Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pujawali (Seperti Itu Aku Mencintaimu Sampai Mati)

31 Maret 2019   22:20 Diperbarui: 31 Maret 2019   22:50 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : http://kerajinankotamalang.blogspot.com

Kau percaya aku ada.

Kau yang aku inginkan selamanya.

Kau adalah hatiku kau belahan jiwaku.

Seperti itu aku mencintaimu sampai mati.

Buleleng tahun 1970...

"Mas... Aku hamil."

"Apa? Tidak mungkin, itu tidak mungkin terjadi."

"Iya mas, aku mengandung anakmu. Anak kita mas."

"Apa yang harus kita lakukan? Pekerjaan saja aku tak punya. Bagaimana nanti aku menghadap orangtuamu? Pasti mereka tidak akan setuju."

"Tapi kau mau bertanggungjawab kan mas?"

Suasana hening sejenak. Waktu terasa terhenti untuk mereka berdua. Sementara diluar terdengar musik rindik Bali mengalun keras. Mengiringi para lelaki dan wanita muda latihan menari.

Hari itu sedang ada latihan tari wayang wong untuk persiapan pementasan pujawali di Pura Ratu Gede Sambangan.

"Baiklah, beri aku waktu. Aku akan mempersiapkan segalanya. Aku akan bertanggungjawab." jawab Anak Agung Oka.

"Aku akan menunggumu mas. Aku akan menyimpan rahasia ini untuk kita berdua. Untuk anak kita." jawab Ayu Candrakasih bahagia.

Mereka berdua saling berpelukan.

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Sekarang tepat bulan kedelapan kehamilan Ayu Candrakasih. Bayi dalam perutnya terlihat sehat. Meski hampir tiap hari Ayu Candrakasih mengalami tekanan batin dari keluarganya. Keluarga Kasta Kesatria yang terpandang di Buleleng. Seiring membesarnya perut Ayu Candrakasih, membesar pula mulut -- mulut para tetangga. Menggunjingkan siapa bapak dari bayi yang dikandung Ayu Candrakasih.

Suatu hari ayah Ayu Candrakasih murka. Kesabarannya kini telah habis. Ia tidak mampu memaksa Anaknya untuk membuka mulut. Sehingga ia memutuskan untuk membawa putri mereka ke sebuah pura di lereng gunung yang cukup terjal.

"Ikut Aji sekarang..." ucap Cok Raka.

"Tapi Aji... Aku sedang hamil besar." ucap Ayu Candrakasih pelan. Memohon belas kasih Ajinya.

"Lebih baik kau melahirkan dijalan daripada didalam rumahku ini." ucap Cok Raka dengan muka penuh amarah. Ayu Candrakasih tak kuasa melawan. Hanya airmata menetes dari ujung kedua matanya.

Bagi Ayu Candrakasih, murka Ajinya tidak seberapa. Rasa cintanya kepada Anak Agung Oka yang menguatkan hatinya. Membuatnya tegar menjalani hidupnya.  Ayu Candrakasih tidak takut. Bahkan meskipun bumi menolak jasadnya, ia akan selalu mencintai lelaki pujaannya itu. Apalagi kini dirinya tengah mengandung buah cinta mereka berdua.

***

Dipayungi langit yang mendung, akhirnya mereka berdua tiba di Pura Ratu Gede Sambangan. Kurang lebih setengah jam ia dan ayahnya berjalan menyusuri lereng bukit yang cukup terjal. Telapak kaki Ayu Candrakasih penuh dengan luka goresan semak berduri. Perih di telapak kakinya tidak ia rasakan. Ia lebih mementingkan keselamatan bayi dalam kandungannya. Ia telah bersumpah menjaga buah cintanya itu agar tidak terjadi sesuatu kepadanya.

Cok Raka terlihat sedang berbincang -- bincang dengan pemangku pura. Sementara itu Ayu Candrakasih sedang merapikan kebaya putih yang dipakainya. Ia membersihkan kakinya dengan air yang mengalir di depan pura. Rasa segar air itu mampu menenangkan hati dan pikirannya. Sehingga janin dalam perutnya tidak menendang -- nendang lagi seperti saat ia berjalan tadi.

"Anak pintar..." gumam Ayu sambil tersenyum mengelus -- elus perutnya.

Tak lama kemudian terdengar suara Ajinya memanggil dari dalam pura.

"Iya Aji, sebentar..." jawab Ayu Candrakasih.

***

Proses penyucian diri segera dilakukan. Cok Raka meminta pemangku pura untuk menyucikan putrinya itu. Agar putrinya diberi keselamatan dalam hidupnya. Dan yang lebih penting adalah agar putrinya luluh dan mengaku siapa bapak dari anak yang dikandungnya.

"Silakan duduk disini Ayu, aku akan segera malakukan ritual penyucian diri untukmu."

"Aa... Apa ini Aji? Apa maksud semua ini?" tanya Ayu tidak mengerti.

"Sudahlah duduk saja dan turuti apa kata pemangku. Jangan membantah." jawab Cok Raka dengan wajah tersenyum. Senyum yang dipaksakan.

Ritual itu berjalan lancar. Meski wajah Ayu Candrakasih terlihat murung dan hatinya kecewa, ia akhirnya bisa tersenyum. Pikirannya dipenuhi bayangan wajah anak dalam kandungannya. Ia mengelus -- elus perutnya. Tak lama kemudian terlintas bayangan wajah Anak Agung Oka. Ayu Candrakasih tersenyum bahagia. Pemangku Pura Ratu Gede Sambangan terus merapalkan mantra ritual penyucian.

Ditengah -- tengah prosesi ritual, mendadak muncul suara rintihan kijang dari arah hutan diatas Pura. Semula terdengar satu suara rintihan kijang. Lama -- lama suara rintihan itu makin banyak dan mengganggu.

"Kijang sialan, berisik. Mengganggu sekali!" umpat Cok Raka.

Mendengar ucapan itu, pemangku pura menegur Cok Raka.

"Tuan... Tarik kembali ucapan Tuan, segeralah minta ampun kepada Ida Sang Hyang Widhi."

"Ah sudahlah. Kijang -- kijang itu memang mengganggu. Kau juga mendengarnya kan?" ucap Cok Raka sedikit kesal.

"Tapi Tuaaaan..."

"Cukup, apa aku dan putriku bisa pulang sekarang?" tanya Cok Raka tanpa memedulikan peringatan pemangku pura.

***

Beberapa hari kemudian...

Desa Tejakula bagaikan laut yang menggelegak di pagi hari. Bangunan -- bangunan roboh. Pohon -- pohon tumbang. Semua warga sibuk menyelamatkan dirinya masing -- masing. Rupanya pemangku Pura Ratu Gede Sambangan tidak bisa membaca tanda -- tanda alam yang didengarnya beberapa hari yang lalu. Suara rintihan kijang itu tidak digubrisnya. Suara peringatan dari Ida Sang Hyang Widhi yang terlupakan oleh si pemangku pura.

Keluarga Cok Raka berlari keluar rumah. Aji dan Biyang Ayu Candrakasih berusaha menyelamatkan diri. Dengan perut yang semakin membesar, Ayu Candrakasih terpaksa dibopong oleh kedua orangtuanya. Dan akhirnya mereka sampai juga di tempat yang cukup aman.

Ayu Candrakasih berusaha mengatur napasnya. Didalam gubuk kecil pinggir sawah itu air ketubannya pecah. Dengan dibantu aji dan biyangnya, akhirnya ia berhasil melahirkan seorang bayi laki -- laki yang cukup sehat. Tangis bahagia Ayu Candrakasih bercampur aduk dengan jeritan pilu orang -- orang yang sedang berusaha menyelamatkan diri dari bencana longsor sore itu.

"Aji... Biyang... Akhirnya aku bisa melahirkan anakku." ucap Ayu bahagia.

"Iya anakku. Dia sangat tampan. Mirip denganmu." balas ibunya dengan suara parau akibat menahan tangis. Antara bahagia dan takut bercampur jadi satu.

Cok Raka hanya diam. Wajahnya kaku. Hatinya kini sekeras batu. Ia tidak mengakui bayi lelaki didepannya itu sebagai cucunya.

"Sampai kapanpun kau bukan cucuku." umpat Cok Raka dalam hati.

Suara deru tanah semakin keras. Cok Raka memerintahkan istrinya untuk membopong Ayu Candrakasih keluar dari gubuk.

"Tidak Aji, aku tidak bisa ikut kalian. Aku tidak sanggup berdiri. Kalian pergilah sendiri. Tinggalkan aku." ucap Ayu sambil mendekap putranya dengan selimut yang ia ambil dari dalam tasnya.

"Anakku, kamu harus kuat. Ibu yakin kamu pasti bisa melalui semua ini."

"Sudahlah istriku. Anak ini memang anak durhaka. Ia tidak pernah menuruti perintah kita. Lebih baik kita tinggalkan Ayu Candrakasih dengan bayi haram ini." teriak Cok Raka kepada istrinya. Namun teriakan itu tidak digubris oleh istri Cok Raka. Ia lebih memilih memeluk dan melindungi Ayu Candrakasih dan bayinya.

Setelah usahanya yang cukup keras dan diiringi tangis pilu kedua ibu dan anak itu, akhirnya Cok Raka berhasil melepaskan ikatan tangan mereka. Lalu ia menyeret tangan istrinya berjalan keluar gubuk. Namun tiba -- tiba arus tanah dan kerikil menghantam gubuk itu dengan keras. Keluarga Cok Raka tertimbun tanah longsor.

Beberapa jam berlalu. Penduduk yang selamat mulai meninggalkan desa mereka. Mengungsi sementara ke tempat yang lebih aman.

"Pak, apa bapak mendengar sesuatu?" tanya seorang wanita paruh baya.

"Suara apa Bu?"

"Tangisan bayi."

Sepasang suami istri itupun bergegas mendatangi gundukan tanah yang bercampur dengan puing -- puing kayu. Mereka berusaha mencari sumber suara tangisan itu. Dan akhirnya mereka menemukannya. Setelah membersihkan puing -- puing dan mengeruk tanah, nampaklah seorang bayi dalam bungkusan kain putih. Bayi itu menangis cukup keras. Seolah meminta bantuan kepada mereka berdua.

"Bantu aku Bu..."

"Iya Pak."

Betapa bahagianya mereka mendapatkan seorang bayi laki -- laki yang tampan. Bayi itu terbungkus rapi dalam sebuah selimut. Ia masih hidup.

"Ini bayi Pak..." teriak si wanita penuh haru.

"Iya Bu, tapi bayi siapa ini?" tanya lelaki itu kepada istrinya sambil mengawasi keadaan di sekelilingnya.

"Aku tidak tahu pak. Sebaiknya kita bawa bayi ini. Ia ditakdirkan untuk hidup bersama kita."

"Kau benar bu. Ayo kita pergi sekarang sebelum hari mulai gelap."

Sepasang suami istri itupun melanjutkan perjalanannya bersama penduduk lain. Mereka hanya pergi untuk sementara. Sebab kelak suatu saat mereka akan kembali lagi ke tempat mereka dilahirkan. Tempat yang kini telah rata dengan tanah.

"Ayo Bu, kita pergi sekarang." ajak lelaki itu kepada istrinya yang terlihat bahagia menggendong bayi mungil. Seorang bayi anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi.

Langit kelabu memayungi kepergian sepasang suami istri itu. Mereka tidak menyadari bahwa sebuah tangan wanita tersibak keluar dari dalam gundukan tanah. Sebuah tangan kanan yang  menengadah ke langit. Seolah si pemilik tangan ingin mengucapkan terimakasih kepada sang pemberi kehidupan karena telah mengabulkan doanya.

***

Ketika suara deru tanah makin mendekat, Ayu Candrakasih bergegas membuka sedikit selimut yang menutupi wajah bayinya. Ia mendekap erat wajah sang bayi ke dadanya. Ia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin selamat, sehingga ia berusaha menyelamatkan bayinya.

Tiba -- tiba mata Ayu Candrakasih tertuju pada dua buah topeng yang ada didalam tasnya. Topeng miliknya dan topeng milik Anak Agung Oka. Ia meraih kedua topeng itu. Topeng yang menyimpan kenangan mereka berdua.

Topeng milik Anak Agung Oka itu ia tutupkan ke wajah bayinya. Sedangkan topeng miliknya ia selipkan kedalam kebaya yang ia pakai. Setelah memastikan bayinya masih bisa bernapas. Ia lalu membungkus bayinya dengan selimut yang ia ikat dengan selendang kuning miliknya.

Ayu Candrakasih melihat jelas ketika pintu gubuk itu hancur diterjang tanah dan menelan kedua orangtuanya. Ia sudah merasa bahwa ajalnya makin dekat. Lalu Ayu Candrakasih memejamkan mata. Ia memeluk bayinya sambil berdoa kepada Ida Sang Hyang Widhi agar diberi keselamatan.

Ayu Candrakasih pasrah kepada nasib. Tidak ada tenaga yang tersisa untuknya ketika tanah longsor itu membolak -- balikkan tubuhnya dan tubuh bayinya didalam tanah. Hanya doa -- doa yang terucap dalam hatinya. Sehingga ketika ia menyadari bahwa tubuhnya telah berada diatas gulungan tanah, ia segera melempar bayinya keluar. Seketika itu juga tenaganya habis. Ia meninggal. Terpendam bersama ayah dan ibunya.

***

Buleleng tahun 2005...

Upacara Ngaben Cok Sindhu baru saja selesai tiga hari yang lalu. Istri Cok Sindhu masih berduka di kediamannya. Wanita enam puluh tiga tahun itu menatap foto suaminya dengan tatapan kosong.

"Biyang... Relakanlah Aji pergi. Biyang jangan bersedih seperti ini." ucap Anak Agung Baskara kepada ibunya.

"Tapi anakku... Biyang merasa kepergian Ajimu terlalu cepat.

Ruang kesunyian tercipta diantara anak dan ibu itu. Tanpa bicara, wanita tua itu berjalan menuju bilik kamarnya. Setelah beberapa saat, ia kembali lagi dan duduk disebelah Anak Agung Baskara. Sebuah kotak kayu tua berukir bunga kamboja ia letakkan diatas meja.

"Apa ini Biyang?" tanya Anak Agung Baskara tanpa menyentuh kotak kecil berwarna coklat kehitaman itu.

"Bukalah kotak itu."

Malam makin larut. Suasana makin hening. Namun keheningan itu seakan terbelah oleh suara parau Dewi Kenanga.

***

Tepat di hari kesembilan kematian Ajinya, Anak Agung Baskara mengalami sebuah kejadian yang aneh. Saat pagi hari, ia mendapati rambutnya telah memutih semua. Ia menyadari hal itu saat hendak membasuh mukanya. Ia melihat pantulan bayangan wajahnya diatas permukaan bak mandi miliknya.

"Biyaaang..." teriak Anak Agung Baskara.

Dewi Kenanga memeluk putra semata wayangnya dengan penuh kasih. Ia merasa iba dengan musibah yang menimpa lelaki yang bukan anak kandungnya itu.

"Bersabarlah anakku. Mungkin ini cobaan dari Ida Sang Hyang Widhi. Kita harus ikhlas menerimanya." ucap wanita tua itu sambil memeluk Anak Agung Baskara.

Hari berganti hari, kesedihan Dewi Kenanga makin menjadi. Ia tidak sanggup menghapus kenangan bersama suaminya dirumah itu. Tubuhnya terlihat kurus.

Sementara itu, gunjingan tetangga Dewi Kenanga makin meluas. Bahkan desa sebelah ikut mendengar kabar memutihnya rambut lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Banyak yang beranggapan bahwa ini merupakan sebuah kutukan.

"Biyang, minggu depan kita pindah. Kita akan kembali ke Buleleng. Tempat kelahiran Biyang. Biar aku yang mengurus semuanya." ucap Anak Agung Baskara malam itu.

Dewi Kenanga diam membisu. Kedua bibirnya tidak bergerak sedikitpun. Tatapan matanya kosong. Sekosong isi hatinya.

***

Diatas tanah peninggalan kedua orangtua Dewi Kenanga kini telah berdiri sebuah rumah yang sederhana. Sejak bencana longsor tiga puluh lima tahun yang lalu. Pemerintah mengadakan pendataan ulang. Sehingga hak milik atas pewaris tanah tidak hilang.

"Terimakasih adikku, kau telah menjaga harta warisan orangtua kita." ucap Dewi Kenanga kepada saudara lelakinya itu.

"Iya kakak, ini adalah hak milik kakak yang harus aku jaga. Sekarang kakak telah kembali. Sudah saatnya aku serahkan peninggalan orangtua kita ini kepada kakak. Tanggungjawabku telah selesai." jawab lelaki yang penuh kerutan di wajahnya itu. Sebuah udeng putih di kepalanya seakan kontras dengan rambutnya yang memutih.

Kehidupan Dewi Kenanga dan putranya mulai berubah. Dewi Kenanga terlihat lebih sehat. Sinar kehidupan terpancar di wajahnya. Kini kesibukannya adalah sebagai pembuat canang sari. Banyak tetangga dan orang -- orang yang memesan canang sari kepadanya setelah mereka melihat Dewi Kenanga bersembahyang di pelinggih depan rumahnya.

"Indah sekali canangsari ini, Bu."

"Oh... Ini aku membuatnya sendiri." ucap Dewi Kenanga sambil tersenyum.

Sementara itu Anak Agung Baskara mulai menyibukkan diri dengan bergabung di Sanggar Tari Topeng Wayang Wong. Seminggu tiga kali ia berlatih tari wali itu. Sehingga perlahan -- lahan ia bisa menguasai gerakannya dengan baik.

Kini tidak ada seorangpun yang menggunjingkan rambut putih Anak Agung Baskara. Ia bisa menjalani hidupnya sedikit lebih tenang di Buleleng. Namun demikian, masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya yang membuatnya bertanya -- tanya hingga sekarang.

"Aku anak siapa...?"gumam Anak Agung Baskara dalam hati.

Pikiran itu mendadak singgah dalam kepalanya. Suatu sore sepulang dari sanggar tari, ia menyesap secangkir kopi Kintamani di teras rumahnya. Ia teringat ucapan Biyangnya malam itu.

"Iya benar... Kau bukan anak kandung Biyang."

"Jadi... Aku anak siapa Biyang?"

Kejadian beberapa minggu yang lalu terbayang jelas oleh Anak Agung Baskara. Malam itu Dewi Kenanga menyampaikan wasiat suaminya kepada putranya. Sebuah kotak kayu tua yang ia simpan selama puluhan tahun. Didalamnya terdapat sebuah topeng kayu tua. Topeng Sri Rama. Topeng kayu itu terbungkus dalam selimut yang dikenakan oleh bayi yang mereka temukan. Bayi yang kini tumbuh dewasa menjadi seorang lelaki yang tampan bernama Anak Agung Baskara.

"Berikanlah topeng ini kepada anak kita saat ia dewasa nanti." ucap Dewi Kenanga menirukan ucapan suaminya.

***

"Bli... Bagaimana kalau kita membuat sepasang topeng untuk kita. Kita pesan topeng Sri Rama dan Dewi Sinta. Pasti bagus." usul Ayu Candrakasih kepada Anak Agung Oka.

"Boleh juga, apalagi kita akan mementaskan Tari Topeng Wayang Wong untuk acara Pujawali di Pura Ratu Gede Sambangan." sambung Anak Agung Oka sambil memeluk wanita yang sangat ia cintai itu.

Tepat pada acara Pujawali di Pura Ratu Gede Sambangan, mereka membawakan Tari Topeng Wayang Wong dengan sempurna. Kisah Rama dan Sinta yang mereka pentaskan berhasil memukai penonton.

Setelah pementasan tari wayang wong itu, Anak Agung Oka menyatakan rasa cintanya kepada Ayu Candrakasih.

"Aku mencintaimu Ayu."

"Aku juga sangat mencintaimu Bli. Kau adalah hal terindah yang kupunya." balas Ayu Candrakasih sambil memeluk lelaki pujaannya itu.

***

Dewa Brahma seakan menurunkan kecerdasan kepada Anak Agung Baskara. Ia mengamati baik -- baik topeng kayu pemberian Dewi Kenanga ibunya. Sebuah kalimat dalam huruf Kawi terukir dibalik topeng itu. Ia menuliskan huruf Kawi itu diatas selembar kertas. Kayu cendana berkualitas bagus telah mengabadikan ukiran nama itu. Meskipun telah berusia puluhan tahun, topeng itu masih terlihat seperti aslinya. Tidak rusak dimakan waktu.

Keesokan harinya, Anak Agung Baskara pergi mengunjungi perpustakaan daerah Buleleng. Ia mencari arsip tentang sejarah Buleleng. Membaca lontar kuno berhuruf Kawi. Dengan bantuan kamus huruf Kawi, ia tidak merasa kesulitan menerjemahkan huruf demi huruf yang tertera diatas kertas putih yang ia bawa. Cukup lama Anak Agung Baskara menerjemahkan huruf Kawi itu. Setelah beberapa kali membuka kamus dan mencari data dari berbagai sumber di internet. Ia berhasil memecahkannya.

"Anak Agung Oka..." gumamnya.

***

"Bli... Sudah makan belum?" tanya Dewi Kenanga dari dalam dapur. "Ini biyang buatkan Blayag dan Sudang Lepet kesukaanmu. Cepatlah makan."

"Iya Biyang. Sehabis aku latihan dari sanggar." balas Anak Agung Oka. Sesaat kemudian terdengar bunyi motor meninggalkan rumah kecil Dewi Kenanga.

Motor itu melaju memecah jalanan Kota Buleleng. Sore itu nampak sepi. Kesibukan Anak Agung Oka selepas pulang kerja adalah berlatih tari topeng wayang wong di sebuah sanggar tidak jauh dari rumahnya. Namun kali ini ia memutuskan untuk tidak mengikuti latihan. Pikirannya sedang kalut. Ia mengarahkan laju motornya menuju Pura Ratu Gede Sambangan. Ia ingin menyendiri disana untuk sesaat.

Setelah memarkir motornya, Anak Agung Oka berjalan menyusuri lereng bukit diatas pura. Pemandangan bukit itu sangat indah. Berkali -- kali ia memandangi langit yang mulai memerah. Hingga ia terjatuh karena tersandung sesuatu.

Anak Agung Oka masih memegangi jari kaki kanannya yang terlihat memerah. Ia sedikit meringis menahan sakit. Nampaknya ia baru saja tersandung sesuatu yang cukup keras.

"Apa itu...?" ucapnya setelah menatap sebuah benda cekung menyembul dari dalam tanah tepat dihadapannya.

Karena penasaran dengan benda yang membuatnya kesakitan, ia menggali tanah disekitar benda itu. Hingga akhirnya ia mendapatkan benda itu dalam genggamannya.

"Topeng?" gumamnya.

Malam harinya...

Dewi Kenanga menemani putra semata wayangnya untuk makan malam. Ia sangat bahagia melihat putranya itu. kehidupan mereka kini telah berubah drastis semenjak di Buleleng.

"Terimakasih atas masakannya Biyang, enak sekali."

"Iya Bli. Habiskan semuanya."

Setelah makan, Anak Agung masuk kedalam kamarnya. Ia memandangi dua topeng yang tergeletak diatas meja disebelah tempat tidurnya. Topeng itu memiliki kemiripan satu sama lain.

"Mirip sekali..." gumam Anak Agung Oka.

Lalu ia menarik selimut dan tertidur karena kelelahan.

Beberapa hari setelah menemukan topeng itu, malam -- malam Anak Agung Baskara menjadi tidak tenang. Kerap kali ia didatangi sesosok wanita dalam mimpinya. Wanita itu tidak berbicara sedikitpun. Hanya diam tersenyum menatap Anak Agung Baskara.

"Siapa kau..." tanya Anak Agung Baskara.

Wanita itu lenyap.

***

"Hari ini kau tampak berbeda sekali Bli." tanya si pelatih tari.

"Berbeda bagaimana? Saya tidak mengerti?"

"Kau telah menguasai Tari Topeng Sri Rama dengan sangat baik. Berbeda dari sebelumnya."

Kenyataan itu hanya direspon oleh Anak Agung Baskara dengan pandangan heran. Tarian yang ia bawakan sama sekali tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia merasa masih sama seperti yang dulu.

"Ah sudahlah. Mungkin ini karena efek latihan untuk menyambut perayaan Pujawali Pura Ratu Gede Sambangan yang makin dekat. Mungkin aku berlatih terlalu keras." gumamnya menepis pikirannya yang kalut.

Malam hari sepulang dari latihan, Anak Agung Oka beranjak tidur lebih awal. Setelah ia membawa segelas air dari dapur dan meminumnya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Antara sadar dan tidak sadar. Dalam keadaan mata setengah terpejam karena kelelahan dan tidak bisa tidur, ia mendapati barang -- barang didalam kamarnya beterbangan keatas. Gelas yang baru saja diminumnya ikut terbang. Air didalamnya tumpah. Namun kali ini tidak tumpah kebawah. Air itu tumpah keatas dengan pelan seolah -- olah langit memiliki gaya gravitasi yang kuat daripada bumi.

Mata Anak Agung Baskara membelalak. Ia mendapati dirinya telah berada di dunia lain. Sesosok wanita yang sering mendatanginya dalam mimpi kini berdiri didepannya. Memeluknya tanpa mengeluarkan kata -- kata.

Siluet mimpi berganti. Tiba -- tiba wanita dalam pelukannya menghilang. AnakAgung Baskara mengalami sebuah kejadian bencana tanah longsor. Seorang wanita tergulung -- gulung didalam arus tanah yang mengalir cepat. Anak Agung Baskara berusaha menolong wanita itu. Dengan kaki tersandung -- sandung, ia berlari mengejar wanita itu. Hingga akhirnya Anak Agung Oka jatuh terjerembab.

"Cepat atau lambat kamu akan mengerti." sebuah suara seorang wanita menggema memenuhi telinga Anak Agung Baskara.

Dalam sekejap wanita itu hilang digulung oleh arus tanah yang mengalir makin cepat.

"Bli... Bangun. Hari sudah pagi. Waktunya kau berangkat bekerja." suara parau Dewi Kenanga membangunkan Anak Agung Baskara.

"Jam berapa sekarang Biyang?"

"Jam lima Bli."

"Oh..." balas Anak Agung Baskara sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing. Ia masih memikirkan mimpi yang baru saja dialaminya itu.

***

Di tempat kerjanya, Anak Agung Oka tidak bisa berkonsentrasi mematri logam. Kepalanya masih terasa berat. Patung -- patung perak pesanan pelanggan tidak bisa ia selesaikan sesuai target. Pikirannya makin kalut. Kejadian penemuan patung, ucapan pelatih tarinya hingga munculnya wanita dalam mimpi bercampur aduk memenuhi ruang pikirannya. Hingga lamunannya tersadar saat sebuah suara seorang wanita memanggil namanya.

"Bli Agung..."

Seorang wanita cantik muncul dari balik pintu yang mengeluarkan bunyi denting lonceng saat dibuka.

Setelah mereka berdua bercakap -- cakap sebentar, Anak Agung Baskara mengajak wanita itu  mampir ke sebuah rumah makan di daerah Buleleng. Ayu Aryani. Wanita berusia tiga puluh tiga tahun yang telah menjadi pelanggan Galeri Seni milik Anak Agung Oka. Ia memutuskan untuk menutup Galeri seni miliknya lebih awal dari biasanya. Rasa pusing di kepalanya memaksanya untuk makan sesuatu sebagai pengisi perutnya yang sedikit terasa perih.

"Kali ini saya ingin memesan beberapa patung perak lagi. Permintaan pelanggan lumayan banyak di Jakarta." ucap wanita itu dengan anggun.

Mata Anak Agung Oka menatap dalam ke mata Ayu Aryani. Sebuah rasa yang lama ia simpan, kini ia sampaikan kepada Ayu Aryani lewat pandangan matanya sambil mendengarkan penjelasan wanita itu baik - baik.

Hubungan diantara mereka berjalan cukup lama. Bahkan sebelum Anak Agung Oka pindah ke Buleleng. Hubungan antara penjual dan pelanggan yang berubah menjadi rasa cinta diantara keduanya.

"Aku sengaja mencari informasi tentang Galeri Seni milikmu setelah kau menutup galeri senimu yang ada di Tabanan. Untung saja ada kolegaku yang mengetahui keberadaanmu di Buleleng." ucap Ayu Aryani sambil menyuapkan satu sendok nasi kari ke mulutnya.

"Bukannya aku sudah memberikan nomor ponselku padamu?"

"Sebulan lalu ponselku hilang. Aku kehilangan semua kontak ponselku."

"Oh..."

"Aku sangat mengagumi hasil kerjamu Bli. Ukiran -- ukiran di patung perakmu sangat indah. Aku menyukainya." ucap Ayu Aryani pelan dengan sedikit malu -- malu. Wajahnya mulai memerah.

Anak Agung Oka diam. Ia mendengarkan sebuah penekanan saat Ayu Aryani mengatakan kata terakhir dalam kalimat yang ia ucapkan barusan. Ia membaca gerakan tubuh Ayu Aryani baik -- baik dan menafsirkan gerakan itu.

"Bagaimana kabar hubunganmu dengan lelaki itu?"

"Sudah berakhir. Kami putus." jawab Ayu Aryani singkat.

Mereka berdua diam. Melanjutkan kesibukan mereka masing -- masing. Menyantap hidangan yang mulai dingin diatas meja makan.

***

Setelah berpisah dengan Ayu Aryani dan mendapatkan kartu namanya, Anak Agung Oka memacu motornya ke arah Buleleng. Sedangkan Aryani memasuki mobil untuk melanjutkan urusannya yang tertunda di Denpasar.

"Sampai bertemu besok." ucap Ayu Aryani dari balik kaca mobilnya yang terbuka.

"Hati -- hati..." balas Anak Agung Oka. Ayu Aryani mengangguk. Lalu ia menutup kaca mobilnya dan melaju meninggalkan Anak Agung Oka.

Dalam perjalanan pulang, Anak Agung Oka mengingat sesuatu. Kejadian yang ia alami dalam mimpi kemarin mulai terkuak. Ia mengenali daerah yang dilukiskan dalam mimpinya itu.

"Pura Ratu Gede Sambangan...."gumamnya.

Ia lalu membelokkan motornya menuju pura itu. Karena hari masih sore, ia memutuskan untuk pergi kesana. Ada sesuatu yang harus ia selesaikan disana.

Sementara itu di dalam mobilnya, Ayu Aryani tersenyum melihat kaca cermin mobilnya. Hatinya sangat bahagia. Ia bisa membaca gerakan tubuh Anak Agung Baskara saat memandang dirinya di rumah makan tadi.

"Aku tahu Bli Agung menyukaiku."gumamnya sambil tersenyum. Sebuah perasaan bahagia menjalar dalam tubuhnya. Memacu cepat denyut jantungnya.

Motor Anak Agung Baskara akhirnya tiba di Pura Ratu Gede Sambangan. Pura itu terlihat sepi. Tidak ada seorangpun pemadek yang bersembahyang disana. Pemangku pura juga tak tampak. Akhirnya ia berjalan seorang diri menaiki bukit. Ia menuju tempat ketika ia jatuh terjerembab. Tempat itu sangat sepi dan hening. Tidak nampak gerakan makhluk hidup disana. Hanya suara gesekan daun -- daun yang tertiup angin sore.

"Tidak salah lagi. Inilah tempatnya." gumam Anak Agung Baskara.

Mata Anak Agung Oka terbuka lebar -- lebar menatap tanah dimana ia menemukan topeng kayu cendana kemarin. Tiba -- tiba pandangan didepannya berubah menjadi sebuah lorong gelap yang melemparkannya ke masa lalu.

Di hidupku yang tak sempurna.

Kau adalah hal terindah yang aku punya.

Kau adalah hatiku kau belahan jiwaku.

Seperti itu aku mencintaimu sampai mati.

Lelaki berambut putih itu mengalami sebuah ilusi waktu. Wanita yang tergulung arus tanah dalam mimpinya mewujud nyata dihadapannya. Sore itu, lereng bukit yang semula hijau dan tenang, mendadak berubah menjadi mendung yang gelap. Lereng itu bergerak -- gerak menimbulkan retakan tanah disana -- sini. Anak Agung Baskara mengalami sendiri peristiwa tanah longsor di tahun 1970 itu. Kejadian saat Ayu Candrakasih digulung arus tanah yang hebat. Ia merasakan denyut jantung wanita itu. Ia merasakan hangat hembusan napas wanita itu menerpa wajahnya. Merasakan sebuah kehangatan dekapan cinta kasih.

"Oh Ida Sang Hyang Widhi, aku sangat mencintai anakku. Dalam sepiku ia datang memberiku kekuatan. Dalam rapuhku ia menopangku. Di hidupku yang tak sempurna, ia adalah hal terindah yang aku punya. Lindungilah anakku Dewa." ucap wanita itu dalam do'anya ketika arus tanah membolak -- balikkan tubuhnya dan tubuh anaknya. Do'a yang  dipanjatkan Ayu Candrakasih dalam hati. Do'a yang terdengar oleh bayi dalam pelukannya.

Setelah melihat senyum wanita itu, tubuh Anak Agung Baskara seolah seperti terpental keluar dari dalam gulungan arus tanah. Tubuhnya terlepas dari pelukan wanita itu.

"Ibuuuuuu......." teriak Anak Agung Baskara dengan histeris. Tubuhnya ambruk ke tanah.

Tiga hari setelah kejadian itu, digelarlah upacara Ngaben dirumah Dewi Kenanga. Sesuai petunjuk pemangku adat di Buleleng, Anak Agung Baskara telah mengalami sebuah kejadian aneh. Sebuah kejadian yang mengantarkan pertemuannya dengan wanita yang melahirkannya ke dunia.

Pemangku adat dan pemangku Pura Ratu Gede Sambangan sepakat untuk mengadakan penggalian di tempat yang ditunjukkan oleh Anak Agung Baskara. Di tempat itu mereka menemukan sebuah kerangka manusia. Kerangka  Ayu Candrakasih. Pemangku adat berani menjamin bahwa itu adalah kerangka Ayu Candrakasih. Karena pemangku adat itu telah melakukan ritual keagamaan dan menyucikan sepasang topeng Sri Rama dan Dewi Sinta yang dimiliki oleh Anak Agung Baskara. Taksu topeng itu telah mengatakan siapa pemiliknya.

Ucapan pemangku adat itu diperkuat oleh pernyataan sesepuh desa di Buleleng. Sesepuh desa yang selamat dari musibah longsor di tahun 1970. Ia mengatakan bahwa Ayu Candrakasih dahulu adalah keturunan keluarga Kasta Kesatria yang terpandang di Buleleng. Seorang wanita yang sangat cantik pada masa itu.

Anak Agung Baskara merasa sangat terpukul. Airmata meleleh diantara kedua pipinya. Ia tidak menyangka akan berjumpa dengan ibu kandungnya dengan cara seperti ini.

Ayu Aryani yang mendengar berita itu langsung bertolak menuju Buleleng. Ia meninggalkan semua urusannya di Denpasar pada hari itu hanya untuk menemui lelaki yang sangat ia cintai.

"Yang sabar ya Bli. Ikhlaskan semuanya." ucap Ayu Aryani. Ia memegang erat kedua tangan Anak Agung Baskara.

"Terimakasih Ayu. Aku akan berusaha untuk kuat menghadapi semua ini." balas Anak Agung Baskara sambil memeluk erat wanita disampingnya itu.

"Aku akan menemanimu selamanya Bli. Aku mencintaimu." ucap Ayu Aryani lirih.

Dalam sepi engkau datang

Beri aku kekuatan untuk bertahan.

Kau adalah hatiku kau belahan jiwaku.

Seperti itu aku mencintaimu sampai mati.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun