Mohon tunggu...
Falah Yunus
Falah Yunus Mohon Tunggu... Guru - suka ngajar

Urang Samarinda leh olah catat mencatat tulis menulis ketik mengetik kata mengata omon mengomon

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orientasi Baru dalam Psikologi Belajar

28 September 2024   01:03 Diperbarui: 28 September 2024   02:48 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar dengan Media via Imagination Ai oleh Falah Yunus

Analisa komperehensif untuk   "Orientasi Baru Dalam Psikologi Belajar"   ini  menyangkut topik  : 1) Teori  belajar  menurut  paham behaviorism, Cognitivism, Constructivism, dan Social Learning Theory; 2) Thinking skills;  3)  Motivation;  5)  Memory and forgetting;  6) Learner Autonomy; dan 7) Cooperative Learning.

A. Teori Belajar

Pemahaman  guru  akan  pengertian  dan  makna  belajar  akan mempengaruhi tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar. Guru yang hanya memahami belajar hanya agar murid bisa menghafal tentu beda cara mengajarnya dengan guru yang memahami belajar merupakan  suatu  perubahan  tingkah  laku.Untuk  itu  guru  penting memahami pengertian belajar dan teori-teori belajar. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya  sehingga  mereka  lebih  mampu  beriteraksi  dengan lingkungannya. W.H. Burton mendefinisikan belajar  : "Learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment,  which  fells  a  need and makes  him  more  capable  of dealing adequately with his environment" (1) .

Dari pengertian tersebut ada kata "change" maksudnya bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mendalami perubahan tingkah laku baik dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skills) atau dalam tiga aspek yaitu   pengetahuan   (kognitif),   sikap   (affektif),   dan   ketrampilan (psikomotor). Sedang Ernest R. Hilgard dalam B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu  mengemukakan "Belajar  adalah  suatu  proses    perubahan kegiatan karena reaksi terhadap lingkungan, perubahan tersebut tidak dapt  disebut  belajar  apabila  disebabkan  oleh  pertumbuhan  atau kedaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan obat- obatan".(2)  Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi 4   golongan, dengan  mempelajari   teori  ini guru dapat  memahami dasar  proses belajar  beserta  dalil-dalilnya  sehingga  guru  dapat  memanajemen proses belajar mengajar.

 

B. Behaviourisme

Tokoh utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson membaca karya Pavlov   dia    merasa    mendapatkan    model   yang   cocok   untuk pendiriannya, untuk menjelaskan  tingkah laku manusia.

I. Classical conditioning  (Ivan Petrovich Pavlov 1849):1936): Assosiative Learning

Teori ini dikemukkan  oleh Pavlov yang kemudian dipelopori oleh Guthric,  Skinner  yang  berhaluan  behavioris.  Pavlov  mengadakan eksperimen disebut Condition  reflex  karena yang dipelajari gerakan otot   sederhana   yang   secara   otomatis   bereaksi   terhadap   suatu perangsang tertentu. Reflex  dapat ditimbulkan oleh perangsang yang lain yang dahulunya tidak menimbulkan reflex tadi.

Kesimpulan Pavlov: (3)

Pertanda /signal  dapat  memainkan  peranan  penting  alam adaptasi hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur pada anjing karena  mengamati  pertanda  mula  mula  disebut  reflek  bersyarat (conditional  reflex/CR).  Pertanda  atau  signal  disebut  perangsang bersyarat (Conditioned Stimulus/CS). Makanan disebut perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus/US). Sedangkan keluarnya air liur karena   makanan   disebut   refleks   tak   bersyarat (Unconditioned reflex/UR).

Teori ini menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos, stimulus  yang  tidak  memadai  untuk  menimbulkan  respons  tadi akhirnya mampu menimbulkan resposns.(4)

Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah :(5)

1. Tingkah  laku  guru  mengharapkan  murid  menghafal  secara mekanis/otomatis

2.  Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif.

3. Guru tersebut membiasakan muridnya dengan latihan

4. Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran tak mengarahkan tingkah laku

5. Guru hanya memberi tugas tanpa disadari oleh muridnya

6. Guru tidak memperhatikan individual differences

7. Guru   menggunakan   "learning   by  parts"   sampai   tak   ada hubungan

8. Guru  menyuapi  murid  saja  dan  murid  menerima yang  diolah guru, jadi guru aktif.

Hal ini terjadi karena (menurut teori belajar conditioning) :

a. Terbentuknya  tingkah  laku  sangat  sederhana  dan  mekanistis reflektif

b. Peranan  perasaan, kemauan,    pikiran,  kepribadian  tak mengarahkan tingkah laku. Jadi manusia saja

c. Tak sanggup menganalisa tingkah laku yang kompleks dimana tenaga rohani sebagai pendorong.

d. Terbentuknya tingkah laku karena habis formation.

