Mohon tunggu...
Anirosse
Anirosse Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Aku suka membaca buku (lebih tepatnya novel), dan baru-baru ini suka menulis cerita genre drama, suspense/thriller, dan romance.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Selamat Tinggal

21 Juni 2022   08:45 Diperbarui: 21 Juni 2022   08:59 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di bulan Oktober aku bertemu dengannya pertama kali, sangat canggung sekaligus malu. Namun semua itu berubah setelah pertemuan kedua kemudian seterusnya. Akan aku ceritakan bagaimana itu bisa terjadi bahkan setelah enam tahun lamanya.

Hari itu adalah yang tersibuk dari semua hari di sepanjang tahun 2016. Aku yang masih kelas satu sekolah menengah kejuruan mendapatkan tugas membuat skenario naskah drama untuk pentas seni kelas.

"Ann, kamu sudah buat naskahnya belum?, Pak Aris kemarin nanyain itu ke aku!" tanya Mona, teman sekelasku yang menjadi pemimpin grup drama kelas sepuluh.

Aku yang belum membuat naskah drama hanya bisa tersenyum kecil kemudian menggelengkan kepala.

"Belum," jawabku singkat.

"Aku tunggu sampai hari Jumat ya, soalnya waktu buat pentas kan sebentar lagi. Kalau misalnya nggak sanggup, cerita aja supaya yang lain bisa gantiin tugas kamu!" tegas Mona.

Aku yang tahu kalau Mona sedang menahan kesal hanya diam kemudian mengangguk tanda setuju.

* * *

Oktober 2016

Pukul satu siang aku bersiap-siap pergi ke warnet. Memakai rok hitam, kaos berwarna hitam, dan jilbab hitam. Jangan kaget, aku memang sangat suka warna hitam bahkan pakaian dalam pun aku selalu memakai warna hitam.

Lima belas menit kemudian aku sampai, aku segera memarkirkan motor di depan warnet. Kesan pertama datang kesana adalah berisik. Banyak anak-anak yang sedang main game sekaligus memainkan musik yang sangat keras.

Aku yang tidak suka kebisingan hendak memutuskan untuk pergi, tapi tugas kelas yang menjadi tanggung jawabku seolah menyeret kaki ini untuk tetap lanjut melangkah mendekati penjaga warnet.

Ini pertama kalinya aku memasuki ruangan seperti ini. Aku segera memilih salah satu komputer yang letaknya berada di pojok ruangan. Aku duduk sambil celingak-celinguk mencari sesuatu.

"Tekan tombolnya!" seru seseorang, aku lantas menoleh dan mendapati penjaga warnet menunjuk sesuatu ke arah sesuatu entah apa namanya. Kemudian aku menekan keyboard, berharap komputernya menyala. Aku tidak bisa menyalakan komputer dan malah menekan banyak tombol keyboard berharap komputernya segera menyala.

"Tombol yang mana?" tanyaku padanya, tapi kebisingin tempat itu menyamarkan suaraku. Dengan gerakan tangan laki-laki penjaga warnet itu memberikan isyarat pada salah satu anak yang sedang bermain game untuk membantuku. Dan akhirnya komputernya menyala setelah tombol power di cpu-nya ditekan.

Anak-anak yang sedang bermain game tertawa kecil menertawakan, mereka lincah sekali memegang mouse dan menekan tombol-tombol keyboard dengan pandangan melihat layar monitor. Sejujurnya aku merasa speechles.

Hari pertama ke tempat itu tidak ada yang benar-benar istimewa. Namun saat hendak pulang dan selesai mencari naskah drama di internet dan mencetaknya, mataku teralihkan dengan berbagai buku novel yang berjejer rapi di sisi kanan dan kiri warnet. Ada dua rak dengan empat susun buku. Rata-rata buku novel tebal yang membuatku berhenti sejenak untuk membaca judul-judulnya dari arah samping. Kemudian aku pergi dari sana.

* * *

November 2016

Aku bukan orang yang senang bepergian tapi aku juga tidak suka berdiam diri di rumah, entah apa yang aku inginkan namun hari-hari yang kulalui hanya berisi dengan sekolah, tugas, ekstrakurikuler, dan hal-hal yang berbau buku dan film.

Saat aku baru saja selesai mandi di hari Minggu, aku tidak tahu harus melakukan apa. Berdiam diri di rumah bukanlah hal yang bagus, sepanjang hari aku akan disuruh ini dan itu oleh kakak perempuanku yang cerewet. Dan aku memutuskan untuk pergi ke warnet itu lagi.

Kali ini aku tidak se-kaku hari pertama datang, aku mulai membuka laman google dan membaca banyak artikel di sana, kemudian menonton youtube beberapa menit. Sekitar satu jam berada disana aku selesai dan hendak membayar.

"Berapa harganya?" tanyaku dengan muka serius, berbeda dengan penjaga warnet itu yang tersenyum ramah dan mengatakan kalau harganya tiga ribu rupiah.

"Apa anda pernah membaca semua buku ini?" aku memberanikan diri bertanya, dan laki-laki itu menjawab sembari tersenyum.

"Sebagian sudah dibaca dan sebagian lagi hanya buku koleksi untuk di sewakan," jelasnya, dan itu membuatku semakin penasaran.

"O-oh begitu. Apa saya juga boleh meminjam?"

"Boleh, silahkan!" pungkasnya.

Aku segera menuju rak buku itu dan mencari buku yang aku suka. Bukunya tebal-tebal dan terlihat usang, namun meskipun begitu kualitas bukunya tetap bagus karena original.

Sekitar sepuluh menit memilih buku, aku memutuskan membawa novel-psikologi, aku jatuh hati saat membaca bagian blurb-nya.

"Saya ingin meminjam buku ini!"

Aku menyodorkan bukunya ke atas meja yang sudah dipenuhi berbagai macam benda. Ada stapler, penjepit kertas berbagai ukuran, buku, gunting, dan setumpuk kulit kacang. Aku yang terlalu memperhatikan mungkin membuatnya tidak nyaman, dia langsung segera mengemasi barang-barang itu.

"Syaratnya harus menjadi member terlebih dahulu." Aku yang belum mengerti hanya mengernyitkan dahi.

"Maksudnya?"

"Bayar sepuluh ribu untuk menjadi member, kemudian baru bukunya boleh dibawa."

Buseet. Hati aku terlonjak kaget, bukan apa-apa tapi waktu itu aku hanya membawa uang sepuluh ribu, tiga ribu sudah dibayarkan untuk rental komputer.

Dengan nada kesal aku menjawab ucapannya, "maaf, mungkin pinjamnya nanti-nanti saja. Saya baru ingat kalau akhir-akhir ini saya sedang banyak tugas sekolah!"

Kemudian dengan dagu terangkat aku membawa kembali bukunya dan meletakkannya ke tempat semula. Kemudian menganggukkan kepala padanya tanda permisi.

Pada saat keluar mataku tertuju pada baliho yang terpasang di bagian samping. Ternyata selain bisa rental komputer dan buku, disini juga bisa beli film. Aku pun memarkirkan motor dan pergi dari sana.

* * *

Desember 2016

Bulan Desember adalah waktunya hujan menyambangi bumi. Aku yang sedang membaca buku melihat hujan yang jatuh dari atas genteng. Aku terpaku beberapa saat ketika melihat kucuran air hujan yang sangat banyak. 

Teman-teman sekelas sedang bergosip di sudut ruangan, mereka membawa kursi masing-masing dan memposisikannya dengan arah melingkar. Dari yang aku dengar mereka sedang mengobrol seputar selebriti, serial yang sedang booming, dan cerita-cerita horor mengenai sekolah kami.

Ini akhir pekan, sampai di rumah aku pasti akan kesepian. Begitulah pikiranku saat hujan turun. Aku tidak suka hujan, aku tidak suka beceknya jalanan, dan aku tidak suka dinginnya suhu ruangan karena hujan. Jadi tolong berhentilah.

Sampai di rumah aku segera membuka seragam sekolah yang basah, kemudian menggantinya dengan pakaian hangat.

Sekitar pukul dua siang langit berhenti hujan, namun keadaannya masih mendung dan terlihat suram. Aku berdiam diri di dalam kamar, melihat-lihat buku pelajaran yang berjejer rapi di atas lemari pakaian. Aku menimbang-nimbang atas kegiatan apa yang akan aku lakukan. Dan ya, aku memutuskan untuk pergi ke warnet itu lagi.

Setelah sampai aku membuka sepatu kemudian meletakkannya di bagian sudut. Aku merapikan pakaian dan melihat posisi hijab.

"Hai!" sapaku, penjaga warnet itu seperti biasanya, dia tersenyum ramah kemudian mengangguk kecil mempersilahkanku untuk memilih salah-satu komputernya.

Tiga puluh lima menit aku membaca artikel di internet, aku yang tidak serius membaca hanya menghela nafas pelan. Tahu bahwa aku sedang membuang-buang waktu dan uang. Kuputuskan untuk menutup komputer kemudian hendak membayar.

"Saya lihat, disini bisa beli film ya?"

Aku tahu, pasti itu film bajakan.

"Iya, bisa!" jawabnya sembari mengangkat pandangannya melihat ke arahku.

"Berapa harganya?"

Aku berusaha berbasa-basi agar obrolannya tidak berhenti disana.

"Tiga ribu per film, dan sepuluh ribu per empat film."

Wah, gila murah banget. Aku yang waktu itu membawa uang lima belas ribu rupiah memutuskan untuk membeli satu judul film. Waktu itu aku membeli film animasi tinker bell.

Setelah aku memberikan kartu memori, aku hanya tinggal menunggu sampai prosesnya selesai. Dalam hati aku bersyukur prosesnya lama, karena itu berarti aku tidak perlu pulang ke rumah lebih cepat.

Lima belas menit aku berdiri menunggu prosesnya selesai, dari sudut mata aku bahkan bisa melihat anak-anak yang sedang bermain game memperhatikanku dengan aneh.

"Kalau mau, kamu boleh menunggu sambil membaca buku!"

Laki-laki penjaga warnet itu tersenyum dan mengarahkan pandangannya pada buku-buku novel di arah depan.

"Apakah harus membayar?"

Aku tidak mau kalau harus membayar, kan tanggung kalau misalnya sedang asyik membaca buku kemudian harus pulang karena proses menyalin film-nya selesai.

"Gratis. Jika membaca disini maka tidak perlu membayar."

Lagi-lagi laki-laki itu tersenyum ramah, aku masih mengatupkan bibir sedikit tidak percaya dengan yang kudengar.

"Bagaimana jika aku berdiam diri disini sepanjang hari untuk membaca buku? apakah tetap gratis?"

Aku berusaha menatap matanya kali ini, berusaha mencoba menghilangkan rasa gugup saat harus berbicara dengan orang lain.

"Iya, kamu boleh membacanya gratis."

Aku hendak membalas tersenyum dan melangkahkan kaki ke arah buku-buku tebal itu. Tapi ucapan dia berikutnya menghentikan gerakan kaki yang sudah melangkah.

"Prosesnya sudah selesai."

Aku memicingkan mata karena merasa kesal. Laki-laki itu menyerahkan kartu memori, dan karena cuacanya yang sudah sangat mendung aku memutuskan untuk membaca novel itu lain kali saja.

* * *

Januari 2017

Dua ribu tujuh belas artinya aku sudah kelas sebelas. Jujur saja penambahan usia itu membuatku sedikit was-was tentang masa depan yang akan dihadapi. Masalah orang dewasa satu persatu seolah menampakkan diri meminta untuk diselesaikan secepat mungkin.

Bulan Desember kemarin adalah persiapan praktek kerja industri. Dan di bulan Januari ini aku sudah memulai prakerin di salah satu perusahaan. Tidak terlalu jauh, jaraknya hanya tiga puluh menit dari rumah dengan mengendarai sepeda motor.

Kegiatan ini akan berlangsung selama tiga bulan, dan yang paling ingin aku beritahukan padamu adalah, tempat prakerin ini berdekatan dengan warnet yang sering aku kunjungi.

"Ann, kata Bu Marta buat laporannya dari bulan ini saja supaya tidak pusing pas mau sidang nanti!"

Yena menemuiku untuk memberi tahu itu, kemarin dia bilang kalau dia sangat ingin aku membantunya membuat laporan. Padahal jelas, kami diposisikan di bagian yang berbeda. Dia juga menanyakan judul menarik apa yang bagus untuk laporannya.

"Akan aku pikirkan dulu, saat ini aku mempunyai tugas membuat laporan pelanggan oleh atasanku. Dia ingin laporannya selesai dalam satu minggu," jelasku pada Yena.

Tapi sepertinya dia tidak puas dengan jawabanku. Dia melengos pergi dengan muka masam.

Jam empat aku keluar dari kantor tempat prakerin, kemudian aku teringat akan laporan yang harus dibuat, panduannya sudah ada bahkan sebelum praktek kerja industri ini dilaksanakan.

Lagi-lagi aku memutuskan untuk pergi ke tempat itu. Sore hari ditambah dengan suasana mendung, lengkap sudah ciri-ciri akan datang hujan.

"Permisi!" sapaku pada penjaga warnet itu dan lagi-lagi ditanggapi dengan senyum khas-nya, "saya ingin dibuatkan panduan laporan prakerin, bisa selesai sore ini juga?" kali ini aku menjelaskan maksud kedatanganku dengan baik.

"Boleh, tapi setiap sekolah itu mempunyai aturan sendiri perihal laporan," jelasnya.

Aku tahu hanya saja ini digunakan untuk referensi tambahan, semakin banyak referensi maka semakin banyak pula tambahan inspirasi. Begitulah lugunya aku saat masih sekolah.

Setelah pertemuan di bulan Januari, aku menjadi lebih sering mengunjungi tempat itu. Kau tahu sikap laki-laki penjaga warnet itu?, entah kenapa rasanya sangat menarik perhatian.

Aku tidak akan mengatakan kalau dia orang yang tampan, berpostur kekar, dan muda. Tentu saja bukan itu yang menarik perhatianku, namun sesuatu yang lain yang menurutku itu sangat istimewa.

Saat dia tengah mengetik sesuatu, pandangannya melihat fokus pada layar monitor, dan aku yang berdiri di depannya memperhatikan setiap gerak tangan maupun kedipan matanya.

* * *

Februari 2017

Aku sering menonton film dengan tema bisnis atau perusahaan, aku selalu membayangkan menjadi seorang wanita karir dengan tingkat percaya diri level atas. Nyatanya tidak berjalan sesuai yang kuinginkan, aku tidak sanggup berada di tempat itu. Aku yang tidak suka berinteraksi dengan orang lain diposisikan dalam bagian layanan pelanggan. Aku tidak sanggup tiap waktu berhadapan dengan orang berbeda.

Bulan Januari sudah kulewati, dan di bulan Februari ini aku merasa semakin tertekan berada dilingkungan baru. Berbeda dengan Yena yang sudah sangat akrab dengan atasannya di bagian arsiparis, mereka sering memasak dan istirahat bersama sekedar melepas penat.

Pertanyaan itu datang lagi, pertanyaan yang sejak dulu mengikutiku dari belakang.

Kenapa aku tidak bisa seperti Yena?

Kenapa aku tidak bisa dekat dengan orang lain?

Kenapa aku merasa canggung setiap berada dekat orang lain?

Kenapa aku merasa selalu sendirian, bahkan di tengah banyak orang?

Tapi baiklah, kehidupan tidak berputar pada persoalan pekerjaan saja. Lagi pula aku melakukan prakerin hanya karena tugas sekolah, bukan untuk mencari teman di perusahaan. Aku masih giat pergi ke kantor tiap pagi, namun semakin hari pekerjaan yang terus menumpuk seakan membebani pikiranku. Tidak ada yang memaksaku untuk menyelesaikan tugas itu dalam waktu singkat, tapi aku tidak tahu dari mana perasaan obsesif pada pekerjaan itu muncul. Jam delapan pagi aku sudah standby di depan komputer, aku melewatkan jam istirahat atau makan siang, dan aku pulang di jam lima sore. Aku menambah waktu prakerin satu jam lebih lama, semua itu aku lakukan untuk mendapatkan nilai yang optimal, meyakinkan diri sendiri bahwa nilai yang bagus akan memperbaiki semua keadaanku saat ini.

Sabtu dan Minggu adalah hari libur, aku menggunakannya untuk membuat laporan dan pergi ke warnet itu lagi.

"Hai!"

Lagi-lagi kalimat itu yang kuucapkan pertama kali pada penjaga warnet, di bulan ini aku lebih sering pergi ke tempat itu, dan semakin sering kesana ada sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan.

"Aku ingin membeli film!"

Aku menggunakan alasan ini lagi, tetapi kadang-kadang alasan lain aku gunakan juga. Seperti pertanyaan; "Buku mana yang paling bagus untuk dibaca?, dan bagaimana caranya melakukan ini dan itu?"

Tiap minggu aku selalu datang kesana dan di antara banyaknya kesempatan untuk bicara, aku selalu memilih untuk diam. Laki-laki itu sangat aneh, aku tidak tahu apakah pernah menemukan orang seperti itu atau tidak. Ada banyak hal yang ingin kutanyakan, namun bila pertanyaan itu ku utarakan, apakah akan ada jawaban yang bagus atau sesuatu yang membuatku mundur dari setiap langkah yang aku susun?

"Sebenarnya aku tidak mempunyai banyak teman!" ungkapku tiba-tiba.

Oh Tuhan, ada apa denganku? kenapa bibir ini bergumam?, Laki-laki itu yang awalnya fokus pada layar komputer tiba-tiba membalikkan tubuhnya dan melihat ke arahku yang duduk di samping kanannya.

"Cobalah untuk tersenyum, lihatlah dirimu di depan cermin. Kemudian lihat bagaimana ekspresimu. Kendalikan itu!"

Aku kira dia akan bertanya untuk memastikan apa yang ia dengar, namun ternyata dia menjawabnya tanpa bertanya lagi.

"Aku mempunyai kesulitan ketika berbicara dengan orang lain. Bahkan sejak sekolah dasar, aku tidak pernah mempunyai teman dekat."

Aku berusaha tersenyum dan menganggap itu semua hanyalah obrolan lucu, namun ternyata dia orang dengan perasaan yang lebih peka daripada yang aku kira.

"Latihan saja dengan menyapa dengan benar terlebih dahulu. Mengucapkan salam sambil tersenyum, contohnya!"

Apa selama ini aku tidak pernah terlihat tersenyum di matanya?. Aku terdiam memikirkan jawabannya, dia sendiri meneruskan aktivitasnya mengetik pekerjaan yang aku beri. Sesekali aku melihat caranya mengetik, keseriusannya dalam bekerja, dan sikap formalnya itu.

Sejauh ini aku tidak tahu siapa namanya, usianya, dan statusnya. Namun entah kenapa sikapnya selalu saja menarik perhatianku.

Aku yang biasanya mengunjungi tempat itu ketika mempunyai tugas, kali ini berbeda. Mencari alasan untuk bisa ke tempat itu bukanlah hal yang sulit; membeli film, meminjam buku, rental komputer, semua itu aku ulang berkali-kali. Semakin sering datang kesana frekuensi pertemuanku semakin tinggi dan itu menciptakan binar pada mataku, getaran pada jantungku, dan ketidakmampuan mengungkapkan itu benar-benar membuatku beberapa kali menghembuskan nafas kesal.

Dia orang dewasa dengan perawakan besar dan tinggi, berkacamata minus, dan mempunyai rambut ikal. Semua itu entah sejak kapan membuatku terpukau. Sikapnya terlihat mengagumkan di mataku. Aku tidak tahu banyak tentangnya begitupun sebaliknya, dia mungkin tidak pernah tahu kalau aku mempunyai rasa seperti ini dalam hatiku. Dia mungkin hanya menganggapku pelanggan biasa, seorang remaja dengan berbagai permasalahan kecil, atau seorang gadis introvert yang kesepian.

Tiap hari sepanjang waktu wajah dan caranya berbicara mengusik kepalaku, semua itu terus berputar-putar memenuhi setiap ruang dari bagian terapuh diriku.

Tuhan, apa aku jatuh hati?

Setiap kali mataku melihatnya aku semakin mengaguminya, aku terus berpikir bagaimana caranya terus mempunyai bahan obrolan yang panjang. Dia itu orang dewasa, apakah dia tidak tahu aku mengaguminya?, laki-laki itu bersikap biasa saja setiap aku menceritakan hal-hal yang aku suka.

Sejak dua ribu tujuh belas aku terus menerus datang ke tempat itu; saat merasa bahagia, sedih, maupun kesepian, tempat itulah yang dijadikan tempat mengadu. Buku-buku yang terpajang seolah menjadi saksi bagaimana aku yang frustasi mengunjungi tempat itu saat hujan deras. Aku ingin menangis namun menahannya dengan senyuman, semakin tenggelam dalam kesedihan maka senyum ku semakin dalam, tatapanku semakin mendamba, dan hatiku semakin terpaut padanya. Semua itu terjadi selama tiga tahun, waktu yang cukup lama bukan?.

Aku yang biasanya menahan senyum, berubah setelah mengenalnya. Senyuman selalu terlukis pada bibirku. Aku tidak tahu kenapa senyuman selalu semerbak menghiasi wajahku setiap bertemu dengannya.

Aku berharap dia tahu apa yang ada dalam hatiku, aku berharap dia mengerti apa yang kuinginkan, tapi semua itu berubah pada suatu hari pada penghujung tahun dua ribu sembilan belas.

Aku yang sudah tahu namanya, dikejutkan dengan perubahan sikapnya yang seolah menolak kehadiranku. Dan satu hal yang kuingat, laki-laki itu ternyata sudah menikah, dibelakang tempatnya duduk ada pakaian bayi yang terjemur, aku memejamkan mata menahan perasaan yang membuncah.

Sakit macam apa ini?

Luka macam apa ini?

Bagaimana aku menyembuhkan hatiku?

Bagaimana aku menghapus air mata yang terus mengalir?

Aku yang hendak duduk saat itu terpaku sejenak kemudian meneruskannya dengan kepura-puraan, tersenyum seperti biasanya dan bercerita hal-hal ringan seolah hatiku baik-baik saja.

Tenggelamkan kepedihanku pada dasar jurang, Tuhan!

Pada tahun itu, di bulan Desember aku mengunjungi tempatnya lagi. Aku berniat untuk mengunjungi tempat itu untuk yang terakhir kalinya.

Aku menyalakan salah satu komputer lalu membuka microsoft word, kemudian menulis surat yang ditujukan untuknya.

Desember 2019, saat aku menunggu Januari 2020

Setelah menulis surat ini sebagai pesan terakhirku, aku merasa tidak yakin akan bisa menghubungimu lagi. Ya, lagipula aku bukan siapa-siapa untukmu. Tapi jika kamu masih berbaik hati untuk membacanya, aku akan bersyukur pada Tuhan Yang Maha Baik.

Apa kamu tahu?, di usiaku yang menginjak tujuh belas tahun, itu adalah titik dimana aku ingin menghilang dari dunia, aku kehilangan arah untuk melanjutkan hidup, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Tujuh belas tahun itu, aku masih kelas dua sekolah menengah atas, aku yakin mungkin sesekali kamu pernah melihatku memakai seragam putih-abu untuk mengunjungi tempatmu. Jika orang lain pergi ke suatu tempat selalu bersama-sama dengan orang lain, temannya barangkali, maka aku itu sebaliknya.

Aku jarang sekali pergi kemanapun bersama orang lain, tahu sebabnya apa?, karena aku tidak punya teman dekat. Kalau ini diceritakan dengan panjang lebar, aku ragu bisa menuliskannya dalam sepuluh lembar halaman kertas hvs ukuran A4. Ini bagian menyedihkan dalam kehidupanku yang sudah berjalan hampir 22 tahun.

Aku akan kembali pada topik awal pembicaraan. Maaf, karena aku tidak mahir mengungkapkan sesuatu dalam satu kalimat padat dan jelas. Aku orang bodoh yang sangat sok tahu, suatu hari di tahun 2016, aku mengunjungi tempatmu untuk membuat naskah drama.

Meskipun tidak punya teman, aku cukup bertanggung jawab dalam masalah tugas dan kewajiban kelas. Waktu itu, aku tidak bisa menghidupkan komputer, bukankah terdengar lucu bagi siswa menengah atas? itu ada cerita lainnya.

Aku bisa melihat wajahmu dan wajah anak-anak yang menertawakanku karena terlihat konyol, bukankah itu sangat memalukan?.

Tapi jika diingat sekarang, itu sangat membahagiakan. Menjadi hiburan tersendiri saat aku merasa jenuh dan kesepian.

Aku masih mengingat wajahmu, namun disisi lain aku merasa tidak senang dengan orang yang terlalu ramah dan banyak tersenyum. Jika ada mesin waktu semacam punyanya doraemon, aku ingin meminjamnya sebentar kemudian melihat kembali masa itu.

Aku akan memberitahumu kalau naskah yang kubuat itu, membawa kebanggaan sekolah saat dipentaskan di depan tamu. Orang lain bertepuk tangan, pihak sekolah dan teman-temanku juga ikut bahagia. Sayangnya mereka melupakan aku yang hampir sepanjang malam memikirkan naskah itu.

Sejak kunjungan pertama, aku merasa nyaman berada di tempat itu karena dipenuhi buku-buku yang tebal. Mereka menggoda sekali, seolah memintaku untuk membacanya. Aku senang dengan tempat itu, yang belakangan sangat sepi pengunjung.

Dengan surat ini, aku ingin mengatakan kalau setelah kunjungan kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya, entah kenapa aku selalu merasa perlu untuk datang kesana saat aku merasa sedih dan ingin melarikan diri dari rumah.

Aku menyisihkan uang jajan yang tidak seberapa untuk sekedar melarikan diri, aku suka suasananya yang luas, dan tidak ada yang mengenalku disana.

Apakah aku termasuk pelanggan tetap yang sangat rewel? atau seorang pelanggan tertutup yang misterius?

Suatu ketika aku mempunyai tugas, aku datang padamu dan meminta tolong. Aku memberanikan diri untuk bertanya 'apakah boleh duduk di sampingmu atau tidak?', kemudian bertanya hal lain seputar apa, mengapa, dan bagaimana.

Aku terus bertanya padamu, dan setiap jawaban yang kamu utarakan, sejak itu aku menyadari sesuatu, kamu tidak ubahnya seperti orang dewasa yang kesepian. Bagiku itu menyedihkan.

Setelah aku naik kelas, tepatnya di tahun 2017 aku menyadari banyak hal. Tentang kehidupan, kepribadian, lingkungan sosial, pertemanan, percintaan, dan kesedihan yang tumpah dari hatiku yang sempit.

Di tahun itu, aku kehilangan banyak hal, aku kehilangan diriku sendiri yang penuh semangat, ceria, percaya diri, dan juga cerdas dalam masalah perasaan.

Aku tahu pasti kalau saat itu aku sudah mulai goyah dengan pendirian, orang-orang menjauhiku yang sangat tertutup, nilaiku buruk dan yang paling buruk diantara yang lain, aku kehilangan kepercayaan orang-orang disekitarku. Yang ada, aku merendahkan diri membuatkan tugas mereka untuk mendapat perhatian.

Rasanya, setiap detik yang kulewati begitu menyedihkan, aku tidak lagi mampu terbangun di pagi hari untuk berangkat ke sekolah, aku tidak mampu mengerjakan tugas mudah sekalipun, guru pelajaran matematika marah-marah atas tindakan bodohku yang menuruti teman satu kelas. Mereka memintaku untuk membatalkan ulangan, aku yang membutuhkan dukungan mereka lalu menurutinya.

Aku bodoh, kacau, menyedihkan, dan sangat buruk dihadapan orang lain.

Tiap hari aku memohon agar aku bisa pergi ke suatu tempat dimana hanya ada aku disana dengan taman yang dipenuhi bunga-bunga indah dan air terjun yang deras.

Aku ingin pergi kesana sendirian, aku ingin menghilang dari kehidupan orang lain, aku ingin semuanya berjalan sesuai dengan apa yang aku mau.

Hei, seandainya kamu tahu akan hal ini, apakah kamu akan merasa kasihan atau perhatian?

Aku ingin menceritakan semuanya padamu tentangku, tapi aku tahu saat ini bukanlah hal penting untuk itu.

Sekali lagi, aku bukan apa-apa, aku bukan siapa-siapa.

Aku membuat surat ini untukmu, untuk yang terakhir kalinya. Kemudian bila surat ini sampai, tolong ucapkan dalam hatimu kalau aku tidak benar-benar sendirian.

Waktu itu aku mengagumimu, dan di usiaku yang ke 22, aku ingin mengucapkan selamat tinggal.

Aku menekan tombol ctrl+a kemudian tombol backspace, lalu sekali lagi aku kembali mengucapkan kalimat itu. Selamat tinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun