Ayu Candrakasih berusaha mengatur napasnya. Didalam gubuk kecil pinggir sawah itu air ketubannya pecah. Dengan dibantu aji dan biyangnya, akhirnya ia berhasil melahirkan seorang bayi laki -- laki yang cukup sehat. Tangis bahagia Ayu Candrakasih bercampur aduk dengan jeritan pilu orang -- orang yang sedang berusaha menyelamatkan diri dari bencana longsor sore itu.
"Aji... Biyang... Akhirnya aku bisa melahirkan anakku." ucap Ayu bahagia.
"Iya anakku. Dia sangat tampan. Mirip denganmu." balas ibunya dengan suara parau akibat menahan tangis. Antara bahagia dan takut bercampur jadi satu.
Cok Raka hanya diam. Wajahnya kaku. Hatinya kini sekeras batu. Ia tidak mengakui bayi lelaki didepannya itu sebagai cucunya.
"Sampai kapanpun kau bukan cucuku." umpat Cok Raka dalam hati.
Suara deru tanah semakin keras. Cok Raka memerintahkan istrinya untuk membopong Ayu Candrakasih keluar dari gubuk.
"Tidak Aji, aku tidak bisa ikut kalian. Aku tidak sanggup berdiri. Kalian pergilah sendiri. Tinggalkan aku." ucap Ayu sambil mendekap putranya dengan selimut yang ia ambil dari dalam tasnya.
"Anakku, kamu harus kuat. Ibu yakin kamu pasti bisa melalui semua ini."
"Sudahlah istriku. Anak ini memang anak durhaka. Ia tidak pernah menuruti perintah kita. Lebih baik kita tinggalkan Ayu Candrakasih dengan bayi haram ini." teriak Cok Raka kepada istrinya. Namun teriakan itu tidak digubris oleh istri Cok Raka. Ia lebih memilih memeluk dan melindungi Ayu Candrakasih dan bayinya.
Setelah usahanya yang cukup keras dan diiringi tangis pilu kedua ibu dan anak itu, akhirnya Cok Raka berhasil melepaskan ikatan tangan mereka. Lalu ia menyeret tangan istrinya berjalan keluar gubuk. Namun tiba -- tiba arus tanah dan kerikil menghantam gubuk itu dengan keras. Keluarga Cok Raka tertimbun tanah longsor.
Beberapa jam berlalu. Penduduk yang selamat mulai meninggalkan desa mereka. Mengungsi sementara ke tempat yang lebih aman.