"Oh... Ini aku membuatnya sendiri." ucap Dewi Kenanga sambil tersenyum.
Sementara itu Anak Agung Baskara mulai menyibukkan diri dengan bergabung di Sanggar Tari Topeng Wayang Wong. Seminggu tiga kali ia berlatih tari wali itu. Sehingga perlahan -- lahan ia bisa menguasai gerakannya dengan baik.
Kini tidak ada seorangpun yang menggunjingkan rambut putih Anak Agung Baskara. Ia bisa menjalani hidupnya sedikit lebih tenang di Buleleng. Namun demikian, masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya yang membuatnya bertanya -- tanya hingga sekarang.
"Aku anak siapa...?"gumam Anak Agung Baskara dalam hati.
Pikiran itu mendadak singgah dalam kepalanya. Suatu sore sepulang dari sanggar tari, ia menyesap secangkir kopi Kintamani di teras rumahnya. Ia teringat ucapan Biyangnya malam itu.
"Iya benar... Kau bukan anak kandung Biyang."
"Jadi... Aku anak siapa Biyang?"
Kejadian beberapa minggu yang lalu terbayang jelas oleh Anak Agung Baskara. Malam itu Dewi Kenanga menyampaikan wasiat suaminya kepada putranya. Sebuah kotak kayu tua yang ia simpan selama puluhan tahun. Didalamnya terdapat sebuah topeng kayu tua. Topeng Sri Rama. Topeng kayu itu terbungkus dalam selimut yang dikenakan oleh bayi yang mereka temukan. Bayi yang kini tumbuh dewasa menjadi seorang lelaki yang tampan bernama Anak Agung Baskara.
"Berikanlah topeng ini kepada anak kita saat ia dewasa nanti." ucap Dewi Kenanga menirukan ucapan suaminya.
***
"Bli... Bagaimana kalau kita membuat sepasang topeng untuk kita. Kita pesan topeng Sri Rama dan Dewi Sinta. Pasti bagus." usul Ayu Candrakasih kepada Anak Agung Oka.