Mohon tunggu...
Dean Ardeanto
Dean Ardeanto Mohon Tunggu... Seniman - Atlet gundu profesional

Manusia biasa yang hobi menulis. Suka kentut sambil tiarap.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Masa Kecilku: Demi Bermain Playstation

8 Januari 2024   08:00 Diperbarui: 8 Januari 2024   08:01 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalo besok nggak ujan, Mar?"

"Ya, tunggu besoknya lagi kalo ujan. Ngapain lo nggak ujan ngojek payung? Kayak orang tolol aja."

Gue garuk-garuk kepala, nyengir, kemudian nggak lama kami berpisah.

Esoknya hujan turun lebih lebat. Gue langsung keingat punya janji sama Amar buat ngojek payung bareng. Dengan segera, gue sambar sebuah payung, gue ganti pakaian ke yang lebih jelek, lalu pamit ke Nyokap berkata bahwa gue pengin ngojek payung hari itu. Nyokap awalnya nggak setuju. Tapi dia luluh begitu gue bilang, gue ngojek payung buat dapetin uang jajan tambahan.

"Pergilah, Nak," ucap Nyokap di ambang pintu. "Cari pelanggan yang banyak. Kalo ada pelanggan yang nggak mau bayar jasa ojek payung kamu, getok aja lak-lak-annya pake gagang payung! Jangan ragu-ragu! Yang kenceng sekalian biar, tuh, orang tenggorokannya bolong!"

"Iya, Ma," jawab gue, kemudian gue ngacir ke rumah Amar.

Setibanya di rumah Amar, dia langsung memboyong gue ke depan stasiun. Akan ada banyak orang yang membutuhkan jasa ojek payung di sana, katanya. Di perjalanan, Amar memberikan sedikit tips dan triknya dalam mengojek payung. Katanya, untuk bisa menarik pelanggan yang banyak, kalo bisa kita si penyedia layanan ojek payung harus menunjukan muka yang semelas mungkin. Tujuannya satu: agar orang lain kasihan dan mau memakai jasa ojek payung kita. Demi mendapat muka melas yang natural, Amar berkata kalo dia sampai menahan lapar sedari pagi. Gue lalu ngeh kenapa hari itu muka Amar pucat banget kayak gembel belum makan pizza tiga hari. Dia sepertinya totalitas banget menjalani pekerjaan ngojek payung ini.

Singkat cerita, di hari pertama gue ngojek payung, uang yang gue dapat adalah enam ribu rupiah. Dengan tarif lima ratus rupiah sekali ojek payung, gue mendapat pelanggan hari itu sebanyak dua belas. Amar beda lagi. Dia yang lebih senior dalam dunia perojek-payungan mendapat sembilan ribu rupiah. Belum lagi ditambah biaya yang gue janjikan kemarin, uang Amar genap sepuluh ribu.

Dari uang hasil ngojek payung itu, esoknya gue datang ke rumah Ardan tuk mentraktirnya main PS. Ketika gue sampaikan maksud kedatangan gue hari itu, bukannya senang, Ardan justru melongo. Ia kemudian bertanya, "Emang lo punya duit?"

Gue agak tersinggung ditanya begitu. Ya, gue tahu, gue ini anak orang nggak punya. Jangankan buat main PS, buat makan sehari-hari aja udah kempat-kempot. Alih-alih marah dan nggak terima ditanyai begitu, gue lalu bilang ke Ardan, "Ntar gue kasih tau, dari mana gue bisa dapet uang buat main PS."

Ardan membenamkan rasa penasarannya sejenak. Ia beranjak mengambil sandal, kemudian pergi bersama gue ke rental PS. Di rental PS, ketika permainan berlangsung, gue cerita kalo uang yang gue dapat untuk mentraktirnya hari itu adalah dari ngojek payung. Mendengar kata 'ngojek payung' dahi Ardan mengernyit. "Apaan,tuh, ngojek payung?"

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun