Mohon tunggu...
Ilyas Aminudin
Ilyas Aminudin Mohon Tunggu... Lainnya - Clinophile

bukan orang penting yang penting orang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Love Self

14 Februari 2021   14:30 Diperbarui: 25 Februari 2021   21:56 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah alarm berbunyi keras dikamar seorang pria muda yang masih tertidur pulas, perlahan ia membuka matanya yang sangat malas untuk terbuka itu mengingat hari ini adalah hari senin yang merupakan hari sakral bagi para pelajar. Lima belas menit berlalu Jika bukan karena gedoran pintu dan teriakan khas emak-emak di pagi hari pria muda ini tidak mungkin terbangun.

"Arthur!!! Cepet bangun, udah pagi nanti kamu telat." Teriak bunda Arthur sambil menggedor-gedor pintu kamar.

"Iya iya ini Arthur sudah bangun bun."

"whoaaa perasaan baru kemarin hari minggu, udah hari senin aja." Umpatnya sembari berjalan menuju kamar mandi.

Setelah mandi selama 15 menit dan sudah rapih dengan seragam ia langsung berjalan menuju dapur untuk mengambil sarapannya, karena ia merasa sudah terlambat ia pun membekal sarapan.

"Yah, bun Arthur pergi dulu." Ucap Arthur yang di balas anggukan oleh kedua orang tuanya.
Setelah pamit dan membawa bekalnya Arthur berangkat ke sekolah dengan supir pribadinya lebih tepatnya tukang ojek.

Akhirnya dia sampai di sekolah setelah menempuh perjalanan selama 5 menit dari rumahnya, Arthur segera berjalan menuju kelasnya dan langsung di sambut oleh teman sebangkunya Raga Wiraksa orang yang sejak kelas 1 sekolah menengah pertama menjadi sahabatnya. Raga adalah orang yang sudah di anggap seperti kakak kandungnya sendiri.
Baru saja Arthur menyimpan tas ranselnya dan duduk, entah setan dari mana tiba-tiba datang dan menodong Arthur.

"Arthur!!! Pengen nyontek tugas pak wawan dong." Teriak Raga yang di akhiri oleh senyum khas orang mesum. Jika di kira kira wajah Raga sekarang seperti seorang om om pedofil.

"Dih, gak mau. Semalem lo ngapain aja, gue tau tadi malem lu gadang kan."

"Ngegame, hehe." Balas Raga sembari tersenyum memperlihatkan gigi-gigi nya.

"Gak." Balas Arthur singkat.

"Ayolah Thur, nanti gue traktir makan siang deh." Tawar Raga yang hanya di balas gelengan oleh Arthur.

"Ok!! Traktir makan siang selama seminggu, gimana?." Tambah Raga.

"Seminggu ya bener."

"Iya iya iya, cepet mana bukunya." Arthur pun memberikan buku tugas miliknya.

"Makasih ganteng."

"Dasar gak normal." Cibir Arthur yang tidak di balas oleh Raga yang sedang fokus menyontek.

Arthur selalu bingung punya sahabat seperti Raga ini apakah sebuah anugrah ataukah musibah, Raga yang orangnya ceroboh, berisik, tidak bisa diam seperti cacing kepanasan, tetapi di satu sisi dia adalah orang selalu ada setiap Arthur membutuhkan, yang selalu mendukungnya di setiap keadaan, dan yang selalu memberinya semangat ketika sedang terpuruk. Itulah sebabnya Arthur menganggap Raga sebagai kakaknya sendiri.

Bel sekolah berbunyi, siswa yang tadinya berada dalam kelas berhamburan keluar menuju lapangan untuk melaksanakan upacara. Upacara berjalan dengan khidmat meskipun ada beberapa orang yang jatuh pingsan.

"Pak wawan datang woi!! Cepetan duduk." Ucap Junaedi sang ketua kelas yang kerap di panggil Juned.

"Ih aku belum beres nulis tugasnya gimana dong." Rengek Felicia yang belum menyelesaikan tugasnya.

"Gibah terus sih dari tadi." Balas Raga.

"Diem!!" Bentak Felicia.

Suasana kelas pun menjadi ribut kembali oleh adu mulut antara Felicia dan Raga, tetapi tiba-tiba kembali sunyi saat pak Wawan muncul dari balik pintu.

"Ada apa ribut-ribut?" Tanya pak Wawan.

Hening tidak ada satupun orang yang menjawab karena takut oleh tatapan mata pak Wawan.

"Tidak ada pak, yang tadi hanya masalah kecil." Jawab Junaedi.

"Arthur apa yang terjadi tadi?" Ucap pak Wawan memastikan.

Arthur menatap seluruh teman sekelasnya dan terutama teman sebangkunya Raga yang memasang wajah seperti sedang kebelet untuk ke WC.

"Tidak ada pak, tadi hanya pertengkaran biasa." Balas Arthur yang hanya di angguki oleh pak Wawan.

"Ok kalau begitu kita lanjutkan pelajaran, tugasnya di kumpulkan setelah jam pelajaran berakhir."

"Baik pak." Balas seluruh siswa bersamaan.

Bel istirahat berbunyi seluruh siswa berhamburan keluar kelas, meski tidak semua orang pergi ke kanti. Di kelas Arthur masih mencatat semua materi yang tadi di berikan pak Wawan hingga akhirnya Raga memecahkan fokus Arthur dengan bertanya.

"Gak ke kantin?"

"Enggak, gue bawa bekal." dalam batin Raga senang karena itu artinya ia tidak perlu mentraktir Arthur untuk hari ini.

"Kalo gitu kenapa gak dimakan?" Arthur hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Saat hendak bertanya lagi ucapan Raga terpotong oleh ajakan beberapa orang.

"Woi!! Berdua mulu, pantes si Felicia selalu cemburu sama kalian."Ucap Khrisna yang memotong pembicaraan Raga. Tidak hanya ada Raga dan Arthur saja di kelas masih ada beberapa orang salah satunya Khrisna yang tadi di hukum pak Wawan karena tugasnya belum selesai.

"Berisik banget kutil Anoa" Balas Raga, Arthur hanya diam saja dia tidak penah peduli dengan ucapan Khrisna karena yang Arthur tahu Khrisna tidak pernah serius dengan ucapannya.

"Kantin yuk!" Ajak Khrisna kepada teman-temannya yang masih ada di kelas.

"Gas!" Jawab Raga bersamaan dengan Surya, Bram, dan Geraldino.

"Gue di kelas aja, bawa bekal dari rumah." Ucap Arthur yang di balas anggukan oleh teman-temannya.

Dikantin Raga dan yang lainnya memilih tempat duduk di paling pojok, tak lama makanan yang mereka pesan datang dan tak lama juga mereka langsung menyantapnya, selama makan mereka saling melempar candaan dan menghina satu sama lain karena mereka tidak mau menambah dosa dengan menggunjing orang lain, tanpa disadari ada sepasang mata yang mengawasi mereka, tidak lebih tepatnya empat pasang mata yang memperhatikan mereka.

"Udah? Yuk balik ke kelas." Ucap Siska membuyarkan fokus teman-temannya.

"Raga tuh sebenernya orang yang kayak gimana sih?" Tanya Felicia tiba-tiba.

Seketika Felicia, Vera, dan Yuni serentak menatap ke arah Siska, yang di tatap menjadi salah tingkah dan membalas tatapan mereka dengan senyum canggung.

"Ceritain dong Sis, kamu kan dulu satu sekolah sama Raga dan Arthur bahkan pernah sekelas." Bujuk Vera yang di angguki oleh Felicia dan Yuri.

"Eh?! Kenapa tiba-tiba?" Jawab Siska gelagapan.

"Penasaran aja sih dari kelas 10 Arthur sama Raga kayak udah seperti surat dan prangko, nempel terus."

"Iya, udah beda kelas aja Raga masih sering main ke kelas Arthur, gue takut kalo Raga itu ternyata be-." Ucapan Yuri terpotong oleh bel masuk yang membuat semua orang si kantik berlarian menuju kelasnya masing masing.

Semua sudah berada dikelas dan duduk memperhatikan pelajaran yang sedang berlangsung. Siska bisa bernafas lega karena terlepas dari segala pertanyaan tentang Raga yang di tanyakan oleh teman-temannya tadi. Namun itu hanya sementara saat jam pelajaran Felicia kembali berbisik dan bertanya hal yang sama seperti saat di kantin tadi. Namun, Siska menolak dengan berdalih dia tidak begitu dekat dengan Raga dan Arthur. Tanpa Siska dan Felicia sadari ada seseorang yang tak sengaja mendengar apa yang mereka bicarakan.

Bel pulang sudah berbunyi tetapi Siska masih duduk di dalam kelas dan menolak ajakan teman-temannya untuk pulang bersama. Suasana hati Siska saat ini sangat bingung, di satu sisi dia juga tidak mau mengingat masa lalunya dan di sisi lain Siska merasa tertekan oleh pertanyaan pernyataan teman-temannya. Lamunannya terhenti saat ada tangan yang menggoyang-goyangkan badannya, rupanya itu Arthur.

"Belum pulang? Masih ada urusan atau ekskul?" Introgasi Arthur.

"Eh? Tidak aku hanya menyelesaikan catatan tadi, aku duluan ya. Dahh!" Balas Siska dan dengan cepat ia pergi keluar dari kelas.

Tak lama Arthur pun keluar kelas, dan betapa terkejutnya dia ketika di sampinya ada Raga, udah seperti setan tiba-tiba ada dan tiba-tiba menghilang.

"Udah piketnya? Ayo balik gue anterin." Tawar Raga.

Arthur tidak menolak dia malah senang karena itu artinya ia tidak perlu berjalan atau mengeluarkan ongkos untuk pulang. Merekapun segera pergi ke parkiran, setelah naik dimotor Raga, Arthur sangat ingin membicarakan tentang suasana canggu yang masih terjadi diantara dirinya dan Siska. Namun, ia tahan karena ia tak mau memperpanjang masalah ini.

"Kalo mau ngomong, ngomong aja gausah di tahan-tahan." Ucapa Raga seperti cenayang.
Sontak Arthur kaget oleh penuturan Raga.

"Ngarang, cepet jalan nanti keburu hujan."
Setelah beberapa di jalan akhirnya mereka sampai dirumah Arthur. Di luar rumah ternyata ada ayah Arthur yang sedang menyiram tanaman.

"Kok baru pulang?" Tanya ayah Arthur.

"Heem, piket dulu. Raga mau mampir dulu atau langsung pulang?" Tanya Arthur.

"Enggak dulu deh, mau langsung pulang takut keburu hujan." Jawab Raga yang di balas anggukan oleh Arthur tanda mengerti.

"Ayah, Raga pulang dulu takut keburu hujan!" Teriak Raga kepada Ayah Arthur yang di balas oleh acungan jempol.

Raga kembal melajukan sepeda motornya menjauh dari rumah Arthur. Setelah motor dan pengemudinya tidak terlihat lagi Arthur segera masuk ke rumah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, tumben telat ada ekskul emang?" Tanya bunda.

"Enggak tadi piket dulu." Yang di balas anggukan oleh bunda.

"Sekarang mandi terus makan."
"Okai." Jawab Arthur.

Setelah bersih bersih dan mengganti bajunya dengan setelan santai Arthur pergi kedapur untuk mengambil makan dan makan malam bersama kedua orang tuanya, acara makan keluargapun berjalan dengan khidmat dan hanya dentingan garpu, sendok dan piring saja yang terdengar. Setelah selesai dengan makan malamnya Arthur kembali ke kamarnya untuk mengerjakan tugas dan mengulang pelajaran yang tadi ia pelajari di sekolah.

Suara ketukan pintu bergema keseluruh penjuru kamar memecah fokus Arthur pada pelajaran yang sedang ia pelajari, tak lama Bunda masuk dan mendudukan diri di pinggiran kasur kemudian mengajak Arthur untuk duduk di sampingnya.

"Gimana sekolahnya hari ini?" Tanya Bunda dengan nada khawatir.

"Seperti biasa, tidak begitu spesial. Ada apa emangnya tumben bunda nanyain tentang ini?"

"Enggak, bunda cuman nanya doang."

"Bunda, Arthur gak apa apa kok, tenang aja bun Arthur udah SMA yakali gak bisa jaga diri Arthur sendiri." Jawab Arthur yang seperti tahu apa yang di khawatirkan sang bunda.

"Tapi kalo terjadi sesuatu jangan pernah di tutupin dari Bunda ya." Ucap sang bunda seraya memeluk anak semata wayangnya itu.

Tanpa di sadari air bening yang sudah sedari tadi bunda Arthur tahan agar tidak keluar dari pelupuk matanya gagal saat mengingat apa yang dulu pernah terjadi pada anak satu-satunya. 

Arthur yang terkejut saat merasakan air di mata sang bunda menganak sungai sampai-sampai membasahi sebagian punggungnya.

"Bun, jangan nangis dong." Ucap Arthur sedikit bergetar.

"Siapa yang nangis, bunda cuman kelilipan."

"Gak usah bohong bun, ini di dalam kamar terus jendelanya juga udah di tutup gak mungkin ada angin atau debu yang tiba-tiba masuk." Bunda hanya terkekeh mendengar penjelasan anak satu-satunya ini.

"Gak usah di pikirin mending kamu beresin belajarnya terus tidur, jangan tidur terlalu malam." Titah Bunda yang kemudian beranjak dari duduknya pergi meninggalkan Arthur yang masih diam memikirkan kekhawatiran sang bunda.

Arthur membuang semua pikiran berlebihannya itu dan kembali fokus mengerjakan tugas yang besok pagi harus di kumpulkan.


***


Minggu pagi di kediaman Wiraksa sangatlah jauh dari kata tenang, apalagi setelah anak tunggal di keluarga ini menumpahkan dan memecahkan satu gelas susu yang baru saja di siapkan oleh ibunya.

"Aish, kamu ini anak siapa sih gak bisa diem sebentar aja gitu." Gerutu seorang wanita yang sudah berkepala tiga itu.

"Anak mamah Amanda dan papah Arjuna." Balas Raga sembari membersihkan bekas pecahan gelas.

"Maaf aja ya anak mamah tuh kalem kalem semua, kayaknya kamu ketuker deh pas di rumah sakit."

"Nye nye nye nye." Ejek Raga kepada sang mamah.

Ibu Raga hanya menatap anaknya malas, entah kenapa anak yang satu ini sangat berbeda dengan kakak-kakaknya.

"Kamu jangan solimi." Ucap papah Wiraksa yang ikut bagian dalam drama anak dan ibu ini.

"Astaghfirullohalazim kamu ini berdosa banget." Ucap Raga sambil berjalan meninggalkan kedua orangtuanya yang penuh dengan drama itu.

Di kamar Raga merebahkan tubuhnya di atas kasur kemudian memainkan ponselnya, ia hanya bolak balik melihat media sosial dan karena tidak ada yang menarik ia akhirnya memutuskan untuk bermain game online.


***


Suasana berbeda di kediaman keluarga Morgan, yang baru saja selesai sarapan bersama dengan khidmat hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu, setelah selesai dengan sarapan semua orang disana kembali ke aktivitasnya masing masing. Sekarang ini Arthur sedang chattingan dengan teman dan sesekali membuka sosial medianya. Namun, karena tidak ada yang menarik Arthur mengakhiri bermain ponselnya dengan menelpon seseorang yang ada di kontaknya untuk bertemu karena Arthur ingin mengungkapkan semua keluh kesahnya pada seseorang di telpon.

Setelah mendapat persetujuan dari pihak seberang dia kemudian pamit kepada orang tuanya dan langsung saja memesan ojek online untuk pergi ke tempat yang sudah disepakati oleh orang yang tadi Arthur telpon.
Disini, ditaman dekat komplek perumahan orang yang tadi pagi Arthur telpon, sesekali ia mengecek ponselnya memastikan apakah orang tersebut sudah ada di dekatnya atau belum.

"Arthur!!!." Teriak seorang perempuan sembari melambaikan tangannya. "Gimana kabar kamu? Tumben ngajak ketemuan."

"Cukup baik. Sebenernya aku pengen cerita sesuatu boleh?"

"Eh? Tentang?"

"Siska." Ucap Arthur seraya menatap Sarah yang ada di sampingnya.

"Sebenernya aku udah percaya tentang Siska yang sudah berubah, dia udah jarang ngobrol sama aku juga kalaupun ngobrol cuman tentang pelajaran doang. Tapi yang buat aku kepikiran tentang tadi malam bunda nangis, bunda kayaknya belum ngelupain kejadian waktu itu." Lanjut Arthur.

"Pastilah, mana ada orang tua yang gak sedih pas liat anaknya dituduh yang enggak-enggak sampi mutusin buat pindah sekolah."

Arthur tidak menjawab dia hanya diam dan memainkan ujung baju yang dia pakai sambil mengingat-ingat kembali kejadian semasa SMP-nya.

"Emang Siska ngapain sampai bunda kamu khawatir."

"Gak ada sih, tapi kayaknya temen satu gengnya siska suka sama Raga deh."

"Hah? Jangan sampai siska mengulang perbuatan yang dulu buat bisa bantu temennya dapetin Raga."

Arthur merespon penuturan sarah dengan wajah yang sulit di artikan wajahnya menggambarkan seperti bahwa dia kaget sekaligus takut, jikalau benar-benar siska dan teman-temannya melakukan sesuatu agar bisa mendapat perhatian Raga.

"Udah deh gausah mikir sampe sana, mungkin Siska udah gak kaya dulu lagi diakan udah takut sama Raga dan ancamannya." Ucap Arthur.

"Iya juga ya, ya udahlah gausah dipikirin." Tidak mendengar lagi balasan dari Arthur, sarah akhirnya berdiri dan pamit untuk pulang karena ada beberapa hal yang harus ia lakukan.

"Makasih ya udah mau dengerin aku cerita." Yang di balas dua acungan jempol dan senyum yang lebar oleh Sarah membuat Arthur menjadi sedikit semangat.

Setelah kepergian Sarah, Arthur tidak langsung bergegas untuk pulang, ia memejamkan matanya sebentar dan tiba tiba semua kejadian yang pernah menimpanya seperti di putar kembali, memutar semua adegan-adegan yang tidak pernah ingin Arthur lihat dan rasakan lagi, saat ini hal yang ingin di lakukan Arthur adalah membuka matanya. Namun, hasilnya nihil Arthur terjebak dalam mimpi buruk ini, hingga akhirnya ada sebuah tangan yang membimbing nya untuk keluar dari mimpi buruk tersebut, dengan perlahan Arthur membuka matanya menampakkan seseorang yang ia kenal.

"Raga?" Ucap Arthur dengan nada seperti orang bangun tidur.

"Lo kenapa dah? Tidur bukannya di kamar malah di taman yang banyak orang pula" Balas Raga.

"Siapa yang tidur?, cuman merem doang, eh enggak merem banget." Ucap Arthur sambil nyengir kuda.

"Ngapain disini sendiri?" Ucap Raga yang mulai mengintrogasi tersangka.

"Nyari angin, dah ah mau pulang takut di cariin bunda."

"Gue ikut, di suruh mamah buat minta resep bolu ke bunda."

"Hilih, bohong banget."

"Beneran."

"Gak mungkin, mamah kamu bisa langsung telpon bunda gausah nyuruh kamu juga bisa, kamu keluar rumah juga karena di usir kan gara-gara diem mulu di kamar." Ujar Arthur, yang di ajak bicara cuman diam.

"Sumpah, lu jujur ke gue kalo lo itu cenayang-kan? Atau lo bisa baca pikiran orang lain?"

Yang di tanya hanya menggeleng dan berjalan meninggalkan Raga yang masih terduduk di bangku taman, tersadar di tinggal Raga pun berlari mengejar Arthur dan terjadilah acara kejar kejaran sampai akhirnya mereka berada didepan minimarket.

"Mau kesana?" Tanya Raga sembari menunjuk minimarket tersebut.

Arthur tidak menjawab dia hanya diam mematung melihat sosok yang ada di dalam minimarket tersebut, sosok yang menghantui pikirannya selama beberapa hari terakhir. Raga yang merasa bahwa pertanyaannya tidak di balas oleh Arthur, Raga kemudian ikut menatap kearah objek yang dikiranya sedang di pandang oleh Arthur.

"Ada apa dengan Siska? dia jahatin lo lagi?"
Mendengar ucapan Raga, Arthur hanya menggeleng dan melanjutkan perjalanan pulang karena sang bunda sudah meneleponnya.

Sesampainya dirumah, Arthur mempersilahkan Raga untuk masuk terlebih dahulu untuk sekedar minum dan istirahat setelah adegan lari-larian tadi. Sekarang mereka sedang tiduran di sofa dan lantai ruang keluarga rumah Arthur, tidak ada obrolan sama sekali hanya diam, diam, dan diam seperti kuda. Keduanya fokus pada ponsel masing-masing, sampai tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore yang artinya Raga harus pulang, sebenarnya Raga masih penasaran tentang kejadian di depan minimarket tadi, tapi Raga membuang jauh jauh pikirannya tentang apa yang di sembunyikan Arthur karena ia yakin bahwa Arthur akan menceritakannya jika dia mau, inilah yang membuat Arthur menganggap Raga sebagai kakaknya sendiri karena Raga tidak pernah memaksa untuk menceritakan apa yang dia alami.

"Udah lumayan sore, gue pulang dulu ya. Makasih atas tumpangan WiFi-nya." Ucap Raga dengan cengiran yang menampakkan deretan giginya.

"Heem, dah balik sana parasit." Ucap Arthur dengan penekanan di akhir kalimatnya.

"Lo ngusir gue? Gue aduin bunda."

"Dasar cepu, dahlah jangan banyak drama, cepet balik gih besok juga ketemu lagi di sekolah." Ujar Arthur dengan mendorong tubuh Raga menuju pintu keluar.

"Arthur, Raga mau kemana?"

"Pulanglah bun, udah sore." Bunda hanya membalas dengan anggukan.

***

Sekarang ini guru yang mengajar di kelas Arthur dan teman-temannya sedang ada keperluan, sehingga kelas di tugaskan untuk belajar sendiri yang tidak sedikit orang jadikan kesempatan ini untuk tidur.

Setelah selesai dengan tugasnya Arthur berjalan meninggalkan kelas menuju taman belakang sekolah karena sekolah Arthur yang berada di belakang bukit membuat angin berhembus kencang di taman belakang.

Setelah sampai di belakang sekolah Arthur mendudukan dirinya di sebuah bangku di bawah pohon yang rindang, angin yang berhembus menerpa wajah dan menggugurkan beberapa daun yang membuat Arthur menutup matanya dan merasakan tiupan angin di wajahnya.

Merasa sudah memejamkan mata cukup lama dia membuka kembali matanya. Namun keadaan yang ia lihat saat ini sangatlah berbeda dengan yang ia lihat sebelumnya, tempat yang ia lihat saat ini bukanlah tempat yang asing, tempat yang sebelumnya pernah ia datangi hampir setiap hari dan bisa sampai delapan jam perharinya, tempat ini tempat yang ingin sekali ia lupakan dalam sisa hidupnya.

Seketika rasa takut Arthur kembali menyerang, angin berhembus begitu kencang memaksa Arthur menutup dan menggosok matanya, dan seketika penglihatannya berubah lagi sekarang ia tengah berada di sebuah ruangan yang sangat minim pencahayaan hanya ada satu sumber cahaya diruangan tersebut yang berasal dari sebuah proyektor, proyektor tersebut kini sedang memutar sebuah rol film yang menampakkan seseorang yang Arthur percaya itu adalah dirinya.

Arthur Morgan, seorang anak laki-laki yang berbeda dengan teman sebayanya, ia tidak terlalu pandai dalam olahraga, pendiam, dan anak rumahan yang jarang bermain keluar rumah. Semasa di bangku sekolah ia selalu mendapat panggilan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya, panggilan yang di berikan karena ia lebih senang berteman dengan perempuan, dan itu yang membuat ia malu untuk bergaul dengan orang lain.

Teman laki-laki Arthur dapat dihitung dengan jari. Tetapi diantara semua teman laki-laki tersebut hanya satu yang dapat Arthur percaya, yaitu Raga orang yang pertama kali menyapanya hari pertama masa orientasi siswa di SMP dan selalu membalas perlakuan teman-teman sekelasnya yang selalu merundung Arthur.

"Arthur, kita sekelas loh. Nanti duduk bareng gue ya?" Ucap Raga penuh semangat.

Arthur hanya membalas dengan senyuman disertai anggukan, ia senang karena seperti ada seseorang yang bisa mengerti kekurangannya.

"Orang bisa olahraga atau enggak itu gak nentuin gendernya apa, it's okay kalo kamu gak bisa olahraga, yang penting kamu kuatkan diri kamu disisi yang lain, lakukan apapun yang kamu suka, karena yang paling mengerti kamu adalah diri kamu sendiri." Ujar Raga sambil membantu Arthur.

Arthur yang baru saja dikurung toilet sekolah oleh teman-temannya sehabis pelajaran olahraga langsung dibully habis habisan oleh teman-teman sekelasnya karena Siska dan teman-temannya menyebarkan rumor bahwa Arthur adalah seorang yang mengalami penyimpangan seksual yang membuat Siska menyebar rumor seperti itu karena ia cemburu pada Arthur yang selalu di perhatikan Raga dari pertamakali masuk ke sekolah yang membuat cinta Siska bertepuk sebelah tangan. 

Siska menghalalkan segala cara untuk mendapatkan perhatian dari sang pujaan hati. Namun hasilnya nihil bukannya mendapat perhatian yang Raga berikan adalah sebuah kebencian.

Rumor yang telah dibuat sebelumnya menyebar begitu cepat bahkan sudah mencapai telinga guru-guru, hingga akhirnya Arthur dan Raga di panggil ke ruangan bimbingan konseling. Disana mereka menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan juga apa yang Arthur alami. Namun, karena Arthur merasa tertekan dan tidak tahan dengan semua ucapan orang-orang yang dilemparkan kepadanya membuat ia memutuskan untuk pindah sekolah. Selang beberapa minggu Raga menyusul Arthur untuk pindah sekolah setelah menyelesaikan urusannya dengan Siska dan temannya.

"Emang salah ya kalo cowo temenan sama cewe?" Tanya Arthur pada orang di sebelahnya sembari memejamkan mata.

Sekarang ini Arthur dan orang itu tengah di taman sekolah yang sedikit ramai, karena sedang jam istirahat juga.

"Ya kalo emang mau temenannya sama cewe, lebih seneng temenan sama cewe kenapa enggak?" Ujar orang di sebelah Arthur sembari membuka matanya.

"Orang suka menilai diri kita itu seperti apa dan gimana, itu yang membuat kita gak bisa nerima diri kita sendiri. Padahal apa yang mereka nilai gak sepenuhnya benar." Lanjut orang itu dan mulai beranjak dari duduknya.

"Gak ke kantin dulu Sar?" tanya Arthur.

"Gak, males." Jawab Sarah singkat yang di balas anggukan oleh Arthur.

Sarah berjalan menuju kelas mereka meninggalkan Arthur yang masih terdiam disana, tiba-tiba kepalanya mendadak pusing dan pandangannya seketika menjadi kabur dan kemudian menjadi gelap tak lama berselang seseorang membangun Arthur dengan menggerakkan bahu Arthur dan sesekali menampar pipinya tidak keras. Akhirnya Arthur membuka matanya menampakkan seseorang yang begitu ia kenal sedang bernafas lega.

"Dimana ini?"

"Di taman belakang sekolah. Kamu lupa sekolah sendiri?"

"Aku tidur lama banget ya?" ucap Arthur yang tidak mendapat balasan dari orang yang ia ajak bicara.

Kemudian Arthur menatap orang itu, yang di tatap membalas tatapan Arthur dan tidak di sengaja mata mereka saling bertemu.

"Maaf ya." Lirih orang yang sekarang menundukan pandangannya.

"Untuk?"

"Buat yang dulu, aku mau minta maaf gara-gara aku sekarang kamu gak punya banyak temen."

"Gak apa-apa itu udah berlalu. Lagian juga aku udah maafin kamu dari dulu kok." Ucap Arthur dengan senyumnya.

Tidak ada jawaban lagi, keheningan melanda kedua orang itu. Namun, keheningan itu terpecah saat ada isak tangis dari salah satu orang diantara dua orang itu. Satu orang lainnya mencoba untuk menenangkan yang sedang menangis tersebut dengan sedikit bersenandung kecil.

"Kamu kok bisa sih maafin orang yang udah buat satu sekolah ngebully kamu."

"Semua orang pasti berbuat salah, tidak perlu repot-repot mendengar kata-kata orang karena yang orang bilang tentang kita itu belum tentu semuanya benar. Itu yang Sarah bilang."

Orang yang bersama Arthur seketika tersentak saat mendengar nama Sarah di sebut, bagaimana Arthur bisa tau dan kenal Sarah. Itu yang sekarang ada di dalam otak orang yang bersama Arthur.

"K-kamu tahu Sarah?" Ucap orang itu bergetar.
"Iya dia temen di SMP baru aku, dia juga bilang kalo dia temen kamu pas sekolah dasar Sis." Balas Arthur.

Siska yang masih kaget karena bagaimana bisa sahabatnya itu menjadi sahabat dari orang yang pernah ia buat tersiksa. sikap Sarah ia terkadang sangat cuek pada keadaan dan bahkan sangat jarang peduli pada orang-orang disekitarnya tapi kenapa ia sangat cepat berteman dengan Arthur itu yang masih menjadi tanda tanya besar di isi kepala perempuan itu.

"Sikap Sarah masih sama kok, cuek dan dingin bahkan terbilang masih belum berubah." Tutur Arthur yang seakan membaca pikiran Siska.

Kagetnya semakin menjadi-jadi saat mendengar penuturan Arthur, seketika Arthur bangun dari duduknya dan berjalan meninggalkan Siska yang kemudian tersadar bahwa ia di tinggal. Siska tahu bahwa Arthur diam-diam sudah mengetahui semuanya sungguh orang yang tidak dapat ditebak.

***

Sesampainya dikelas Arthur langsung di serang ribuan pertanyaan oleh Raga, kenapa ia tiba-tiba menghilang, kemana saja dia, dan pertanyaan sejenisnya. Semua pertanyaan dijawab Arthur dengan sabar.

"Satu lagi, kenapa lo bisa bareng Siska?" Yang di tanya hanya diam berpikir untuk tidak menjawab sembarangan.

"Ketemu pas jalan mau ke kelas, kayaknya dia dari toilet." Balas Arthur.

Raga hanya menjawab dengan muluh membentuk sebuah huruf O. Tak lama guru pun datang dan melanjutkan pelajaran.

Bel pulang berbunyi semua orang berhamburan keluar dari kelas masing-masing.

"Yuk balik." Ujar Raga sembari menepuk pundak seseorang disebelahnya.

Yang di ajak hanya mengangguk lalu membereskan semua alat tulis dan buku-bukunya kemudian berdiri dan berjalan menuju tempat parkiran, setelah sampai diparkiran mereka langsung pergi pulang. Raga langsung membawa motornya dengan kecepatan sedang, tak terasa sudah sampailah mereka dirumah Arthur.

"Mampir dulu gak?"

"Boleh deh, sekalian jelasin materi yang tadi." Arthur mengangguk dan mempersilahkan Raga untuk masuk kerumahnya.

Saat masuk kerumah mereka di sambut oleh kedua orang tua Arthur, setelahnya mereka langsung berjalan menuju kamar Arthur. Dan mereka langsung mengerjakan tugas yang tadi siang diberikan oleh guru mereka dengan suasana yang jauh dari kata tenang.

***

Sekarang ini hari minggu tetapi Raga hanya diam dirumah tidak punya rencana apapun dan yang membuatnya tambah bosan adalah tidak ada seorangpun dirumah, orang tuanya pergi untuk urusan bisnis, dan kakak-kakaknya pergi entah kemana. Saat sedang bermain game ia mendapatkan pesan dari seseorang yang mengajaknya untuk sekedar berjalan-jalan ditaman dekat komplek perumahannya.

Sesampainya Raga ditaman ia kembali mengecek ponselnya, memastikan dimana orang yang tadi mengajaknya bertemu.

"Arthur! Disini!" teriak Raga sambil melambai-lambaikan tangannya.

Arthur berlari kecil menghampiri Raga.

"Lama banget dah, lo niat ngejemur gue ya? terus kenapa ketemuannya ditaman sih panas-panas gini" Raga hanya membalasnya dengan terkekeh kecil.

"Ya maaf gue bantuin bunda siap-siap dulu, terus lo mau dimana? starbak? emang lo punya duit?" ujarnya sambil terengah-engah.

Tidak ada jawaban karena Raga tahu bahwa dia dan Arthur sedang miskin, kemudian keduanya terdiam tidak ada obrolan atau candaan, suasana macam apa ini, sangat tidak biasa terjadi diantara mereka berdua.

"Ada apa, tumben ngajak ketemuan di taman." Ucap Raga yang masih kesal karena keterlambatan Arthur.

"Nanti udah lulus SMA lo mau lanjut kuliah? Kalo lanjut kuliah mau dimana?" Tanya Arthur.

"Kayaknya sih diluar kota, papa sama mama udah bilang kayak gitu semalem." Balas Raga.

"Kalo gue kayaknya bakal tetep di sini deh soalnya bunda gak ngizinin buat kuliah jauh-jauh." Ujar Arthur tanpa ditanya.

"Semoga sukses, jangan cengeng kayak dulu, kalo ada yang apa apa bilang ke gue, gue siap bantu kok." Jelas Raga yang di balas senyuman.

"Iya makasih, iya lo juga hati-hati disana, jangan lupa buat ngirim pesan selalu."

Keheningan kembali menyerang mereka berdua sampai salah satu dari mereka memulai topik pembicaraan baru yang terdengar tidak begitu penting, keheningan diantara keduanya kembali terjadi hingga salah seorang menginterupsi keheningan tersebut dengan bertanya.

"Felicia tuh suka sama lo, lo tahu kan?"

"Iya tau." Jawab Raga singkat dam terdengar seperti tidak mau membahas hal tersebut.

"Terus? Lo suka ga sama dia?"

"Buat apa suka sama toa masjid, kaya kurang kerjaan." Ucap Raga sembari melihat beberapa orang yang berlalu lalang.

"Bohong, gue tau ya lo suka curi-curi pandang kalo lagi di kelas, terus lo suka adu jotos tuh cuma moduskan?, biar sekedar bisa bicara sama Felicia doang, terus-." Ucap Arthur terpotong karena seketika Raga menutup mulut Arthur.

Raut wajah Raga kali ini sangat sulit diartikan, raut wajah yang di dalamnya tersimpan rasa malu, kaget dan juga marah. Arthur tertawa terbahak-bahak melihat tingkah sahabatnya yang satu ini sedang jatuh cinta. Tetapi tawa itu kembali terhenti saat Raga membuka suara.

"Lagian juga kalo diungkapin sekarang udah telat." Arthur mengernyitkan dahi, tidak paham apa maksud dari kalimat yang diucapkan Raga.

"Kemarin dia nyatain duluan, terus bilang kalo pun gua nerimanya itu udah telat karena dia udah dijodohin sama orangtuanya." Lanjut Raga dengan suara sedikit pelan.

Arthur mengelusi pundak sahabatnya itu berusaha menenangkannya dan mencoba untuk memberi semangat. Dalam benak Arthur sedikit bergetar sahabat yang selama ini selalu tersenyum ternyata memiliki banyak kisah pilu yang tidak pernah diceritakan padanya.

"Kamu ahli sekali berbohong setiap hari tertawa terus, padahal dalam hati kamu sakit, selalu kamu emban lukamu sendiri. Semua punya hak untuk bercerita, menangis apa lagi laki-laki perempuan. Kamu didengarkan, dicintai oleh semesta."

Raga kaget dengan apa yang diungkapkan Arthur karena bahasa yang ia ucapkan berbeda dari biasanya, seketika Raga memeluk erat sahabatnya tersebut mengacuhkan semua komentar tentang orang yang melihat mereka.

"Lepasin Raga, e-engap ish." Raga melepas pelukannya tersebut dan terkekeh.

"Dahlah gue balik duluan." Ucap Arthur sembari berdiri dari duduknya.

"Kok jadi 'lo gue' lagi." Ujar Raga.

"Terserah gue dong." Ucap Arthur kemudian berjalan menuju rumahnya yang diikuti Raga karena Raga tidak tahu harus melakukan apa dirumah karena hanya ada dia sendiri.

***

Hari ini yang paling ditakutkan Arthur kini tiba, hari terakhir Raga di kota ini sebelum pergi ke kota tempat ia akan menuntut ilmu lebih banyak, tempat dimana ia akan mendapat lebih banyak teman baru. Meskipun sangat berat Arthur tetap harus melepas sahabat karibnya itu untuk pergi mengejar mimpinya sama seperti dirinya sendiri.

"Hati-hati dijalan, terus jaga kesehatan, jangan bikin repot nenek ya." Ucap Mama Raga yang di balas anggukan.

"Semoga sukses, gue gabakal kangenin lo kok." Ucap Arthur dengan menahan bulir bening di matanya.

"Eits anda berbohong." Ujar Raga sembari menunjuk mata Arthur yang sudah berkaca-kaca.

Seketika Arthur membuang muka, ia harus merelakan kepergian sahabatnya yang satu ini.

"Udah cepet jalan." Ucap kakak Raga dengan nada seperti mengusir.

"Awas ya kalo nanti misuh-misuh pengen ketemu." Ancam Raga sambil menarik kopernya masuk kedalam mobil.

Raga sekarang sudah masuk kedalam mobil, ia diantar oleh supir pribadi. meskipun ia tahu suatu saat nanti ia akan kembali tapi rasanya sangat berat terlihat raut sedih dan tidak rela harus meninggalkan semua orang yang ada disekitarnya saat ini, lingkungan yang pasti akan ia selalu ingat.

Mobil yang ditumpangi Raga mulai melaju. Namun, setelah mobil berjalan tiba-tiba mobil yang ditumpanginya berhenti seketika Raga berlari keluar mobil seketika berhamburan memeluk orang-orang terkasihnya disertai derasnya hujan air mata disetiap orang yang ada disana.

Setelah acara berpelukan itu Raga kembali berjalan menuju mobilnya, sebelum masuk kedalam mobil ia menyeka bulir bening yang masih tersisa diwajahnya kemudian melambaikan tangannya dengan sebuah senyuman terukir diwajahnya, dibalas lambaian tangan oleh orang-orang yang ada disana setelah merasa cukup Raga kembali masuk kedalam mobil dan melanjutkan perjalanan ketempat dimana ia akan menganyam pendidikan yang lebih tinggi.

Setelah Raga pergi Arthur pun pamit untuk pulang kepada orang tua dan kakaknya Raga, Artur di langsung pulang kerumah ia memutuskan untuk mampir terlebih dahulu ke taman di perumahan, disana mengingat-ingat bagaimana ia dan Raga bisa berteman dan memulai persahabatan aneh ini, kemudian bagaimana mereka menghadapi semua masalah dan bagaimana Raga memberikan semangat kepadanya untuk tetap semangat menjalani hidup meskipun cobaannya begitu berat, hal ini membuat bulir bening keluar dari pelupuk mata Arthur tanpa disadari, karena sekarang sosok itu sudah tidak ada di sisinya.

"Kita boleh melihat kebelakang tetapi jadikanlah masa lalu sebagai pelajaran tetapi jangan sampai mengulang sebuah kesalahan. Dan jangan dengar apa yang dikatakan orang-orang tentang dirimu karena yang paling mengerti dirimu ya kamu sendiri."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun