"Bersabarlah anakku. Mungkin ini cobaan dari Ida Sang Hyang Widhi. Kita harus ikhlas menerimanya." ucap wanita tua itu sambil memeluk Anak Agung Baskara.
Hari berganti hari, kesedihan Dewi Kenanga makin menjadi. Ia tidak sanggup menghapus kenangan bersama suaminya dirumah itu. Tubuhnya terlihat kurus.
Sementara itu, gunjingan tetangga Dewi Kenanga makin meluas. Bahkan desa sebelah ikut mendengar kabar memutihnya rambut lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu. Banyak yang beranggapan bahwa ini merupakan sebuah kutukan.
"Biyang, minggu depan kita pindah. Kita akan kembali ke Buleleng. Tempat kelahiran Biyang. Biar aku yang mengurus semuanya." ucap Anak Agung Baskara malam itu.
Dewi Kenanga diam membisu. Kedua bibirnya tidak bergerak sedikitpun. Tatapan matanya kosong. Sekosong isi hatinya.
***
Diatas tanah peninggalan kedua orangtua Dewi Kenanga kini telah berdiri sebuah rumah yang sederhana. Sejak bencana longsor tiga puluh lima tahun yang lalu. Pemerintah mengadakan pendataan ulang. Sehingga hak milik atas pewaris tanah tidak hilang.
"Terimakasih adikku, kau telah menjaga harta warisan orangtua kita." ucap Dewi Kenanga kepada saudara lelakinya itu.
"Iya kakak, ini adalah hak milik kakak yang harus aku jaga. Sekarang kakak telah kembali. Sudah saatnya aku serahkan peninggalan orangtua kita ini kepada kakak. Tanggungjawabku telah selesai." jawab lelaki yang penuh kerutan di wajahnya itu. Sebuah udeng putih di kepalanya seakan kontras dengan rambutnya yang memutih.
Kehidupan Dewi Kenanga dan putranya mulai berubah. Dewi Kenanga terlihat lebih sehat. Sinar kehidupan terpancar di wajahnya. Kini kesibukannya adalah sebagai pembuat canang sari. Banyak tetangga dan orang -- orang yang memesan canang sari kepadanya setelah mereka melihat Dewi Kenanga bersembahyang di pelinggih depan rumahnya.
"Indah sekali canangsari ini, Bu."