Luka macam apa ini?
Bagaimana aku menyembuhkan hatiku?
Bagaimana aku menghapus air mata yang terus mengalir?
Aku yang hendak duduk saat itu terpaku sejenak kemudian meneruskannya dengan kepura-puraan, tersenyum seperti biasanya dan bercerita hal-hal ringan seolah hatiku baik-baik saja.
Tenggelamkan kepedihanku pada dasar jurang, Tuhan!
Pada tahun itu, di bulan Desember aku mengunjungi tempatnya lagi. Aku berniat untuk mengunjungi tempat itu untuk yang terakhir kalinya.
Aku menyalakan salah satu komputer lalu membuka microsoft word, kemudian menulis surat yang ditujukan untuknya.
Desember 2019, saat aku menunggu Januari 2020
Setelah menulis surat ini sebagai pesan terakhirku, aku merasa tidak yakin akan bisa menghubungimu lagi. Ya, lagipula aku bukan siapa-siapa untukmu. Tapi jika kamu masih berbaik hati untuk membacanya, aku akan bersyukur pada Tuhan Yang Maha Baik.
Apa kamu tahu?, di usiaku yang menginjak tujuh belas tahun, itu adalah titik dimana aku ingin menghilang dari dunia, aku kehilangan arah untuk melanjutkan hidup, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Tujuh belas tahun itu, aku masih kelas dua sekolah menengah atas, aku yakin mungkin sesekali kamu pernah melihatku memakai seragam putih-abu untuk mengunjungi tempatmu. Jika orang lain pergi ke suatu tempat selalu bersama-sama dengan orang lain, temannya barangkali, maka aku itu sebaliknya.