"Bunga ini jelek, dan apa namanya? Bleeding Heart, hati yang berdarah? Heh, apa cantiknya bunga ini."
"Cantik ataupun tidak, bunga itu punya nenek, dan paling disukai nenek."
"Kau tidak sadar, Rion. Bunga ini bukan kesayangan nenek, tapi bunga ini adalah luka bagi nenek. Kau mungkin tidak pernah memperhatikannya, tapi aku selalu bisa melihat itu ketika nenek menatap bunga ini."
"Apa maksudmu?"
"Heh, apa maksudku? Kau terlalu polos melihat semuanya, Rion. Mengunyah mentah-mentah apa yang dikatakan orang lain. Tapi aku tidak, aku selalu bisa melihat sesuatu dibaliknya."
"Kau lupa, Mir. Kau baru saja ditipu mentah-mentah oleh seorang cowok. Kau berteriak, bilang ingin meremas-remasnya hingga menjadi debu, marah-marah, dan melepaskan semua amarahmu itu kepadaku. Kau yang terlalu polos, seperti anak kecil saja, hanya bisa marah."
"Enak saja. Aku tidak ditipu mentah-mentah olehnya."
"Lalu apa namanya, ketika seorang cewek yang begitu tergila-gila dengan seorang cowok yang hanya memanfaatkannya, menyuruh-nyuruhnya mengerjakan ini, itu, belikan ini, itu, dan apa yang dilakukan ceweknya, astaga bodoh sekali cewek itu, menuruti semua perintah pujaan hatinya tanpa sedikit pun merasa bahwa dia telah ditipu, hanya dimanfaatkan sebagai babu pribadi."
Mira menimpukku dengan tas bahunya. Aku refleks mundur dan membuat tameng dengan tangan di depan wajahku. Dia terus mengejar, memukul-mukulkan tasnya ke arahku, dan aku terus menghindar. Jadilah saat itu kami berlari-lari, saling mengejar dan dikejar.Â
Aku berusaha lari sekencangnya menghindari pukulannya, berputar-putar di halaman belakang, dan saat seolah tidak ada celah lagi aku bisa menghindar dari pukulannya, nenek datang. Syukurlah, aku menghembuskan napas.
"Sudah besar kok masih main kejar-kejaran, anak Bu Ani di sebelah saja tidak main lagi, kalian yang sudah besar, tua, mahasiswa akhir dari kampus top, lari-larian? Sepertinya dunia memang sudah benar-benar terbalik." Nenek mengomel di depan pintu melihat kelakuan kami.