Mohon tunggu...
Dede Suhada
Dede Suhada Mohon Tunggu... Konsultan - Pelajar

12 MIPA 1 SMAN 1 PADALARANG

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kami Melihat Dunia yang Sama

25 Januari 2020   22:44 Diperbarui: 25 Januari 2020   22:44 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

~ - = - ~

-----Manusia Bahagia-------

Seperti dugaanku ditempat ini kutemukan kedamaian tempat yang benar-benar tenang , setelah kuadukan semua masalahku kepada Yang Maha Kuasa ku berbaring di dalam masjid. Sebenarnya Allah pasti sudah tahu semua masalah hambanya  tanpa harus kuadukan tapi itu semua demi hambanya sendiri , dengan mengadu kepada-Nya hatiku lebih tenang

Entah mengapa saat ku berbaring  tiba-tiba ku teringat masa laluku , masa lalu yang tidak menarik, masa lalu yang menggelikan yang kutahu dari Pak Zaenal . Terlahir tanpa tahu siapa orang tua kandung, bukannya aku seperti sahabatku yang ditinggal meninggal oleh orang tuanya tapi aku dibuang,  mereka tak memerlukanku. Mungkin karena itulah aku sangat dekat dengan sahabatku itu , kami bisa saling mengerti satu sama lain.

Aku dibuang begitu saja di sisi jalan ditemani kardus dan diselimuti sehelai kain tipis begitulah kata Pak Zaenal. Saat ku mendengarnya dari Pak Zaenal aku malah tertawa dan membuat Pak Zaenal keheranan.

" lah ko ketawa ? "

" lucu pak mungkin karena itu saya dekat dengan jalanan"

Bayi merah yang ditelantarkan begitu saja di sisi jalan pada malam hari , untungnya ada seorang nenek yang memungutku. Menurut pak Zaenal nenek itu sudah meninggal saat aku berusia 5 tahun ,diingatanku juga masih terbayang samar-samar tentang nenek itu.

Saat itu dia merasa iba kepadaku hidupnya bukan berarti berkecukupan, kata Pak Zaenal hidupnya sederhana bahkan anak-anaknya menentang keputusannya untuk memungutku, tapi dia tetap  keukeh merawatku. Dia anggap aku seperti anaknya sendiri dibelikannya susu untukku , menggendongku walaupun badannya bungkuk . Bagiku dia lebih pantas kusebut Ibu , setiap sebulan sekali selalu kusempatkan untuk berziarah ke tempat peristirahatannya.

Setelah beliau meninggal tak ada yang merawatku lagi , anak -anaknya karena tak suka denganku mereka membiarkanku. Rumah nenek itu langsung dijual dan sekarang ini sudah menjadi gedung  pembelanjaan  yang sering kulihat bagian depannya saja.

Seingatku setelah itu aku hidup di jalanan mengandalkan rasa iba orang lain, mengamen walau tak punya suara merdu, menjual koran, bahkan pernah kumencuri karena lapar perbuatan yang kusesali hingga saat ini .

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun