Chapter III
Tales from Topographic Oceans
Atut baton Adalah alun-alun ibu kota Itong Ahuan. Tempat acara pembukaan festival mandi cahaya
matahari pada pergantian millenium, yang merupakan puncak acara yang digelar setiap tahun.
Tentu saja kali tahun ini mejadi sangat istimewa karena selain menyambut tahun baru sekaligus menyambut milennium baru pula.
Jalan di sekeliling alun-alun di hiasi cahaya lampu beraneka warna. Umbul-umbul dan kertas-kertas hiasan membuat koridor jalan semakin meriah.
Sudah beberapa hari Amanda dan Herman berada di Atut Baton dan sekarang adalah malam menyambut pergantian milennium.
Sebuah panggung telah disediakan di alun-alun Atut Baton. Dari tempat ini keramaian memusat.
Seorang pemandu acara mempersilahkan tokoh penting naik ke mimbar. Lalu seorang pria berpakaian jubah dari kain sutra melangkah ke mimbar sambil menebar senyum.
Lampu-lampu blitz menyala mengambil gambar Presiden Federasi yang kharismatik ini.
Acara pembukaan festival malam ini digelar. Pemandu acara mempersilahkan Presiden Federasi Itong Ahuan untuk memberikan sambutan sekaligus menandai festival ini resmi di buka.
Dengan sikap bersahaja tetapi tegas, mulailah Mr.
President berbicara di atas mimbar.
"Saya yakin bahwa banyak yang punya kenangan yang sama dengan saya ketika milennium kemarin, ketika itu kita masih anak-anak." Ucap Mr. President.
"Selain sedikit yang kita ingat, kita hanya mendengar cerita dari orang tua kita. Kali ini kita merayakan langsung!"
Sorak sorai peserta menyambut ucapan Mr. President.
Suara Mr. Presiden yang diperdengarkan ke setiap sudut alun alun.
Yang berdiri jauh dari alun-alun masih bisa melihat Mr. President lewat monitor virtual besar yang dipasang di beberapa sudut alun-alun dan penonton di rumah-rumah bisa melihat lewat TV yang disiarkan langsung ke seluruh dunia.
Banyak masyarakat yang datang langsung bersama sanak saudara, bahkan ada yang datang dengan pasangan masing-masing dan tidak kurang adapula dengan pasangan sejenis bercampur baur di lapangan bersama-sama meyambut festival dengan suka cita.
"... atas nama kita semua, festival saya buka dan saya berikan kehormatan memukul gong kepada kekasih saya tercinta, Mr. Lada Murag!"
Dengan bangga Mr. President memberikan jalan kepada seorang pria flamboyan naik ke mimbar menyambut uluran tangan Mr. President disertai ciuman mesra.
Lalu Sang kekasih Mr. President menyambut pemukul gong yang diberikan panitia.
Gong mulai dipukul berkali-kali dengan hati-hati, "Gong..., gong..., goooong!" Tiga kali pukulan gong telah menandai acara resmi dibuka. Semua orang bersorak-sorai.
Suara sirine membahana ke angkasa, disusul oleh balon-balon dilepas ke angkasa.
Setiap keluarga saling berpelukan dan para kekasih berciuman dengan pasangan masing-masing.
Tentu saja sepasang kekasih yang menjadi icon festival ini, yakni Mr. President yang tengah mencium bibir Mr. Murag dengan sambutan sama mesra diantara kilatan cahaya-cahaya lampu blitz.
Kegembiraan berpindah ke panggung-panggung musik dan penonton turut bergoyang sesuai hentakan irama.
Minuman beralkohol mulai dibagikan dan setiap pasangan melonjak-lonjak mengikuti hentakan irama musik.
Tayangan semua ini ditonton pula oleh Herman dan Amanda di kafe sebuah hotel yang letaknya tidak jauh dari Atut Baton.
Suasana hotel biasanya nyaman, tapi kali ini hotel berupa gedung pencakar langit saja seperti pasar malam, ramai oleh lalu lalang orang dan meja-meja yang tersedia telah penuh pula.
Dalam kesempatan ini, untuk kali ini barulah Herman bertemu dengan Alaksolan.
