Mohon tunggu...
Mei
Mei Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis bisa dilakukan siapa saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bleeding Heart

13 Maret 2023   20:29 Diperbarui: 13 Maret 2023   20:35 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nenek menghela napas, menatapku "Dulu nenek juga menganggapnya begitu, Rion. Tapi apa hasilnya, hari-hari nenek hanya dihabiskan mengenang semua itu dengan kesedihan. Setiap hari, setiap detiknya, hati nenek terluka. Apakah luka itu bisa disembuhkan? Dulu nenek menganggapnya mustahil, bagaimana mungkin luka sebesar itu bisa sembuh. Tapi ternyata nenek salah, ternyata waktu bisa mengobati segalanya, selama kau membiarkan itu terjadi. Dan seiring waktu juga, nenek akhirnya mulai menyadari sesuatu. Kenapa nenek tidak memandangnya dari kacamata yang berbeda? Nenek pernah merasakan kebahagiaan yang sungguh sangat sangat besar, saat kakek melamar nenek. Nenek sangat bahagia saat itu..."

"Tapi dia hanya menjadikan nenek sebagai pelarian." Aku memotong kasar perkataan nenek.

"Iya, nenek tahu. Tapi apakah kau pernah membayangkan bagaimana perasaan Omanya Mira, saat orang yang dia cintai justru melamar sahabatnya? Nenek memikirkan semua itu, lantas nenek berdamai dengan semuanya, tidak ada gunanya menyesali semuanya, menyumpahi kehidupan, itu tidak ada gunanya sama sekali. Saat itu nenek memutuskan fokus merawat ibumu, nenek disibukkan dengan keseharian nenek, dan perlahan kenangan itu bisa nenek lupakan, meski dalam arti yang berbeda, bukan melupakan yang kau tidak ingat sama sekali kejadian itu, tapi melupakan dimana nenek tidak merasa sakit lagi saat mengingatnya, tapi tersenyum. Dan karena itulah nenek merawat bunga ini." Nenek menunjuk bunga bleeding heart yang ada di atas meja. Aku tidak menyadarinya, sejak kapan bunga itu diletakkan di sini, bukannya ada di teras depan?

"Pemuda dalam legenda itu bodoh, Nak. Mau-maunya dia mengakhiri hidupnya hanya karena cintanya tidak diterima. Padahal ada banyak kesempatan di luar sana, ada banyak gadis lain di luar sana, kenapa harus dengan gadis yang satu itu? Jika pun dia memang mencintainya, dia akan mengikhlaskan gadis itu memilih sendiri kebahagiaan, dan dia? Dia akan tersenyum bahagia melihat gadis yang dicintainya bahagia meski bukan bersamanya."

Aku menunduk, merasa bersalah mengatakan itu semua. Apa hakku mengatakan itu? Bukankah yang merasakan semua itu nenek? Jika nenek saja ikhlas memaafkan laki-laki itu, apa dayaku menentangnya?

"Maaf, Nek."

"Tidak apa, nenek bisa mengerti." Nenek tersenyum ke arahku.

"Oh iya, nek. Rion mau bicara sesuatu sama nenek." Mira mengingatkan.

"Mau bilang apa, Rion?"

"Eh, Rion..., kamu saja yang bilang sana."

"Eh, masa aku sih." 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun