Mohon tunggu...
Muhamad Misbah Al Amin
Muhamad Misbah Al Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implementasi Hukum Pidana Islam dalam Sistem Peradilan Indonesia: Tantangan dan Peluang

8 Maret 2023   09:08 Diperbarui: 8 Maret 2023   09:09 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fikih disebut dengan dua kata, yaitu "nikah" dan "zawaj". Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW. Kata "nakaha" banyak terdapat dalam Al-Qur'an dengan arti kawin, seperti dalam QS. An-Nisaa': 3. Demikian pula, banyak terdapat kata "zawaja" dalam Al-Qur'an dalam arti kawin, seperti dalam QS. Al-Ahzab: 37. Secara etimologi, kata nikah berarti bergabung (adh-dhamu), hubungan kelamin (al-wath u) dan juga berarti akad (al-'aqdu) yang bermakna juga dengan "berhimpunnya sesuatu dengan yang lainnya". Imam Syafi'i, memberikan definisi perkawinan adalah akad yang mengandung kepemilikan hak untuk melakukan hubungan suami isteri dengan menggunakan lafaz inkah, tazwij atau dengan lafaz yang sama, artinya dengan kedua lafaz itu. Negara-negara muslim dalam merumuskan Undang-Undang yang mengatur masalah perkawinan melengkapi definisi tersebut dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakatnya seperti di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan arti perkawinan sebagai berikut: "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa".

Dengan demikian dengan adanya perkawinan terjagalah fitrah manusia yang membutuhkan adanya kelengkapan dan ketenangan hidup dalam lingkungan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Adapun prinsip perkawinan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,

Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,

Asas monogami. Asas ini ada pengecualian, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang,

Prinsip calon suami harus telah matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat,

Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, 

Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Dalam hukum Islam, perkawinan yang dikenal dengan istilah pernikahan pada dasarnya merupakan bagian dari rangkaian ibadah yang dianjurkan dalam Islam, ataupun hukum asalnya sunah, akan tetapi kondisi hukum tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi mukallaf dalam beberapa aspek yang harus dilihat secara menyeluruh. Allah telah menciptakan makhluk dalam bentuk berpasangan sebagaimana finnan Allah dalam QS. Adz-Dzariyat: 49. Dari ayat tersebut Allah menghendaki keterpaduan fungsi antara peran pria dan wanita yang disatukan dalam sebuah perkawinan yang dihalalkan oleh Allah. Di dalam Al-Qur'an pun juga masih banyak ayat-ayat lain yang mengatur tentang perkawinan. Selain Al-Qur'an, sumber utama hukum perkawinan adalah hadis, meskipun Al-Qur'an telah memberikan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dengan sangat terperinci, tetapi masih diperlukan adanya penjelasan-penjelasan dari sunah, baik mengenai hal-hal yang tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah disebutkan Al-Qur'an secara garis besar. Dasar hukum perkawinan di Indonesia didasarkan pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usaha pembentukan Undang-Undang perkawinan tersebut dimulai sejak 1950 dan bersifat bertahap (tadrij).

Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan, dalam hal ini masalah ibadah (perkawinan), dan rukun termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Adapun syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi ia tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Perkawinan dalam Islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya yang telah digariskan oleh para fuqoha. Jika suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, maka perkawinan tersebut dinamakan fasid (rusak) dan jika tidak memenuhi rukun-rukun perkawinan disebut bathil (batal). Rukun perkawinan ada lima, yaitu sebagai berikut:

Adanya mempelai laki-laki, 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun