Aku mulai bercerita, tepatnya sih curhat. Linda mendengarkannya saksama. Aku menceritakan bagaimana Mira yang marah-marah kemarin lantas tidak sengaja menyebut soal bunga bleeding heart sebagai luka bagi nenek, kemudian aku yang datang cepat ke sini ingin menanyakan itu kepada Mira, dan Mira yang sudah dilamar oleh laki-laki yang kemarin, baru saja kemarin dia bilang ingin meremas-remas laki-laki itu, tapi hari ini dia menerima lamaran itu? Aku sedikit menaikkan intonasi suaraku ketika mengatakan itu, dan Linda hanya tersenyum--senyum yang tidak kusadari itu adalah senyum yang dipaksakan.Â
Sepuluh menit, ceritaku selesai. Aku menghembuskan napas, rasanya lega sekarang setelah menceritakan itu.
"Terima kasih telah mau mendengarkanku."
Linda mengangguk, "Dan sepertinya aku punya sedikit saran untukmu."
"Saran?" Aku menatapnya heran.
"Iya, sebaiknya kau bilang ke Mira kalau kau selama ini bukan hanya menganggapnya teman sejak kecil, sahabat yang selalu ada atau orang yang bisa diajak bertengkar. Tapi kau juga menganggapnya lebih dari itu. Kau sadari atau tidak Rion, kau sepertinya mencintai Mira, menyayangi lebih dari seorang sahabat."
"Itu tidak mungkin, Lin. Aku hanya menganggapnya sebagai teman, sahabatku yang bisa ku ajak bermain juga bertengkar, tidak lebih dari itu."
"Tapi kenyataannya? Kau menganggapnya lebih dari itu, Rion. Kau mengakuinya atau tidak, itulah yang terjadi. Dan kuharap kau bisa menyadari itu secepatnya, agar saat kesadaran itu muncul, kau tidak akan menyesal."
"Menyesal?" Aku bergumam.
"Karena sudah sangat terlambat menyadari itu. Waktumu hanya sebentar. Mira, wanita yang cerdas, dia bisa menyelesaikan kuliahnya kapan pun, lantas wisuda. Kau tidak akan menunggu sampai dia sudah resmi menjadi istri orang lain, bukan?"
Aku, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku mencintainya? Mira? Bagaimana mungkin? Tapi yang dikatakan Linda, juga apa yang kurasakan ini? Ya, perasaan ini muncul saat aku mendengar Mira sudah dilamar. Apakah aku cemburu karena itu? Aku benar-benar telah mencintainya?