dirinya tidak baik baik saja.Â
Ia kembali menatap punggung sosok Takigawa Seiya yang kian mengecil. Seolah ditelan oleh jarak yang kian jauh. Mereka berjalan di arah berlawanan. Bagaimanpun mereka tidak akan pernah satu tujuan.
Shi kemudian kembali berjalan. Masih menikmati sensasi rintik hujan yang terus menerus datang.Â
Sesampainya di perumahan. Ia melihat sosok Takigawa Seiya yang berada di balkon kamarnya, memangku sebuah gitar sembari bernyanyi. Shi bisa mendengarnya. Walaupun suaranya terendam oleh derasnya hujan.Â
'lagu yang dia nyanyikan adalah kokoronashi (tanpa hati). Ah, ini semakin menyesakkan. Kau begitu menyayanginya bukan? Kau pasti akan melakukan segala sesuatu untuknya bukan? Bahkan jika itu harus dengan membalaskan dendam padaku'Â
Air mata Shi kembali mengalir. Menatap sosok Takigawa Seiya yang begitu menyayangi adiknya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya, sebelum sosok itu menyadari kehadirannya.Â
'apa masih ada tempat untukku didalam hatimu?'
Sesampainya di rumah, Shi menemukan sosok kakaknya yang sedang bertelepon dengan seseorang. Ia terlihat bahagia. Jadi Shi memutuskan untuk tidak menggangunya. Ia kemudian bergegas menuju kamarnya.Â
Shi menutup pintu kamarnya perlahan. Ia menyandarkan kepalanya ke pintu kamarnya. Ia merasakan pusing ditambah sesak napas yang berlebihan. Masih dalam posisi itu, ia memejamkan matanya sejenak. Hingga ia dikagetkan dengan sesuatu yang menetes dari lubang hidungnya. Ia menatap lantai kamarnya. Dan benar saja, ia kembali mimisan.Â
Ia bergegas mengambil pakaian dan masuk ke kamar mandi. Sembari berusaha menghentikan mimisannya, ia berusaha membilas tubuhnya agar tubuhnya tidak semakin sakit. Namun, bahkan setelah ia selesai mandi, mimisan itu kembali turun setelah berhenti sejenak.Â
Ia menatap wajahnya di depan kaca di wastafel. Darah terus mengalir dari hidungnya. Ia tiba tiba merasakan mual berlebih. Kemudian berusaha keras memuntahkan sesuatu yang membuat dirinya mual. Ketika ia berhasil memuntahkannya, ia melihatnya. Dan itu adalah darah. Ia terus memuntahkannya. Dengan mimisan yang masih terus mengalir, ia juga berusaha keras mengeluarkan sisa sisa muntahan darah dari mulutnya.Â
'apa sudah semakin parah?'Â
Setelah selesai dengan segala hal yang berhubungan tentang darah, ia kemudian memutuskan untuk tidur sebentar. Mengistirahatkan tubuhnya yang sepertinya kelelahan.Â
Saat ia terbangun, ternyata jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Ia masih merasakan pusing, tetapi tidak separah kemarin. Ia kemudian memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Berjalan perlahan menuju ruang piano. Entah mengapa ia ingin memainkan piano saat ini. Baginya piano sudah seperti obat ketika ia merasakan kesedihan dan kelelahan.Â
Ia bermain piano dalam gelap. Ditemani cahaya remang remang dari ventilasi udara. Ia tidak kesulitan melakukannya. Karena seseorang pernah berkata.Â
'ketika kamu dan pianomu menjadi satu jiwa, kau tidak akan memerlukan lagi partitur dan bisa bermain dari hatimu'Â
Ia membuka tutup pianonya. Duduk di kursi dan mulai memainkannya.Â
'Beethoven fur elise' bercerita tentang cinta sang komposer Beethoven yang tidak sempat tersampaikan.Â
Shi berusaha mendalami perasaan yang berusaha disampaikan oleh komposer melalui partiturnya. Ia bermain dengan lembut dan perlahan. Berusaha untuk tidak membuat suara yang terlalu keras. Sehingga ia menghasilkan nada yang lembut dan pelan.Â
Shi juga berusaha mengeluarkan perasaannya bersama dengan perasaan yang komposer ingin sampaikan. Shi mendalaminya. Hingga ketika ia selesai memainkannya, ia meneteskan air mata. Menangis seolah merasakan bagaiman rasanya ketika perasaan yang kita miliki tidak tersampaikan.Â
