Kata-kata "poligami" terdiri dari kata "poli" dan "gami". Secara etimologi, "poli" artinya banyak, dan "gami" artinya istri. Jadi, poligami artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami artinya seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Dari segi konsep, poligami berasal dari kata polygamy berarti suami atau istri memiliki pasangan (suami atau istri) lebih dari seorang. Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan: pangan, pakaian, tempat tinggal, giliran berada pada masing-masing istri, dan lainnya yang bersifat kebendaan, dan tidak membedakan istri yang kaya dan yang miskin atau dari golongan tinggi dengan golongan bawah. Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri yang keempat, bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istri dua orang, maka ia haram menikahi istri yang ketiganya, dan seterusnya. Mahkamah Konstitusi (MK) pun menyatakan bahwa ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga, hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia dengan kompilasi hukum Islamnya telah mengatur hal tersebut dalam Pasal 56 KHI. Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain sebagai berikut:Â
Untuk mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul,Â
Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, danÂ
Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina.Â
Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya adalah sebagai berikut:Â
Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama,Â
Untuk kepentingan politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam, danÂ
Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan.
Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mendefinisikan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Ini berarti bahwa terbentuknya harta bersama dalam perkawinan ialah sejak tanggal terjadinya perkawinan sampai perkawinan tersebut putus karena perceraian atau karena mati. Berbeda dengan harta bawaan masing-masing suami atau istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan harta pribadi yang sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing suami dan istri sepanjang para pihak tidak menentukan lain, khususnya dalam perjanjian perkawinan yang telah dibahas dalam bab sebelumnya. Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui Undang-Undang dan peraturan berikut:Â
UU Perkawinan Pasal 35 ayat (1),Â