"Tapi kau belum tahu segalanya." Nenek melanjutkan kalimatnya.
"Apakah ada lagi luka yang disebabkan orang tua egois itu, nek?"
"Rion! Dia kakekmu, bicara yang sopan tentang dia."
"Untuk apa aku bicara yang sopan tentang dia, nek. Jika dia saja tidak pernah memikirkan kita, dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Dasar egois!"Â
"Baiklah, sepertinya menyuruhmu bicara sopan saja tidak cukup. Tunggu sebentar." Nenek mengambil sesuatu dari tumpukan kertas di meja. "Lihatlah!"
Aku membaca kertas itu, itu kertas pemindahan kepemilikan suatu bisnis.Â
"Lihat namanya!" Nenek menyuruh. "Itu salah satu bisnis kakekmu, dia memberikannya kepada nenek untuk biaya hidup kita. Sekolahmu, pakaianmu, semua darinya. Dia tidak pernah lalai terhadap tanggung jawabnya."
"Tapi aku tetap tidak setuju dengan keputusannya."Â
"Itu sudah terjadi, Rion. Maka biarlah terjadi. Hidup harus terus berlanjut semenyakitkan apa pun itu."
"Linda sudah menceritakan semuanya. Kakekmu membayar semua kesalahannya dengan mendirikan rumah singgah, menampung anak-anak tidak beruntung, dan merawatnya. Menyekolahkan mereka, hingga menjadi seseorang. Nenek bangga dengannya."
"Tapi aku tetap tidak bisa menerimanya, nek. Dia... dia tega sekali melakukan semuanya. Dan aku tidak akan pernah bisa menerimanya karena itu terlalu sulit untuk diterima."