Adanya mempelai perempuan,Â
Adanya wali mempelai perempuan atau wakilnya,Â
Adanya dua orang saksi danÂ
Ijab dan kabul.
BAB III
PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA
Istilah "perjanjian" perkawinan asalnya merupakan terjemahan dari 'huwelijksevoorwaarden' yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Kata Huwlijk artinya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan voowaard adalah syarat. Menurut R. Subekti adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami dan istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas-asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Istilah Perjanjian perkawinan ini ada dalam KUH Perdata, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Adapun istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam tidak ditemukan, yang ada dalam literatur fiqh terkait syarat dalam perkawinan, akan tetapi syarat perkawinan yang dimaksud dalam fiqh adalah syarat sahnya perkawinan bukan dalam arti perjanjian perkawinan yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 29 yang kemudian dilakukan perubahan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 69/PUU-XIII/2015.
Maka dari hal tersebut dapat dipahami bahwa perjanjian perkawinan dalam lingkup hukum perdata Islam adalah perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelum, atau pada saat perkawinan dilangsungkan atau sepanjang perkawinan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan dan lain-lain selama tidak bertentangan dengan aturan (Undang-Undang dan Hukum Islam). Dasar hukum perjanjian perkawinan dalam hukum Islam dapat disandarkan dalam QS. Al-Maidah. Pada tanggal 21 Maret 2016, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan nomor 69/PUU-XIII/2015. Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, dengan adanya perubahan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut, maka terdapat beberapa perubahan yang terjadi terkait perjanjian perkawinan. lsi dari Pasal 29 memiliki kaitan dengan Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yakni dimana dalam Pasal tersebut membahas persetujuan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan.
Sebuah perjanjian perkawinan baru dianggap sah apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Perjanjian perkawinan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian secara umum disamping secara khusus sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Secara umum syarat sahnya perjanjian ada dua macam yaitu: Pertama, Mengenai subjeknya, meliputi orang yang membuat perjanjian dan kesepakatan (consensus) yang menjadi dasar perjanjian. Kedua, Mengenai objek, yaitu apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Adapun yang menjadi tujuan dan manfaat bagi pasangan suami istri dalam membuat perjanjian perkawinan yaitu:Â
Untuk melindungi secara hukum terhadap harta benda yang dimiliki oleh suami isteri, baik harta bawaan masing-masing pihak maupun harta bersama sebelum dan maupun selama perkawinan berlangsung ataupun jika terjadi perceraian,Â