Beberapa minggu berlalu setelah insiden hujan hujanan dan pulang bersama yang Shi dan Seiya lakukan. Mereka menjadi jarang bertemu. Shi yang berusaha menghindar bahkan ketika Seiya berada id rumahnya. Dan Seiya yang tidak berusaha untuk mencari sosok Shi.Â
Kini hari dimana kompetisi provinsi Tokyo akan dimulai. Persiapan yang Shi lakukan sudah nyaris seratus persen. Ia juga sudah berlatih mati matian di bawah pelatihan sosok Satou Muramasa.Â
'ini akan menjadi kompetisi terakhirku. Aku harap aku bisa melaluinya'Â
 Kompetisi kali ini akan diadakan selama tiga tahap dengan jeda setiap tahap adalah empat belas hari. Sehingga kompetisi ini akan berlangsung selama satu setengah bulan. Entah apa yang akan terjadi.Â
Kompetisi kali ini, Shi tidak lagi menggunakan nama panggungnya. Ia juga akan membongkar identitasnya pada kompetisi ini. Ia akan menjadi sosok Shinagawa Shinerin yang tiga tahun lalu menghebohkan dunia musik.Â
"Apa kali ini tujuanmu trofi emas?" Tanya Muramasa-sensei
"Tidak, aku hanya ingin masuk babak final"Â
"Itu sama aja bodoh" Muramasa sensei tertawa sembari menepuk kepala Shi.Â
Tentu saja kehadiran sosok Satou Muramasa akan membuat kehebohan. Karena sosoknya yang jarang terlihat beberapa tahun belakangan ini. Lalu ia muncul dengan sosok yang dikenal sebagai sosok Satoru Shinrin. Sebuah keajaiban.Â
Kompetisi dimulai. Dan tentu saja sosok Shinagawa Shinerin mengejutkan para penonton dan para juri. Sosok yang dikenal dengan nama Satoru Shinrin itu berubah nama. Namun wajahnya tentu dapat dikenali dengan jelas. Lalu identitasnya yang kini sudah jelas dan tidak lagi samar samar seperti sebelumnya.Â
Shi melewati babak penyisihan dengan baik. Ia berhasil menduduki peringkat pertama di babak penyisihan ini. Dan dua minggu kemudian ia diharuskan kembali melakukan kompetisi di babak semifinal.Â
Ketika Shi kembali ke sekolah dengan penampilan aslinya, penduduk sekolah mulai gempar dan banyak orang yang mencoba mendekati sosok Shi yang sekarang. Padahal dulu tidak ada satu orang pun yang benar benar ingin berbicara dengannya.Â
Hari sabtu setelah pulang sekolah, ia menunggu sosok Takigawa Seiya pulang. Ia ingin berbicara sesuatu dengannya
Dua minggu kemudian.Â
Shi kembali berhasil melewati babak semifinal dan masuk ke babak final. Yang lolos ke babak final hanya ada lima orang.
Satu hari setelah babak semifinal, Shi merasakan tubuhnya mulai melemah. Sesak napas yang biasanya ia rasakan kini semakin menjadi. Napasnya memberat.Â
Shi kemudian memutuskan untuk turun dari kamarnya. Mengampiri kakaknya yang sedang berada di ruang keluarga. Ia berjalan perlahan. Menuruni setiap anak tangga. Bertumpu pada pegangan tangga. Berharap ia tidak akan terjatuh dan membuat suara yang akan mengundang tanya.Â
Ketika ia sampai ke bawah, ia menatap kakaknya yang sedang bersama seseorang. Ia tersenyum. Menatap kakaknya yang kini mengalihkan atensinya kepada dirinya.Â
"Ada apa Shi?" Kakaknya berjalan menghampirinya. Shi yang masih bertumpu pada pintu hanya menggeleng. Ia menundukkan kepalanya. Ketika tiba tiba darah kembali turun dari hidungnya. Ia meraih tangan kakaknya. Bertumpu padanya sembari menyeka darah yang terus mengalir dari hidungnya. Sosok kakaknya mulai panik.Â
"Shi, apa kau baik baik saja. Ada apa?" Yuu terlihat panik dan tidak tau harus melakukan apa.Â
"Aku baik baik saja" suara Shi terdengar lemah. Pandangan matanya memburam. Ia kemudian jatuh pingsan. Hal terakhir yang ia dengar adalah kakaknya yang menyuruh seseorang yang bersamanya memanggil ambulans.Â
Lima jam setelah itu, Shi akhirnya membuka matanya. Ia mendengar suara helaan napas di sekitarnya.Â
'bau antiseptik, ah apakah akhirnya semua orang akan tau'
Shi berusaha mengembalikan pandangannya yang buram. Ia mengalihkan atensinya ke samping kanan dan kirinya. Ada dua orang di sana. Ia menyadarinya. Disana ada sosok kakaknya dan sosokÂ
Takigawa Seiya.Â
'ah, jadi itu adalah Takigawa Seiya.'
Shi berusaha duduk. Dan ia menyadari banyak alat yang menempel di tubuhnya. Ia berusaha bangkit tapi tidak bisa. Tubuhnya terlalu lemah. Dan ia akhirnya memutuskan untuk kembali merebahkan tubuhnya.Â
"Jadi Shi, apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Yuu kepada Shi. Shi tersenyum lemah.Â
'ah dia belum tau, beruntungnya diriku' batin Shi
"Aku tidak apa apa, lihat bukan? Aku masih baik baik saja."Â
Kalimat Shi itu membuat sosok Yuu menghela napas lega. Ia berusaha untuk berpikir positif bahwa Shi akan baik baik saja. Sedangkan sosok Takigawa Seiya menatapnya dengan tatapan tak biasa. Kala ia melihat senyum yang terpatri di wajah Shi, ia tau dia tidak baik baik saja.Â
'kau berbohong, aku tau itu'Â
Shi mengalihkan pandangannya ke sosok Takigawa Seiya, ia tersenyum manis kala melihat tatapannya. Shi hanya bisa tersenyum agar semuanya tidak terbongkar.Â
'maafkan aku'
Beberapa menit berlalu, tiba tiba dokter datang dan menyuruh Yuu dan Seiya untuk keluar. Yuu kemudian memutuskan untuk pergi ke kantin, meninggalkan Seiya yang duduk di bangku depan kamar rawat Shi.Â
"Jadi dokter, apa semakin parah" tanya Shi, ia kini sudah dalam posisi duduk. Dokter itu hanya menghela napas. Ia adalah dokter yang selama ini merawat dan mengobati sosok Shinagawa Shinerin. Ia mengetahui bagaiman kerasnya usaha Shi untuk bertahan hidup.Â
"Parah sekali. Kanker paru paru yang kamu derita sudah mencapai stadium 4. Itu sudah sangat parah. Sebuah keajaiban kau bisa bertahan selama empat tahun ini. "Shi tersenyum, sebuah senyuman kepasrahan.Â
"Jadi, berapa lama waktu yang aku punya?"Â
"Kau harus dirawat setidaknya dua minggu untuk melihat perkembangan penyakit mu."
"Tapi, dua minggu lagi aku ada kompetisi piano, aku harus berlatih" Shi menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat sedih.Â
"Hah, baiklah. Kamu akan dirawat sepuluh hari. Lalu kamu boleh pulang dan mengikuti kompetisi itu. Tapi setelah kompetisi itu selesai, kau akan dirawat intensif. Bagimana?"Â
"Itu saja cukup" Shi terlihat tersenyum sumringah, membuat sang dokter tidak tega mengatakan yang sebenarnya.Â
Dokter itu kemudian keluar dari ruangan Shi, ia menemukan sosok Takigawa Seiya yang tiba tiba menghadangnya. Sang dokter itupun bertanya apa yang bisa ia bantu.Â
"Aku ingin tau, berapa lama Shinagawa Shinerin bisa bertahan hidup?"Â
"Saya tidak bisa memberitahukan kepada anda" ucap dokter itu.Â
"Aku mohon beritahu aku" Takigawa Seiya membungkukkan badannya, seolah benar benar memohon untuk diberitahu. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan.Â
"Hah, baiklah. Ayo ikut keruanganku" ucap dokter itu.Â
Setelah mengetahui apa yang terjadi, Seiya kembali ke ruangan Shi dengan wajah yang terlihat menyedihkan. Ia masuk ke ruangan Shi dan menemukan Shi dan kakaknya sedang bercanda dan tertawa. Ia juga melihat Shi yang benar benar berusaha terlihat baik baik saja.Â
"Ah, Seiya" ucap Yuu yang pertama kali menyadari kehadirannya.Â
"Bisakah kau menjaga Shi sebentar? Aku akan pulang untuk mengambil perlenhkapan Shi" pinta Yuu pada Seiya. Seiya pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Setelah Yuu keluar, Seiyapun berjalan mendekati sosok Shi.Â
"Kau tau kak? Aku bahagia" ucap Shi sembari tersenyum.Â
"Kau tidak baik baik saja bukan?" Tanya Seiya sembari menatap lekat pada sosok Shi. Menyelami mata hitam miliknya yang penuh dengan misteri.Â
"Tentu aku baik baik saja" Shi tertawa pelan. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke jendela kamarnya. Ia melihat salju yang mulai turun dari langit.Â
"Aku ingin bermain salju" ucap Shi dengan suara lirih. Seiya menatapnya lekat. Mengetahui bahwa keinginan gadis dihadapannya begitu sederhana. Namun, Shi pasti tau resikonya.Â
"Aku mendengar dari dokter" ucap Seiya tiba tiba. Ia mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya.Â
"Hmm? Ah sudah ku duga kau tau, kau mendengarkan apa yang kami bicarakan tadi bukan?" Shi menatap Seiya sembari tersenyum tipis.Â
Seiya semakin mengeratkan kepalan tangannya, membuat buku buku jarinya memutih.Â
"Hidupmu tinggal satu bulan lagi bukan?" Tanya Seiya menatap lekat mata Shi.Â
"Ah, masih selama itu?"Â
"Apa maksudmu dengan lama hah?! Kau tidak berpikir bagaimana perasaan Yuu ketika mengetahui bahwa adiknya akan segera meninggalkannya hah?!"Â
"Lalu? Apa yang harus aku lakukan? Memberitahunya? Itu hanya akan membuat masalah ini semakin runyam"
Jeda sejenak
"Aku ingin mati tanpa ada seorangpun yang menangis karena kepergian ku. Aku ingin kematianku tidak akan menyusahkan orang lain. Harapan terakhirku hanyalah aku bisa bermain piano di babak final nanti" suara Shi terdengar serak. Air matanya mulai mengalir.Â
'ah, mengapa kau terlihat begitu rapuh'Â
Seiya mendekat ke arah Shi. Merangkum wajah Shi kemudian menyeka air matanya. Ia menempelkan dahinya ke dahi Shi, sama seperti yang Shi lakukan ketika dirinya merasakan kesedihan. Seiya memejamkan matanya. Menarik napas sejenak. Sedangkan Shi ia menatap wajah Seiya yang begitu dekat dengannya.Â
"Gadis bodoh, kau berhutang janji padaku"Â
Shi menggengam tangan Seiya yang berada di wajahnya. Ia ikut memejamkan matanya sembari menikmati rasa nyaman yang Seiya berikan.Â
"Tentu"
Shi tertawa pelan, kemudian menjauhkan wajahnya dari wajah Seiya. Ia menggengam kedua tangan Seiya.Â
"Tangan yang hangat" ucapnya kemudian ia menatap Seiya sembari tersenyum manis. Seiya terkejut, menatap senyum yang begitu tulus dari wajah Shi. Mereka kemudian bercanda dan bercerita hingga Yuu kembali.Â
Sepuluh hari setelah Shi dirawat di rumah sakit, ia kemudian diizinkan untuk keluar. Tanpa membuang waktu, Shi kemudian kembali ke rutinitas nya, yaitu berlatih piano. Berhubung saat ini bulan Desember, sekolah sudah diliburkan. Musim kali ini adalah musim salju. Musim yang paling disukai oleh Shi.Â
Ia kini sedang berjalan jalan di sekitar rumahnya, kemudian ia melihat sosok Takigawa Seiya yang sedang bermain gitar, sama seperti saat hujan dikala itu. Shi tersenyum menatapnya. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke taman.Â
Berbekal sebuah headphone ia berjalan menuju taman itu. Sesampainya disana ia hanya duduk di sebuah bangku yang tertutupi oleh salju. Suasana putih menyambutnya. Membuatnya kembali merasakan ketenangan yang nyata.Â
'besok adalah penampilan terakhirku. Aku berharap nadaku bisa sampai kepadanya'Â
Shi berusaha menikmati ketenangan sebelum ia melakukan kompetisi.Â
Keesokan harinya.Â
Shi telah siap untuk tampil di panggung yang megah itu. Ia mengenakan gaun putih sepanjang mata kaki yang terlihat kontras dengan kulitnya yang putih. Ia mengepang rambut bagian kanan dan kirinya, kemudian menyatukannya di bagian belakang dengan sebuah pita berwarna biru muda. Menyisakan setengah rambut dibagian bawahnya. Poninya ia biarkan terurai begitu saja. Juga dengan anak rambut yang tersisa di sisi wajahnya.Â
Ia terlihat seperti seorang putri salju. Dengan nuansa putih dan biru, serta wajahnya yang cukup pucat membuatnya begitu cocok dengan pakaian itu.Â
"Nomor urut 03. Shinagawa Shinerin silahkan bersiap siap"
Shi kemudian berjalan menuju panggung. Setelah memberikan salam kepada penonton, ia kemudian duduk di kursi yang disediakan. Menatap sejenak bangku penonton. Ayah dan bundanya ada disana. Sosok kakak yang menyayanginya juga ada disana, sosok guru pelindungnya juga sedang menanti penampilannya. Dan sosok yang ia inginkan mendengarkan permainannya.Â
Takigawa Seiya.Â
Shi menghela napas sejenak. Sesak yang ia rasakan ia tahankan.Â
'aku mohon untuk yang terakhir kalinya'
Jemari Shi mulai menari di atas piano. Menghasilkan rangkaian nada yang ia inginkan. Hari ini. Ia memainkan partitur berjudul.Â
Liebesleid (Love's Sorrow) Kreisler/Rachmaninoff
Dipertengahan lagu, nadanya mulai berubah. Sesuai dengan partitur. Namun, dengan nada yang berasal dari tubuh Shi.Â
Semua orang mulai tertelan dalam imajinasi milik Shi.Â
Sosok gadis kecil yang menyambut kepulangan orang tuanya. Sosok gadis kecil yang berlarian dan bermain bersama kakaknya. Sosok gadis kecil yang mulai menekan tuts piano.Â
Bau petrichor saat musim semi, bayangan punggung seorang lelaki yang membawa payung ditengah hujan di musim gugur, bayangan seorang lelaki di balkon dengan gitarnya.Â
Lalu, imajinasinya berganti.Â
Darah. Obat obatan. Dan napas yang begitu berat.Â
Imajinasi Shi terus berputar.Â
Menunjukkan seperti apa wujud orang orang yang di cintainya. Bagaimana perasaan yang begitu dalam namun tak pernah tersampaikan itu mulai melukainya. Bagaimana perlahan lahan kesedihan akan cinta mulai datang kepadanya. Memeluknya seolah tak membiarkannya terlepas dari genggamannya. Rasa cinta yang perlahan mulai berubah menjadi luka. Bagimana sosok Shinagawa Shinerin berusaha bangkit dalam keadaan sekarat.Â
Shi terus menekan tuts pianonya. Berusaha mengakhiri segalanya tanpa penyesalan.Â
'Ah apakah aku sudah bermain dengan segenap jiwaku? Apakah perasaanku bisa mencapainya? Apa kalimat aku mencintamu akan berbalas? Ah, perasaan ini'Â
Ketika ia hampir berada di ujung lagu, darah mulai menetes dari hudungnya. Bersamaan dengan tetesan keringat yang mengucur dari pelipisnya.Â
'SHI !' teriak batin orang orang yang mengenalinya ketika menyadari ada darah yang menetes dari hidungnya.Â
'gadis ini benar benar berusaha dengan segenap jiwanya, tak peduli apa yang terjadi, ia hanya ingin menyampaikan perasaannya' batin para juri.Â
'Shi, kau benar benar mengorbankan seluruh kemampuan dan jiwamu pada lagu ini. Kau benar benar bodoh' batin Muramasa sensei sembari meneteskan air mata.Â
'Ah, putriku. Kau benar-benar sudah tumbuh menjadi sosok pianis yang memiliki perasaan yang begitu dalam. Maafkan orang tuamu yang tidak pernah melihatmu ini.' orang tua Shi menangis kala melihat gadis yang sedang berjuang mati matian di panggung itu.Â
'Shi, aku tidak kuat mendengarnya. Perasaan ini terlalu kuat untuk ku terima. Tetaplah disini adikku. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan bersamamu'
'hentikan, cukup, tolong berhenti, siapa saja tolong katakan pada gadis itu untuk berhenti. Aku tidak kuat lagi mendengarnya. Perasaan gadis itu yang terpendam begitu lama, kini ia keluarkan semuanya. Cukup. Rasanya begitu menyesakkan. Hentikan suara ini. Aku, aku masih ingin melihatnya bermain piano. Aku benar benar tidak akan memaafkan mu jika kau meneruskan ini Shinagawa Sinerin'
Semua penonton bisa merasakan bahwa permainan yang gadis itu perdengarkan bukanlah untuk memenangkan kompetisi. Ia hanya ingin menyampaikan perasaanya.Â
'selamat tinggal, terimakasih, dan aku mencintaimu'
Shi berhenti bermain piano. Lagu yang ia bawakan telah habis. Ia menatap gaun putih yang ia kenakan. Gaun itu kini telah ternoda oleh darahnya. Darah masih mengalir dari hidungnya.Â
'ah, sudah kuduga ini akan terjadi'Â
Pandangan matanya mulai mengabur. Ia berusaha untuk bangkit dari duduknya.Â
'tolong, sedikit lagi'Â
Belum sempat ia berdiri. Kesadarannya mulai menghilang. Ia pingsan tepat didepan seluruh penonton yang hadir di kompetisi ini. Hal terakhir yang ia dengar adalah suara teriakan semua orang.Â
Shi kemudian dibawa kerumah sakit. Orangtuanya, kakaknya, senseinya, dan Takigawa Seiya ikut bersamanya. Shi langsung dimasukkan ke ruang ICU karena keadaannya yang memburuk selama dalam perjalanan. Dokter yang biasanya merawat Shi kini telah keluar dari ruang ICU.Â
"Shinagawa Shinerin dalam keadaan koma. Kanker paru paru yang dideritanya sudah semakin parah. Harapannya untuk hidup tidak sampai 50%. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa semoga ia masih memiliki sedikit keinginan untuk hidup. "
Sontak semua orang yang ada disana terkejut. Menghadapi kenyataan bahwa gadis yang baru saja menampilkan penampilan yang luar biasa itu dalam keadaan tidak baik.Â
Orang tua Shi hanya bisa menangis ketika tau bahwa putri yang mereka sia siakan hanya mampu bertahan sebentar. Kakak Shi hanya terdiam menyesali dirinya yang tidak peka terhadap adikknya. Sedangkan Satou Muramasa hanya terdiam, menatap ruang ICU dengan tatapan yang begitu sendu.Â
Takigawa Seiya. Ia adalah sosok yang paling tenang diantara mereka. Ia tau bahwa Shi memiliki sedikit waktu untuk hidup. Namun, ia tidak tau bahwa secepat ini keadaan nya menurun.Â
Hari begitu cepat berganti. Terhitung tiga hari sudah Shi terbaring koma di rumah sakit. Kini giliran Takigawa Seiya yang menunggunya. Ia duduk di sebelah Shi. Menggengam tangannya seolah tak akan membiarkan sosoknya pergi. Namun, entah mengapa ia malah tertidur si samping Shi.Â
Ia bermimpi sedang berada di sebuah taman yang begitu luas dengan suasana khas musim gugur. Ia melihat sosok gadis dengan gaun berwarna biru sedang duduk dibawah pohon yang daunnya mulai mengering. Itu adalah Shinagawa Shinerin.Â
Takigawa Seiya bergegas menghampirinya.Â
"SHI" panggilnya ketika ia telah dekat dengan sosok gadis itu. Shi tersenyum manis lalu merentangkan tangannya seolah ingin sosok Takigawa Seiya memeluknya.Â
"Kembalilah Shi, kami semua menunggumu" Seiya berbicara sembari memeluk sosok mungil itu. Shi hanya terdiam. Shi mengelus kepala Takigawa Seiya dengan lembut, ia bisa merasakan sosok Seiya yang menangis di pundaknya.Â
Shi memeluknya erat sembari terus mengelus kepala Seiya.Â
"Kau tau? Hari ketika pertama kali kita bertemu tiga tahun yang lalu. Aku begitu menyukai sosokmu yang bisa mengetahui isi hatiku. Lalu ketika kita kembali dipertemukan, aku begitu bahagia melihat sosok mu yang kian tampan dan dewasa. Namun, kemudian aku dihantui rasa takut. Aku takut ketika aku sudah benar benar jatuh dalam pelukanmu, kamu akan meninggalkanku. Aku takut menghadapi kenyataan bahwa aku hanya bisa menghabiskan sedikit waktu dengan dirimu. Aku takut. Sungguh"Â
Shi meneteskan air matanya. Tangannya mencengkram pakaian milik Seiya. Walau satu tangannya lagi tetap mengelus kepalanya. Seiya hanya bisa terdiam, tidak tau harus mengatakan apa.Â
"Kau tau, dimalam ketika kamu berusaha membunuhku. Aku merasa begitu bersalah karena menjadi alasan adikmu bunuh diri. Kau tau. Bahkan malam itu aku tidak keberatan jika benar harus mati ditanganmu. Lalu, ketika kamu melihat aku yang sakit sakitan, aku takut kamu tidak akan menerimaku."
'cukup Shi'Â
"Kau tau? Ketika hujan dimusim gugur datang. Aku melihat dirimu yang seakan begitu jauh. Aku terus bertanya tanya apakah nanti akhirnya perasaan yang aku pendam ini akan tersampaikan kepadamu. Kau tau? Kau adalah air yang membasahaiku kala aku mulai layu. Walaupun kau tidak bisa membuatku kembali hijau. Tapi kau membuatku memiliki sedikit harapan untuk hidup."Â
Shi menghela napas panjang. Bersiap menyampaikan apa yang sejak dulu ingin ia sampaikan.Â
"Hentikan Shi" ucap Seiya yang kemudian melepaskan pelukan mereka. Shi menariknya. Menempelkan dahi mereka sembari menyentuh pipi Seiya dengan lembut. Ia menutup matanya. Kemudian tersenyum lirih dengan air mata yang terus mengalir dipipinya.Â
"Terimakasih, terimakasih karena telah menemuiku. Terimakasih karena telah menghabiskan waktu bersamaku. Terimakasih banyak. "
"Aku mencintaimu Takigawa Seiya. Aku benar benar mencintaimu, terimakasih banyak"Â
Seiya terdiam mendengar penuturan itu. Lalu ketika ia membuka matanya. Sosok Shi mulai menghilang. Meninggalkan sosok Seiya yang masih terpaku menatapnya.Â
"SHIIII" Seiya terbangun dari tidurnya. Ia menatap ruangan Shi yang kini dipenuhi oleh dokter dan suster.Â
"Ada apa ini dok?" Tanya Seiya yang masih panik dan terguncang.Â
"Jantungnya berhenti berdetak" ucap dokter itu. Sontak Seiya semakin terguncang mengetahui kenyataan itu. Ia hanya bisa melihat dari jauh, para dokter yang berjuang untuk mengembalikan detak jantung Shi.Â
Namun, semua itu percuma. Shi sudah tidak ingin berada di dunia ini. Ia sudah pergi sejak ia mengungkapkan perasaannya pada Seiya.Â
Untuk pertama kalinya Takigawa Seiya menangis untuk seorang gadis.
~ Hadirmu layaknya hujan di musim gugur. Sebuah keajaiban. Layaknya bau petrichor di musim gugur. Begitu pekat dan dominan. Juga layaknya hujan yang membasahi dedaunan yang layu. Memberikan harapan untuk kembali tumbuh. -Shinagawa Shinerin
~kau datang me mbawa dunia baru padaku. Dunia tanpa dendam yang begitu menyenangkan. Kau mengajarkanku bahwa menjadi pendendam itu tidak ada gunanya. Kau mengajariku untuk hidup tanpa penyesalan. Namun, mengapa dirimu menghilang kala janji itu belum kau tepati?. -Takigawa Seiya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H