Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gemini Syndrome, Episode Berdansa di Kota Romantis, Bagian Kedelapan

1 Juli 2024   16:13 Diperbarui: 1 Juli 2024   16:33 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rikup Type 97 -sumber Fot: https://all-andorra.com/rikuo-type-97

Pasir Kaliki, Bandung 19 Maret 1957

"Widy!  Ratuku, kereta kencana sudah siap!" seru Syafri di halaman rumah.  Dia sudah siap melarikan motor gandeng  berwarna biru langit di depan rumah orangtua Syafri di Pasir Kaliki.

Widy sudah mengenakan celana parasut terkejut bukan main dengan kemaja kotak-kotak.  Dia tidak menyangka bahwa ke cikampek dengan kendaraan itu. Begitu juga Daus keluar, bersama Letnan Zainal. Keduanya menginp di rumah orangtua Syafri.

"Gilo Wahang! Dari mana Wahang dapek itu Rikuo Type 97?"  tanya Daus. "Itu kendaraan militer Jepang? Warnonya itu biru cerah, selero wahang?"

"Hambo punyo, tetapi jarang dipakai, kecuali jalan jauh. Belinya mencicil dari orang Jepang waktu kuliah sambil nulis lepas.  Pemiliknya memang orang Jepang, Mister Takeshi Simura kasihan sama aku suka berjala jauh.  Dia pemilik bengkel di kawasan Pasabaru.

Lalu waktu aku ke Bandung, aku minta dia jagain sampai aku ambil. Tapi waktu di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan kemarin, Takeshi mengantarkan motor itu ke kantor karena dia mau pulang ke Japang. Belum lunas sih...tetapi Takeshi menganggapnya lunas sebagai hadiah pernikahanku dengan kamu! Karena sempat datang!

Widy tergelak. "Aku kira Kang Jaka, ngasih tugas apa serius benar! Tidak tahunya kasih tahu ada motor gandeng!"

"Informasi juga. Tetapi itu surat dari Takeshi."

Syafri memberikan helem pada Widy dan dia juga.  Zainal dan Daus mengelilingi Rikuo Tipe 97. "Masih kuat ya?"

"Sudah diservis di bengkel dengan onderdil baru.  Kini bensin full tank plus satu jerigen bensin," jelas Syafri.

Ibu Syafri keluar bersama Etek Salma, dia terperanjat.  Bapaknya juga ikut. "Ndak bahayo itu!"

"Ya, bahayolah Maetek!  Tetapi mereka sudah gadang. Mudah-mudahan tidak dicegat gerombolan.  Tetapi kalau crossboy saja pakai motor mau balapan dengan ini ya..lewat! Mana bisa motor apalagi sepeda crossboy mengejar!" kata Daus.

"Ndak sarapan dulu?"

"Tadi sudah sama roti  setelah Subuh sebelum aku ambil motor.  Widy juga, maaf tidak membangunkan Ibu," kata Syafri.

Widy di bagian kabin  gandengan.  Ibu Syafri kembali ke rumah membawa bungkusan makanan dengan rantang dan termos berikut dua gelas kaleng.

"Ini isinya, Nasi telur Balado, pakai sayur asam," kata ibunya.

"Terima kasih Bu!" Syafri dan Widy mencium tangannya. 

Keduanya segera pamit.

"Ini tugas terakhir Yaaa!!" kata Bapaknya.

"Iyoo!"

Kemudian Zainal berbisik pada Daus. "Cari Bung Herland, di markas. Susul mereka. Aku harus bersiap kembali ke Sumatera Barat."

 

Daus mengangguk.

Jatiluhur, pukul 8.30

Rikuo Type 97  itu sudah melaju di jalan yang sepi.  Dalam waktu setengah jam mereka sudah keluar Bandung.  Widy tertawa senang. "Kamu selalu buat kejutan!"

"Kapan-kapan Ajeun, yang buat kejutan!"

Widy tak menjawab.  "Kita lewat mana?"

"Kawasan yang kabarnya mau dibangun Waduk Jatiluhur!"

"Tahun ini dibangun. Pas pada era Perdana Menteri Djuanda!" terang Syafri.

"Berapa desa bakal ditenggelamkan?"

"Belasan desa kalau tidak salah. Tetapi mereka semua dapat ganti rugi kok!"

Sekitar satu jam Rikuo Type 97 tiba di bukit lokasi yang akan dibendung, Sungai Citarum di antaranya.  Widy mengamati dengan takjub. "Kok, aku baru tahu Kang! Kalau tahu akan jadi tempat jelajah aku!"

Mereka beristirahat minum dan Syafri mengambil catatannya membuat sketsa. Widy membuat kopi manis dari termos yang dibawa dengan dua gelas kaleng.

"Aku juga mau kerja Kang, mau buka kursus tari dan angklung buat anak-anak SD," kata Widy.

"Syok Atuh!  Aku suka perempuan mau maju. Kan sepakat kamu juga kuliah! Kalau nanti kamu hamil tetap kuliah dan kita sama-sama mengasuh anak, kan bisa diatur!"

Widy senang dan memeluk Syafri dan mengecup pipinya. "Aku suka kamu tuh sopan mengajak aku berjima pun pakai bilang punten!  Aku suka laki-laki yang menghormati perempuan seperti ayahku!"

Syafri senang. Widy kemudian duduk makin merapat. "Aku sudah cerita soal Hardja dan aku juga pernah punya pacar sebelum dia waktu kelas III SMP. Tetapi yang mengambil kehormatanku hanya Hardja. Kamu menerima saja!."

"Masa lalumu bukan milikku!" Syafri tetap santai.

"Jujur, ya? Kamu pernah punya cinta lain nggak? Aku terima kok?" tanya Widy menyelidik.

"Namanya Naila Husna. Dia anak seorang saudagar  di  kawasan Cikini dekat kost aku. Aku kerja sambilan sebagai kurir mengantar barang dari toko makanan milik ayahnya."

"Nggak bakal direstui ya?"

"Oleh ayahnya iya, Ayahnya mau sesama saudagar atau keturunan yang sama.  Tetapi kakaknya mendukungku.  Namanya Fahra setelah tahu aku kuliah di Fakultas Sastra.  Dia juga tahu aku mengenalkan Naila ke  Usmar Ismail.  Dia ingin kerja di Perfini  juga.  Siapa tahu jadi bintang film. Ya, aku bantu. Dia  bisa kerja di sana. Jadi kami dekat! Fahra kakak kelasku di Fakultas Sastra, beda jurusan."

"Pernah menciumnya?"

"Nggak, tetapi nyaris tergelincir lebih jauh.  Ketika Naila minta aku mengajarkan Bahasa Prancis, dia nekat datang ke kos ku berapa kali.  Suatu ketika tidak sengaja, kaki kami bergesekan?"

"Terus?"

"Aku bisa menahan diri. Padahal ingin.  Matanya tajam menggoda.  Namun aku berpikir betapa gemparnya kampus aku, keluarga dia, keluargaku, kalau sampai terjadi."

Widy kemudian menghadap wajah Syafri. "Kejadiannya mirip di Sasak Bereum. Cuma kamu juga bisa menahan diri?"

"Presentasenya beda. Kalau sama Naila keinginannya sampai 70 persen kalau sama kamu sudah 90 persen."

Widy tergelak. "Makanya aku minta Kang Angga, merayu keluargamu dan keluargaku agar cepat menikahkan kita."

"Lalu putusnya bagaimana?"

"Ya, putus baik-baik.  Aku ditarik ke Bandung begitu lepas kuliah. Ibuku sudah mencium hal itu. Naila itu sudah tidak peduli sama moral.  Rupanya ayahnya pernah selingkuh dan dia melihatnya, juga Farah."

"Naila mau balas dendam?"

"Iya, Dia bukan sama aku saja pacaran, sama orang Belanda juga ada, sama anak Fakultas Ekonomi  temanku juga. Dia tidak peduli tidak akan mendapat warisan karena perilakunya,  dia bisa mencari uang sendiri.  Dia tidak mau dijodohkan oleh ayahnya apalagi sebagai istri kedua calon ayahnya. Fahra lebih parah, dia malah lari dengan laki-laki pilihannya, pas dia lulus. Entah di mana sekarang."

Widy mendorong Syafri hingga terlentang di rumput. "Kamu suka perempuan yang kuat dan mandiri.  Kamu ingin berlindung juga sama perempuan?" Widy menebak. "Kamu itu menginginkan sisi keliaranku, ya?"

Syafri mengangguk. "Mungkin itu laki-laki Gemini? Seperti Bung Karno, sudah punya Ibu Fat masih mau Ibu Hartini."

"Naila bintangnya apa? Aquarius juga seperti aku yang membuat laki-laki Gemini jinak dengan airnya yang sejuk?"

"Tidak. Perempuan itu dari rasi yang paling berbahaya untuk laki-laki Gemini?"

"Oh? Apa?"

"Scorpio, dengan kedua sapitnya dia menangkap dua sisi Gemini," cetus Syafri santai.

"Dua sisi kamu tertangkap kedua sapitnya?"

"Untungnya satunya nggak?  Yang tertangkap itu sisi yang lemah.  Yang kuatnya kemudian tersadar dan melepas dari capitnya. Tetapi sama seorang perempuan Aquarius kedua sisi itu disiram dan tenggelam seperti desa-desa itu ketika Bendungan Djatiluhur itu nanti jadi?"

"Hi..hi..hi." Widy terlihat senang.

Syafri berdiri dan menunjuk lokasi. "Bayangkan kalau daerah ini jadi lautan air. Indah."

"Kamu suka kan ditenggelamkan oleh perempuan Aquarius? Mengapa?" Widy juga berdiri. "Kamu punya  sisi yang tidak beres, kapan cerita ya? Tidak usah sekarang."

Cikampek, sekitar pukul 10.00

Syafri kemudian mengajak Widy meneruskan perjalanan ke Cikampek.  Mereka menelusuri pertokoan.  "Aku cari kontak aku di sini sesuai petunjuk Kang Jaka."

Dia memperlambat motornya dan kemudian menemukan sebuah toko beras yang besar.

"Itu dia toko Beras Nomor 57.  Katanya ada informan yang memberitahu kita soal spekulan beras. Namanya A Ko."

Yang disebut A Ko melihat Syafri memparkir motornya.  Dia seorang pria berusia  35 tahun.  "Haiya, kamu Syafri kan?"

"Kang Jaka sudah kasih tahu kan?"

"Aku yang memplonco kamu.  Cepat masuk, ini siapa?"

"Istriku Widy!  Dahlan  cepat kemari, wartawan itu  sudah datang. Kamu kasih tahu di mana penimbunan beras yang bikin repot kita punya dagang. Yang menimbun siapa, yang kena kena geledah toko kita terus!"

"Siap Koh!"  Yang disebut Dahlan masuk. Dia datang bersama perempuan.  Keduanya terkejut. "Lah, ini Syafri anak Sastra kan?"

Syafri berdiri. Itu Dahlan anak Fakultas  Sastra dan yang perempuan adalah Farah. Mereka rupanya menikah lari dan bersembunyi di sin.

"Ini istriku, Widy," Syafri memperkenalkan Widy yang terperanjat atas kebetulan ini.

"Farah!" Perempuan itu mengulurkan tangannya menjabat Widy.

"Widy!"

"Ya, sudah kamu temani mengobrol. Aku bersiap mengantarkan kawan kita ke tempat spekulan beras." Dahlan pergi ke belakang.

Farah tampaknya senang menghidangkan limun. "Kamu sudah menikah ya? Hanya kalangan keluarga. Aku tidak, kita kabur. Untung pamanku mau dukung jadi waliku. Aku hanya dihadiri tidak sampai sepuluh orang."

"Kamu tinggal di sini?"

"Iya, A Ko ini anak Sastra juga. Dia juga kabur dengan perempuan Jawa. Dia masuk Islam. Tetapi tidak mau ganti nama."

Widy dengan tenang mendengarkan. "Sekalian saja tanya, Naila apa kabar?"

Syafri paham Widy ingin tuntas mengetahui siapa Naila.

"Dia juga kabur karena tahu suaminya punya istri lagi.  Entah di mana dia.  Kabarnya dia ikut produksi Film Tiga Dara. Suaminya menceraikannya. Film ini mau diluncurkan di bioskop tahun ini."

Farah kemudian melihat Widy sambil tersenyum. "Tidak akan mau dia merebut suamimu, dia menentang poligami. Dia itu lebih dari Kartini soal emansipasi. Jelas ya? Kang Syafrimu putus baik-baik kok dengan adikku, di depan aku sebelum dia ke Bandung."

"Kamu setuju dengan Kartini?" desak Widy pada Syafri.

"Idola dia malah Rohana Kudus dan pasti juga Una ya? Kalau Rohana kamu cerita di kampus dulu kan? Kamu pernah bawakan Soenting Melajoe, punya keluargamu?"

"Iya, masih ada tetapi di Jakarta."

"Aku mau lihat Kang Syafri!" Seru Widy. "Nanti kalau kita ke Jakarta."

"Sekarang idola aku malah Nilakusuma, seniorku  di Jurnalis. Kalau soal emansipasi, ya? Dia sering menulis di Pikiran Rakjat, ya sekitar 1950-an awal."

Widy kemudian melihatnya. "Kamu pernah ketemu dia? Kenalin aku dengan wartawan itu, aku mau belajar dengan dia. Aku baca tulisannya  menyindir poligami."

"Soal Peraturan Pemerintah Nomor 19/1952 yang memberikan hak pada pegawai negeri untuk menunjuk istri yang akan menerima pensiunnya," ucap Syafri

"Itu kan secara tidak langsung melegitimasi poligami. Tentu saja laki-laki akan memilih perempuan yang disukainya," sahut Widy. "Poligami itu diperbolehkan, tetapi tidak diwajibkan."

"Kamu pintar Widy. Pantas Syafri menyukaimu.   Poligami itu diperbolehkan karena keadaan bukan dalam segala kondisi.  Oh, ya SK Trimukti juga harus kamu tahu Widy!" kata Farah.

"Ya, pernah dengar."

Tak lama kemudian Dahlan muncul. "Kita berangkat, beras baru datang  di stasiun.  Diangkut dengan oto ke sebuah gudang."

"Wah, kamu bisa dapatkan info ini bagaimana Mas Dahlan?"

"Ya, di warung kopi. Pegawai  A Aang suka berceloteh bersama kawannya membocorkan jadwal."

"Kok tidak tercium polisi? Wartawan saja tahu?"

"Polisi di sini ada yang bekerja sama dengan mereka. Kini mereka akan membawa beras itu ke Bandung karena harganya naik. Dengan truk berisi tekstil di atasnya."

"Keumaha, di Cianjur saja baru panen  April nanti. Jadi dibawa sebelum panen beras puasa nanti?"

"Nah itu permainan bisnis Adinda Widy!  Mereka ingin ketika beras naik puasa nanti  dijual di Bandung dan di sana tidak ada stok."

"Kamu ikut?" tanya Farah khawatir melihat Widy lebih antuasias. "Aku kan lebih dari Kartini, lebih dari Rohana Kudus, kalau bisa seperti Nilakusuma dalam profesi lain."

Farah tertawa. "Kalau begitu aku juga ikut!"

"Aduh, perempuan-perempuan itu kenapa?" Dahlan juga tertawa.

Mereka menumpang dua becak pura-pura berbelanja di pasar. Di depan sebuah toko sebuah truk parkir.  Beras dimasukan ke dalam truk dan ditutup kain grosiran.   Dua orang naik ke atas dan menjaga. Lancar mereka tidak ketahuan.

"Dapat! Kita ikuti mereka dengan  Rikuo!"

"Sama istrimu? Kamu pasangan gila!" Dahlan geleng kepala.

"Memangnya kamu tidak?" tanya Farah.

Setelah pamit  Syafri melarikan RikuoType 97  mengikuti truk itu. Widy tampaknya antusias. "Aku ingin tahu beras itu mau diantar ke mana di Bandung."

 

"Kenapa nggak anjeun saja jadi wartawan!"

Insiden Rajamandala, 12.00

Sekitar sejam mereka mengikuti truk. Tenryata rutenya berbeda dengan yang Syafri sangka.  Truk itu masuk  Bandung melalui Rajamandala.  Di sini Syafri mulai khawatir.  "Ini yang aku khawatirkan jadi wartawan. Mereka pilih jalur masuk Bandung tidak terduga."

Benar juga,  beberapa tembakan terdengar ketika truk itu melintasi jembatan.  Orang yang berada di atas truk terjungkal. Yang lain melawan dengan pistol tembak-menembak terjadi. Tetapi dia pun rubuh.

Beberapa orang berseragam mirip militer mengepung truk itu. Supirnya turun.  Dan kemudian memeluk salah seorang anggota gerombolan.

"Mereka kerja sama. Beras itu dirampas gerombolan supirnya membocorkan.  A Ang dikelabui. Malah tidak ada kendaraan lain."

Seorang anggota gerombolan itu melihat  Syafri dan Widy karena jaraknya hanya sekitar 500 meter kemudian berbalik arah.  Peluru pun mendesing. Tetapi  Syafri dengan cepat melarikan motor gandeng itu.   

"Untung kita lolos!"  ucap Syafri.

Widy kemudian mencoleknya dan menunjuk ke belakang.  Rupanya ada  beberapa sepeda motor mengejar dan ada yang menembak.

Syafri yang takut.  Widy justru tidak ada takut-takutnya.  "Aku tidak salah memilih kamu!"

Syafri bersyukur. Takhesi Simura  memodifikasi motor ini tidak murahan. Bahkan terasa seperti baru.  Hingga dia bisa menjaga jarak untuk tidak ditembak. Tetapi sebuah motor hampir menyusul. Untungnya kehabisan peluru.  

Ketika sudah disamping Widy, perempuan itu membuka termosnya dan menyiram isinya ke muka pengendara motor itu  hingga  pengendaranya kehilangan keseimbangan karena terkejut lalu menabrak tebing.  Widy kemudian dia melambaikan tangannya kepada dia, yang mencoba bangkit. Tetapi kakinya sakit.

Tetapi  tiga motor lagi.  Mereka bersenjata api.  Tampaknya mereka marah. 

"Gerombolan itu memperhitungkan segala sesuatunya!"

"Maaf ya Etek, telur baladonya.  Widy mengambil dua telor penuh cabai  dan melemparnya ke motor yang terdekat. Kena stang. Tidak kena muka, tetapi kedua  telur dan cabai pecah kecipratan mata si pegendara hingga oleng dan masuk jurang  bergulingan.

"Seperti di film yang pernah aku tonton."

Dari arah depan muncul motor gandeng juga pengendaranya ternyata letnan Harland dan Daus, mereka melambaikan tangan pada Syafri dan Widy. "Memangnya kalian saja yang punya!"

"Ya, mereka lagi, mereka lagi! Padahal sudah seru nih!"  ucap Widy.

Letnan Herland dan Daus steling dan menembak membalas tembakan salah seorang pengendara motor yang kena di dada dan tergeletak. Yang satu lagi kabur. Syafri dan Widy bukannya lari, malah ikut menyaksikan.

Widy bertepuk tangan.  Dia kemudian memeriksa rantang. "Ya, telurnya tinggal dua. Sayur asamnya juga tinggal setengah, tumpah waktu kejar-kejaran!"

Herland kemudian menghampiri mereka. Ketika dua jip tentara datang dan melihat kondisi rantang.  Widy melah membuka rantang dan menyiram sisa sayur asam dan mencampurnya dengan telur balado. Mereka makan berdua ditonton para tentara di atas motor.

" Aku makin suka sama kalian, kompak! Makan sama-sama, lapar sama-sama!" Herland tersenyum. "Kalau dalam pasukan kalian yang paling dicari!"

"Bagaimana Kang Herland tahu kami ke Cikampek?" tanya Syafri.

"Bapak dan ibu kamu cemas. Bang Daus ini ke markas. Kebetulan kami membahas info adanya pencegatan di Rajamandala.  Tentu saja aku teringat kamu dan Widy  ke Cikampek, khawatir lewat sana. Firasat kami benar!"

"Terima kasih, menyelamatkan kami lagi!"

"Itu Kok gerombolan mau merampas tekstil?"

"Bukan tekstil Kang Herland. Tetapi beras spekulan. Itu samaran!"

Para tentara saling toleh. Herland meminta anak buahnya memeriksa.  Tak lama kemudian kembali mengangguk.

"Pemilik toko bakal kena sanksi karena urusan penyaluran beras diamanatkan kepada militer untuk mencegah spekulan dan kejhatan ekonomi," ucap Herland.

Syafri dan Widy selesai makan.  Tapi Herland terperanjat, ketika Widy naik ke motor dan mendorong Syafri ke gandengan. Setelah memakai helm dia memacu motornya. "Komandonya sekarang aku ambil alih, Jalan dulu ya Kang Herland!"

"Dasar Baong pisan!" Herland tertawa. "Kinan meniru kamu tuh!"

"Dia bisa naik motor, Letnan?" tanya Daus.

"Ya, bisa, aku yang ajarin waktu SMA," jawab Herland (Bersambung)

Irvan Sjafari

 

Sumber Foto:  https://all-andorra.com/rikuo-type-97/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun