"Wuih, sedapp," gumam Steven, dengan wajah antusias.
Mereka berdua terlihat sudah berada pada panggung sebuah cafetaria di Gede Bage, menjajakan karya musiknya dari panggung ke panggung, dari cafe ke cafe.
Tampil pada berbagai festival musik underground, dari Ujung Berung, Cihampelas, Dago sampai Braga.
Steven dan Acun lambat laun menjadi siswa paling populer disekolah, bahkan beberapa guru sering mengundang band mereka untuk sekedar mengisi acara hajatan nikah, bahkan sunatan.
Berbeda dengan Acun yang menikmati kepopulerannya dengan rajin gonta ganti pacar, Steven yang terkesan misterius dan introver, masih betah dengan kesendiriannya didalam studio musik sekolah tiap jam istirahat.
Mei yang hampir setiap hari mendengarkan petikan gitar Steven dari bangku kantin, membayangkan setiap nada-nada yang mengalun adalah sebuah rayuan untuknya.
Kadang terdengar indah dan syahdu, kala Steven memainkan lagu-lagu rock klasik semisal Love of My Life milik Quenn atau Bed of Rosesnya Bon Jovi.
Mereka tak pernah saling menyapa, hingga suatu ketika Mei berpapasan dengan Steven dilorong sekolah, meskipun tanpa kata dan hanya bertatapan saja.
Steven merasa ada yang aneh pada tatapan Mei begitupun sebaliknya, hingga keduanya seperti sengaja mencari momentum agar dapat berpapasan dilorong sekolah berkali-kali, meskipun tanpa saling menyapa.
"Cun, anak kelas IPA 2 yang pake kuncir dua siapa namanya?" Tanya Steven.
"Yang mana?" Jawab Acun.