Analisa komperehensif untuk  "Orientasi Baru Dalam Psikologi Belajar"  ini  menyangkut topik  : 1) Teori  belajar  menurut  paham behaviorism, Cognitivism, Constructivism, dan Social Learning Theory; 2) Thinking skills;  3)  Motivation;  5)  Memory and forgetting;  6) Learner Autonomy; dan 7) Cooperative Learning.
A. Teori Belajar
Pemahaman  guru  akan  pengertian  dan  makna  belajar  akan mempengaruhi tindakannya dalam membimbing siswa untuk belajar. Guru yang hanya memahami belajar hanya agar murid bisa menghafal tentu beda cara mengajarnya dengan guru yang memahami belajar merupakan  suatu  perubahan  tingkah  laku.Untuk  itu  guru  penting memahami pengertian belajar dan teori-teori belajar. Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya  sehingga  mereka  lebih  mampu  beriteraksi  dengan lingkungannya. W.H. Burton mendefinisikan belajar  : "Learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment,  which  fells  a  need and makes  him  more  capable  of dealing adequately with his environment" (1) .
Dari pengertian tersebut ada kata "change" maksudnya bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mendalami perubahan tingkah laku baik dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skills) atau dalam tiga aspek yaitu  pengetahuan  (kognitif),  sikap  (affektif),  dan  ketrampilan (psikomotor). Sedang Ernest R. Hilgard dalam B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu  mengemukakan "Belajar  adalah  suatu  proses   perubahan kegiatan karena reaksi terhadap lingkungan, perubahan tersebut tidak dapt  disebut  belajar  apabila  disebabkan  oleh  pertumbuhan  atau kedaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan obat- obatan".(2) Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi 4  golongan, dengan  mempelajari  teori  ini guru dapat  memahami dasar  proses belajar  beserta  dalil-dalilnya  sehingga  guru  dapat  memanajemen proses belajar mengajar.
Â
B. Behaviourisme
Tokoh utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson membaca karya Pavlov  dia   merasa   mendapatkan   model  yang  cocok  untuk pendiriannya, untuk menjelaskan  tingkah laku manusia.
I. Classical conditioning  (Ivan Petrovich Pavlov 1849):1936): Assosiative Learning
Teori ini dikemukkan  oleh Pavlov yang kemudian dipelopori oleh Guthric,  Skinner  yang  berhaluan  behavioris.  Pavlov  mengadakan eksperimen disebut Condition  reflex karena yang dipelajari gerakan otot  sederhana  yang  secara  otomatis  bereaksi  terhadap  suatu perangsang tertentu. Reflex  dapat ditimbulkan oleh perangsang yang lain yang dahulunya tidak menimbulkan reflex tadi.
Kesimpulan Pavlov: (3)
Pertanda /signal  dapat  memainkan  peranan  penting  alam adaptasi hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur pada anjing karena  mengamati  pertanda  mula  mula  disebut  reflek  bersyarat (conditional  reflex/CR).  Pertanda  atau  signal  disebut  perangsang bersyarat (Conditioned Stimulus/CS). Makanan disebut perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus/US). Sedangkan keluarnya air liur karena  makanan  disebut  refleks  tak  bersyarat (Unconditioned reflex/UR).
Teori ini menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos, stimulus  yang  tidak  memadai  untuk  menimbulkan  respons  tadi akhirnya mampu menimbulkan resposns.(4)
Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah :(5)
1. Tingkah  laku  guru  mengharapkan  murid  menghafal  secara mekanis/otomatis
2. Â Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif.
3. Guru tersebut membiasakan muridnya dengan latihan
4. Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran tak mengarahkan tingkah laku
5. Guru hanya memberi tugas tanpa disadari oleh muridnya
6. Guru tidak memperhatikan individual differences
7. Guru  menggunakan  "learning  by  parts"  sampai  tak  ada hubungan
8. Guru  menyuapi  murid  saja  dan  murid  menerima yang  diolah guru, jadi guru aktif.
Hal ini terjadi karena (menurut teori belajar conditioning) :
a. Terbentuknya  tingkah  laku  sangat  sederhana  dan  mekanistis reflektif
b. Peranan  perasaan, kemauan,   pikiran,  kepribadian  tak mengarahkan tingkah laku. Jadi manusia saja
c. Tak sanggup menganalisa tingkah laku yang kompleks dimana tenaga rohani sebagai pendorong.
d. Terbentuknya tingkah laku karena habis formation.
II. Assosiative LearningÂ
Pada hakikatnya perkembangan adalah proses asosiasi bagi para ahli  aliran  ini  yang  primer  adalah  bagian-bagian  ada  lebih  dulu sedangkan keseluruhan ada lebih kemudian. Bagian itu terikat satu sama lain  menjadi suatu keseluruhan oleh asosiasi. (6)
Salah  satu  tokoh  aliran  asosisasi  adalah  John  Locke.  Locke berpendapat bahwa pada permulaannya jiwa anak itu adalah bersih semisal  selembar  kertas  putih. yang  kemudian  sedikit  demi  sedikit terisi  oleh  pengalaman  atau empiris. Dalam hal ini  Locke membedakan adanya dua macam pengalaman, yaitu:
1. Pengalaman luar, yaitu pengalaman yang diperoleh dengan melalui panca indera yang menimbulkan "sensation"
2. Pengalaman dalam, yaitu pengalaman mengenai keadaan dan kegiatan batin sendiri yang menimbulkan "reflexions" . Kesan "sensation   dan  reflexions"  merupakan  pengertian  yang sederhana  (simple ideas)  Yang  kemudian dengan asosiasi membentuk pengertian yang kompleks (Complex ideas).
Aliran  asosiasi  ini  meninggalkan  sejarah ,  tetapi  dalam  lapangan pendidikan  masih  ada  yang  menjalankan,  misalnya  mengajar membaca dan  menulis secara sintetis,  metode  menggambar secara sintetis.
Praktik belajar seperti dalam teori ini masih digunakan terutama ditingkat  pendidikan dasar dan sekolah agama  atau di  pesantren- pesantren.  Murid  diberi  drill,  praktik,  pengulangan  dan  kejadian- kejadian sesuai teori ini. Belajar asosiasi dimana urutan-urutan kata- kata tertentu  berhubungan sedemikian  rupa terhadap obyek-obyek, konsep-konsep, atau situasi sehingga bila kita menyebut yang satu cenderung menyebut yang lain. Misalnya ayah berasosiasi dengan Ibu, kursi  dengan  meja.  Jika  digunakan  untuk  model  pembelajaran sekarang  masih  relevan   tentu  dengan  paradigma  baru  misalnya menerangkan dengan mode, gambar dan demostrasi.
III. The  Law  Of Effect  (Edward  L.Thorndike;1874-1949)  :  S-R Theory
Thorndike berpendapat , bahwa yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impulse untuk bertindak (impulse to action).
Bentuk belajar oleh Thorndike disifatkan dengan "Trial and Error learning"  atau  "learning  by  selecting  and  connecting"  .  Belajar berlangsung 3 hukum: 1) law of readiness; 2) law of exercise; 3) law of effect
Law of effect ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya  hubungan  sebagai  akibat  daripada  hasil  respon  yang dilakukan . Apabila suatu hubungan atau koneksi disebut dan ditandai atau  diikuti  oleh  keadaan  yang  memuaskan  ,  maka  kekuatan hubungan  itu  akan  bertambah,  se baliknya  apabila  suatu  koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan  hubungan itu akan berkurang.(7) Dalam Law of effect, segala   tingkah   laku   yang   mengakibatkan   keadaan   yang menyenangkan akan diingat. Dan tingkah laku yang menyenangkan mudah untuk dipelajari begitu pula sebaliknya.
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus  dan  respons.  Itulah  sebabnya  teori  ini  disebut  SR  Bond Theory atau  S-R Psycology of Learning" atau S-R Theory disebut juga teori " Trial and Error Learning"
Berdasarkan  teori  belajar  tersebut,  maka  implikasinya  bagi dalam pendidikan sebagai berikut :(8)
1. Tak memperhatikan individual differences.
2. Kadang-kadang  lupa  akan  tujuan  pokok,  karena  terlalu memperhatikan alat (reward)
3. Biasanya  yang  berhasil  adalah  murid  yang struggle  untuk menerima hadiah (reward)
Hal ini didasarkan pada pendapat teori diatas :
1. Manusia  belajar  karena  kepuasan  untuk  memperoleh ganjaran
2. Tingkah laku terbentuk karena hasil trial & error dan law of effect
3. Yang dilakukan seseorang disebabkan kesenangan sehingga berlangsung secara otomatis conditioning.
Praktik belajar seperti cocok digunakan untuk memotivasi siswa dengan  pemberian  hadiah/ganjaran/reward.  Namun penggunaannya hanya saat-saat tertentu dan dalam  keadaan yang  memungkinkan. Sebab jika  dilakukan  terus  menerus  siswa cenderung  mau  belajar karena akan memperoleh reward, lalu kalau reward ditiadakan siswa apakah  masih  mau  belajar.  Segala yang  menyenangkan   (law  of effect) akan diingat oleh siswa dan akan mudah dipelajari oleh siswa, maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat pelajaran   matematika   yang   menyeramkan   menjadi   yang menyenangkan.
IV. Operant  conditioning  (Baron.  F.  Skinnner;  1904  --1990)  : Reward & Punishment (Positive and Negative reinforcement)
Sebagaimana tokoh behavour lainnya, Skinner juga memikirkan tingkah  laku  sebagai  hubungan  antara  perangsang  dan  response, hanya  saja   Skinner  membedakan  dua  macam  response  :  1) responden  response  (reflextive  response),  yaitu  respon  yang ditimbulkan   oleh   perangsang-perangsang  tertentu,   Perangsang demikian disebut eliciting stimuli, menimbulkan respose yang relatif sama;  dan  2)  Operant  response  (instrumental  response)  yaitu response yang timbul dan  berkembangnya diikuti oleh perangsang- perangsang tertentu. Perangsang demikian disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat response yang telah dilakukan oleh organisme.
Implikasi dalam dunia pendidikan dari teori ini :
1. Anak yang telah belajar akan menjadi giat belajar jika mendapat hadiah
2. Hadiah yang diberikan kepada siswa tidak harus berupa barang
3. Inovasi  Pengajaran  sebagian  besar  disusun  berdasarkan  teori Skinner,  yaitu  memberikan  dasar  teknologi  pendidikan  yang banyak  digunakan  di  Indonesia  seperti  PPSI,  modul  dan pengajaran tuntas.
Teori  ini  belajar  ini  cocok  untuk  pendidikan  modern  dengan menggunakan inovasi-inovasi baru misalnya belajar model konferensi dengan  bantuan  komputer  yang  saling  berhubungan  (internet) sehingga dapat meningkatkan Operan response siswa menjadi lebih intensif/kuat. Teori ini masih berkembang di Amerika, tentu saja untuk Indonesia juga masih sangat cocok.
C. Cognitivism
Pandangan tentang teori belajar ini meliputi kemampuan atau mengatur  kembali  dari    susunan  pengetahuan  melalui  proses kemanusiaan  dan  penyimpanan  informasi.  Pendapat  Jean  Piaget mengenai  perkembangan  proses  belajar  pada  anak-anak adalah sebagai berikut :(9)
1. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas  untuk menyatakan kenyataan  dan  untuk  menghayati  dunia  sekitarnya.  Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.
2. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu menurut suatu urutan yang sama bagi semua orang.
3. Walaupun  berlangsungnya  tahap-tahap  perkembangan  itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
4. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu : a. kemasakan, b. pengalaman, c. interaksi social, d. equilibration (proses  dari  ketiga  faktor  diatas  bersama- sama  untuk  membangun  dan  memperbaiki  struktur mental)
Piaget membagi 4 tingkat perkembangan kemampuan otak untuk berpikir mengembangkan pengetahuan (cognitif) :
1. Sensor motor (umur 2 tahun)
2. Pre Oprasional (umur 2-7 tahun)
3. Konkret Oprasional (umur 7-11 tahun)
4. Format Oprasional (umur 11 tahun ke atas)
Skema sensor adalah prilaku terbuka yang bersifat jasmaniah yang tersusun secara sistematis dalam diri bayi/anak yang merespon lingkungan.  Sedangkan skema  kognitif adalah tatanan tingkah  laku untuk memahami dan menyimpulkan lingkungan yang direspon.
Ada  dua  macam  kecakapan  kognitif  siswa  yang  amat  perlu dikembangkan segera, khususnya oleh guru, yakni :
1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
2. Strategi  meyakini  arti  penting  isi  materi  pelajaran  dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran
Teori Piaget ini beberapa hal dapat dibenarkan. Namun juga ada perkecualian bahwa ada anak pada level usia sama tapi kognisinya berbeda. Pada usia 7 -- 11 anak-anak sudak bisa menggunakan logika, siswa mudah belajar jika konsep pelajaran konkrit, jangan abstrak. Misalnya menghitung dengan bantuan jari-jari tangan. Tapi sayang di Indonesia untuk pendidikan setingkat Sekolah Dasar, siswa diarahkan pada belajar abstrak. Akibatnya pelajaran tidak membekas di memori anak, justru  saat  ini  sedang trend  diluar jam pelajaran  anak-anak kursus  matematika  dengan  bantuan  sempoa.  Peralatan  ini  akan memudahkan anak belajar, dan hasil pelajaran akan tersimpan lama dalam memori anak. Rupanya ada kesenjangan dalam belajar antara dunia SD dengan dunia kursus, padahal untuk setingkat SD belajar konkrit sangat bagus untuk perkembangan kognisi siswa. Untuk itu para praktisi pendidikan perlu juga menyimak model belajar  Dr. Maria Montessari  yang  menggunakan  metode  belajar  konkrit  dengan bantuan alat-alat belajar.
C. Constructivism
Teori   belajar   Kontstruksi    merupakan  teori-teori  yang menyatakan  bahwa  siswa  itu  sendiri  yang  harus  secara  pribadi menemukan  dan   menerapkan   informasi   kompleks,   mengecek informasi  baru dibandingkan dengan aturan  lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi. (10)
Konstruktivisme  lahir  dari  gagasan  Jean  Piaget  dan  Vigotsky dimana  keduanya  menekankan  bahwa  perubahan  kognitif  hanya terjadi  jika  konsepsi-konsepsi  yang  telah  dipahami  diolah  melalui suatu  proses  ketidakseimbangan  dalam  upaya  memakai  informasi- informasi baru.
Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri. Teori ini memandang siswa secara  terus  menerus  memeriksa  informasi-informasi  baru  yang berlawanan  dengan  aturan-aturan  lama  dan memperbaiki  aturan- aturan tersebut.
Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya semata-mata  memberikan  pengetahuan  kepada  siswa,  siswa harus membangun  pengetahuan  di  dalam  benaknya  sendiri.,  guru  hanya membantu  proses  ini  dengan  cara-cara  mengajar  yang membuat informasi  menjadi sangat  bermakna dan sangat  relevan  bagi siswa dengan  memberikan  kesimpulan  kepada  siswa  untuk  menerapkan sendiri ide-ide dan  mengajak siswa agar siswa menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Pendekatan   konstruktivism   dalama   pengajaran   lebih menekankan  pada  pengajaran Top-Down daripada  Bottom-Up. Top- Down berarti  siswa  mulai dengan  masalah-masalah yang  kompleks untuk  dipecahkan  dan  selanjutnya  memecahkan  atau menemukan (dengan   bantuan  guru)   keterampilan-ketrampilan  dasar  yang diperlukan.
Constructivism dibagi tiga yaitu Zone of Proximal Development; Cognitive Apprenticeship; Scaffolding
1. Zone  of  Proximal  Development atau  zona  perkembangan terdekat  adalah  ide  bahwa  siswa  belajar  konsep  paling  baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka.
2. Cognitive Apprenticeship, konsep lain yang diturunkan dari teori Vygotsky  menekankan  pada  dua-duanya  hakikat  sosial  dari belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan kognitif .
3. Scaffolding atau  mediated  learning,  akhirnya  teori  Vygotsky menekankan  bahwa  scaffolding  atau  mediated  learning  atau dukungan  tahap  demi  tahap  untuk  belajar  dan  pemecahan masalah   sebagai   suatu   hal   penting   dalam   pemikiran konstruktivism modern.
Prinsip-prinsip  konstruktivisme  telah  banyak  digunakan  dalam pendidikan sains dan matematika. Pr insip-prinsip yang sering diambil dari  konstruktivisme  antara  lain  :  1)  pengetahuan  dibangun  oleh siswa secara aktif; 2) tekanan proses belajar mengajar terletak pada siswa;  3)  mengajar  adalah  membantu  siswa  belajar;  4)  tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar; 5)  kurikulum  menekankan  pada  partisipasi siswa;  6) guru adalah fasilitator.10  Penulis menyarankan agar konstruktivisme ini digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar bentuk yang bisa dilakukan diantaranya  konsep pembelajar mandiri (learner utonomy ), belajar kelompok  (cooperative  learning). Guru  hanya  sebagai  mediator, selanjutnya siswa secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktiv untu memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan.
D. Social Learning
Teori Belajar Sosial disebut Teori Observational Learning (Belajar Observasional  dengan pengamatan ).  Tokoh utama teori ini adalah Albert  Bandura.  Bandura  memandang  tingkah  laku  manusia  bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S -- R Bond), melainkan juga  akibat  reaksi  yang  timbul  sebagai  hasil  interaksi  antara lingkungan dengan skema kognitip manusia itu sendiri.
Prinsip Dasar Social learning :
1. Â Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui: peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modeling).
2. Â Dalam hal ini, seorang siswa belajar mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/ sekelompok orang mereaksi / merespon sebuah stimulus tertentu.
3. Â Siswa dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya : guru / orang tuanya.
Pendekatan  teori  belajar  sosial  terhadap  proses  perkembangan sosal  dan  moral  siswa  ditekankan  pada  perlunya  conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).
Prosedur-prosedur Social learning :
1 . Conditioning :  prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan  perilaku-perilaku  lainnya,  yakni  dengan  :  Reward (ganjaran / memberi hadiah/ mengganjar); Punishment (hukuman / memberi hukuman).
1.  Dasar  pemikirannya  :  Sekali  seorang  siswa  mempelajari perbedaan   antara   perilaku-perilaku   yang   menghasilkan ganjaran (reward)    dengan    perilaku-perilaku    yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku social mana yang perlu ia perbuat.
2.  Komentar orang tua / guru : ketika mengganjar/menghukum siswa   merupakan   faktor   yang   penting   untuk   proses penghayatan  siswa  tersebut  terhadap  moral  standards (patokan-patokan moral ).
3.  Orang  tua  dan  guru   diharapkan  memberi  penjelasan  agar siswa  tersebut  benar-benar  paham  mengenai jenis  perilaku mana yang  menghasilkan ganjaran dan jenis  perilaku  mana yang menimbulkan sangsi.
4. Â Reaksi-reaksi seorang siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan.
5.  Melalui  proses  pembiasaan  merespons  (conditioning)  ini, menemukan  pemahaman  bahwa  ia  dapat  menghindari hukuman dengan  memohon  maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari sanksi.
6.  Imitation (peniruan).
Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting  sebagai  seorang  model  /  tokoh  yang  dijadikan  contoh berperilaku sosial dan moral bagi siswa. Contoh : Mula-mula seorang siswa  mengamati  model  gurunya  sendiri  yang  sedang melakukan sebuah sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam,  berjabat  tangan,  beramah-tamah,  dan seterusnya  yang dilakukan model itu diserap oleh memori siswa tersebut. Diharapkan, cepat/lambat siswa tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan social yang dicontohkan oleh model itu.
Kualitas  kemampuan  siswa  dalam  melakukan  perilaku  social hasil  pengamatan terhadap  model tersebut, antara  lain  bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi siswa " siapa " yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan  berwibawa seorang  model, semakin tinggi  pula  kualitas imitasi perilaku social dan moral siswa tersebut.
Jadi  dalam  Social  Learning,  anak  belajar  karena  contoh lingkungan.   Interaksi   antara   anak   dengan   lingkungan   akan menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak. Sebagai contoh hasil belajar ini adalah keagresifan anak bukan tidak mungkin disebabkan oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Anak-anak SLTP, SLTA cara memakai baju yang ketat, tidak rapi, gaya bicara yang  prokem  ternyata  akibat  nonton  tayangan  televisi  yang menyajikan  sinetron  remaja.  Anak-anak yang konsumerisme/suka jajan ternyata  pengaruh  lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme. Maka disini perlu peran dari orang tua, dan guru sebagai panutan bagi anak. Agar kedua tokoh ini dapat memberikan bantuan penyelesaian masalah anak-anak dengan baik.
E. Thinking Skills
Ketrampilan  berpikir  (Thinking  skills)  diarahkan  uintuk memecahkan masalah, dapat dilukiskan sebagai upaya mengekplorasi model-model tugas pelajaran di sekolah agar model-model itu menjadi lebih baik dan memuaskan. Model itu kadang-kadang mendorong para pemikir  untuk  berpikir  lebih jauh  berdasarkan  informasi  perceptual yang  mantap  yang  diperoleh  dari  lingkungannya,  dan  mampu mengantisipasi hasil-hasilnya tanpa melalui perlakuan mencoba salah (trial and error).(11) Ketrampilan berpikir telah menjadi ungkapan yang bersifat umum, mencakup proses belajar dan memecahkan masalah.
Ada 3 klasifikasi dari ketrampilan berpikir (Sternberg,1989) :
1. Ketrampilan  berpikir  Kritis  yang  terdiri :  a)  menganalisa;  b) tinjauan/kupasan;   c)   menilai;   d)   mempertimbangkan;   e) membandingkan dan membedakan; f) menaksir
2. Ketrampilan  Berpikir praktis yang terdiri  : a) penerapan; b) penggunaan dan memanfaatkan; c) latihan, praktik
3. Ketrampilan  berpikir  kreatif  yang  terdiri  :  a)  membuat;  b) menemukan; c) merekayasa; d) membayangkan; e) mengira; f) menduga
F. Problim Solving
Problim  solving  merupakan  ketrampilan    berpikir  untuk memecahkan  masalah  yang  pelik.  Metode  yang  digunakan  adalah menggunakan metode ilmiah berarti berpikir yang sistematik, logis, teratur dan teliti.
Cara Ilmiah untuk memcahkan masalah dengan langkah-langkah: (12)
1. Memahami masalah atau problema
2. Mengumpulkan keterangan atau data
3. Merumuskan  hypotesa  atau jawaban  yang  mengkin  memberi penyelesaian
4. Menilai suatu hypotesa
5. Men-test atau mengadakan eksperimen
6. Membentuk kesimpulan
Ketrampilan berpikir belum dikembangkan di Indonesia, terutama di sekolah-sekolah, padahal ketrampilan ini besar manfaatnya dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari di rumah, di sekolah, di kantor dan dimasyarakat. Rendahnya mutu pendidikan baik di tingkat dasar, menengah maupun tinggi salah satunya belum dikembangkan ketrampilan  berpikir.  Untuk  itu  upaya  untuk pengembangan  SDM hendaknya  dimulai  di  sekolah  dengan  cara  mengembangkan ketrampilan berpikir. Siswa sejak dini diajari problem solving dengan cara berpikir ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah. Guru dan dosen  sebagai  ujung  tombak keberhasilan  pendidikan  hendaknya mempunyai ketrampilan berpikir ini, agar dapat mengajarkan kepada pelajar/mahapelajar mempunyai ketrampilan berpikir.
G. Motivation
Motivasi  adalah  suatu  kondisi  yang  menyebebkan  atau menimbulkan  perilaku  tertentu,  dan  memberi  arah  dan  ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut (Wlodkowski:1985)
Berdasar rumusan di atas motif merupakan faktor dinamis, penyebab seseorang melakukan perbuatan. Suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh sesuatu motif.  Namun juga bisa disebabkan oleh beberapa motif. Dalam  belajar,  motivasi  punya  peranan  yang penting.  Siswa  tidak akan belajar dalam arti yang sebenarnya kalau tidak ada motif.
Motivasi belajar siswa dibagi 2 yaitu  : (1) motivasi intrinsik  : adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu; (2) motivasi ekstrinsik : adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar.(13)
Penulis dalam melakukan penelitian tentang "Hubungan motivasi Dengan Prestasi Belajar siswa SMK Negeri 1 Samarinda, Tahun 2022" dapat menyimpulkan bahwa :
1. Korelasi motivasi belajar dengan prestasi belajar siswa (r=0,62)
2. Interpretasi r= 0,62 yaitu : tingkat  hubungan adalah "kuat"
3. Sumbangan relatif motivasi terhadap prestasi belajar (r2Â =0,39 atau 39%), sedang sisanya 61% dipengaruhi oleh faktor lain.
4. Pada  angket  motivasi  dibagi  dua  yaitu  motivasi  intrinsik  dan motivasi  ekstrinsik,  ternyata  motivasi  intrinsik  lebih  dominan daripada motivasi ekstrinsik, dengan perbandingan 6:4.
5. Di SMK Negeri 1 ada kelas unggulan dan kelas biasa, ternyata kelas unggulan motivasinya lebih tinggi daripada kelas biasa.
Sebagai  guru  sulit  rasanya  untuk  meningkatkan  intelegensia pelajar  maka  sebagai  seorang  motivator,   guru  hendaknya  dapat membangkitkan minat belajar siswa dengan cara memotivasi siswa. Ada enam hal yang perlu dilakukan oleh guru :(14)
1. Membangkitkan dorongan kepada siswa untuk belajar
2. Menjelaskan  secara  konkret  kepada  siswa  apa  yang  dapat dilakukan pada akhir pengajaran
3. Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai sehingga dapat  merangsang  untuk  mendapat  prestasi  yang  lebih  baik dikemudian hari
4. Membetuk kebiasaan belajar yang baik
5. Membantu  kesulitan  belajar  siswa  secara  individu  maupun kelompok
6. Menggunakan metode mengajar yang bervariasi
G. Memory and Forgetting
Ingatan  adalah  penarikan  kembali  informasi  yang  pernah diperoleh  sebelumnya. Informasi yang pernah diperoleh sebelumnya dapat disimpan untuk : 1) beberapa saat saja; 2) beberapa waktu; 3) jangka waktu yang tidak terbatas.(15)
Mengingat tidak  sama  dengan  menghafal,  seorang  mahasiswa  S2 mungkin hafal bahan yang diujikan, sesudah ia lulus ia tidak ingat lagi bahan itu. Jadi "ingat"  selangkah lebih maju dari  menghafal. Bagi beberapa  orang  dengan  menggunakan  "kunci"  atau cara  tertentu dapat  memudahkan  mengingat  dan  menghafalkan.  Menghafal  atau memahami  bahan  sering  digunakan  bersama-sama.  Alat  Bantu mengingat, seperti untuk menentukan besarnya resistan pada  resistor (komponen  elektro)  yang dibedakan  atas  warna   yang  disingkat MEJIKU HIBINIU (Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, Ungu) akan lebih mudah diingat daripada tanpa disingkat.
Tehnik belajar bahasa adalah resitasi yaitu pengulangan terus menerus  sehingga  bukan  hanya  hafal  akan  suatu  hal  tapi  juga meresap dalam diri pribadi menjadi bagian hidup seseorang. Hampir 80% waktu untuk belajar bahasa pada tahap awal harus digunakan ini. Ada 3 hal yang harus dikuasai dalam belajar bahasa asing yaitu: 1) belajar  membaca  dan  menerjemahkan  dalam  bahasa  sendiri;  2) dapat  menangkap  pembicaraan;  3)  belajar  bercakap-cakap  dalam bahasa  asing.  Jika  latihan  resitasi  dapat  dilakukan  secara  teratur niscaya ketiga ketrampilan itu akan dapat dikuasainya. (16)
Pelajaran  hafalan  menurut  hemat  penulis  masih  perlu  dilakukan terutama untuk tingkat SD. Untuk siswa yang telah memasuki SLTP pelajaran  hafalan  perlu  ditinggalkan  dan  diganti  dengan  metode pemahaman.  Hanya saja  untuk  pelajaran  bahasa, terutama  bahasa asing  Teknik  resitasi  mutlak  diperlukan,  karena  pengualangan- pengulangan terus menerus akan membuat pelajar menjadi hafal.
Kemampuan  untuk  mengingat  yang  lebih  maju  dari  pada hafalan, ternyata masih diperlukan bagi para pembelajar dari segala tingkatan,  tentu  saja  guru  harus  pandai  membuat  pelajaran  agar melekat terus pada ingatan anak, misalnya belajar berhitung dibantu dengan sempoa, menjelaskan hal yang penting secara berulang-ulang, membuat  "kata  kunci"  atau  dengan  alat  bantu  lainnya  untuk membantu siswa untuk mengingat sesuatu.
H. Learner Autonomy
Pembelajar  mandiri  (learner autonomy) adalah suatu  masalah yang eksplisit atau perhatian yang serius atau sadar. Kita tidak dapat menerima  tanggung  jawab  pembelajaran  kita  meskipun  kita mempunyai ide apa, bagaimana, kenapa kita berusaha untuk belajar. Pembelajar  harus  berinisiatif  untuk  memberi  bentuk arahan  untuk proses belajar dan harus berbagi dalam kemajuan dan evaluasi untuk mengembangkan sasaran pembelajar yang dicapai.
Otonomi secara semantik berarti kompleks, Pembelajar mandiri harus  menginterpretasikan  kebebasan dari  kontrol guru, kebebasan dari  tekanan  kurikulum  bahkan  kebebasan  untuk  memilih  tidak belajar.  Masing-masing  kebebasan  ini  harus dihadapkan  dan didiskusikan secara bijaksana, tetapi untuk kita yang terpenting adalah kebebasan  belajar yang tersirat  di  dalam diri  sendiri. Yang berarti kapasitas tersebut dibatasi dengan tujuan yang ingin dicapai.
Pembelajar  mandiri  secara  umum  adalah  salah  satu  hasil perkembangan dan eksperimen belajar, sebagai contoh penguasaan bahasa  Ibu  berhasil  hanya  bila  dikembangkan  oleh  murid  sebagai pengguna bahasa tersebut, sebagai bahasa Ibu. Sama dengan belajar melalui  pengalaman  membantu  mendefinisikan  apa  itu  pelayanan masyarakat dalam memperkembangkan kapasitasnya sebagai tingkah laku pembelajar mandiri. Kebanyakan guru tergantung latihan-latihan pembelajar dalam jangkauan yang lebar dari kelakuan pembelajar di luar  kelas  yang  tergambar  dalam  prinsip  semua  pembelajar seharusnya mampu di dalam kelas.
Beberapa kritik diajukan terhadap pembelajar mandiri ini dengan ide-ide  yang  bermacam-macam,  seperti  bagian  dari  tradisi budaya barat atau pembelajar bukan barat/aneh. (Jones, 1995). Argumen ini dibantah  bahwa  metode  ini  digunakan  untuk  mengembangkan pengetahuan  pembelajar  mandiri  se bagai  tradisi  pengajaran  barat contoh   budaya   pendidikan   Denmark, Inggris   dan   Irlandia. Perkembangan  Pembelajar  mandiri  di Jepang  dielaborasikan  secara spesifik dengan tradisi budaya Jepang baik di dalam maupun di luar kelas, diharapkan  pengalaman terhadap tantangan  dan  pengayaan belajar  adalah  didapatkan  rasa percaya  diri  untuk  dibawa  pulang dengan pengertian yang besar mengenai teori dan implikasi praktik pendidikan.(17)
Belajar  mandiri  membuat  para  pelajar  terbebas  dari  kelas reguler,  membuat  belajar  sesuai  dengan  kemampuan  pelajar,  dan dapat  melayani  diri  sendiri  dalam  hal  kebutuhan  belajarnya. Paradigma  belajar  atau  learning  paradigm  yang  akan menjadikan pelajar-pelajar  atau  learner  menjadi  manusia  yang  diberdayakan adalah salah satu strategi bagi upaya peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu perlu diupayakan agar belajar mandiri ini dapat berkembang dengan mendorong para pelajar untuk belajar  dengan tekun yang datang  dari  keinginannya  sendiri.  Dengan  demikian  akan  diperoleh generasi yang proaktif, mampu memecahkan masalahnya sendiri dan kritis. Dengan pembelajar mandiri maka akan tercipta generasi bisa bertoleransi,   bisa berdemokrasi,   dan   berbudi   pekerti,   serta menghargai hak-hak orang lain. Maka untuk selanjutnya kita tidak lagi menyebut siswa, student atau pupil tapi learner atau pelajar bagi anak didik kita.
I. Cooperative Learning
Belajar Kelompok (Cooperative learning) adalah sebuah strategi pengajaran yang sukses di dalam tim kecil, penggunaan sebuah variasi dari aktivitas belajar untuk memperbaiki pemahaman subyek. Setiap anggota tim tidak hanya bertanggung jawab pada belajar yang telah diajarkan tapi juga membantu  kawan belajar se-tim, jadi membuat sebuah kondisi berprestasi. (18)
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah :(19)
1. Siswa  bekerja  dalam  kelompok  secara  kooperatif  untuk menuntaskan materi belajarnya
2. Kelompok  dibentuk  dari  siswa  yang  memiliki  kemampuan tinggi, sedang dan rendah
3. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras budaya, suku, jenis kelami berbeda-beda
4. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu
Belajar  kelompok yang terdiri 4-6 anak  per  kelompok sangat bagus  bagi  perkembangan  kepribadian  anak  dan  perkembangan sosialisasi. Pada belajar ini siswa dapat saling berinteraksi sehingga akan  timbul  rasa  persaudaraan,  siswa  belajar  untuk mengeluarkan pendapat, ide. Siswa akan bangga terhadap penguasaan topik tertentu dan akan  memberikan  presentasi  kepada teman-temannya,  bahkan dalam salah satu strategi belajar kelompok siswa dapat memperoleh julukan ahli misalnya ahli empedu, ahli jantung dan sebagainya dalam belajar kelompok.
Sayangnya karena kurikulum di sekolah yang padat, dan guru harus menghabiskan materi sesuai program pengajaran maka banyak guru yang tidak mau menjalankan, alasan repot, makan waktu dan memerlukan  kerja  keras  untuk  memperhatikan  tiap-tiap kelompok. Biasanya  guru  hanya  membagi  kelompok  pelajar  untuk  berdiskusi tentang suatu topik, tanpa ada  bimbingan,  misalnya siswa  masing- masing berdiskusi, hasil diskusi ditulis di kertas, hasilnya dikumpulkan. Guru  yang  profesional  tentu  tidak  akan melewatkan  masa-masa tugasnya dengan menggunakan metode belajar kooperative.
(1) W.H. Burton, The Guidances of Learning Activities, Appleton Century Crofts, New York, 1952
(2) B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, Psikologi Perkembangan, Tarsito, Bandung. 1981
(3)Â Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987
(4) Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Jakarta, 2000
(5) B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, op cit, halaman 194
(6)Â Sumadi Suryabrata, Â op. cit, halaman 172
(7)Â Sumadi Suryabrata, Op Cit, halaman 271
(8) B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, halaman 1977
(9)Â Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 1995
(10) Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997
(11) Cece Wijaya, Pengajaran Remedial, Rosda Karya, Bandung, 2001
(12) Nasution, Didaktik Metodik, Bina Aksara, Jakarta, 1981
(13)Â Syaiful BakriDjamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru, Usaha Nasional, Surabaya, 1994
(14) ibid
(15)Â Slameto, op cit
(16) YB. Sudarmanto, Tuntunan Metodologi Belajar, Grassindo, Jakarta, 1992
(17) http://langue.hyoer.chubu.ac.jp/jalt/pub/t;t/98/nov/littledam.html
(18) http://www.ed.gov/pubs/OR/Consumen Guides/Index.html
(19) Muslimin Ibrahim dkk, Pembelajaran Kooperative, Program Pasca Sarjana Unesa, University Pers,20(S)urabaya