Herman dikenalkan oleh Amanda kepada Alaksolan yang datang belakangan.
Alaksolan seorang pria bertubuh tinggi dan tegap. Rambutnya yang panjang sampai sebahu memberikan kesan gagah.
Alaksolan menyambut uluran jabat tangan Herman dengan kuat.
"Maaf, aku baru menemuimu sekarang," kata Alaksolan. "Banyak yang harus kuurus."
"Aku tahu," kata Herman. "Sebagai ketua panitia, anda sangat sibuk."
Alaksolan mengibaskan tangannya menyampaikan bahwa hal itu bukan masalah besar.
"Aku berat mengatakannya, tapi sekali lagi maaf, aku tidak bisa menunjukkan mesin waktu sekarang," kata Alaksolan.
"Ada beberapa hal kecil yang masih memerlukan perbaikan. Tetapi aku biasa kerja sendiri di apartemenku."
Herman dan Amanda tidak keberatan dan maklum dengan masalah privaci.
"Tapi besok, time machine sudah siap kita pakai." Alaksolan memberikan jaminan.
Senang sekali Herman dan Amanda mendengarnya.
Lama sekali mereka mengobrol sambil makan dan minum. Gemerlap lampu sorot bergerak kemana-mana serasi dengan irama musik yang dibawakan grup-grup musik di atas panggung. Pesta pembukaan yang sangat meriah.
Herman menyempatkan menonton breaking news di TV.
Seorang reporter mengabarkan ada seseorang sedang membuat perahu.
Lalu gambar menayangkan lebih dekat seorang pria sedang mengawasi pembangunan perahu kayu yang besar.
"Pemirsa, sore tadi kami berhasil melakukan liputan Si Pembual yang sedang membuat bahtera kayu," komentar reporter.
"Mari, kita tanyakan langsung kepadanya, untuk apa ia buat yang menurut sumber kami bahtera ini telah dipersiapkan sejak lama."
Kamera memperlihatkan reporter yang sedang naik pesawat anti gravitasi yang memuat tiga orang. Pesawat yang mereka naiki berbentuk pedati tanpa kuda dan hanya satu tempat duduk untuk pilot saja sehingga dua orang penumpang naik sambil berdiri saja.
Pilot mengarahkan pesawat kecil lebih dekat ke orang yang disebut "Si Pembual".
Orang itu sudah mengetahui kehadiran kru TV.
"Orang gila!" kata salah seorang tamu di meja sebelah yang berpakaian seragam medis. "Gak ada bosen-bosennya orang itu ngajak semua orang hidup dengan cara dia yang aneh."
Pria berjanggut lebat ini melempar biji kacang ke arah TV lalu disambut gelak tawa teman-temannya.
Â
"Mereka tenaga medis yang dipersiapkan untuk besok, karena bakal banyak orang jatuh pingsan pesta miras," jelas Amanda ke Herman.
"Pake nakut-nakutin lagi," lanjut temannya yang mengenakan seragam yang sama dalam satu meja itu. "Masak dibilang akan ada kiamat dan membalas perbuatan cara hidup kita, aneh kan?"
Orang yang tidak pernah melepaskan topinya meminta tanggapan yang lain.
Mereka tertawa-tawa lagi mengejek Si Pembual itu. "Manusia dari galaksi mana sih dia? Sejarah manusia sudah jutaan tahun tidak pernah ada kejadian kiamat."
"Ini surga men!" sahut pria bertopi, "mana mungkin ada kiamat."
"Kita hidup abadi penghuni surga!" kata si janggut tebal.
Gelak tawa bersahut-sahutan pula di meja lain yang menonton tayangan yang sama.
"Pantas kalau mereka mengejek orang itu," kata Herman.
"Ini super benua dan curah hujan badai sekalipun tidak cukup mendatangkan banjir?"
"Siapa orang itu?" tanya Herman kepada Amanda soal orang di TV. Amanda hanya menggelengkan kepala.
"Dia dikenal hanya sebagai Si Pembual." Kata Alaksolan menjelaskan. "Tapi persisnya siapa dia, tidak ada yang tahu!"
"Padahal sudah ratusan tahun ia selalu berkelana kemana-mana mengajak orang agar kembali pada ajaran kehidupannya dan menjauhi cara hidup kami sekarang ini, yang katanya salah!"
"Salah seperti apa?" tanya Herman. Alaksolan mengangkat bahu dan tampak tidak berminat membahasnya.
"Kudengar, sebelum kalian melakukan penyembahan ke dewa Matahari, kalian telah melakukan penyembahan ke Utara. Kepada Dewa siapa sebelumnya?" Herman mendesak Alaksolan.
Dengan enggan Alaksolan menjawab, "ke utara menyembah Dewa yang membuat poros bumi tetap berputar sehingga menjadikan siang dan malam di bumi.
Tetapi Amun Re, Dewa Matahari lebih nyata dan ada wujudnya untuk kami puja."
Herman cukup puas dengan jawaban ini dan ia tidak berselera pula berdebat soal kepercayaan yang sifatnya pribadi.
"Ambilkan aku yang itu dong," pinta Amanda menunjuk makanan ringan di atas sebuah piring dekat Herman.
Lalu Herman mengambil piring itu dan memberikan ke Amanda.
"Sudah lama di sini, tapi aku belum mencoba yang satu ini." Kata Amanda sambil mengambil satu dan menyuapkan ke mulutnya.
"Nih, harus kamu coba. Enak!" sodor Amanda. Herman menyorongkan badannya menerima suapan dari Amanda.
Alaksolan melihat Herman dan Amanda tampaknya asyik mengobrol berdua sambil menikmati hidangan. Ia tahu diri dan pamit memberi kesempatan kepada mereka menikmati malam ini berdua saja.
"Aku pulang dulu untuk memastikan Time machine siap untuk besok," kata Alaksolan sambil berdiri.
"Jangan lupa kalo ada apa-apa hubungi aku." Sambung Alaksolan sambil menaruh tangannya di kuping, isyarat orang berbicara di HP.
Amanda mengangguk sambil mengacungkan ibu jari.
Â
Suasana hilir mudik orang-orang dan hiruk pikuk oleh gelak tawa bagi Herman dan Amanda malah membuat berisik. Lalu Amanda mengajak Herman pergi ke luar.
***
Walaupun terletak di pinggiran Atut Baton, ternyata banyak perkemahan yang memenuhi ruang publik. Para pejiarah ini terpaksa buka tenda karena hotel-hotel, penginapan, sudah penuh di-booking.
Untuk mengisi kekosongan waktu, mereka membakar api unggun sambil bernyanyi bersama dengan para pejiarah lain, atau mengunjungi panggung-panggung hiburan.
Botol-botol minuman kosong banyak tergeletak di buang begitu saja di jalan.
"Herman!" teriak seorang gadis yang seketika berdiri dari kumpulan orang di depan api unggun.
Herman mengenali gadis itu yang ternyata Noullis yang pernah ia temui di Lainatupia.
"Ayo gabung bersama kami," ajak Noullis tergopoh-gopoh menemui Herman.
Noullis mengenakan blaser, namun kancing baju terbuka hingga memperlihatkan belahan dadanya, "kita bersenang-senang!"
"Kemana pacarmu?" tanya Herman sambil mencari-cari seseorang di kumpulan itu.
"Siapa?" Noullis balik bertanya.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Oh, iya. Wanita yang kamu lihat waktu itu. Dia pergi bersama orang lain.
Jangan terlau dipikirkan, dia membosankan." Kata Noullis.
"Sekarang aku bersama pacarku yang baru ..." sambung Noullis sambil menengok ke belakang.
Seorang pria dari kumpulan itu ditunjuk olehnya. Noullis melambaikan tangan ke pria itu, lalu seorang pria yang memegang sebuah botol membalas lambaian Noullis.
Sejak pertemuan pertama dengan gadis ini telah membuat Herman membuang jauh-jauh keinginan untuk mengenalnya, apalagi sekarang ia sudah tahu seperti apa gadis ini bersama kumpulannya.
"Lain kali aku gabung, sekarang aku ada keperluan lain," tolak Herman halus.
Tampak air muka Noullis kecewa dan memperlihatkan sorot mata tidak suka kepada Amanda.
Buru-buru Herman membawa Amanda pergi meninggalkan Noullis.
"Siapa dia?" tanya Amanda cemburu.
Herman jelaskan duduk perkaranya. Barulah Amanda jadi mengerti.
Herman dan Amanda merasa risih melihat berbagai pasangan sejenis memamerkan kemesraan secara terbuka sambil bermabuk-mabukan, berkumpul di beberapa tempat itu, sehingga Herman dan Amanda memilih pergi ke tempat lain.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Herman dan Amanda untuk berjalan-jalan dan bersantai menikmati malam di Atut Baton.
***
Beberapa hari ini sebagian panitia diliburkan karena para pemuka dan pendeta sedang melakukan pembersihan lapangan utama di Atut Baton.
Sepekan itu tabu bagi orang melakukan aktifitas rutin di lingkungan Atut Baton.
Kain penutup badan Anubis dicuci dan diganti oleh kain yang khusus untuk perayaan besar. Sedangkan Anubis sendiri di bersihkan pula dan dibuat lebih indah sehingga nanti pada waktunya dilihat lebih megah.
Walaupun mereka bisa membersihkan dengan cara mengoperasikan robot-robot, tetapi tidak mereka lakukan. Prosesi yang mereka akui suci, dilakukan dengan tangan mereka langsung.
Dari tempat ini, suara hingar bingar dari sound system musik di panggung tidak terlalu keras dan ritual "cuci kering" kain penutup badan Anubis berlangsung khidmat.
Walaupun demikian acara ini sama penting, sehingga juga turut diliput oleh berbagai media TV dan menjadi pengecualian tabu agar bisa dilihat oleh penonton dari berbagai penjuru dunia.
Para Pemuka adatlah yang melakukan ritual mencuci kain yang panjang dan lebar itu sebagai penutup badan Anubis.
Sementara kain itu dicuci, para pemuka dari kelompok lain yang memasangkan kain yang baru diambil dari kotak penyimpanan khusus untuk perayaan-perayaan besar seperti sekarang.
Para pemuka masing-masing menggunakan jubah dengan aneka hiasan kebesarannya dan dari kelengkapan masing-masing yang membedakan status hirarki mereka.
Pakaian dan aksesoris yang mereka kenakan mirip pada lukisan-lukisan dinding di Piramida Khufu.
Ketika itu para pemuka menyadari kehadiran Mr.
President, mereka beringsut mundur memberi jalan.
Pemuka  Kepala  tergopoh-gopoh  menyambut  Mr.
Presiden yang datang bersama kekasihnya.
Mr. Murag melingkarkan tangannya ke pinggang Mr. President sambil tidak lupa selalu menebar senyum kepada siapa saja.
Herman dan Amanda tahu diri bukan tempat mereka di sini, lalu berjalan menjauhi tempat yang ditabukan untuk diluar kalangan pemuka adat pada waktu-waktu seperti itu, kecuali tentu saja rang-orang penting.
"Ayo kita ke Planetarium!" ajak Amanda dengan semangat. Herman nurut saja tangannya ditarik oleh sang kekasih.
Perjalanan ke Atut Baton ditempuh dengan naik sepeda motor yang mereka temui di parkiran.
Kali ini yang pegang stir Amanda, dan Herman duduk saja di belakang sambil memeluk pinggang Amanda.
Jalan sepeda motor tidak perlu kencang-kencang.
Maklum, sambil dinikmati.
Perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit karena harus berkeliling mengikuti jalur.
Herman berpasrah jalan terserah mau dibawa kemana untuk menuju ke sana. Maklum, Amanda sudah hafal arah yang harus ditempuh.
Masih banyak panitia yang bercampur baur dengan para pemuka adat di jalan menuju planetarium. Sesekali Amanda menyapa sesama panitia yang dikenalnya.
Herman baru mengerti planetarium yang dimaksud ternyata Piramida Khufu.
"Di sini namanya Ibin Tuk," kata Amanda menjelaskan yang berarti planetarium juga. "Dan kedua piramida lainnya bernama Ibin Theti dan Ibin
Â
Bok menjelaskan fungsi masing-masing planetarium ini."
Setelah tiba di tempat parkiran, Amanda tambatkan sepeda motor itu lalu berjalan bersama Herman ke pintu masuk Ibin Tuk.
"Pintu masuk ini, di zaman kita jauh terkubur di dalam tanah," jelas Amanda.
"Kalau begitu, sesungguhnya piramida-piramida ini lebih tinggi daripada yang kita lihat di zaman kita," kata Herman. Amanda mengangguk membenarkan kesimpulan Herman.
"Biasanya Ibin Tuk terbuka untuk umum setiap hari kecuali untuk waktu-waktu istimewa seperti saat ini. Kita bisa bebas masuk karena penjaga akan mengira kita sedang kontrol persediaan logistik di sini."
Amanda menyapa dua orang sekuriti yang berjaga di pos pintu masuk. Kedua sekuriti mengenali Amanda lalu membalas sapaan Amanda dan membiarkan Amanda dan Herman masuk.
Setelah melewati pintu masuk, Amanda mengajak Herman melangkahkan kaki ke atas sebuah troli.
Â
Troli berbentuk cakram mengapung bersama troli-troli lainnya yang terletak di tempat itu.
Troli yang diinjak oleh kedua kaki Amanda dan Herman ada tiang untuk pegangan dan berfungi untuk mengarahkan laju troli.
Herman ikut saja kemana Amanda mengarahkan troli karena sudah mahir menggunakan kendaraan itu.
"Untuk ada troli anti gravitasi," ujar Herman.
Bisa dibayangkan bila area seluas Ibin Tuk dilakukan berjalan kaki saja akan butuh waktu berapa hari? belum capeknya, pikir Herman.
Di sepanjang koridor yang panjangnya mencapai ratusan meter setiap didindingnya dipahat sebagai sebuah relief.
Seluruh bangunan Ibin Tuk dibuat dari susunan marmer yang halus, licin dan mengkilat.
Keindahan interior Ibin Tuk menjadi sempurna oleh tata cahaya yang harmonis, sehingga tampak sangat megah dan membuat betah berlama-lama menikmati semuanya ini.
"Relief-relief ini menggambarkan sejarah panjang dunia Osiris yang telah jutaan tahun," Jelas Amanda
Â
melihat Herman tidak melepaskan pandangan mengamati gambar-gambar pada relief itu.
"Wah, butuh waktu lama untuk kita sehingga bisa tahu sejarah mereka." Decak kagum Herman.
"Dan aku yakin, relief-relief ini bukan dipahat dengan perkakas tukang seperti yang kita bayangkan!" tebak Herman pula.
"Ya, Iyalah," Ujar Amanda. "Para senimanlah yang memahatnya dan telah menggabungkan karya seni dengan teknology laser sehingga hasilnya seperti ini."
Akhirnya perjalanan mereka sampai pada Episentrum.
Di ruangan yang lebih luas daripada lapangan sepakbola ini, Herman melihat banyak benda-benda diorama yang menjelaskan konstelasi bintang-bintang, planet-planet di tatasurya ini, dan benda-benda angkasa lainnya yang menggunakan teknologi tinggi yang belum pernah Herman dan Amanda lihat sehingga seolah-olah mereka benar-benar berada di antara benda-benda tersebut.
Â
Dengan penggambaran demikian Herman mudah mengerti system yang mengatur pergerakan benda-benda angkasa di alam semesta.
Tetapi justru semakin lebih banyak yang tidak Ia mengerti karena sains di sini jauh lebih maju dibanding dengan zaman dunia Herman.
"Kalo yang bergerak luntang-lantung itu apa?" tanya Herman menunjuk beberapa bola yang bercahaya dan selalu bergerak kemana saja tidak seperti benda-benda angkasa lainnya yang memiliki orbit masing-masing.
Herman menghitung ada delapan buah bola-bola cemerlang yang berekor cahaya pula itu.
"Itu menggambarkan komet-komet!" jelas Amanda. "Tempo hari aku tanyakan juga ke Pemandu Wisata di planetarium ini.
Ternyata Komet tidak memiliki orbit dan ia bergerak bebas di alam semesta ini."
"Bukankah komet itu kecil dibandingkan matahari?" Herman bertanya lagi karena penasaran.
"Banyak yang belum kita ketahui sebenarnya wujud komet itu seperti apa? Tapi di sini jelas terlihat
Â
besarnya komet ternyata lebih besar dari sebuah sistem tatasurya."
Herman mengangguk-angguk sambil mengamati bola-bola api yang bercahaya warna warni itu dan bergerak kesana-kemari melampui bintang-bintang.
Lalu Amanda mengarahkan troli bergerak lebih jauh ke sisi lain di ruangan.
Di sini, atap ruangan memaparkan pemandangan langit dengan pandang mata langsung ke luar.
Herman diminta melihat langit lewat teropong bintang ultra modern.
Ia yang tadinya agak terheran-heran mulai mengerti maksud Amanda setelah langit malam terbentang di atasnya.
"Ini bagian yang paling asyik. Kita akan melihat bintang-bintang di langit," seru Amanda.
Mengintip lewat teropong, Herman melihat langit yang menampakkan beberapa rasi bintang malam itu.
"Lihat," tunjuk Herman ke atas.
Herman memberikan tempat sejenak kepada Amanda untuk ganti mengintip.
Amanda turut mengamati gugusan bintang yang ditunjuk Herman.
"Tapi itu bukan rasi bintang Orion?" kata Herman.
Lalu Amanda kembali mengalihkan perhatian ke arah Herman.
"Kalau Itong Ahuan adalah daerah Kutub utara, seharusnya itu adalah bintang utara, tapi itu bukan rasi bintang Orion seperti di mesir zaman kita?" Ujar Herman bertanya-tanya.
"Gimana kamu bisa tahu bedanya?" Tanya Amanda.
"Hehehe... tentu saja aku tahu," kata Herman bangga. "Di film Men In Black ada dialog soal Orion's Belt, yang jadi sebuah petunjuk penting, "To prevent war, the Galaxy is on Orion's belt."
"Perhatikan," sambung Herman sambil meminta Amanda meneropong kembali.
"Seharusnya di sana ada tiga bintang yang berjejer miring, Alnitak, Alnilam, dan Mintaka, yang disebut Sabuk Orion.
Dan seharusnya ada empat bintang yang seolah menjadi bingkai, masing-masing Betelgeuse (pundak kanan Orion), Bellatrix (pundak kiri), Saiph (lutut kanan), dan Rigel (lutut kiri). Di atas Betelgeuse dan Bellatrix ada Meissa (kepala Orion).
Tapi yang diatas sana itu bukan gugusan bintang Orion.
Yang itu aku tidak tahu? aku belum pernah lihat gugusan bintang seperti itu."
"Mungkin itu yang disebut astronom sebagai gugusan bintang Lyra," simpul Amanda.
"Bisa jadi!" Dukung Herman. "Ternyata sekarang terbukti eksistensi Dewa Osiris hanya tafsir orang-orang Yunani, padahal yang sebenarnya tidak ada kaitan negeri Piramid-piramid ini dengan Dewa Osiris yang sekedar mitologi!"
Herman dibuat semakin takjub melihat benda-benda angkasa di langit dengan lebih baik daripada planetarium manapun yang pernah Ia lihat.
Sepertinya kalau dibiarkan Herman akan betah semalam di sana. Tetapi Amanda sudah merasa bosan, lalu mengajaknya pergi keluar.
***
Amanda mengajak Herman duduk di pinggir kolam yang besar di bawah cahaya lampu.
Lalu mereka membuka sepatu masing-masing agar bisa menjuntaikan kaki menyibak permukan air di kolam.
Di atas kolam banyak tumbuh tanaman teratai aneka ukuran dan sedang berbunga .
Udara malam sangat sejuk dan menyenangkan untuk menghabiskan malam bersama. Daun daun di pepohonan bergoyang lembut di tiup angin.
Amanda membuka bekal makanan cemilan, lalu mereka makan berdua sambil melanjutkan obrolan.
Di depan mereka Ibin Tuk, Ibin Theti dan Ibin Bok tampak indah dengan latar belakang bulan purnama. Namun tidak jauh dari jarak pandang mereka, ada sebuah bangunan dengan bentuk sebuah segitiga prisma bertumpuk. Gedung itu lebih unik dibandingkan gedung-gedung berbentuk prisma lainnya. Tumpukan prisma-prisma kecil membentuk prisma besar sampai menjulang menembus awan, namun tetap harmonis bersanding dengan gedung-gedung lain disampingnya.
"Itu adalah balai kota Itong Ahuan," tunjuk Amanda pada gedung berbentuk segitiga Prisma itu sambil mengunyah roti lapis.
Bangunan yang ditunjuk oleh Amanda terletak di luar lingkungan ketiga piramida, sungguh futuristik, apalagi dihiasi taburan tata cahaya berwarna warni.
Beberapa lampu sorot di Atut Baton dan Balai kota, bolak-balik mengarahkan cahaya ke langit.
"Sedap dipandang mata ya," puji Herman.
Herman bicara sambil minuman dari gelas plastik dengan sebuah sedotan.
Mereka mengarahkan pandangan mata Lebih jauh ke kaki langit utara.
Tampak di atas langitnya ada benda angkasa yang besar dapat dilihat dengan jelas dengan kelap kelip lampu aneka warna menambah keindahan langit di malam hari.
Â
Di sekeliling benda angkasa yang bentuknya mirip kue donat, terang benderang oleh cahaya yang berwarna warni pula.
"Itu adalah Tormato," jelas Amanda. "Tormato adalah Fasilitas Pembangkit listrik, letaknya persis di angkasa titik +90 LU."
"Orang Osiris telah memahami hubungan medan magnet matahari dengan bumi yang menghasilkan sirkulasi listrik yang dipancarkan dari matahari ke bumi.
Di bumi ke dua kutubnya dihubungkan oleh Tormato sehingga menghasilkan energi listrik yang digunakan masyarakat Osiris untuk segala keperluan mereka."
"Masa sih?" bantah Herman. "Semua ilmuwan sepakat bahwa energi listrik yang dihasil medan magnet dari Matahari sangat kecil untuk digunakan sebagai energi.
Kalau mau mendapatkan listrik, lebih baik beli magnet di glodok, lalu dialirkan setrum untuk mendapatkan energi buat Tamiya udah cukup..." canda Herman tidak percaya.
"Nggak lucu," sungut Amanda yang membuat Herman menjadi senang.
Tapi Herman buru-buru merayu biar Amanda tidak ngambek terus.
Â
"Tapi benar juga sih, kan ini negeri Piramid, negeri Para Dewa," aku Herman, "Mungkin ilmuwan kita belum menyadari potensi energi dinamo alam ini."
Herman perhatikan lebih seksama Tormato yang letaknya jauh di angkasa bumi.
"Berarti ada dua Tormato dong," Herman menyimpulkan.
"Satu lagi tentu ada di angkasa kutub selatan," tebak Herman.
"Seratus!" Puji Amanda sambil mengacungkan ibu jari.
"Terus, bagaimana cara menghubungkan anoda dan katoda itu? kebayang, berapa panjang kabel yang dibutuhkan... " Tanya pujaan hati Amanda sambil mengernyitkan kedua alisnya.
"Secara wireless dong!" ejek Amanda menggoda kekasihnya yang masih terheran-heran dengan keajaiban teknologi dunia Osiris.
"Radio saja bisa. Bahkan dulu Nicola Tesla sudah pernah melakukan seperti itu.
Tesla memanfaatkan energi listrik yang ada di atmosfir lalu mengalirkan secara wireless ke segala penjuru lewat angkasa sehingga bisa dimanfaatkan untuk berbagai peralatan yang membutuhkan listrik."
Â
"Oh iya!" seru Herman teringat sejarah hidup ilmuwan hebat Nicola Tesla.
"Wah, ternyata Bumi sebenarnya sebuah dinamo alam yang menghasilkan energi murah dan tidak akan pernah habis sepanjang masa. Hebat ya!" Puji Herman berdecak kagum.
"Lalu cahaya di sekeliling Tormato itu apa?"
"Itu Aurora, medan listrik yang diserap oleh Tormato dan terkena cahaya dari sinar matahari sehingga menyala seperti tirai."
"Kalau lampu-lampu yang terbang naik turun itu, apa?"
"Itu adalah pesawat ulang-alik yang membawa batre yang telah terisi penuh listrik, turun ke stasiun penampung yang letaknya di darat.
Memang kalau siang hari tidak kelihatan. Lalu dari tempat itu didistribusikan ke seluruh dunia.
Kalau lampu-lampu yang naiknya adalah pesawat yang mengangkut batre kosong untuk diisi di Tormato."
"Kalo hari-hari biasa, lampu warna- warni yang terbang pulang balik ke Tormato rapat sekali, kalo sekarang jarang karena pilotnya banyak yang libur, ikut Festival." Tambah Amanda.
"Kamu pernah ke sana?" tanya Herman.
"Tidak!" Jawab Amanda. "Aku melihatnya di Internet."
"Sayang, semua ini akan lenyap" sesal Herman. "Kalau Prof. Marwan benar, maka tidak lama lagi tempat ini bakal jadi dasar lautan."
"Kuharap Alaksolan tahu juga hal ini, sebab dia harus buru-buru menyelesaikan perbaikan Time Machine-nya!"
"Festival mandi cahaya matahari tinggal beberapa jam," kata Amanda, "apakah sempat!?"
"Harus!" seru Herman, "kalau tidak, kita semua mati di sini. Ditenggelamkan air laut dari selatan. Dan tempat ini bakal jadi dasar lautan."
Amanda tidak setuju dengan penjelasan Herman. "Dasar lautan?" kata Amanda tidak percaya. "Mana mungkin!
"Kalau dipikir, ada benarnya juga orang-orang mencela Si Pembual itu!" kata Amanda. "Itong Ahuan letaknya +85 di LU, sedangkan lautan minimal di -10 LS! Air dari mana?"
Amanda tidak habis pikir.
"Apa penyebab Pangeae ini akan dibanjiri air laut dari selatan?" tanya Amanda meminta alasan.
Akhirnya Amanda dan Herman malam ini melanjutkan obrolan yang tempo hari tertunda.
"Coba pikir," pinta Herman. "Bintang utara itu seharusnya Orion, tetapi faktanya itu adalah Lyra. Jadi ada pergeseran posisi bumi!"
"Tapi pergeseran posisi bumi akibat presisi orbit bumi itu sendiri. Gak mungkin sampai mengakibatkan air laut yang jauh di selatan mengalir sampai ke utara ini!"
"Ya, tetapi kata Prof. Marwan tentu saja pergeseran kutub ini tidak terjadi berabad-abad akibat presisi orbit bumi yang lintasannya sudah permanen.
Katanya pula pergeseran ini sangat mendadak dan bukan akibat presisi yang membutuhkan waktu ribuan tahun!"
"Kalo begitu, apa yang menyebabkan kutub utara berpindah dari tempat ini ke Artik?" Tanya Amanda.
"Entahlah..." jawab Herman. "Prof. Marwan hanya bilang hal ini berkaitan dengan seekor Naga dari langit!"
"Hah, kok sains dihubung-hubungkan dengan mitos?"
"Walaupun Prof. Marwan sendiri tidak tahu, tetapi setiap peradaban bangsa-bangsa kuno di berbagai penjuru dunia memiliki memori kolektif yang sama tentang lenyapnya nenek moyang mereka akibat kedatangan naga dari langit."
"Info yang kudapat dari Pak Warman, selama era Pliosen awal yang berlangsung jutaan tahun tidak pernah ada catatan terjadi bencana alam, jadi mungkin itu yang harus kita cari tahu, apa itu Naga langit?" Kata Amanda mengalah.
Herman setuju, lalu mereka toast.
Akhirnya mereka duduk bersama saling bersendar menikmati pemandangan di langit yang sedang purnama dan dihiasi taburan jutaan bintang-bintang.
Herman mengamati wajah Amanda.
"Kalau dibandingkan sinar bulan purnama di atas itu, masih tetap cantikan kamu," rayu Herman.
Amanda hanya tersenyum manis, lalu menarik kepala Herman dengan lembut dan hangat agar lebih dekat ke wajahnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H