Mereka beristirahat minum dan Syafri mengambil catatannya membuat sketsa. Widy membuat kopi manis dari termos yang dibawa dengan dua gelas kaleng.
"Aku juga mau kerja Kang, mau buka kursus tari dan angklung buat anak-anak SD," kata Widy.
"Syok Atuh! Â Aku suka perempuan mau maju. Kan sepakat kamu juga kuliah! Kalau nanti kamu hamil tetap kuliah dan kita sama-sama mengasuh anak, kan bisa diatur!"
Widy senang dan memeluk Syafri dan mengecup pipinya. "Aku suka kamu tuh sopan mengajak aku berjima pun pakai bilang punten! Â Aku suka laki-laki yang menghormati perempuan seperti ayahku!"
Syafri senang. Widy kemudian duduk makin merapat. "Aku sudah cerita soal Hardja dan aku juga pernah punya pacar sebelum dia waktu kelas III SMP. Tetapi yang mengambil kehormatanku hanya Hardja. Kamu menerima saja!."
"Masa lalumu bukan milikku!" Syafri tetap santai.
"Jujur, ya? Kamu pernah punya cinta lain nggak? Aku terima kok?" tanya Widy menyelidik.
"Namanya Naila Husna. Dia anak seorang saudagar  di  kawasan Cikini dekat kost aku. Aku kerja sambilan sebagai kurir mengantar barang dari toko makanan milik ayahnya."
"Nggak bakal direstui ya?"
"Oleh ayahnya iya, Ayahnya mau sesama saudagar atau keturunan yang sama.  Tetapi kakaknya mendukungku.  Namanya Fahra setelah tahu aku kuliah di Fakultas Sastra.  Dia juga tahu aku mengenalkan Naila ke  Usmar Ismail.  Dia ingin kerja di Perfini  juga.  Siapa tahu jadi bintang film. Ya, aku bantu. Dia  bisa kerja di sana. Jadi kami dekat! Fahra kakak kelasku di Fakultas Sastra, beda jurusan."
"Pernah menciumnya?"