II. Assosiative Learning 

Pada hakikatnya perkembangan adalah proses asosiasi bagi para ahli  aliran  ini  yang  primer  adalah  bagian-bagian  ada  lebih  dulu sedangkan keseluruhan ada lebih kemudian. Bagian itu terikat satu sama lain  menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi. (6)

Salah   satu   tokoh   aliran   asosisasi   adalah   John   Locke.   Locke berpendapat bahwa pada permulaannya jiwa anak itu adalah bersih semisal  selembar  kertas  putih. yang  kemudian  sedikit  demi  sedikit terisi   oleh   pengalaman  atau empiris. Dalam hal ini  Locke membedakan adanya dua macam pengalaman, yaitu:

1. Pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan melalui panca indera yang menimbulkan "sensation"

2. Pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri yang menimbulkan "reflexions" . Kesan "sensation   dan   reflexions"   merupakan   pengertian   yang sederhana  (simple ideas)   Yang  kemudian dengan asosiasi membentuk pengertian yang kompleks (Complex ideas).

Aliran  asosiasi  ini  meninggalkan  sejarah ,  tetapi  dalam  lapangan pendidikan   masih   ada   yang   menjalankan,   misalnya   mengajar membaca dan  menulis secara sintetis,  metode  menggambar secara sintetis.

Praktik belajar seperti dalam teori ini masih digunakan terutama ditingkat  pendidikan dasar dan sekolah agama   atau di  pesantren- pesantren.  Murid  diberi  drill,  praktik,  pengulangan  dan  kejadian- kejadian sesuai teori ini. Belajar asosiasi dimana urutan-urutan kata- kata tertentu  berhubungan sedemikian  rupa terhadap obyek-obyek, konsep-konsep, atau situasi sehingga bila kita menyebut yang satu cenderung menyebut yang lain. Misalnya ayah berasosiasi dengan Ibu, kursi  dengan   meja.  Jika  digunakan   untuk   model   pembelajaran sekarang  masih  relevan    tentu  dengan  paradigma  baru  misalnya menerangkan dengan mode, gambar dan demostrasi.

III. The  Law  Of Effect  (Edward  L.Thorndike;1874-1949)  :  S-R Theory

Thorndike berpendapat , bahwa yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impulse untuk bertindak (impulse to action).

Bentuk belajar oleh Thorndike disifatkan dengan "Trial and Error learning"  atau  "learning  by  selecting  and  connecting"   .  Belajar berlangsung 3 hukum: 1) law of readiness; 2) law of exercise; 3) law of effect

Law of effect ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya  hubungan  sebagai  akibat  daripada  hasil  respon  yang dilakukan . Apabila suatu hubungan atau koneksi disebut dan ditandai atau  diikuti  oleh   keadaan  yang   memuaskan   ,   maka   kekuatan hubungan  itu  akan  bertambah,  se baliknya  apabila  suatu  koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan  hubungan itu akan berkurang.(7)  Dalam Law of effect, segala    tingkah     laku    yang     mengakibatkan     keadaan    yang menyenangkan akan diingat. Dan tingkah laku yang menyenangkan mudah untuk dipelajari begitu pula sebaliknya.

Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus  dan  respons.  Itulah  sebabnya  teori  ini  disebut  SR  Bond Theory atau  S-R Psycology of Learning" atau S-R Theory disebut juga teori " Trial and Error Learning"

Berdasarkan  teori  belajar  tersebut,  maka  implikasinya  bagi dalam pendidikan sebagai berikut :(8)

1. Tak memperhatikan individual differences.

2. Kadang-kadang  lupa  akan  tujuan   pokok,   karena  terlalu memperhatikan alat (reward)

3. Biasanya  yang  berhasil  adalah  murid  yang struggle  untuk menerima hadiah (reward)

Hal ini didasarkan pada pendapat teori diatas :

1. Manusia   belajar   karena   kepuasan   untuk   memperoleh ganjaran

2. Tingkah laku terbentuk karena hasil trial & error dan law of effect

3. Yang dilakukan seseorang disebabkan kesenangan sehingga berlangsung secara otomatis conditioning.

Praktik belajar seperti cocok digunakan untuk memotivasi siswa dengan  pemberian  hadiah/ganjaran/reward.  Namun penggunaannya hanya saat-saat tertentu dan dalam  keadaan yang  memungkinkan. Sebab jika  dilakukan  terus  menerus  siswa cenderung  mau  belajar karena akan memperoleh reward, lalu kalau reward ditiadakan siswa apakah  masih  mau  belajar.  Segala yang  menyenangkan    (law  of effect) akan diingat oleh siswa dan akan mudah dipelajari oleh siswa, maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat pelajaran     matematika     yang     menyeramkan     menjadi     yang menyenangkan.

IV. Operant  conditioning  (Baron.  F.  Skinnner;  1904  --1990)  : Reward & Punishment (Positive and Negative reinforcement)

Sebagaimana tokoh behavour lainnya, Skinner juga memikirkan tingkah  laku  sebagai  hubungan  antara  perangsang  dan  response, hanya  saja     Skinner  membedakan  dua  macam  response   :  1) responden   response   (reflextive   response),   yaitu   respon   yang ditimbulkan    oleh    perangsang-perangsang   tertentu,    Perangsang demikian disebut eliciting stimuli, menimbulkan respose yang relatif sama;  dan  2)  Operant  response  (instrumental  response)  yaitu response yang timbul dan  berkembangnya diikuti oleh perangsang- perangsang tertentu. Perangsang demikian disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat response yang telah dilakukan oleh organisme.

Implikasi dalam dunia pendidikan dari teori ini :

1. Anak yang telah belajar akan menjadi giat belajar jika mendapat hadiah

2. Hadiah yang diberikan kepada siswa tidak harus berupa barang

3. Inovasi  Pengajaran  sebagian  besar  disusun  berdasarkan  teori Skinner,  yaitu  memberikan  dasar  teknologi  pendidikan  yang banyak   digunakan   di   Indonesia   seperti   PPSI,   modul   dan pengajaran tuntas.

Teori  ini   belajar  ini  cocok  untuk  pendidikan  modern  dengan menggunakan inovasi-inovasi baru misalnya belajar model konferensi dengan   bantuan   komputer   yang   saling   berhubungan   (internet) sehingga dapat meningkatkan Operan response siswa menjadi lebih intensif/kuat. Teori ini masih berkembang di Amerika, tentu saja untuk Indonesia juga masih sangat cocok.

C. Cognitivism

Pandangan tentang teori belajar ini meliputi kemampuan atau mengatur   kembali   dari      susunan   pengetahuan   melalui   proses kemanusiaan  dan  penyimpanan  informasi.  Pendapat  Jean  Piaget mengenai  perkembangan  proses  belajar  pada  anak-anak adalah sebagai berikut :(9)

1. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas   untuk menyatakan kenyataan   dan   untuk   menghayati   dunia   sekitarnya.   Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.

2. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu menurut suatu urutan yang sama bagi semua orang.

3. Walaupun   berlangsungnya   tahap-tahap   perkembangan   itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.

4. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu : a. kemasakan, b. pengalaman, c. interaksi social, d. equilibration  (proses  dari  ketiga  faktor  diatas  bersama- sama   untuk   membangun   dan   memperbaiki   struktur mental)

Piaget membagi 4 tingkat perkembangan kemampuan otak untuk berpikir mengembangkan pengetahuan (cognitif) :

1. Sensor motor (umur 2 tahun)

2. Pre Oprasional (umur 2-7 tahun)

3. Konkret Oprasional (umur 7-11 tahun)

4. Format Oprasional (umur 11 tahun ke atas)

Skema sensor adalah prilaku terbuka yang bersifat jasmaniah yang tersusun secara sistematis dalam diri bayi/anak yang merespon lingkungan.  Sedangkan skema  kognitif adalah tatanan tingkah  laku untuk memahami dan menyimpulkan lingkungan yang direspon.

Ada   dua   macam   kecakapan   kognitif   siswa   yang   amat   perlu dikembangkan segera, khususnya oleh guru, yakni :

1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran

2. Strategi   meyakini   arti   penting   isi   materi   pelajaran   dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran

Teori Piaget ini beberapa hal dapat dibenarkan. Namun juga ada perkecualian bahwa ada anak pada level usia sama tapi kognisinya berbeda. Pada usia 7 -- 11 anak-anak sudak bisa menggunakan logika, siswa mudah belajar jika konsep pelajaran konkrit, jangan abstrak. Misalnya menghitung dengan bantuan jari-jari tangan. Tapi sayang di Indonesia untuk pendidikan setingkat Sekolah Dasar, siswa diarahkan pada belajar abstrak. Akibatnya pelajaran tidak membekas di memori anak, justru  saat  ini  sedang trend  diluar jam pelajaran  anak-anak kursus  matematika  dengan  bantuan  sempoa.  Peralatan  ini  akan memudahkan anak belajar, dan hasil pelajaran akan tersimpan lama dalam memori anak. Rupanya ada kesenjangan dalam belajar antara dunia SD dengan dunia kursus, padahal untuk setingkat SD belajar konkrit sangat bagus untuk perkembangan kognisi siswa. Untuk itu para praktisi pendidikan perlu juga menyimak model belajar  Dr. Maria Montessari   yang   menggunakan   metode   belajar   konkrit   dengan bantuan alat-alat belajar.

C. Constructivism

Teori    belajar    Kontstruksi       merupakan   teori-teori   yang menyatakan  bahwa  siswa  itu  sendiri  yang  harus  secara  pribadi menemukan   dan    menerapkan    informasi    kompleks,    mengecek informasi  baru dibandingkan dengan aturan  lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi. (10)

Konstruktivisme  lahir  dari  gagasan  Jean  Piaget  dan  Vigotsky dimana  keduanya  menekankan  bahwa  perubahan  kognitif  hanya terjadi  jika  konsepsi-konsepsi  yang  telah  dipahami  diolah  melalui suatu  proses  ketidakseimbangan  dalam  upaya  memakai  informasi- informasi baru.

Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa secara  terus  menerus  memeriksa  informasi-informasi  baru  yang berlawanan  dengan  aturan-aturan  lama  dan memperbaiki  aturan- aturan tersebut.

Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya semata-mata  memberikan  pengetahuan  kepada  siswa,  siswa harus membangun  pengetahuan  di  dalam  benaknya  sendiri.,  guru  hanya membantu  proses  ini  dengan  cara-cara  mengajar  yang membuat informasi  menjadi sangat  bermakna dan sangat  relevan  bagi siswa dengan  memberikan  kesimpulan  kepada  siswa  untuk  menerapkan sendiri ide-ide dan  mengajak siswa agar siswa menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.

Pendekatan     konstruktivism     dalama     pengajaran     lebih menekankan  pada  pengajaran Top-Down daripada  Bottom-Up. Top- Down  berarti  siswa  mulai dengan  masalah-masalah yang  kompleks untuk  dipecahkan  dan  selanjutnya  memecahkan  atau menemukan (dengan    bantuan   guru)    keterampilan-ketrampilan   dasar   yang diperlukan.

Constructivism dibagi tiga yaitu Zone of Proximal Development; Cognitive Apprenticeship; Scaffolding

1. Zone  of   Proximal   Development  atau  zona   perkembangan terdekat  adalah  ide  bahwa  siswa  belajar  konsep  paling  baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka.

2. Cognitive Apprenticeship, konsep lain yang diturunkan dari teori Vygotsky  menekankan  pada  dua-duanya  hakikat  sosial  dari belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan kognitif .

3. Scaffolding  atau  mediated  learning,  akhirnya  teori  Vygotsky menekankan  bahwa  scaffolding  atau  mediated  learning  atau dukungan  tahap  demi  tahap  untuk  belajar  dan  pemecahan masalah    sebagai    suatu    hal    penting    dalam    pemikiran konstruktivism modern.

Prinsip-prinsip  konstruktivisme  telah  banyak  digunakan  dalam pendidikan sains dan matematika. Pr insip-prinsip yang sering diambil dari  konstruktivisme  antara  lain  :  1)  pengetahuan  dibangun  oleh siswa secara aktif; 2) tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa;  3)  mengajar  adalah  membantu  siswa  belajar;  4)  tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar; 5)  kurikulum  menekankan  pada  partisipasi siswa;  6) guru adalah fasilitator.10  Penulis menyarankan agar konstruktivisme ini digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar bentuk yang bisa dilakukan diantaranya  konsep pembelajar mandiri (learner utonomy ), belajar kelompok   (cooperative   learning). Guru   hanya   sebagai   mediator, selanjutnya siswa secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktiv untu memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan.

D. Social Learning

Teori Belajar Sosial disebut Teori Observational Learning (Belajar Observasional   dengan pengamatan ).  Tokoh utama teori ini adalah Albert  Bandura.  Bandura  memandang  tingkah  laku  manusia  bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S -- R Bond), melainkan juga   akibat   reaksi   yang   timbul   sebagai   hasil   interaksi   antara lingkungan dengan skema kognitip manusia itu sendiri.

Prinsip Dasar Social learning :

1.  Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui: peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modeling).

2.  Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/ sekelompok orang mereaksi / merespon sebuah stimulus tertentu.

3.  Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya : guru / orang tuanya.

Pendekatan  teori  belajar  sosial  terhadap  proses  perkembangan sosal   dan   moral   siswa   ditekankan   pada   perlunya   conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).

Prosedur-prosedur Social learning :

1 . Conditioning :   prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan  perilaku-perilaku  lainnya,  yakni  dengan  :  Reward (ganjaran / memberi hadiah/ mengganjar); Punishment (hukuman / memberi hukuman).

1.  Dasar   pemikirannya   :  Sekali  seorang  siswa   mempelajari perbedaan    antara    perilaku-perilaku    yang    menghasilkan ganjaran (reward)      dengan      perilaku-perilaku      yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku social mana yang perlu ia perbuat.

2.  Komentar orang tua / guru : ketika mengganjar/menghukum siswa    merupakan    faktor    yang    penting    untuk    proses penghayatan   siswa   tersebut   terhadap   moral   standards (patokan-patokan moral ).

3.  Orang  tua  dan  guru    diharapkan  memberi  penjelasan  agar siswa  tersebut  benar-benar  paham  mengenai jenis  perilaku mana yang  menghasilkan ganjaran dan jenis  perilaku  mana yang menimbulkan sangsi.

4.  Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan.

5.  Melalui   proses   pembiasaan   merespons   (conditioning)   ini, menemukan   pemahaman   bahwa   ia   dapat   menghindari hukuman dengan  memohon  maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari sanksi.

6.  Imitation (peniruan).

Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting  sebagai  seorang  model  /  tokoh  yang  dijadikan  contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh : Mula-mula seorang siswa  mengamati  model  gurunya  sendiri  yang  sedang melakukan sebuah sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam,   berjabat   tangan,   beramah-tamah,   dan seterusnya   yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan social yang dicontohkan oleh model itu.

Kualitas  kemampuan  siswa  dalam  melakukan  perilaku  social hasil  pengamatan terhadap  model tersebut, antara  lain  bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi siswa " siapa " yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan  berwibawa seorang  model, semakin tinggi  pula  kualitas imitasi perilaku social dan moral siswa tersebut.

Jadi   dalam   Social   Learning,   anak   belajar   karena   contoh lingkungan.    Interaksi    antara    anak    dengan    lingkungan    akan menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak. Sebagai contoh hasil belajar ini adalah keagresifan anak bukan tidak mungkin disebabkan oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Anak-anak SLTP, SLTA cara memakai baju yang ketat, tidak rapi, gaya bicara yang   prokem   ternyata   akibat   nonton   tayangan   televisi   yang menyajikan  sinetron  remaja.  Anak-anak yang konsumerisme/suka jajan ternyata  pengaruh  lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme. Maka disini perlu peran dari orang tua, dan guru sebagai panutan bagi anak. Agar kedua tokoh ini dapat memberikan bantuan penyelesaian masalah anak-anak dengan baik.

E. Thinking Skills

Ketrampilan   berpikir   (Thinking   skills)   diarahkan   uintuk memecahkan masalah, dapat dilukiskan sebagai upaya mengekplorasi model-model tugas pelajaran di sekolah agar model-model itu menjadi lebih baik dan memuaskan. Model itu kadang-kadang mendorong para pemikir  untuk  berpikir  lebih jauh  berdasarkan  informasi  perceptual yang   mantap   yang   diperoleh   dari   lingkungannya,   dan   mampu mengantisipasi hasil-hasilnya tanpa melalui perlakuan mencoba salah (trial and error).(11) Ketrampilan berpikir telah menjadi ungkapan yang bersifat umum, mencakup proses belajar dan memecahkan masalah.

Ada 3 klasifikasi dari ketrampilan berpikir (Sternberg,1989) :

1. Ketrampilan  berpikir  Kritis  yang  terdiri :  a)  menganalisa;  b) tinjauan/kupasan;    c)    menilai;    d)    mempertimbangkan;    e) membandingkan dan membedakan; f) menaksir

2. Ketrampilan  Berpikir praktis yang terdiri  : a) penerapan; b) penggunaan dan memanfaatkan; c) latihan, praktik

3. Ketrampilan  berpikir  kreatif  yang  terdiri  :  a)  membuat;  b) menemukan; c) merekayasa; d) membayangkan; e) mengira; f) menduga

F. Problim Solving

Problim   solving   merupakan   ketrampilan       berpikir   untuk memecahkan  masalah  yang  pelik.  Metode  yang  digunakan  adalah menggunakan metode ilmiah berarti berpikir yang sistematik, logis, teratur dan teliti.

Cara Ilmiah untuk memcahkan masalah dengan langkah-langkah: (12)

1. Memahami masalah atau problema

2. Mengumpulkan keterangan atau data

3. Merumuskan  hypotesa  atau jawaban  yang  mengkin  memberi penyelesaian

4. Menilai suatu hypotesa

5. Men-test atau mengadakan eksperimen

6. Membentuk kesimpulan

Ketrampilan berpikir belum dikembangkan di Indonesia, terutama di sekolah-sekolah, padahal ketrampilan ini besar manfaatnya dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari di rumah, di sekolah, di kantor dan dimasyarakat. Rendahnya mutu pendidikan baik di tingkat dasar, menengah maupun tinggi salah satunya belum dikembangkan ketrampilan  berpikir.  Untuk  itu  upaya  untuk pengembangan  SDM hendaknya   dimulai   di   sekolah   dengan   cara   mengembangkan ketrampilan berpikir. Siswa sejak dini diajari problem solving dengan cara berpikir ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah. Guru dan dosen  sebagai  ujung  tombak keberhasilan  pendidikan  hendaknya mempunyai ketrampilan berpikir ini, agar dapat mengajarkan kepada pelajar/mahapelajar mempunyai ketrampilan berpikir.

G. Motivation

Motivasi   adalah   suatu   kondisi   yang   menyebebkan   atau menimbulkan  perilaku  tertentu,  dan  memberi  arah  dan  ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut (Wlodkowski:1985)

Berdasar rumusan di atas motif merupakan faktor dinamis, penyebab seseorang melakukan perbuatan. Suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh sesuatu motif.  Namun juga bisa disebabkan oleh beberapa motif. Dalam  belajar,  motivasi  punya  peranan  yang penting.  Siswa  tidak akan belajar dalam arti yang sebenarnya kalau tidak ada motif.

Motivasi belajar siswa dibagi 2 yaitu  : (1) motivasi intrinsik  : adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu; (2) motivasi ekstrinsik : adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.(13)

Penulis dalam melakukan penelitian tentang "Hubungan motivasi Dengan Prestasi Belajar siswa SMK Negeri 1 Samarinda, Tahun 2022" dapat menyimpulkan bahwa :

1. Korelasi motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa (r=0,62)

2. Interpretasi r= 0,62 yaitu : tingkat  hubungan adalah "kuat"

3. Sumbangan relatif motivasi terhadap prestasi belajar (r2 =0,39 atau 39%), sedang sisanya 61% dipengaruhi oleh faktor lain.

4. Pada  angket  motivasi  dibagi  dua  yaitu  motivasi  intrinsik  dan motivasi  ekstrinsik,  ternyata  motivasi  intrinsik  lebih  dominan daripada motivasi ekstrinsik, dengan perbandingan 6:4.

5. Di SMK Negeri 1 ada kelas unggulan dan kelas biasa, ternyata kelas unggulan motivasinya lebih tinggi daripada kelas biasa.

Sebagai  guru  sulit  rasanya  untuk  meningkatkan  intelegensia pelajar  maka  sebagai  seorang  motivator,    guru  hendaknya  dapat membangkitkan minat belajar siswa dengan cara memotivasi siswa. Ada enam hal yang perlu dilakukan oleh guru :(14)

1. Membangkitkan dorongan kepada siswa untuk belajar

2. Menjelaskan  secara  konkret  kepada  siswa  apa  yang  dapat dilakukan pada akhir pengajaran

3. Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai sehingga dapat  merangsang  untuk  mendapat  prestasi  yang  lebih  baik dikemudian hari

4. Membetuk kebiasaan belajar yang baik

5. Membantu  kesulitan  belajar  siswa  secara  individu  maupun kelompok

6. Menggunakan metode mengajar yang bervariasi

G. Memory and Forgetting

Ingatan   adalah   penarikan   kembali   informasi   yang   pernah diperoleh  sebelumnya. Informasi yang pernah diperoleh sebelumnya dapat disimpan untuk : 1) beberapa saat saja; 2) beberapa waktu; 3) jangka waktu yang tidak terbatas.(15)

Mengingat tidak   sama  dengan  menghafal,  seorang  mahasiswa  S2 mungkin hafal bahan yang diujikan, sesudah ia lulus ia tidak ingat lagi bahan itu. Jadi "ingat"   selangkah lebih maju dari   menghafal. Bagi beberapa  orang  dengan  menggunakan  "kunci"  atau cara  tertentu dapat  memudahkan  mengingat  dan  menghafalkan.  Menghafal  atau memahami   bahan   sering   digunakan   bersama-sama.  Alat   Bantu mengingat, seperti untuk menentukan besarnya resistan pada  resistor (komponen  elektro)  yang dibedakan  atas  warna    yang  disingkat MEJIKU HIBINIU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu) akan lebih mudah diingat daripada tanpa disingkat.

Tehnik belajar bahasa adalah resitasi yaitu pengulangan terus menerus  sehingga  bukan  hanya  hafal  akan  suatu  hal  tapi  juga meresap dalam diri pribadi menjadi bagian hidup seseorang. Hampir 80% waktu untuk belajar bahasa pada tahap awal harus digunakan ini. Ada 3 hal yang harus dikuasai dalam belajar bahasa asing yaitu: 1) belajar  membaca  dan  menerjemahkan  dalam  bahasa  sendiri;  2) dapat  menangkap  pembicaraan;  3)  belajar  bercakap-cakap  dalam bahasa  asing.  Jika  latihan  resitasi  dapat  dilakukan  secara  teratur niscaya ketiga ketrampilan itu akan dapat dikuasainya. (16)

Pelajaran  hafalan  menurut  hemat  penulis  masih  perlu  dilakukan terutama untuk tingkat SD. Untuk siswa yang telah memasuki SLTP pelajaran  hafalan  perlu  ditinggalkan  dan  diganti  dengan  metode pemahaman.  Hanya saja  untuk  pelajaran  bahasa, terutama  bahasa asing   Teknik   resitasi   mutlak   diperlukan,   karena   pengualangan- pengulangan terus menerus akan membuat pelajar menjadi hafal.

Kemampuan  untuk  mengingat  yang  lebih  maju  dari  pada hafalan, ternyata masih diperlukan bagi para pembelajar dari segala tingkatan,  tentu  saja  guru  harus  pandai  membuat  pelajaran  agar melekat terus pada ingatan anak, misalnya belajar berhitung dibantu dengan sempoa, menjelaskan hal yang penting secara berulang-ulang, membuat  "kata   kunci"   atau   dengan   alat   bantu   lainnya   untuk membantu siswa untuk mengingat sesuatu.

H. Learner Autonomy

Pembelajar  mandiri  (learner autonomy) adalah suatu  masalah yang eksplisit atau perhatian yang serius atau sadar. Kita tidak dapat menerima   tanggung   jawab   pembelajaran   kita   meskipun   kita mempunyai ide apa, bagaimana, kenapa kita berusaha untuk belajar. Pembelajar  harus  berinisiatif   untuk  memberi  bentuk arahan  untuk proses belajar dan harus berbagi dalam kemajuan dan evaluasi untuk mengembangkan sasaran pembelajar yang dicapai.

Otonomi secara semantik berarti kompleks, Pembelajar mandiri harus  menginterpretasikan  kebebasan dari  kontrol guru, kebebasan dari  tekanan  kurikulum  bahkan  kebebasan  untuk  memilih  tidak belajar.   Masing-masing   kebebasan   ini   harus dihadapkan   dan didiskusikan secara bijaksana, tetapi untuk kita yang terpenting adalah kebebasan  belajar yang tersirat  di  dalam diri  sendiri. Yang berarti kapasitas tersebut dibatasi dengan tujuan yang ingin dicapai.

Pembelajar  mandiri  secara  umum  adalah  salah  satu  hasil perkembangan dan eksperimen belajar, sebagai contoh penguasaan bahasa  Ibu  berhasil  hanya  bila  dikembangkan  oleh  murid  sebagai pengguna bahasa tersebut, sebagai bahasa Ibu. Sama dengan belajar melalui  pengalaman  membantu  mendefinisikan  apa  itu  pelayanan masyarakat dalam memperkembangkan kapasitasnya sebagai tingkah laku pembelajar mandiri. Kebanyakan guru tergantung latihan-latihan pembelajar dalam jangkauan yang lebar dari kelakuan pembelajar di luar   kelas   yang   tergambar   dalam   prinsip   semua   pembelajar seharusnya mampu di dalam kelas.

Beberapa kritik diajukan terhadap pembelajar mandiri ini dengan ide-ide  yang  bermacam-macam,  seperti  bagian  dari  tradisi budaya barat atau pembelajar bukan barat/aneh. (Jones, 1995). Argumen ini dibantah   bahwa   metode   ini   digunakan   untuk   mengembangkan pengetahuan  pembelajar  mandiri  se bagai  tradisi  pengajaran  barat contoh    budaya    pendidikan    Denmark, Inggris    dan    Irlandia. Perkembangan  Pembelajar  mandiri  di Jepang  dielaborasikan  secara spesifik dengan tradisi budaya Jepang baik di dalam maupun di luar kelas, diharapkan  pengalaman terhadap tantangan   dan  pengayaan belajar  adalah  didapatkan  rasa percaya  diri  untuk  dibawa  pulang dengan pengertian yang besar mengenai teori dan implikasi praktik pendidikan.(17)

Belajar  mandiri  membuat  para  pelajar  terbebas  dari  kelas reguler,  membuat  belajar  sesuai  dengan  kemampuan  pelajar,  dan dapat   melayani   diri   sendiri   dalam   hal   kebutuhan   belajarnya. Paradigma  belajar  atau  learning  paradigm  yang  akan menjadikan pelajar-pelajar  atau  learner  menjadi  manusia  yang  diberdayakan adalah salah satu strategi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu perlu diupayakan agar belajar mandiri ini dapat berkembang dengan mendorong para pelajar untuk belajar   dengan tekun yang datang  dari  keinginannya  sendiri.  Dengan  demikian  akan  diperoleh generasi yang proaktif, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan kritis. Dengan pembelajar mandiri maka akan tercipta generasi bisa bertoleransi,    bisa berdemokrasi,    dan    berbudi    pekerti,    serta menghargai hak-hak orang lain. Maka untuk selanjutnya kita tidak lagi menyebut siswa, student atau pupil tapi learner atau pelajar bagi anak didik kita.

I. Cooperative Learning

Belajar Kelompok (Cooperative learning) adalah sebuah strategi pengajaran yang sukses di dalam tim kecil, penggunaan sebuah variasi dari aktivitas belajar untuk memperbaiki pemahaman subyek. Setiap anggota tim tidak hanya bertanggung jawab pada belajar yang telah diajarkan tapi juga membantu  kawan belajar se-tim, jadi membuat sebuah kondisi berprestasi.  (18)

Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah :(19)

1. Siswa   bekerja   dalam   kelompok   secara   kooperatif   untuk menuntaskan materi belajarnya

2. Kelompok  dibentuk  dari  siswa  yang  memiliki  kemampuan tinggi, sedang dan rendah

3. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelami berbeda-beda

4. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu

Belajar  kelompok yang terdiri 4-6 anak  per  kelompok sangat bagus  bagi  perkembangan  kepribadian  anak  dan  perkembangan sosialisasi. Pada belajar ini siswa dapat saling berinteraksi sehingga akan  timbul  rasa  persaudaraan,  siswa  belajar  untuk mengeluarkan pendapat, ide. Siswa akan bangga terhadap penguasaan topik tertentu dan akan  memberikan  presentasi  kepada teman-temannya,  bahkan dalam salah satu strategi belajar kelompok siswa dapat memperoleh julukan ahli misalnya ahli empedu, ahli jantung dan sebagainya dalam belajar kelompok.

Sayangnya karena kurikulum di sekolah yang padat, dan guru harus menghabiskan materi sesuai program pengajaran maka banyak guru yang tidak mau menjalankan, alasan repot, makan waktu dan memerlukan  kerja  keras  untuk  memperhatikan  tiap-tiap kelompok. Biasanya  guru  hanya  membagi  kelompok  pelajar  untuk  berdiskusi tentang suatu topik, tanpa ada  bimbingan,  misalnya siswa  masing- masing berdiskusi, hasil diskusi ditulis di kertas, hasilnya dikumpulkan. Guru  yang  profesional  tentu  tidak  akan melewatkan  masa-masa tugasnya dengan menggunakan metode belajar kooperative.

(1) W.H. Burton, The Guidances of Learning Activities, Appleton Century Crofts, New York, 1952

(2) B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, Psikologi Perkembangan, Tarsito, Bandung. 1981

(3)  Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987

(4) Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Jakarta, 2000

(5) B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, op cit, halaman 194

(6)  Sumadi Suryabrata,  op. cit, halaman 172

(7)  Sumadi Suryabrata, Op Cit, halaman 271

(8) B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, halaman 1977

(9)  Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 1995

(10) Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997

(11) Cece Wijaya, Pengajaran Remedial, Rosda Karya, Bandung, 2001

(12) Nasution, Didaktik Metodik, Bina Aksara, Jakarta, 1981

(13)  Syaiful BakriDjamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya, 1994

(14) ibid

(15)  Slameto, op cit

(16) YB. Sudarmanto, Tuntunan Metodologi Belajar, Grassindo, Jakarta, 1992

(17) http://langue.hyoer.chubu.ac.jp/jalt/pub/t;t/98/nov/littledam.html

(18) http://www.ed.gov/pubs/OR/Consumen Guides/Index.html

(19) Muslimin Ibrahim dkk, Pembelajaran Kooperative, Program Pasca Sarjana Unesa, University Pers,20(S)urabaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun