Mohon tunggu...
Dean Ardeanto
Dean Ardeanto Mohon Tunggu... Seniman - Atlet gundu profesional

Manusia biasa yang hobi menulis. Suka kentut sambil tiarap.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Masa Kecilku: Demi Bermain Playstation

8 Januari 2024   08:00 Diperbarui: 8 Januari 2024   08:01 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maka, keesokan harinya, untuk membuktikan apa yang dibilang Surip, jadilah gue datang ke rental PS dekat rumah. Gue perhatikan di sana, ada lima tv yang mana tv satu dan duanya dikerubungi banyak anak. Menurut Surip, ciri-ciri rental yang memperbolehkan anak yang nggak main untuk nongkrong, ya, yang kayak gini ini. Gue pun nimbrung dengan pede, mendaratkan pantat di ubin, kemudian dimulailah kebiasaan gue untuk nongkrong di rental PS berjam-jam, berharap bisa main dari sisa waktu orang lain. Hasilnya cukup memuaskan. Dari tiga hari nongkrong di sana, gue sudah enam kali berhasil main dari ngembat sisa waktu orang lain. Gue kini mulai nyambung ketika ngobrol di sekolah ngomongin tentang PS 2. Semua game yang kala itu sedang hits gue libas. Gue kini paham, ternyata berada di circle yang nyambung menyenangkan.

Rental tempat gue nongkrong berjam-jam adalah rental milik seseorang yang disapa Bang Maman. Bang Maman membuka usaha rental PS-nya berdampingan dengan usaha warung kelontong miliknya. Ia adalah bapak-bapak berperut buncit, rambutnya cepak, dan kumisnya lebat kayak ulat bulu nempel di bibir. Kadang saking lebatnya kumis Bang Maman, gue curiga, 'jangan-jangan kalo kumis itu dicukur, yang nampak langsung gigi dan gusi?' Jadi, di kepala gue yang kapasitas otaknya cuma 2 bit, gue membayangkan kalo Bang Maman nggak punya bibir atas. Kumis lebat itu hanyalah kedok untuk menyembunyikan wajahnya yang menyeramkan. Meski begitu, biar wajahnya setara pitbull, Bang Maman nyatanya adalah orang yang humoris. Ia kerap kali bercanda dengan anak-anak di rental PS. Salah satu candaan khasnya yang masih gue ingat, adalah kentut dengan suara menggelegar, kemudian menyalahkan yang lain sambil ngomong, "Buset! Abis makan orok lu, ye?" Kebiasaan kentut ini juga acap kali dilakukan Bang Maman bahkan saat dia sedang terlelap di lantai rental. Yang unik, suara kentutnya nggak pernah kalem. Kadang suaranya panjang diakhiri dengan bunyi yang menghentak, "Tiuuuuuuut ... BROT!!!" Kadang suaranya berupa rentetan panjang seperti peluru di medan perang, "PREPETPREPETPREPETPREPETPREPET!" Suara kentut itu menemani anak-anak yang senantiasa nongkrong di rental PS-nya. Jangan tanya baunya seperti apa. Tapi kalo kalian penasaran, baunya setara dengan bau bangkai komodo.

Sejak nongkrong di rental Bang Maman, gue jadi kenal dengan beberapa anak yang sering main di situ. Salah satu yang masih menempel di benak gue adalah Bang Heru. Dia adalah anak SMP yang sering bolos ke rental Bang Maman. Hampir setiap hari gue bisa menemukan Bang Heru main di tv pojok, menghabiskan waktunya dari jam dua belas siang hingga jam sekolah berakhir. Awalnya gue hanyalah bocah yang sering nontonin dia main. Berharap dari sana gue bisa main dari sisa waktunya. Karena terlalu sering nontonin inilah tiba-tiba suatu hari Bang Heru ngajakin gue main bareng. Itu lalu menjadi awal dari hari-hari selanjutnya, di mana Bang Heru selalu ngajakin gue join.

Namun, masa-masa indah gue bisa diajak Bang Heru main PS harus sirna ketika suatu hari dia ketahuan bolos sama bapaknya. Gue masih ingat, kala itu lagi seru-serunya main Down Hill Domination, muncul suara berat dari belakang yang tiba-tiba berkata, "BAGOOOOOS! PENCET TERUS, TUH, STICK! ENYOT KALO PERLU SEKALIAN KAYAK WAKTU LU NETEK AMA EMAK LU!"

"BAPAK?!" Bang Heru menoleh kaget. Kemudian, "PLAK!!!" Pipinya digampar.

Nggak butuh waktu lama untuk akhirnya dia digeret pulang sama bapaknya, lalu semenjak itu dia sudah nggak pernah lagi menunjukan batang hidungnya di rental PS.

Sialnya, kebiasaan diajak Bang Heru main membuat gue kurang puas ketika menjalani aksi lama. Gue jadi nggak sreg lagi buat nongkrong di rental PS, kemudian ngarep main dari sisa waktu orang lain. Gue kini sudah kecanduan PS seperti kebanyakan anak lain. Satu-satunya hal yang gue butuh, adalah dengan main PS minimal satu jam. Sekarang, pertanyaannya cuma satu: 'dari mana gue bisa dapat uang buat main PS?' Sempat terpikir untuk pergi ke bank terdekat, menyandera seseorang, kemudian mengancam, "SERAHKAN UANG KALIAN! ATAU SAYA BEKAP ORANG INI SAMPE MATI PAKE KOLOR BAPAK SAYA!" Tapi, rasanya, dengan wujud bocil dan badan kurus kerempeng, gue yakin nggak bakal ada yang takut sama ancaman gue barusan. Kalo pun nekat, yang ada pasti gue bakal di depak satpam bank, kemudian diusir, "PERGI LU! SONO PULANG NETEK SAMA EMAK LU!" Maka hal paling masuk akal satu-satunya adalah gue harus ngumpulin duit sendiri demi meredam hasrat bermain PS. Sekarang jadinya pertanyaan lain muncul: 'bisakah gue melakukannya?'

Dari pada nekat ngerampok bank yang bakal berujung diusir, gue lalu memilih nekat ngumpulin duit dari uang jajan gue sehari-hari. Gue tahan-tahanin nggak jajan, sehingga terkumpullah dalam seminggu semua uang gue enam ribu rupiah. Gue lalu bisa bermain PS selama dua jam. Meskipun waktu gue main ke rental Bang Maman jadi singkat dari yang tadinya setiap hari jadi seminggu sekali. Biarlah, gue pikir. Ini lebih baik dari pada nggak main PS sama sekali.

Sayangnya, hanya di minggu-minggu awal saja gue tahan untuk nggak jajan di sekolah. Pada Minggu berikutnya, pertahanan gue mulai goyah. Gue mulai kegoda acap kali ngelihat teman-teman di sekolah pada jajan. Padahal lucu juga bagaimana sebungkus cilok atau seplastik es teh bisa menggoyahkan iman gue dalam ngumpulin duit. Akhirnya, pada suatu hari saat jam bubar sekolah, raib sudah uang gue untuk gue belikan dua jajanan itu. Kini, nggak ada yang tersisa selain pupusnya harapan gue untuk bisa lagi merasakan nikmatnya bermain PS.

***

NGGAK bisa lagi bermain PS membuat gue ada di tengah permainan petak umpet anak-anak. Termasuk gue, ada sekitar sepuluh anak yang bermain di sana. Zaki, salah satu anak yang gue kenal, memperkenalkan Ardan, anak baru di tempat gue tinggal. Ardan memiliki badan yang nggak kalah kerempeng dibanding gue, rambutnya keriting mekar, dan kaca matanya teramat tebal. Wajahnya yang lugu membuat gue serasa seperti melihat Nobita versi dunia nyata saja. Sayangnya, Ardan nggak punya robot kucing bersuara serak yang dapat mengabulkan apapun keinginannya.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun